A.
Latar Belakang
Sumatera
Selatan adalah wilayah yang kaya akan situs arkeologi, tidak hanya
menggambarkan satu periode saja. Namun, setidaknya situs arkeologi yang paling
banyak ditemukan berasal dari tiga periode sejarah. Yaitu, dimulai dari situs peninggalan
periode Megalithikum yang bercirikan benda pra-sejarah, berkembang menjadi periode
Sriwijaya dengan corak Budha-nya dan diteruskan pada masa periode Kesultanan
yang bernuansa Islam.
Situs pertama, merupakan
Situs Megalithikum, contohnya situs Tinggi Hari di Pagar Alam, situs ini menyuguhkan
benda-benda pra-sejarah, seperti patung batu dengan bentuk dan corak yang
bermacam-macam. Salah satunya adalah patung batu berbentuk manusia bertopi. Periode
ke dua, yaitu periode Sriwijaya, beberapa situs yang merupakan peninggalan dari
Kerajaan Sriwijaya adalah situs TPKS (Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya),
Bukit Siguntang, Candi Bumi Ayu, dll. Periode ke tiga, yaitu periode Kesultanan
Palembang, yang meninggalkan benda arkeologi bernuansa Islam. Ke tiga periode
tersebut, semakin mempertegas bahwa masyarakat Sumatera Selatan pada masa
dahulu telah memiliki kebudayaan yang tinggi.
Situs-situs
Arkeologi di atas, memiliki manfaat yang sangat besar untuk menggali informasi
mengenai sejarah Sumatra Selatan secara mendalam. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana
cara untuk mewujudkan hal tersebut?, untuk menjawab pertanyaan ini, maka
terlebih dahulu harus dipahami bahwa ilmu Sejarah dengan ilmu Arkeologi
merupakan ilmu yang berdekatan, dalam artian keduanya memiliki tujuan yang
sama, yaitu mengungkap kehidupan manusia pada masa lalu. Namun, satu hal
mendasar yang membedakan ke duanya adalah, sejarah lebih banyak bersandar pada
sumber tertulis, sedangkan arkeologi berdasarkan pada sumber data berupa benda
atau artefak yang diperoleh antara lain melalui ekskavasi.[1] Maka
melalui ilmu Arkeologi, upaya untuk menelusuri sejarah Sumatera Selatan, bisa dilakukan
dengan cara melakukan penelitian terhadap benda-benda peninggalan yang ada di
situs arkeologi tersebut.
Tentunya
penelitian terhadap benda-benda tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai
disiplin ilmu arkeologi yang mumpuni, tidak semua orang bisa melakukannya.
Namun, sebagai orang awam dalam ilmu arkeologi, kita sudah dipermudah
untuk memahami benda-benda arkeologi tanpa
harus terlibat langsung dalam proses penelitian, yaitu dengan cara membaca
hasil penelitian terhadap benda-benda tersebut. Salah satu tempat yang bisa
dijadikan rujukan adalah Balai Arkeologi Palembang, di sini banyak terdapat
hasil-hasil mengenai penelitian terhadap benda Arkeologi.
Permasalahannya sekarang
yang berkaitan dengan makalah ini adalah, hasil-hasil penelitian terhadap benda
Arkeologi lebih banyak terfokus kepada benda periode Megalithikum dan Periode
Kerajaan Sriwijaya, sedikit sekali informasi penelitian mengenai jejak-jejak
Arkeologi Islam di Sumatera Selatan atau dengan kata lain sumber tertulisnya
terbatas. Padahal, sebenarnya Sumatera Selatan juga banyak menyimpan potensi
benda Arkeologi Islam, tidak hanya Megalitikum maupun Kerajaan Sriwjaya.
Sedangkan makalah ini membahas mengenai kajian jejak arkeologi Islam di
Sumatera Selatan.
Faktor diatas
menyebabkan pemakalah merasa perlu untuk membatasi ruang lingkup makalah ini,
sehingga permasalahannya tidak mengkaji jejak Arkeologi Islam di Sumatera
Selatan secara keseluruhan, melainkan permasalahan lebih terfokus pada jejak
arkeologi Islam yang ada di Kota
Palembang dan benda yang dicantumkan pun merupakan peninggalan Islam masa
kesultanan.
Hal tersebut
dilakukan, dengan asumsi dasar bahwa Islam di Sumatera Selatan sudah ada pada
masa pra-kesultanan dan berkembang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam,
dimana pada saat itu ibu kota Kesultanan terletak di Kota Palembang yang tidak
hanya dijadikan sebagai pusat politik maupun ekonomi, tetapi aktivitas
pengajaran agama Islampun berpusat di Kota ini.[2]
Sehingga, pemakalah beranggapan bahwa jejak-jejak Arkeologi Islam di Kota
Palembang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya. Benda arkeologi islam dalam makalah ini,
terdiri atas tiga bentuk bangunan, yaitu istana atau keraton, kompleks
pemakaman dan nisan, serta tempat ibadah umat Islam berupa mesjid.
B.
Situs Arkeologi Islam di Palembang
Sumatera Selatan
memiliki bagian tersendiri di dalam sejarah perdagangan internasional. Ibu
kotanya Palembang pada saat itu dikenal sebagai entreport terpenting yang menghubungkan tiga kekuatan besar yang
memonopoli perdagangan yaitu antara Cina, India dan Arab.[3]
Satu hal yang perlu dipahami bahwa, peranan sebagai kota Pelabuhan, meyebabkan
terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan di Palembang, sehingga kemungkinan
masyarakat Palembang untuk menerima berbagai pengaruh dari budaya luar, seperti
Cina, India dan Arab sangatlah besar.
Termasuk,
didalamnya pengaruh keagamaan, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah Palembang
menjelaskan didaerah ini pernah ada dua agama yang sangat menonjol di
Palembang. Bahkan agama ini turut menentukan identitas Palembang itu sendiri, adalah agama Budha dengan Kerajaan Sriwijaya
dan Islam dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Seperti kutipan yang ada
dibawah ini:
“Palembang,
ditenggarai dahulu pernah menjadi pusat kerajaan “Maritim” Sriwijaya dan pada
paruh akhir abad millennium kedua pernah menjadi pusat Kerajaan Islam dengan
dua fase, pertama fase pra-kesultanan dan fase ke-dua, masa kesultanan. Sejak
lama pula Palembang telah menjadi simbol kebesaran kota maritim di Nusantara
karena peranannya dalam kancah pelayaran internasional. Di kota itu
dilaksanakan tukar menukar barang dagangan antar negeri, dan antar daerah.
Perdagangan itu pula yang telah mempercepat kota ini menjadi kota penting dalam
percaturan ekonomi dan perdagangan dunia”.[4]
Tidak
jauh berbeda dengan masa Sriwijaya, dimana agama memiliki pengaruh yang besar
terhadap kehidupan masyarakat. Maka, pada masa Kesultanan Palembang, Islam
tidak hanya sebagai agama mayoritas masyarakat semata, namun lebih dari itu
Islam memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat di berbagai
bidang. Untuk memahami lebih lanjut pengaruh Islam terhadap kehidupan
masyarakat Palembang, maka bisa dilakukan dengan cara menelusuri benda-benda
arkeologi Islam, yang merupakan warisan dari masa kesultanan Palembang.
Diantaranya:
1.
Kraton dan Benteng Peninggalan Kesultanan Palembang
a.
Kraton Kuto Gawang
Kuto[5]
Gawang merupakan kraton dan benteng pertahanan pertama di Palembang, yang
didirikan oleh Ki Gede Ing Suro. Bangunannya sendiri sudah tidak ada lagi,
karena dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1659. Lokasi bekas kraton
pertama Palembang ini sekarang berdiri PT Pusri. Kraton berdenah persegi empat dengan
ukuran luasnya mencapai 290 rijlandsche
roede (1093 meter). Tinggi dinding 24 kaki (sekitar 7, 25 m).
Bangunan benteng
terbuat dari kayu unglen dengan ukuran masing-masing 30 cm x 30 cm,[6] benteng
ini menghadap ke Sungai Musi dengan pintu masuk melalui Sungai Rengas.
Disebelah kanan dan kiri benteng dibatasi oleh Sungai Buah dan Sungai Taligawe.
Benteng dilengkapi dengan baluarti dan benteng-benteng pertahanan lainnya
disekitarnya, yaitu benteng di Pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning, serta
dilengkapi dengan cerucuk (pagar
bamboo kuning) yang memagari Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju.[7]
Pada
masanya, pemukiman di sekitar Kraton Kuto Gawang ini ternyata tidak hanya
dihuni oleh masyarakat Palembang saja, tetapi juga komunitas asing yaitu Cina,
Portugis, Arab dan Belanda.[8] Pemukiman
kotamunitas ini terletak diseberang benteng tepi sungai Musi. Disekitar lokasi
situs kraton ini, pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1996 ditemukan
sisa-sisa bangunan pagar dari batu putih. Pagar ini diduga merupakan bagian
dari pagar kraton. Temuan lainnya yang berhasil dikumpulkan adalah pecahan
keramik asing, baik dari Cina, Timur Tengah maupun Eropa. Kronologi dari
pecahan keramik tersebut antara abad ke-9 M sampai 19 M. dengan demikian situs
ini pernah dihuni sejak Sriwijaya masih berkuasa sampai masa kesultanan.[9]
b.
Kraton Kuto Batu
Kraton
ini didirikan pada tahun 1737 ditepi sungai Tengkuruk, dikenal sebagai Kraton
Tengkuruk atau Kuto Batu, letaknya berada disamping kiri Benteng Kuto Besak,
namun sekarang tidak tampak bekasnya lagi. Hal ini dikarenakan pada masa
pendudukan Belanda, kraton ini dihancurkan dan diatas reruntuhan bangunan
tersebut didirikan bangunan baru, yang kemudian menjadi tempat tinggal regeering commisaris Belanda pertama,
yakni J.L Van Sevenhoven. Sekarang, bangunan tersebut digunakan sebagai Museum
Sultan Mahmud Badaruddin II dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang.[10]
Penggambaran
mengenai situs ini, disampaikan oleh William Marsden, yang menyatakan bahwa Istana
raja dikelilingi oleh dinding, sehingga bangunan di dalamnya tidak diketahui
sedikitpun. Sedangkan orang-orang Eropa tidak boleh masuk, satu-satunya yang
dapat dilihat dari luar adalah pintu gerbang yang berat dan anggun. Agak
kebawah dari dinding dalem, terdapat batterrij
berbentuk segi empat dan tebal, beratap dan banyak sekali deretan meriam,
yang hanya ditempatkan pada upacara-upacara khusus. Tinggi dinding ini sekitar
8 atau 9 kaki, yang juga dilengkapi dengan atap. Di antara kedua batterrij ini terdapat sebuah lapangan
dan banyak meriam-meriam yang diatapi.[11]
Diujung lapangan terdapat pasebahan (pendopo)
untuk menerima tamu umum, yang berbentuk ruangan berdenah segi empat dengan
atap dan dinding, dihiasi dengan senapan-senapan.
c.
Kuto Baru atau Kuto Besak
Keraton
ini memiliki ukuran lebar 77 dan panjang 49 rode ( lebarnya 183,75 m dan
panjang 288,75 m), dengan keliling tembok yang kuat dan tingginya 30 kaki serta
lebarnya sekitar 6 atau 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion atau baluarti. Di dalam masih
ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang
yang kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama
dapat didobrak.[12] Kemegahan dari benteng keraton ini
tergambar dari pernyataan Mayor M.H Court, Residen Ingris untuk Palembang, dia
mengungkapkan bahwa Kraton Sultan adalah bangunan yang sangat indah dibuat dari
bata serta dikelilingi oleh dinding yang kuat tempat tinggal para pemimpinnya
sangat luas dan nyaman, meskipun demikian tidak menunjukkan kemewahan.
2.
Kompleks Pemakaman dan Batu Nisan
Menurut
Musyrifah dalam bukunya, kebudayaan Islam yang paling awal masuk ke tanah
melayu, berupa seni hias atau kaligrafi yang tertera pada batu nisan. Yakni
batu nisan makam Sultan Malik As-Shaleh yang wafat pada tahun 1292. Batunya
terbuat dari batu pualam putih diukir dengan tulisan arab yang sangat indah
berisikan ayat Al-Qur’an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta
hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti
makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[13]
Berdasarkan
pendapat di atas, maka untuk menelusuri jejak arkeologi Islam di Palembang,
juga bisa dilihat dari kompleks pemakaman dan corak dari batu nisannya.
Seperti:
a.
Komplek Makam Kawah Tengkurep
Komplek
Makam Kawah Tengkurep terletak di Kelurahan 3 ilir, Kecamatan Ilir II,
Palembang, terletak sekitar 100 meter disebelah Utara Sungai Musi. Komplek
makam ini dibatasi dengan pagar-pagar yang dibangun dari batu bata menghadap
kea rah sungai. pagar dari bata ini sebagian besar masih terlihat, tetapi dalam
keadaan rusak.
Secara
keseluruhan komplek pemakaman ini dibangun di atas tanah yang tinggi,[14]
dari sisa-sisa bangunannya terlihat bahwa disetiap teras terdapat dinding
pemisah dan dilengkapi dengan gapura atau pintu masuk. Dinding dan gapura pintu
masuk yang masih tersisa hanya diteras teratas, berbentuk Paduraksa. Diteras ke
tiga inilah terdapat dua buah cungkup, pertama cungkup makam Sultan Mahmud
Badaruddin I yang di dalamnya terdapat makam Imam Sultan Sayyid Idrus
Abd’l-llah Alaidrus, Sultan Mahmud Badaruddin Ibn Muhammad Mansur dan empat
istri Sultan. Bentuk arsitektur cungkup makam dengan bagian atap berbentuk
kubah inilah yang oleh masyaralat sekitar kemudian dikenal dengan istilah kawah
tengkurep, yang artinya seperti kuali yang diletakkan terbalik. Padahal dalam
naskah-naskah kuno kompleks pemakaman ini disebut Makam Sunan Lemabang.
Cungkup
yang ke dua merupakan lokasi makam Sultan Ahmad Ahmad Najamuddin Adi Kesumo,
yang juga diapit oleh imam Sultan Sayyid Abd Rahman Mau a Tuga’ah disebelah
kanan dan permaisurinya, bernama Mas Ayu Dalem, disebelah kiri. Selain itu, di
dalam cungkup ini juga dimakamkan para keluarga Sultan Ahmad Najamuddin yang tidak
diketahui namanya. Sementara itu, makam Sultan Bahauddin menempati sebuah
cungkup yang terdapat di teras ke dua. Seperti halnya dengan sultan-sultan lainnya, makamnya pun juga
diapit oleh Imam Sultan Datuk Murni ‘l-Haddad dan istrinya Ratu Agung.
Disamping itu terdapat makam Pangeran Jaya Wikrama dan orang-orang yang tidak
diketahui namanya. Meskipun bentuk utuhnya tidak terlihat lagi, namun dari
sisa-sisanya dapat diperkirakan bahwa bentuk gapura-gapura pada teras ke dua
dan pertama berbentuk candi bentar.
Makam-makam
tersebut memiliki keunikan, yaitu perbedaan corak nisan antara makam sultan
dengan para ulamanya. Jika nisan pada makam sultan bercorak Demak-Tralaya, maka
para ulama sultan menggunakan corak Aceh. Perbedaan bentuk nisan ini, ternyata
berkaitan dengan asal-usul raja yang berasal dari Jawa, sementara para ulama
sultan dari Aceh, walaupun para ulama ini bukanlah orang Aceh, melainkan orang
keturunan Arab. [15]
b.
Komplek Makam Sabokingking
Kompleks
makam Sabokingking terletak di Sabokingking, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir
Timur II, Kotamadya Palembang. Berbeda dengan makam-makam lainnya, kompleks
pemakaman ini dikelilingi oleh kolam dan berada disekitar daerah rawa-rawa. Tokoh-tokoh
yang dimakamkan disini adalah Pangeran
Ratu Sultan Jamaluddin Amangkurat IV, Imam Sultan Tuan Sayid Muhammad Nuh Imam ˆl-Pasay, R.A Ratu Sinuhun Putri Ki
Pancanegara Sumedang, dan Nyimas Ayu Rabi’at ˆl-Hasanah.[16]
Situs
ini juga dikenal dengan Telaga Batu, karena disini pernah ditemukan prasasti
Telaga Batu yang berasal dari abad ke-7 Masehi atau dari masa kerajaan
Sriwijaya. Selain prasasti tersebut, disini pernah ditemukan tidak kurang dari
30 prasasti pendek (siddhayatra) dan sisa-sisa bangunan kuno. Yang menarik dari situs
ini adanya saluran air. Berdasarkan hasil foto udara dapat diketahui bahwa
situs ini berada pada sebuah pulau kecil berbentuk segi empat yang keempat
sisinya tepat menghadap arah mata angin. Kolam yang mengelilingi pulau kecil
dihubungkan dengan saluran-saluran kecil, yang merupakan anak Sungai Musi.
Kolam ini masih bisa dilihat, namun sungai-sungai kecil sudah tertutup oleh
pemukiman penduduk.[17]
c.
Situs Gede Ing Suro
Situs
ini merupakan kompleks pemakaman yang terdiri dari 7 buah bangunan berbentuk
pondasi (batur) dari bata. Tiap-tiap bangunan terdapat makam-makam yang
jumlahnya bervariasi. Salah satu tokoh yang dimakamkan disini adalah Ki Gede
Ing Suro Mudo yang berkuasa di Palembang sekitar tahun 1573-1590 M. makam tokoh
ini diapit oleh makam Tan Pualang Cian Cing (Hasan l-Din Sontan) dan Raden
Kusumoninggrat. [18]
Struktur
bangunan jika dilihat dari gaya arsitekturnya berasal dari kurun waktu antara
abad XIV-XV Masehi yang memiliki kemiripan dengan bangunan-bangunan di pantai
utara Jawa pada Islam awal. Yang menarik dari kompleks ini pemakaman ini adalah
satu bangunan yang didalamnya terdapat susunan batu andesit, seperti yang
digunakan untuk bangunan candi-candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Adanya
temuan ini mengindikasikan bahwa bangunan pemakaman ini dibangun di atas
sisa-sisa bangunan candi dari abad IX Masehi. Asumsi ini diperkuat dengan
tinggalan arkeologis yang ditemukan disekitar situs berupa sebuah arca Budha
berukuran 1,18 meter.
Makam-makam
yang terdapat dikompleks ini tanpa jirat dan nisan-nya tebuat dari kayu ulin
dengan tipe Demak-Tralaya. Beberapa nisan mempunyai inskripsi berhuruf Arab.
Hanya saja, karena kondisinya sudah sangat lapuk sulit untuk dibaca secara
utuh. Inskripsi ini sekarang sudah tidak dapat dilihat lagi, karena nisannya
sudah diganti dengan nisan yang baru dan beberapa diantaranya terbuat dari
batu. Pada nisan baru tersebut diberi tulisan nama tokoh dengan menggunakan
huruf latin. [19]
d.
Kompleks Pemakaman Candi Walang
Kompleks
makam Candi Walang terletak 100 meter disebelah barat Jalan Jenderal Sudirman
Palembang atau tepat dibelakang Pasar Cinde. Di dalam kompleks makam ini
dimakamkan Susuhunan Abd Ar-Rahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman dan
permaisurinya serta Imam Sultan, yaitu Sayid Mustafa Alaidrus dari Yaman.
Disekitar tiga makam
tersebut dimakamkan keluarga kesultanan yang ditempatkan mengelilingi makam
Sultan. Diantara makam-makam itu, terdapat makam penyebar agama Islam bernama
Sayyid Abd al-Rahman Ibn Fuad yang terletak disebelah barat daya makam Sultan. [20]
e.
Komplek Makam di Kebon Gede
Komplek
makam ini terletak 50 meter sebelah utara dari Jalan Sultan Muhammad Mansur,
ditengah-tengah pemukiman penduduk. Secara administratif makam ini termasuk
wilayah Kampung Kebon Gede, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II,
Kotamadya Palembang.[21]
Di
dalam kompleks makam ini terdapat makam Sultan Muhammad Mansur bin Susuhunan
Abd al-Rahman dan permasiruinya serta seoran imam Sultan dari Arab yang tidak
diketahui namanya. Makam Sultan sendiri terletak di pojok barat laut dan
dicungkup dengan 10 x 8 meter. Dalam cungkup makam itu dimakamkan
berturut-turut dari Barat ke Timur, Imam Sultan, Sultan Muhammad Mansur dan
permaisuri.[22]
Makam-makam
ini seluruhnya diberi nisan dengan gaya Demak-Troloyo yang terbuat dari bahan
kayu. Nisan-nisan ini sudah tampak rusak karena sudah tidak terawat. Pada nisan
itu masih tampak beberapa hiasan yang menonjol antara lain ukiran berupa medallion dengan ukiran
sulur-suluran di tengahnya. Makam-makam lain yang ada dikomplek ini antara lain
Muhammad Yasin, anak dari Sultan Muhammad
Mansur dan makam-makam keluarga dan anak keturunan Sultan. [23]
3.
Bangunan Mesjid
Tentu
banyak mesjid-mesjid yang ada di Kota Palembang, akan tetapi karena
keterbatasan sumber maka di makalah ini hanya akan mencantumkan dua mesjid,
yaitu Mesjid Agung dan Mesjid Muara Ogan, dengan pertimbangan perbedaan tempat
dari kedua mesjid itu sendiri, jika Mesjid Agung merupakan mesjid peninggalan
dari masa kesultanan yang terletak diseberang ilir, maka Mesjid Muara Ogan yang
bukan berasal dari peninggalan masa kesultanan merupakan mesjid bersejarah,
karena merupakan mesjid pertama yang dibangun di daerah seberang ulu.
a.
Mesjid Agung
1)
Arsitektur Mesjid Agung
Mesjid yang
tampak sekarang merupakan hasil renovasi dan peresmiannya dilakukan oleh
Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pada tanggal 16 Juni 2003. Sejarahnya,
mesjid ini merupakan salah satu bangunan yang dibuat pada masa pemerintahan
Sultan Mahmud Badaruddin I atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Mahmud
Badaruddin Jayo Wikramo. Oleh karena itulah mesjid Agung Palembang disebut juga
dengan Mesjid Sulton.[24]
Mesjid yang terletak dibelakang Benteng Kuto Besak ini dibangun pada tanggal 1
Jumadil Akhir 1151 H (1739 M) dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 28
Jumadil Awal 1161 H (1748 M).
Mesjid
Agung berukuran 30 m x 36 m dengan atap tumpang atau atap berundak dengan limas
dipuncaknya (mustaka) yang melambangkan “Ma’rifah”,
yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.[25] Yang
menarik dari atap mesjid ini adalah hiasan atap berupa “tanduk kambing”
berjumlah 13 buah dan mustikanya yang berjurai sehingga mirip atap bangunan
Cina.
Pada awal
pendiriannya, bangunan ini berluas 1.080 m2 dan dapat menampung
sekitar 1.000 jamaah. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertambahan jamaah,
maka tahun 1897, dibangun pula bangunan tambahan berupa serambi untuk
melengkapi kemegahan Mesjid Agung Palembang. Di bagian dalam, mesjid ini
ditopang oleh empat buah tiang utama (saka
guru) terbuat dari kayu besi dan 12 tiang kecil lainnya dengan ukuran lebih
kecil. Dibagian tengah antara ke-empat tiang kayu inilah terdapat motif
bunga-bunga yang kemudian diganti dengan kaligrafi Arab “Asmaul Husna “ pada tahun 1978.
Sama halnya
dengan mesjid pada umunya, di mesjid ini pun terdapat mihrab dan mimbar. Pada
dinding Mihrab bagian atas terdapat kaligrafi Muhammad, yang oleh masyarakat
Palembang dikenal dengan istilah Muhammad bertangkup, pada bagian atas mihrab
terdapat hiasan berupa lengkungan. Sedangkan mimbar dihiasi dengan ukiran khas
Palembang dan kaligrafi Arab.
Pada bagian luar,
pintu dan jendela mesjid ini memiliki keunikan, yaitu bentuk daun jendela yang
terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah terbuat dari kayu berukir dan
bagian atas terbuat dari kaca. Sementara untuk daun pintunya terbuat dari kayu
khas Palembang.[26]
Ada
hal yang menarik mengenai tempat dari Mesjid Agung Palembang. Jika di Jawa
letak mesjid selalu disebelah Barat-Laut alun-alun dan alun-alun berada di
depan keraton, maka di Kesultanan Palembang ternyata mesjid terletak di
belakang keraton. Keraton menghadap kes Sungai Musi, sedangkan di depan mesjid
ada lapangan yang luas. Hal ini bisa dipahami karena, Palembang adalah kota
pelabuhan dan perniagaan yang berada ditepian Sungai Musi. Dengan pola bangunan
seperti ini, maka sultan dapat melihat langsung aktifitas rakyat, sebagai
cerminan penguasa ekonomi dan pemerintahan. Dibelakang keraton terletak
alun-alun dan mesjid sebagai cerminan keterbukaan dan keakraban. Jadi secara
simbolik pola ini menunjukkan perhatian sultan terhadap kehidupan rakyat tanpa
melupakan kehidupan rohani.[27]
2)
Menara
Pada awal
pendiriannya mesjid ini tidak bermenara. Menara batu dibangun pada tahun 1757. Letaknya
berada disisi bagain timur. Bangunan menara berbentuk segi enam dengan ukuran
tinggi 13 meter. Pada awalnya beratap sirap berbentuk kubah, kemudian diubah
dengan atap genting berbentuk limas pada tahun 1823, serangan Belanda pada
pusat pemerintahan Kesultanan Palembang, ikut menghancurkam atap menara dan
atap Mesjid Agung.
Menara ini
terdiri dari tiga tingkatan dengan atap menara ini ini berbentuk limas
meruncing ke atas seperti tumpang dengan hiasan jurai di keenam sisinya.
Penambahan beranda dan pagar keliling menara ini dilakukan pada tahun 1874.
Menara ini pun dilengkapi dengan pintu, yang berbentuk persegi empat dengan
bagian atas melengkung, jumlahnya ada dua buah berwarna kuning gading dan
menjorok masuk. Di atas pintu/kusennya berentuk lengkung yang dihiasi huruf
arab sebanyak dua baris, dengan warna keemasan dan warna dasar hijau. Adapun tulisan
tersebut mengandung informasi mengenai penyebutan tahun pendirian menara dan
pelaksanaan perbaikannya.
Pada tahun 1970
dibangun menara mesjid yang ke dua, atas sumbangan PN. Pertamina yang
diresmikan oleh Direktur Pertamina Dr. Ibnu Sutowo pada tanggal 1 Februari
1971. Tinggi menara 45 meter dengan bentuk bersegi 12, yang di design oleh M.
Atsjad Joenoes, dengan biaya Rp. 40 Juta.[28]
b.
Mesjid Muara Ogan
Mesjid
ini terletak di Kampung Birahi di sudut pertemuan Sungai Ogan dan Sungai Musi.
Arsitekturnya mengikuti Mesjid Agung,[29] diindikasikan
sebagai mesjid pertama yang didirikan di daerah seberang ulu pada tahun 1871
oleh Masagus Haji Abdul Hamid dan baru diwakafkan pada 6 Syawal 1310 H (23
April 1893). Ini berarti pada mulanya mesjid ini merupakan kepunyaan pribadi
yang digunakan untuk sholat dan belajar agama/mengaji bagi keluarga dan masyarakat
sekitarnya. Terlebih Masagus Haji Abdul Hamid dikenal masyarakat sebagai seorang ulama, yang
tentunya mempunyai banyak murid.
C.
Kesimpulan
Untuk
menyusun makalah dengan tema menelusuri jejak arkeologi Islam di Sumatera
Selatan bukanlah perkara yang mudah, karena sedikitnya sumber tertulis yang
menyediakan informasi tersebut. Akan tetapi, mengingat di Sumatera Selatan
tepatnya di Kota Palembang, pernah berdiri kerajaan Islam yang dikenal dengan
Kesultanan Palembang, maka pemakalah mengambil kesimpulan dengan menyajikan
jejak-jejak arkeologi Islam di Sumatera Selatan ke dalam penjelasan mengenai
benda-benda peninggalan dari masa Kesultanan Palembang.
Secara
garis besar, benda-benda tersebut berada di Kota Palembang, mengingat Palembang
menjadi pusat kesultanan pada saat itu. Adapun benda-benda yang dicantumkan
dalam makalah ini berupa keraton sebagai istana, komplek pemakaman dan batu
nisan, serta tempat peribadatan berupa mesjid.
Sampai sekarang,
warisan kesultanan tersebut masih ada, namun ada yang terpelihara dan
terabaikan. Beberapa diantaranya sudah direnovasi seperti Mesjid Agung
Palembang, bahkan beberapa ada yang beralih fungsi, selain itu ada juga Keraton
Kuto Besak, yang difungsikan sebagai daerah militer serta dibagian depannya dijadikan
sebagai tempat rekreasi masyarakat Palembang.
Jika
benda seperti mesjid dan keraton, mendapatkan perhatian dari masyarakat pada
umunya dan pemerintah khususnya, maka beberapa benda arkeologi berupa komplek
pemakaman sedikit terabaikan, seperti komplek pemakaman Candi Walang, Kebon
Gede dan Ki Gede Ing Suro. Hal yang ironi, jika makam para pembesar yang
membawa Palembang ke masa kejayaan, justru kurang mendapatkan penghargaan dari
masyarakat itu sendiri. Bukan suatu yang mustahil, jika kondisi ini terus
berlanjut, kedepannya makam yang syarat akan sejarah ini tidak diketahui lagi
keberadaannya.
Daftar Pustaka
Azra,
Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup.
Hanafiah, Djohan. 2005.
Sejarah Keraton-Keraton Palembang Kuto
Gawang, Palembang: CV Pratama
Ismail. 2014. Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di
Keresidenan Palembang, 1925-1942. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta
Mujib. “Pemilihan Ulama
Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”. Dalam Intizar
kajian agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997).
Panitia Renovasi Masjid Agung
Palembang._____. 261 Tahun Masjid Agung
Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.
Sevenhoven, Van J.J. 1971.
Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang. Jakarta:
Bhratara
Sunanto, Musyrifah. 2014.
Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press.
Tim Penyusun. 1991. Petunjuk Kota Palembang dari Wanua ke
Kotamadya. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah tingkat II
Palembang
Tim
Penyusun. 2011. Sejarah Raja-Raja
Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja
Palembang. Depok : Foukoka Pustaka Utama
Tim
Penyusun.______. Naskah-Naskah Palembang,
________: Yayasan Naskah Nusantara.
Tjandrasamita,
Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan
Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Jakarta:
Menara Kudus
Tjandarasasmita,
Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara,
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia
[1] Uka Tjandarasasmita, 2009, Arkeologi
Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm. ix
[2] Aktivitas penyebaran Islam di Palembang, lihat Ismail, 2014, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di
Keresidenan Palembang, 1925-1942, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta,
hlm.30-32
[3] Azyumardi Azra, 2013, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, hlm. 24. Memang dalam buku ini Palembang dijelaskan
sebagai entreport terpenting yang menghubungkan antara Cina dan Arab, namun
dari sumber lainnya keberadaan bangsa India tidak bisa dikesampingkan itu saja.
[4] Tim Penyusun, 2011, Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah
Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja Palembang, Depok :
Foukoka Pustaka Utama, hlm. 16
[5] Dalam Babad Tanah Jawi, kota disebut dengan kata kita, kuto atau negeri. Sebutan kuto dalam
beberapa sastra Jawa Kuno dan Jawa peralihan juga telah dicantumkan seperti
dalam kitab Bomakawya, Ramayana, Bharatayudda dan Pararaton. Maka kata kuto yang digunakan oleh Kesultanan
Palembang, bisa jadi diadopsi dari istilah Jawa tersebut, karena Kesultanan
Palembang terbentuk dari identitas Melayu dan Jawa. Uka Tjandrasamita, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota
Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Jakarta: Menara
Kudus, hlm. 45
[6] Djohan Hanafiah,2005, Sejarah
Keraton-Keraton Palembang Kuto Gawang, Palembang: CV Pratama, hlm. 11
[7] Tim Penyusun,______, Naskah-Naskah
Palembang, ________: Yayasan Naskah Nusantara, hlm. 22
[8] Djohan Hanafiah,………., hlm. 12
[9] Djohan Hanafiah,………., hlm. 12
[10] Tim Penyusun,…………., hlm. 31
[11] Tim Penyusun,…………., hlm. 31
[12] J.J Van Sevenhoven, 1971, Lukisan
Tentang Ibu Kota Palembang, Jakarta: Bhratara, hlm. 14
[13]Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 94
[14] Pemakaman yang dibangun ditempat yang tinggi, merupakan tiruan
terhadap pembangunan makam di Jawa,
misalnya makam raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang dibangun di Gunung
Imogiri. Karena menurut kepercayaan orang Jawa, gunung atau tempat yang tinggi
merupakan replica dari gunung Mahameru yang menjadi tempat bersemayamnya arwah
para leluhur dalam usaha penyatuan dengan sang Pencipta. Dalam Mitologi Jawa,
Mahameru merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Lalu, bagaimana halnya dengan
Palembang?, mengingat di Palembang tidak ada gunung, maka pemakaman kompleks
makam dilakukan di tempat-tempat yang dinilai lebih tinggi dari tanah
sekitarnya atau bahkan menimbun rawa untuk ditinggikan
[15] Tim Penyusun,______, hlm. 38
[16] Tim Penyusun,______, hlm. 32
[17] Pembangunan makam yang dikelilingi oleh kolam maupun aliran sungai
kecil ternyata memiliki arti tersendiri, hal ini melambangkan bahwa meskipun
sudah meninggal, sultan atau raja tetap memiliki hubungan dengan rakyatnya.
Untuk menunjukkan hal tersebut maka diwujudkan dalam bentuk aliran sungai dan
danau yang ada disitu. Aliran sungai melambangkan eksistensi sultan dan kolam
melambangkan keberadaan rakyatnya. Jadi sultan atau raja yang sudah meninggal,
masih ada hubungan dengan rakyatnya melalui air sungai yang mengalir.
[18] Tim Penyusun,______, hlm. 24
[19] Informasi lebih jelas mengenai tipe nisan darui para ulama
Palembang, bisa dilihat dalam tulisan Mujib, “Pemilihan Ulama Kesultanan
Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”, dalam Jurnal Intizar kajian
agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997), hlm. 30
[20] Mujib,……………, hlm. 23
[21] Mujib,………….., hlm. 23.
[22] Mujib,………….., hlm. 23
[23] Mujib,………….., hlm. 24
[24] Tim Penyusun, 1991, Petunjuk
Kota Palembang dari Wanua ke Kotamadya, Palembang: Humas Pemerintah
Kotamadya Daerah tingkat II Palembang, hlm.51
[25] Dalam bukunya Uka menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan
masjid-masjid kuno di Indonesia dibangun dengan menngunakan atap tumpang.
Pertama, mungkin dapat ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan
ekolobi, yaitu dengan bagunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air
meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian
lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke
dalam masjid apabila hari panas. Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang
disebut meru, yang pada masa
kebudayaan Pra-Islam(Hindu-Budha) dianggap sebagai bangunan suci tempat para
dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid meupakan faktor
penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama
Hindu-Budha ke Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (Cultural Shock), terutama karena di
dalam masjid diajarkan ketauhidan. Uka Tjandarasasmita,………, hlm.240
[26] Tim Penyusun,1991 , hlm. 33-34
[27] Husni Rahim,_______,hlm. 208
[28] Tim Penyusun, 1991,………………………., hlm.53
[29] Panitia
Renovasi Masjid Agung Palembang._____. 261
Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar