SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Kamis, 25 Januari 2018

JEJAK ARKEOLOGI ISLAM DI PALEMBANG

A. Latar Belakang
            Sumatera Selatan adalah wilayah yang kaya akan situs arkeologi, tidak hanya menggambarkan satu periode saja. Namun, setidaknya situs arkeologi yang paling banyak ditemukan berasal dari tiga periode sejarah. Yaitu, dimulai dari situs peninggalan periode Megalithikum yang bercirikan benda pra-sejarah, berkembang menjadi periode Sriwijaya dengan corak Budha-nya dan diteruskan pada masa periode Kesultanan yang bernuansa Islam.
Situs pertama, merupakan Situs Megalithikum, contohnya situs Tinggi Hari di Pagar Alam, situs ini menyuguhkan benda-benda pra-sejarah, seperti patung batu dengan bentuk dan corak yang bermacam-macam. Salah satunya adalah patung batu berbentuk manusia bertopi. Periode ke dua, yaitu periode Sriwijaya, beberapa situs yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya adalah situs TPKS (Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya), Bukit Siguntang, Candi Bumi Ayu, dll. Periode ke tiga, yaitu periode Kesultanan Palembang, yang meninggalkan benda arkeologi bernuansa Islam. Ke tiga periode tersebut, semakin mempertegas bahwa masyarakat Sumatera Selatan pada masa dahulu telah memiliki kebudayaan yang tinggi.
Situs-situs Arkeologi di atas, memiliki manfaat yang sangat besar untuk menggali informasi mengenai sejarah Sumatra Selatan secara mendalam. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana cara untuk mewujudkan hal tersebut?, untuk menjawab pertanyaan ini, maka terlebih dahulu harus dipahami bahwa ilmu Sejarah dengan ilmu Arkeologi merupakan ilmu yang berdekatan, dalam artian keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu mengungkap kehidupan manusia pada masa lalu. Namun, satu hal mendasar yang membedakan ke duanya adalah, sejarah lebih banyak bersandar pada sumber tertulis, sedangkan arkeologi berdasarkan pada sumber data berupa benda atau artefak yang diperoleh antara lain melalui ekskavasi.[1] Maka melalui ilmu Arkeologi, upaya untuk menelusuri sejarah Sumatera Selatan, bisa dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap benda-benda peninggalan yang ada di situs arkeologi tersebut.
Tentunya penelitian terhadap benda-benda tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai disiplin ilmu arkeologi yang mumpuni, tidak semua orang bisa melakukannya. Namun, sebagai orang awam dalam ilmu arkeologi, kita sudah dipermudah untuk  memahami benda-benda arkeologi tanpa harus terlibat langsung dalam proses penelitian, yaitu dengan cara membaca hasil penelitian terhadap benda-benda tersebut. Salah satu tempat yang bisa dijadikan rujukan adalah Balai Arkeologi Palembang, di sini banyak terdapat hasil-hasil mengenai penelitian terhadap benda Arkeologi.
Permasalahannya sekarang yang berkaitan dengan makalah ini adalah, hasil-hasil penelitian terhadap benda Arkeologi lebih banyak terfokus kepada benda periode Megalithikum dan Periode Kerajaan Sriwijaya, sedikit sekali informasi penelitian mengenai jejak-jejak Arkeologi Islam di Sumatera Selatan atau dengan kata lain sumber tertulisnya terbatas. Padahal, sebenarnya Sumatera Selatan juga banyak menyimpan potensi benda Arkeologi Islam, tidak hanya Megalitikum maupun Kerajaan Sriwjaya. Sedangkan makalah ini membahas mengenai kajian jejak arkeologi Islam di Sumatera Selatan.  
Faktor diatas menyebabkan pemakalah merasa perlu untuk membatasi ruang lingkup makalah ini, sehingga permasalahannya tidak mengkaji jejak Arkeologi Islam di Sumatera Selatan secara keseluruhan, melainkan permasalahan lebih terfokus pada jejak arkeologi Islam yang ada di  Kota Palembang dan benda yang dicantumkan pun merupakan peninggalan Islam masa kesultanan.
Hal tersebut dilakukan, dengan asumsi dasar bahwa Islam di Sumatera Selatan sudah ada pada masa pra-kesultanan dan berkembang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, dimana pada saat itu ibu kota Kesultanan terletak di Kota Palembang yang tidak hanya dijadikan sebagai pusat politik maupun ekonomi, tetapi aktivitas pengajaran agama Islampun berpusat di Kota ini.[2] Sehingga, pemakalah beranggapan bahwa jejak-jejak Arkeologi Islam di Kota Palembang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lainnya.  Benda arkeologi islam dalam makalah ini, terdiri atas tiga bentuk bangunan, yaitu istana atau keraton, kompleks pemakaman dan nisan, serta tempat ibadah umat Islam berupa mesjid.

B. Situs Arkeologi Islam di Palembang
Sumatera Selatan memiliki bagian tersendiri di dalam sejarah perdagangan internasional. Ibu kotanya Palembang pada saat itu dikenal sebagai entreport terpenting yang menghubungkan tiga kekuatan besar yang memonopoli perdagangan yaitu antara Cina, India dan Arab.[3] Satu hal yang perlu dipahami bahwa, peranan sebagai kota Pelabuhan, meyebabkan terjadinya pertemuan berbagai kebudayaan di Palembang, sehingga kemungkinan masyarakat Palembang untuk menerima berbagai pengaruh dari budaya luar, seperti Cina, India dan Arab sangatlah besar.
Termasuk, didalamnya pengaruh keagamaan, tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah Palembang menjelaskan didaerah ini pernah ada dua agama yang sangat menonjol di Palembang. Bahkan agama ini turut menentukan identitas Palembang itu sendiri,  adalah agama Budha dengan Kerajaan Sriwijaya dan Islam dengan Kesultanan Palembang Darussalam. Seperti kutipan yang ada dibawah ini:
“Palembang, ditenggarai dahulu pernah menjadi pusat kerajaan “Maritim” Sriwijaya dan pada paruh akhir abad millennium kedua pernah menjadi pusat Kerajaan Islam dengan dua fase, pertama fase pra-kesultanan dan fase ke-dua, masa kesultanan. Sejak lama pula Palembang telah menjadi simbol kebesaran kota maritim di Nusantara karena peranannya dalam kancah pelayaran internasional. Di kota itu dilaksanakan tukar menukar barang dagangan antar negeri, dan antar daerah. Perdagangan itu pula yang telah mempercepat kota ini menjadi kota penting dalam percaturan ekonomi dan perdagangan dunia”.[4]
            Tidak jauh berbeda dengan masa Sriwijaya, dimana agama memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Maka, pada masa Kesultanan Palembang, Islam tidak hanya sebagai agama mayoritas masyarakat semata, namun lebih dari itu Islam memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Untuk memahami lebih lanjut pengaruh Islam terhadap kehidupan masyarakat Palembang, maka bisa dilakukan dengan cara menelusuri benda-benda arkeologi Islam, yang merupakan warisan dari masa kesultanan Palembang. Diantaranya:

1. Kraton dan Benteng Peninggalan Kesultanan Palembang
a. Kraton Kuto Gawang
            Kuto[5] Gawang merupakan kraton dan benteng pertahanan pertama di Palembang, yang didirikan oleh Ki Gede Ing Suro. Bangunannya sendiri sudah tidak ada lagi, karena dibumihanguskan oleh Belanda pada tahun 1659. Lokasi bekas kraton pertama Palembang ini sekarang berdiri PT Pusri. Kraton berdenah persegi empat dengan ukuran luasnya mencapai 290 rijlandsche roede (1093 meter). Tinggi dinding 24 kaki (sekitar 7, 25 m).
Bangunan benteng terbuat dari kayu unglen dengan ukuran masing-masing 30 cm x 30 cm,[6] benteng ini menghadap ke Sungai Musi dengan pintu masuk melalui Sungai Rengas. Disebelah kanan dan kiri benteng dibatasi oleh Sungai Buah dan Sungai Taligawe. Benteng dilengkapi dengan baluarti dan benteng-benteng pertahanan lainnya disekitarnya, yaitu benteng di Pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning, serta dilengkapi dengan cerucuk (pagar bamboo kuning) yang memagari Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju.[7]
            Pada masanya, pemukiman di sekitar Kraton Kuto Gawang ini ternyata tidak hanya dihuni oleh masyarakat Palembang saja, tetapi juga komunitas asing yaitu Cina, Portugis, Arab dan Belanda.[8] Pemukiman kotamunitas ini terletak diseberang benteng tepi sungai Musi. Disekitar lokasi situs kraton ini, pada penelitian yang dilakukan pada tahun 1996 ditemukan sisa-sisa bangunan pagar dari batu putih. Pagar ini diduga merupakan bagian dari pagar kraton. Temuan lainnya yang berhasil dikumpulkan adalah pecahan keramik asing, baik dari Cina, Timur Tengah maupun Eropa. Kronologi dari pecahan keramik tersebut antara abad ke-9 M sampai 19 M. dengan demikian situs ini pernah dihuni sejak Sriwijaya masih berkuasa sampai masa kesultanan.[9]

b. Kraton Kuto Batu
            Kraton ini didirikan pada tahun 1737 ditepi sungai Tengkuruk, dikenal sebagai Kraton Tengkuruk atau Kuto Batu, letaknya berada disamping kiri Benteng Kuto Besak, namun sekarang tidak tampak bekasnya lagi. Hal ini dikarenakan pada masa pendudukan Belanda, kraton ini dihancurkan dan diatas reruntuhan bangunan tersebut didirikan bangunan baru, yang kemudian menjadi tempat tinggal regeering commisaris Belanda pertama, yakni J.L Van Sevenhoven. Sekarang, bangunan tersebut digunakan sebagai Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang.[10]
            Penggambaran mengenai situs ini, disampaikan oleh William Marsden, yang menyatakan bahwa Istana raja dikelilingi oleh dinding, sehingga bangunan di dalamnya tidak diketahui sedikitpun. Sedangkan orang-orang Eropa tidak boleh masuk, satu-satunya yang dapat dilihat dari luar adalah pintu gerbang yang berat dan anggun. Agak kebawah dari dinding dalem, terdapat batterrij berbentuk segi empat dan tebal, beratap dan banyak sekali deretan meriam, yang hanya ditempatkan pada upacara-upacara khusus. Tinggi dinding ini sekitar 8 atau 9 kaki, yang juga dilengkapi dengan atap. Di antara kedua batterrij ini terdapat sebuah lapangan dan banyak meriam-meriam yang diatapi.[11] Diujung lapangan terdapat pasebahan (pendopo) untuk menerima tamu umum, yang berbentuk ruangan berdenah segi empat dengan atap dan dinding, dihiasi dengan senapan-senapan.

c. Kuto Baru atau Kuto Besak
            Keraton ini memiliki ukuran lebar 77 dan panjang 49 rode ( lebarnya 183,75 m dan panjang 288,75 m), dengan keliling tembok yang kuat dan tingginya 30 kaki serta lebarnya sekitar 6 atau 7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion atau baluarti. Di dalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga dapat dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak.[12]            Kemegahan dari benteng keraton ini tergambar dari pernyataan Mayor M.H Court, Residen Ingris untuk Palembang, dia mengungkapkan bahwa Kraton Sultan adalah bangunan yang sangat indah dibuat dari bata serta dikelilingi oleh dinding yang kuat tempat tinggal para pemimpinnya sangat luas dan nyaman, meskipun demikian tidak menunjukkan kemewahan.
             
2. Kompleks Pemakaman dan Batu Nisan
Menurut Musyrifah dalam bukunya, kebudayaan Islam yang paling awal masuk ke tanah melayu, berupa seni hias atau kaligrafi yang tertera pada batu nisan. Yakni batu nisan makam Sultan Malik As-Shaleh yang wafat pada tahun 1292. Batunya terbuat dari batu pualam putih diukir dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat Al-Qur’an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[13]
Berdasarkan pendapat di atas, maka untuk menelusuri jejak arkeologi Islam di Palembang, juga bisa dilihat dari kompleks pemakaman dan corak dari batu nisannya. Seperti:

a. Komplek Makam Kawah Tengkurep
            Komplek Makam Kawah Tengkurep terletak di Kelurahan 3 ilir, Kecamatan Ilir II, Palembang, terletak sekitar 100 meter disebelah Utara Sungai Musi. Komplek makam ini dibatasi dengan pagar-pagar yang dibangun dari batu bata menghadap kea rah sungai. pagar dari bata ini sebagian besar masih terlihat, tetapi dalam keadaan rusak.
            Secara keseluruhan komplek pemakaman ini dibangun di atas tanah yang tinggi,[14] dari sisa-sisa bangunannya terlihat bahwa disetiap teras terdapat dinding pemisah dan dilengkapi dengan gapura atau pintu masuk. Dinding dan gapura pintu masuk yang masih tersisa hanya diteras teratas, berbentuk Paduraksa. Diteras ke tiga inilah terdapat dua buah cungkup, pertama cungkup makam Sultan Mahmud Badaruddin I yang di dalamnya terdapat makam Imam Sultan Sayyid Idrus Abd’l-llah Alaidrus, Sultan Mahmud Badaruddin Ibn Muhammad Mansur dan empat istri Sultan. Bentuk arsitektur cungkup makam dengan bagian atap berbentuk kubah inilah yang oleh masyaralat sekitar kemudian dikenal dengan istilah kawah tengkurep, yang artinya seperti kuali yang diletakkan terbalik. Padahal dalam naskah-naskah kuno kompleks pemakaman ini disebut Makam Sunan Lemabang.
            Cungkup yang ke dua merupakan lokasi makam Sultan Ahmad Ahmad Najamuddin Adi Kesumo, yang juga diapit oleh imam Sultan Sayyid Abd Rahman Mau a Tuga’ah disebelah kanan dan permaisurinya, bernama Mas Ayu Dalem, disebelah kiri. Selain itu, di dalam cungkup ini juga dimakamkan para keluarga Sultan Ahmad Najamuddin yang tidak diketahui namanya. Sementara itu, makam Sultan Bahauddin menempati sebuah cungkup yang terdapat di teras ke dua. Seperti halnya dengan  sultan-sultan lainnya, makamnya pun juga diapit oleh Imam Sultan Datuk Murni ‘l-Haddad dan istrinya Ratu Agung. Disamping itu terdapat makam Pangeran Jaya Wikrama dan orang-orang yang tidak diketahui namanya. Meskipun bentuk utuhnya tidak terlihat lagi, namun dari sisa-sisanya dapat diperkirakan bahwa bentuk gapura-gapura pada teras ke dua dan pertama berbentuk candi bentar.
            Makam-makam tersebut memiliki keunikan, yaitu perbedaan corak nisan antara makam sultan dengan para ulamanya. Jika nisan pada makam sultan bercorak Demak-Tralaya, maka para ulama sultan menggunakan corak Aceh. Perbedaan bentuk nisan ini, ternyata berkaitan dengan asal-usul raja yang berasal dari Jawa, sementara para ulama sultan dari Aceh, walaupun para ulama ini bukanlah orang Aceh, melainkan orang keturunan Arab. [15]

b. Komplek Makam Sabokingking
            Kompleks makam Sabokingking terletak di Sabokingking, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Kotamadya Palembang. Berbeda dengan makam-makam lainnya, kompleks pemakaman ini dikelilingi oleh kolam dan berada disekitar daerah rawa-rawa. Tokoh-tokoh yang dimakamkan disini adalah Pangeran Ratu Sultan Jamaluddin Amangkurat IV, Imam Sultan Tuan Sayid Muhammad Nuh Imam ˆl-Pasay, R.A Ratu Sinuhun Putri Ki Pancanegara Sumedang, dan Nyimas Ayu Rabi’at ˆl-Hasanah.[16]
            Situs ini juga dikenal dengan Telaga Batu, karena disini pernah ditemukan prasasti Telaga Batu yang berasal dari abad ke-7 Masehi atau dari masa kerajaan Sriwijaya. Selain prasasti tersebut, disini pernah ditemukan tidak kurang dari 30  prasasti pendek (siddhayatra) dan sisa-sisa bangunan kuno. Yang menarik dari situs ini adanya saluran air. Berdasarkan hasil foto udara dapat diketahui bahwa situs ini berada pada sebuah pulau kecil berbentuk segi empat yang keempat sisinya tepat menghadap arah mata angin. Kolam yang mengelilingi pulau kecil dihubungkan dengan saluran-saluran kecil, yang merupakan anak Sungai Musi. Kolam ini masih bisa dilihat, namun sungai-sungai kecil sudah tertutup oleh pemukiman penduduk.[17]

c. Situs Gede Ing Suro
            Situs ini merupakan kompleks pemakaman yang terdiri dari 7 buah bangunan berbentuk pondasi (batur) dari bata. Tiap-tiap bangunan terdapat makam-makam yang jumlahnya bervariasi. Salah satu tokoh yang dimakamkan disini adalah Ki Gede Ing Suro Mudo yang berkuasa di Palembang sekitar tahun 1573-1590 M. makam tokoh ini diapit oleh makam Tan Pualang Cian Cing (Hasan l-Din Sontan) dan Raden Kusumoninggrat. [18]
            Struktur bangunan jika dilihat dari gaya arsitekturnya berasal dari kurun waktu antara abad XIV-XV Masehi yang memiliki kemiripan dengan bangunan-bangunan di pantai utara Jawa pada Islam awal. Yang menarik dari kompleks ini pemakaman ini adalah satu bangunan yang didalamnya terdapat susunan batu andesit, seperti yang digunakan untuk bangunan candi-candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Adanya temuan ini mengindikasikan bahwa bangunan pemakaman ini dibangun di atas sisa-sisa bangunan candi dari abad IX Masehi. Asumsi ini diperkuat dengan tinggalan arkeologis yang ditemukan disekitar situs berupa sebuah arca Budha berukuran 1,18 meter.
            Makam-makam yang terdapat dikompleks ini tanpa jirat dan nisan-nya tebuat dari kayu ulin dengan tipe Demak-Tralaya. Beberapa nisan mempunyai inskripsi berhuruf Arab. Hanya saja, karena kondisinya sudah sangat lapuk sulit untuk dibaca secara utuh. Inskripsi ini sekarang sudah tidak dapat dilihat lagi, karena nisannya sudah diganti dengan nisan yang baru dan beberapa diantaranya terbuat dari batu. Pada nisan baru tersebut diberi tulisan nama tokoh dengan menggunakan huruf latin. [19]

d. Kompleks Pemakaman Candi Walang
            Kompleks makam Candi Walang terletak 100 meter disebelah barat Jalan Jenderal Sudirman Palembang atau tepat dibelakang Pasar Cinde. Di dalam kompleks makam ini dimakamkan Susuhunan Abd Ar-Rahman Khalifat al-Mukminin Sayyid al-Iman dan permaisurinya serta Imam Sultan, yaitu Sayid Mustafa Alaidrus dari Yaman.
Disekitar tiga makam tersebut dimakamkan keluarga kesultanan yang ditempatkan mengelilingi makam Sultan. Diantara makam-makam itu, terdapat makam penyebar agama Islam bernama Sayyid Abd al-Rahman Ibn Fuad yang terletak disebelah barat daya makam Sultan. [20]

e. Komplek Makam di Kebon Gede
            Komplek makam ini terletak 50 meter sebelah utara dari Jalan Sultan Muhammad Mansur, ditengah-tengah pemukiman penduduk. Secara administratif makam ini termasuk wilayah Kampung Kebon Gede, Kelurahan 32 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Kotamadya Palembang.[21]
            Di dalam kompleks makam ini terdapat makam Sultan Muhammad Mansur bin Susuhunan Abd al-Rahman dan permasiruinya serta seoran imam Sultan dari Arab yang tidak diketahui namanya. Makam Sultan sendiri terletak di pojok barat laut dan dicungkup dengan 10 x 8 meter. Dalam cungkup makam itu dimakamkan berturut-turut dari Barat ke Timur, Imam Sultan, Sultan Muhammad Mansur dan permaisuri.[22]
            Makam-makam ini seluruhnya diberi nisan dengan gaya Demak-Troloyo yang terbuat dari bahan kayu. Nisan-nisan ini sudah tampak rusak karena sudah tidak terawat. Pada nisan itu masih tampak beberapa hiasan yang menonjol antara lain  ukiran berupa medallion dengan ukiran sulur-suluran di tengahnya. Makam-makam lain yang ada dikomplek ini antara lain Muhammad Yasin, anak dari Sultan Muhammad  Mansur dan makam-makam keluarga dan anak keturunan Sultan. [23]

3. Bangunan Mesjid
            Tentu banyak mesjid-mesjid yang ada di Kota Palembang, akan tetapi karena keterbatasan sumber maka di makalah ini hanya akan mencantumkan dua mesjid, yaitu Mesjid Agung dan Mesjid Muara Ogan, dengan pertimbangan perbedaan tempat dari kedua mesjid itu sendiri, jika Mesjid Agung merupakan mesjid peninggalan dari masa kesultanan yang terletak diseberang ilir, maka Mesjid Muara Ogan yang bukan berasal dari peninggalan masa kesultanan merupakan mesjid bersejarah, karena merupakan mesjid pertama yang dibangun di daerah seberang ulu.           
a. Mesjid Agung
1) Arsitektur Mesjid Agung
Mesjid yang tampak sekarang merupakan hasil renovasi dan peresmiannya dilakukan oleh Presiden RI, Megawati Soekarno Putri pada tanggal 16 Juni 2003. Sejarahnya, mesjid ini merupakan salah satu bangunan yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo. Oleh karena itulah mesjid Agung Palembang disebut juga dengan Mesjid Sulton.[24] Mesjid yang terletak dibelakang Benteng Kuto Besak ini dibangun pada tanggal 1 Jumadil Akhir 1151 H (1739 M) dan diresmikan pemakaiannya pada tanggal 28 Jumadil Awal 1161 H (1748 M).
            Mesjid Agung berukuran 30 m x 36 m dengan atap tumpang atau atap berundak dengan limas dipuncaknya (mustaka) yang melambangkan “Ma’rifah”, yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.[25] Yang menarik dari atap mesjid ini adalah hiasan atap berupa “tanduk kambing” berjumlah 13 buah dan mustikanya yang berjurai sehingga mirip atap bangunan Cina.
Pada awal pendiriannya, bangunan ini berluas 1.080 m2 dan dapat menampung sekitar 1.000 jamaah. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertambahan jamaah, maka tahun 1897, dibangun pula bangunan tambahan berupa serambi untuk melengkapi kemegahan Mesjid Agung Palembang. Di bagian dalam, mesjid ini ditopang oleh empat buah tiang utama (saka guru) terbuat dari kayu besi dan 12 tiang kecil lainnya dengan ukuran lebih kecil. Dibagian tengah antara ke-empat tiang kayu inilah terdapat motif bunga-bunga yang kemudian diganti dengan kaligrafi Arab “Asmaul Husna “ pada tahun 1978.
Sama halnya dengan mesjid pada umunya, di mesjid ini pun terdapat mihrab dan mimbar. Pada dinding Mihrab bagian atas terdapat kaligrafi Muhammad, yang oleh masyarakat Palembang dikenal dengan istilah Muhammad bertangkup, pada bagian atas mihrab terdapat hiasan berupa lengkungan. Sedangkan mimbar dihiasi dengan ukiran khas Palembang dan kaligrafi Arab.
Pada bagian luar, pintu dan jendela mesjid ini memiliki keunikan, yaitu bentuk daun jendela yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah terbuat dari kayu berukir dan bagian atas terbuat dari kaca. Sementara untuk daun pintunya terbuat dari kayu khas Palembang.[26]
            Ada hal yang menarik mengenai tempat dari Mesjid Agung Palembang. Jika di Jawa letak mesjid selalu disebelah Barat-Laut alun-alun dan alun-alun berada di depan keraton, maka di Kesultanan Palembang ternyata mesjid terletak di belakang keraton. Keraton menghadap kes Sungai Musi, sedangkan di depan mesjid ada lapangan yang luas. Hal ini bisa dipahami karena, Palembang adalah kota pelabuhan dan perniagaan yang berada ditepian Sungai Musi. Dengan pola bangunan seperti ini, maka sultan dapat melihat langsung aktifitas rakyat, sebagai cerminan penguasa ekonomi dan pemerintahan. Dibelakang keraton terletak alun-alun dan mesjid sebagai cerminan keterbukaan dan keakraban. Jadi secara simbolik pola ini menunjukkan perhatian sultan terhadap kehidupan rakyat tanpa melupakan kehidupan rohani.[27]
2) Menara
Pada awal pendiriannya mesjid ini tidak bermenara. Menara batu dibangun pada tahun 1757. Letaknya berada disisi bagain timur. Bangunan menara berbentuk segi enam dengan ukuran tinggi 13 meter. Pada awalnya beratap sirap berbentuk kubah, kemudian diubah dengan atap genting berbentuk limas pada tahun 1823, serangan Belanda pada pusat pemerintahan Kesultanan Palembang, ikut menghancurkam atap menara dan atap Mesjid Agung.
Menara ini terdiri dari tiga tingkatan dengan atap menara ini ini berbentuk limas meruncing ke atas seperti tumpang dengan hiasan jurai di keenam sisinya. Penambahan beranda dan pagar keliling menara ini dilakukan pada tahun 1874. Menara ini pun dilengkapi dengan pintu, yang berbentuk persegi empat dengan bagian atas melengkung, jumlahnya ada dua buah berwarna kuning gading dan menjorok masuk. Di atas pintu/kusennya berentuk lengkung yang dihiasi huruf arab sebanyak dua baris, dengan warna keemasan dan warna dasar hijau. Adapun tulisan tersebut mengandung informasi mengenai penyebutan tahun pendirian menara dan pelaksanaan perbaikannya.
Pada tahun 1970 dibangun menara mesjid yang ke dua, atas sumbangan PN. Pertamina yang diresmikan oleh Direktur Pertamina Dr. Ibnu Sutowo pada tanggal 1 Februari 1971. Tinggi menara 45 meter dengan bentuk bersegi 12, yang di design oleh M. Atsjad Joenoes, dengan biaya Rp. 40 Juta.[28]

b. Mesjid Muara Ogan
            Mesjid ini terletak di Kampung Birahi di sudut pertemuan Sungai Ogan dan Sungai Musi. Arsitekturnya mengikuti Mesjid Agung,[29] diindikasikan sebagai mesjid pertama yang didirikan di daerah seberang ulu pada tahun 1871 oleh Masagus Haji Abdul Hamid dan baru diwakafkan pada 6 Syawal 1310 H (23 April 1893). Ini berarti pada mulanya mesjid ini merupakan kepunyaan pribadi yang digunakan untuk sholat dan belajar agama/mengaji bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Terlebih Masagus Haji Abdul Hamid dikenal  masyarakat sebagai seorang ulama, yang tentunya mempunyai banyak murid.

C. Kesimpulan
            Untuk menyusun makalah dengan tema menelusuri jejak arkeologi Islam di Sumatera Selatan bukanlah perkara yang mudah, karena sedikitnya sumber tertulis yang menyediakan informasi tersebut. Akan tetapi, mengingat di Sumatera Selatan tepatnya di Kota Palembang, pernah berdiri kerajaan Islam yang dikenal dengan Kesultanan Palembang, maka pemakalah mengambil kesimpulan dengan menyajikan jejak-jejak arkeologi Islam di Sumatera Selatan ke dalam penjelasan mengenai benda-benda peninggalan dari masa Kesultanan Palembang.
            Secara garis besar, benda-benda tersebut berada di Kota Palembang, mengingat Palembang menjadi pusat kesultanan pada saat itu. Adapun benda-benda yang dicantumkan dalam makalah ini berupa keraton sebagai istana, komplek pemakaman dan batu nisan, serta tempat peribadatan berupa mesjid.
Sampai sekarang, warisan kesultanan tersebut masih ada, namun ada yang terpelihara dan terabaikan. Beberapa diantaranya sudah direnovasi seperti Mesjid Agung Palembang, bahkan beberapa ada yang beralih fungsi, selain itu ada juga Keraton Kuto Besak, yang difungsikan sebagai daerah militer serta dibagian depannya dijadikan sebagai tempat rekreasi masyarakat Palembang.
            Jika benda seperti mesjid dan keraton, mendapatkan perhatian dari masyarakat pada umunya dan pemerintah khususnya, maka beberapa benda arkeologi berupa komplek pemakaman sedikit terabaikan, seperti komplek pemakaman Candi Walang, Kebon Gede dan Ki Gede Ing Suro. Hal yang ironi, jika makam para pembesar yang membawa Palembang ke masa kejayaan, justru kurang mendapatkan penghargaan dari masyarakat itu sendiri. Bukan suatu yang mustahil, jika kondisi ini terus berlanjut, kedepannya makam yang syarat akan sejarah ini tidak diketahui lagi keberadaannya.

Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Hanafiah, Djohan. 2005. Sejarah Keraton-Keraton Palembang Kuto Gawang, Palembang: CV Pratama

Ismail. 2014. Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-1942. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta

Mujib. “Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”. Dalam Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997).

Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang._____. 261 Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.

Sevenhoven, Van J.J. 1971. Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang. Jakarta: Bhratara

Sunanto, Musyrifah. 2014. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Tim Penyusun. 1991. Petunjuk Kota Palembang dari Wanua ke Kotamadya. Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah tingkat II Palembang

Tim Penyusun. 2011. Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja Palembang. Depok : Foukoka Pustaka Utama

Tim Penyusun.______. Naskah-Naskah Palembang, ________: Yayasan Naskah Nusantara.

Tjandrasamita, Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Jakarta: Menara Kudus

Tjandarasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia







[1] Uka Tjandarasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,  hlm. ix
[2] Aktivitas penyebaran Islam di Palembang, lihat Ismail, 2014, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang, 1925-1942, Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, hlm.30-32
[3] Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hlm. 24. Memang dalam buku ini Palembang dijelaskan sebagai entreport terpenting yang menghubungkan antara Cina dan Arab, namun dari sumber lainnya keberadaan bangsa India tidak bisa dikesampingkan itu saja.
[4] Tim Penyusun, 2011,  Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja Palembang, Depok : Foukoka Pustaka Utama, hlm. 16
[5] Dalam Babad Tanah Jawi, kota disebut dengan kata kita, kuto atau negeri. Sebutan kuto dalam beberapa sastra Jawa Kuno dan Jawa peralihan juga telah dicantumkan seperti dalam kitab Bomakawya, Ramayana, Bharatayudda dan Pararaton. Maka kata kuto yang digunakan oleh Kesultanan Palembang, bisa jadi diadopsi dari istilah Jawa tersebut, karena Kesultanan Palembang terbentuk dari identitas Melayu dan Jawa. Uka Tjandrasamita, 2000, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, Jakarta: Menara Kudus, hlm. 45
[6] Djohan Hanafiah,2005, Sejarah Keraton-Keraton Palembang Kuto Gawang, Palembang: CV Pratama, hlm. 11
[7] Tim Penyusun,______, Naskah-Naskah Palembang, ________: Yayasan Naskah Nusantara, hlm. 22
[8] Djohan Hanafiah,………., hlm. 12
[9] Djohan Hanafiah,………., hlm. 12
[10] Tim Penyusun,…………., hlm. 31
[11] Tim Penyusun,…………., hlm. 31
[12] J.J Van Sevenhoven, 1971, Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang, Jakarta: Bhratara, hlm. 14
[13]Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 94
[14] Pemakaman yang dibangun ditempat yang tinggi, merupakan tiruan terhadap  pembangunan makam di Jawa, misalnya makam raja-raja Surakarta dan Yogyakarta yang dibangun di Gunung Imogiri. Karena menurut kepercayaan orang Jawa, gunung atau tempat yang tinggi merupakan replica dari gunung Mahameru yang menjadi tempat bersemayamnya arwah para leluhur dalam usaha penyatuan dengan sang Pencipta. Dalam Mitologi Jawa, Mahameru merupakan tempat bersemayamnya para dewa. Lalu, bagaimana halnya dengan Palembang?, mengingat di Palembang tidak ada gunung, maka pemakaman kompleks makam dilakukan di tempat-tempat yang dinilai lebih tinggi dari tanah sekitarnya atau bahkan menimbun rawa untuk ditinggikan
[15] Tim Penyusun,______, hlm. 38
[16] Tim Penyusun,______, hlm. 32
[17] Pembangunan makam yang dikelilingi oleh kolam maupun aliran sungai kecil ternyata memiliki arti tersendiri, hal ini melambangkan bahwa meskipun sudah meninggal, sultan atau raja tetap memiliki hubungan dengan rakyatnya. Untuk menunjukkan hal tersebut maka diwujudkan dalam bentuk aliran sungai dan danau yang ada disitu. Aliran sungai melambangkan eksistensi sultan dan kolam melambangkan keberadaan rakyatnya. Jadi sultan atau raja yang sudah meninggal, masih ada hubungan dengan rakyatnya melalui air sungai yang mengalir.   
[18] Tim Penyusun,______, hlm. 24
[19] Informasi lebih jelas mengenai tipe nisan darui para ulama Palembang, bisa dilihat dalam tulisan Mujib, “Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”, dalam Jurnal Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997), hlm. 30
[20] Mujib,……………, hlm. 23
[21] Mujib,………….., hlm. 23. 
[22] Mujib,………….., hlm. 23
[23] Mujib,………….., hlm. 24
[24] Tim Penyusun, 1991, Petunjuk Kota Palembang dari Wanua ke Kotamadya, Palembang: Humas Pemerintah Kotamadya Daerah tingkat II Palembang, hlm.51
[25] Dalam bukunya Uka menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan masjid-masjid kuno di Indonesia dibangun dengan menngunakan atap tumpang. Pertama, mungkin dapat ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan ekolobi, yaitu dengan bagunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila hari panas. Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang disebut meru, yang pada masa kebudayaan Pra-Islam(Hindu-Budha) dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid meupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama Hindu-Budha ke Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (Cultural Shock), terutama karena di dalam masjid diajarkan ketauhidan. Uka Tjandarasasmita,………, hlm.240
[26] Tim Penyusun,1991 , hlm. 33-34
[27] Husni Rahim,_______,hlm. 208
[28] Tim Penyusun, 1991,………………………., hlm.53
[29] Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang._____. 261 Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.


Tidak ada komentar: