SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Jumat, 26 Januari 2018

DINAMIKA DAN RELASI POLITIK ISLAM MELAYU DI KESULTANAN PALEMBANG



A. Latar Belakang
Islam dan melayu merupakan dua kata yang memiliki keterikatan yang sangat kuat. Bahkan keterikatan ini menyebabkan munculnya idiom yang mengatakan bahwa dunia Islam dunia Melayu (DMDI). Meskipun pada kenyataannya, istilah DMDI ini terus menimbulkan perdebatan, karena tidak bisa dipungkiri bahwa tidak semua bangsa melayu itu memeluk agama Islam. Jika demikian halnya, maka istilah DMDI ini tidak sepenuhnya bisa digunakan. Akan tetapi, hal ini juga tidak bisa dinafikkan begitu saja, karena dari fakta sejarah diketahui bahwa Islam turut memberi pengaruh tersendiri kepada masyarakat melayu di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik. 
Dalam bidang politik, pengaruh Islam ini ditandai dengan munculnnya kerajaan-kerajaan yang bernuansa Islam. Salah satunya adalah kerajaan yang berpusat di wilayah Palembang, yang dikenal dengan sebutan Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini didirikan oleh Raden Tumenggung yang memproklamirkan dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Iman pada tahun 1666 M sekaligus menjadi sultan pertama dengan julukan Sultan Jamaluddin pada tahun 1681 M.[1]
Sebelum menjadi kesultanan yang merdeka, kerajaan di Palembang ini merupakan kerajaan yang tunduk pada kekuasaan raja yang ada di Jawa.[2] Sehingga sistem pemerintahan yang diterapkan oleh sultan di Palembang sedikit banyaknya mengikuti sistem kerajaan di Jawa. Hal ini membentuk identitas tersendiri bagi Kesultanan Palembang, dikarenakan masyarakat Palembang itu sendiri termasuk ke dalam bangsa melayu, sehingga ke-dua tradisi ini membentuk identitas Melayu-Jawa.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa identitas Melayu-Jawa dalam pemerintahan dijalankan oleh sultan dengan berdasarkan pada ajaran-ajaran agama Islam. Tidak ada pertentangan diantara ke-duanya, namun justru sebaliknya, ajaran Islam dijadikan alat bagi sultan untuk melegitimasi kedudukannya sebagai seorang penguasa, bukan berarti Islam hanya sebagai simbol semata, namun lebih dari itu Islam dan Melayu-Jawa memiliki keterkaitan atau relasi sehingga mengantarkan Kesultanan Palembang pada masa kejayaan. Bisa disimpulkan bahwa Islam merupakan agama Kesultanan Palembang Darussalam yang bercorak Melayu-Jawa.
Pada masa kejayaannya, sejarah mencatat bahwa Kesultanan Palembang Darussalam dijadikan sebagai pusat persinggahan atau pelabuhan penting dalam jalur perdagangan internasional.[3] Banyak bangsa asing yang mengunjungi kota Palembang untuk melakukan aktifitas perdagangan, seperti bangsa Cina, India, Arab bahkan bangsa Belanda. Jika bangsa Cina, India dan Arab melakukan aktifitas perdagangan di wilayah Kesultanan Palembang dengan cara damai, maka berbeda halnya dengan bangsa Belanda. Mereka tidak ingin hanya sebagai pihak yang ikut serta dalam aktifitas jual beli, namun lebih dari itu mereka memiliki motif untuk melakukan monopoli perdagangan diwilayah Kesultanan Palembang.
Tujuan monopoli ini tidak akan pernah tercapai jika bangsa Belanda tidak mampu menaklukkan kerajaan yang berkuasa di daerah tersebut, hal ini berujung pada peperangan antara bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang. Tercatat terjadi beberapa kali pertempuran, namun pada akhirnya Kesultanan Palembang harus mengakui kemenangan bangsa Belanda, sebagai pihak yang menang bangsa Belanda mengeluarkan kebijakan untuk menghapus Kesultanan Palembang Darussalam yang dilakukan pada tahun 1823. Sejak saat itu, tidak ada lagi kerajaan yang berdaulat di tanah Palembang. Artinya, secara politik kemapanan sistem Kesultanan Palembang yang terbentuk antara hubungan Islam dengan tradisi Melayu-Jawa sudah tiada, dan sebagai gantinya bangsa Belanda menerapkan sistem kolonial.
Dari beberapa uraian diatas, mengindikasikan bahwa di Palembang telah terjadi dinamika atau perubahan perubahan dalam bidang politik, pasang surut politik yang dialami oleh kesultanan Palembang menjadi fokus makalah ini, dengan mencoba menjelaskan dinamika atau perubahan yang terjadi di Palembang antara dua periode, yaitu periode kesultanan dan kolonial Belanda. Dengan asumsi dasar, pada periode kesultanan, politik Islam Melayu mengalami kemajuan yang pesat, namun ketika kesultanan itu runtuh politik Islam Melayu ikut mengalami keruntuhan dan sebagai gantinya Belanda menerapkan politik kolonial. Adapun permasalahan ini terangkum dalam makalah yang berjudul Dinamika dan Relasi Politik Islam Melayu di Kesultanan Palembang. 

B. Hubungan antara Islam dan Melayu-Jawa di Kesultanan Palembang
1. Kekuasaan Berorientasi Pada Raja
Kesultanan Islam Darusssalam berawal dari berdirinya  kerajaan Palembang, pada tahun 1546 di bawah Ki Gedeng Suro. Beberapa literatur mengungkapkan, bahwa Islam masuk ke Palembang melalui jalur politik, yakni oleh  Gubernur Palembang, Aria Damar. Dia mendidik putra- putranya dalam lingkungan Islam,. kendati dia sendiri tidak berani mengikrarkan  keislamannya.[4] Sejak berdiri hingga runtuhnya, Kesultanan Palembang Darussalam sempat diperintah  oleh 22 orang penguasa ( Sultan ). Para pemangku kekuasaan itu telah melekatkan gelar- gelar yang lazim dalam digunakan dalam Islam. Bahkan sultan ke- 12, Kiai Mas Hindi Abdurrahim  yang memerintah tahun 1662- 1706  menggunakan gelar  Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam.
            Istilah khalifatul atau khalifah pada gelar tersebut menjelaskan bahwa kesultanan Palembang dipengaruhi oleh Islam, kata khalifah sendiri berasal dari kata takhallafa yang berarti mengikuti (dibelakang orang lain) dan menggantikan tempatnya.[5] Dengan demikian, khalifah memiliki arti wakil Allah dalam memelihara alam semesta. Sebagai wakil Allah di muka bumi, maka dalam kekuasaan pengertian khalifah  dilekatkan pada raja yang menguasai urusan politik (dunia) dan urusan agama (akhirat). Konsep “wakil Tuhan” di bumi ini, dalam pelaksanaannya telah menempatkan raja sebagai penguasa mutlak yang menjadi satu-satunya penghubung antara manusia dan Tuhan. Hal ini bertujuan agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, melalui satu-satunya jalan, yaitu dengan tunduk kepada raja. Hal ini menyebabkan rakyat harus memiliki kepatuhan mutlak kepada raja dan menganggapnya sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi mengakibatkan lemahnya kontrol rakyat terhadap kekuasaan.
            Konsep ini berkembang dengan sangat baik di Kesultanan Palembang. Sehingga timbul pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi?, padahal konsep ini menyebabkan rakyat tidak memiliki kontrol atas penguasa, sehingga kita patut menduga apakah rakyat tidak memiliki kepedulian terhadap  konsep pemerintahan yang diterapkan oleh penguasa. Untuk menjawabnya maka kita harus melihat kembali kesultanan Palembang dari sisi sejarah.
            Jika ditarik jauh ke masa pra-sejarah, dimana masyarakat Palembang bahkan nusantara pada umumnya dipimpin oleh seorang kepala suku yang dianggap sebagai primus interpares atau manusia utama. Sehingga menjadikan kepala suku sebagai seorang penguasa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur rakyatnya baik dalam hal keduniaan ataupun kepercayaan. Konsep berorientasi kepada penguasa ini terus berlanjut hingga memasuki masa kesultanan.        
Pada masa kesultanan, dalam menjalankan pemerintahannya, para sultan memperoleh legitimasi dari kepercayaan yang berlaku di dalam masyarakat melayu Palembang. Mereka mempercayai suatu doktrin tentang asal-usul kharisma dan legitimasi penguasa Melayu, yang diturunkan dari Bukit Seguntang, disini terjadi kontrak atau perjanjian awal (primeval convenant) antara Tuan Hamba (sang penguasa) dan Hamba (rakyat) di Bukit Seguntang, yaitu perjanjian antara Raja Palembang Seri Teri Buana sebagai penguasa dan Demang Lebar Daun sebagai rakyat yang disebut dengan istilah “bersumpah teguh janji”.[6]
Kontrak ini adalah jaminan perjanjian sepanjang waktu bagaimana sang penguasa berlaku terhadap rakyatnya atau sebaliknya. Dalam kontrak ini Demang Lebar Daun berjanji untuk setia, patuh dan tidak derhaka kepada raja dan keturunannya, meskipun mereka jahat. Disisi lain raja berjanji tidak akan mengaibi (mempermalukan rakyat). Bila raja dan keturunannya lebih dahulu mengubah atau melanggar janji ini, maka anak keturunan Demang Lebar Daun pun tidak terikat lagi dengan kontrak ini.[7]
Perjanjian awal ini pada akhirnya melahirkan konsep daulat [8] dan derhaka. Sebagai pemegang kuasa berdasarkan perjanjian, maka Tuan Hamba memiliki daulat, daulat ini dihubungkan dengan karisma raja dan tuah yang dimiliki oleh raja. Pribadi dan tokoh raja yang memerintah dikaitkan pula dengan dengan unsur kesucian yang dimiliki oleh raja tersebut. Menolak perintah raja dan enggan mengakui kedaulatannya akan dianggap sebagai perbuatan mendurhakai raja atau derhaka.
Bila dilihat dari tradisi politik di atas, maka sebenarnya dapat dipahami bahwa di Kesultanan Palemembang, konsep pemerintahan yang  berorientasi raja sebenarnya tidak mutlak. Karena kemutlakan kekuasaan raja dibatasi oleh perjanjian yang mengharuskan raja untuk berlaku adil dan tidak sewenang-wenang terhadap rakyat. Jadi dapat dipahami bahwa konsep wakil Tuhan di muka bumi ini berkembang dengan baik di Kesultanan Palembang, karena konsep ini memang sangat mendukung untuk menciptakan kestabilan pemerintah dan menambah kewibawaan dan kemutlakan raja. Melalui konsep ini rakyat dituntut untuk selalu patuh dan tunduk kepada raja. Rakyat yang ingkar atau derhaka akan menerima hukuman. Jika raja berlaku adil, maka tentu rakyat akan mematuhi raja, sehingga tercipta suasana yang harmonis antara penguasa dan rakyat, yang pada akhirnya mengantarkan kerajaan pada masa kejayaan. Kehancuran kerajaan Melayu dikarenakan raja sudah melupakan tugasnya sebagai penguasa dunia dan agama.

2. Struktur Kekuasaan : Peranan Ulama Dalam Pemerintahan
Kesultanan Palembang menganut konsep raja sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Namun pada prakteknya raja tetap membutuhkan aparat sebagai penghubung antara sultan dengan rakyat,[9] sehingga dirasakan perlu untuk membentuk suatu struktur kekuasaan.
Struktur kekuasaan kesultanan Palembang mengikuti pola pancalang lima dari Majapahit, yang menjelaskan bahwa untuk pemerintahan suatu kerajaan diperlukan seorang susuhunan, adipati, papatih, guru dan jaksa. Susuhunan sebagai pemegang kendali atas kerajaan di Kesultanan Palembang disebut dengan Pangeran Ratu. Pemerintah dibawahnya adalah empat mancanegara sebagai bagian dari pancalang lima.[10]
             Ke-empat mancanegara itu terdiri dari 4 pembesar negara yaitu patih dengan gelar Pangeran Natadiraja yang memegang seluruh urusan kerajaan. Selanjutnya adipati dengan gelar Pangeran Citra yang memimpin kelompok pengalasan atau hulubalang sultan yang menjada kota. Berikutnya guru, sejak masuknya Islam istilah guru ini diganti dengan penghulu dengan gelar Pangeran Penghulu Nata Agama, yang merupakan kepala alim ulama yang mempunyai suatu pengadilan yang mengadili hal-hal sesuai dengan hukum agama, terakhir adalah syahbandar yang bertugas untuk mengurusi urusan pelabuhan dan perdagangan.[11]
            Dari struktur kekuasaan tersebut, tampak bahwa di Kesultanan Palembang memberikan otoritas tersendiri kepada ulama,[12] sehingga ada sebagian ulama yang ikut terlibat dalam urusan kesultanan dan memiliki kedudukan sebagai penghulu. Jika sebagian ulama terlibat dalam perkara pemerintahan, berarti ada ulama yang tidak terlibat dalam hal tersebut. Perlu dipahami bahwa, di Kesultanan Palembang ulam terbagi menjadi tiga kategori, yaitu ulama kesultanan, ulama birokrat dan ulama pengajar.[13]
            Pertama, ulama kesultanan adalah ulama yang diangkat oleh Sultan untuk mendampingi tugasnya sebagai penasehat dalam urusan-urusan keagamaan, bukan sebagai pendamping dalam mengembangkan agama Islam.[14] Ke-dua ulama birokrat yang menjabat Penghulu Natanagama dan mengurusi urusan keagamaan. Namun, pemberian jabatan ini tidaklah diberikan secara serta merta, melainkan akibat dari adanya hubungan antara sultan dan ulama. Sehingga tidak heran apabila di Kesultanan Palembang pun ulama juga mendapatkan penghormatan yang luar biasa dari sultan yang berkuasa.  Untuk mengangkat harkat dan martabat ulama, sultan memberikan jabatan politis, kepenghuluan, yang dipimpin oleh seorang ulama dengan gelar Penghulu Natanagama yang bertugas mengurusi bidang keagamaan.[15] Ke-tiga ulama yang berperan sebagai guru pengajar dan penyebar Islam di masyarakat.
            Khusus bagi kelompok ulama yang ke-tiga, terkadang memunculkan para ulama berkelas internasional, seperti Abd’l-Samad‘l-Palimbani, yang telah banyak menulis kitab-kitab keagamaan, dalam karyanya al-Palimbani tidak hanya menyiarkan ajaran-ajaran para tokoh neosufi, tetapi juga mengimbau kaum Muslim untuk melancarkan jihad melawan bangsa Belanda sebagai penjajah, yang terus menggiatkan usaha-usaha untuk menundukkan entitas-entitas politik Muslim Nusantara.[16] Dengan demikian ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk membangkitkan rasa patriotism dalam menentang penjajah.[17] Selain al-Palimbani ada juga ulama lain seperti Muhammad Fakhr ‘l-Din, Abd ‘l-Rahman al-Munawwar, dll.    

3. Runtuhnya Tradisi Politik Islam-Melayu
            Kemasyhuran Palembang sebagai kota Pelabuhan internasional menyebabkan banyak bangsa Asing yang datang untuk melakukan aktifitas perdagangan. Kedatangan bangsa asing ke Palembang, secara tidak langsung menjadikan Palembang tidak hanya sebagai pusat jual beli akan tetapi lebih dari itu Palembang menjadi tempat bertemunya berbagai macam kebudayaan.[18] Sehingga akulturasi antara budaya asing dan budaya lokal masyarakat melayu Palembang tidak bisa dihindarkan. Salah satunya akulturasi antara Islam dan budaya melayu, baik itu akulturasi dalam wujud fisik dan non-fisik.
            Ketika kita berbicara mengenai akulturasi, maka yang akan dibahas adalah mengenai percampuran antara dua unsur budaya yang menghasilkan budaya baru. Dalam konteks makalah ini, hasil dari perwujudan akulturasi tersebut ditinjau dari aspek politik. Dimana tradisi Islam mempengaruhi politik masyarakat melayu Kesultanan Palembang. Islam tidak hanya sebagai simbol, akan tetapi Islam dijadikan sebagai dasar pijakan bagi sultan untuk menjalankan pemerintahan. Sehingga, diantara keduanya tercipta relasi atau hubungan yang mengantarkan kesultanan Palembang pada masa kejayaan.
            Namun, tatanan politik yang telah mapan ini pada akhirnya mengalami kemerosotan bahkan mengalami kehancuran. Hal ini dikarenakan pertempuran yang terjadi antara Kesultanan Palembang dengan bangsa Belanda.  Makalah ini tidak akan membahas mengenai jalannya pertempuran tersebut, namun bisa disimpulkan bahwa pada akhirnya bangsa Belanda berhasil mengalahkan Kesultanan Palembang, akibatnya pada tahun 1824 Kesultanan Palembang dihapuskan.[19]
            Dengan dihapuskannya Kesultanan Palembang, menandakan  bahwa konsep politik Islam-Melayu tidak ada lagi ditanah Melayu Palembang. Karena Belanda menggantikannya pada konsep kekuasaan kolonila, dalam struktur birokrasi kolonial tidak ditemukan tipe kepemimpinan yang menganggap posisi sultan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, karena sultan atau para pembesar kerajaan lainnya tidak lebih adalah para pegawai kolonial Belanda. Berbagai posisi penting dalam birokrasi kolonial, dipegang oleh bangsa Belanda itu sendiri. Berikut adalah struktur birokrasi dari kolonial Belanda dimulai dari yang paling tinggi adalah Ratu Belanda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Residen Belanda, Asisten Residen, controleur (kontrolir), serta Gezaghebber, dengan demikian konsep Politik Islam-Melayu di tanah Palembang telah berakhir.[20]

C. Kesimpulan
            Dari beberapa uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa antara Politik Islam dan Melayu di Kesultanan Palembang, keduanya memiliki hubungan yang kuat. Misalkan saja dalam konsep kekuasaan, tradisi politik Islam mudah diterima oleh penguasa tanah Melayu, karena dengan menerima tradisi politik Islam justru memperkuat kedudukan para raja atau sultan itu sendiri, dimana raja dianggap sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.
            Bukan berarti, Islam hanya dijadikan sebagai simbol untuk alat legitimasi semata, namun lebih dari itu Islam menjadi agama negara atau agama kesultanan. Sehingga, semua kebijakan yang diambil mengikutsertakan peranan dari para ulama. Bahkan, dalam menjalankan pemerintahannya sultan didampingi oleh ulama, yang akhirnya mampu membawa Kesultanan Palembang pada masa kejayaan, namun pada perkembangannya konsep tradisi politik Islam-Melayu ini harus terhenti, akibat dari ekpansi wilayah yang dilakukan oleh bangsa Belanda, sehingga menyebabkan kesultanan Palembang mengalami keruntuhan.
Jadi intinya  adalah tradisi politik Islam-Melayu di Kesultanan Palembang mengalami perkembangan bersamaan dengan kejayaan yang dicapai oleh Kesultanan Palembang dan mulai menghilang seiring dengan runtuhnya Kesultanan Palembang itu sendiri.

Daftar Pustaka
Arnold, Thomas W. Sejarah Da’wah Islam. terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta:Penerbit Wijaya. 1979
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2013
Burger, 1960, Sejarah Ekonomis Sosiologis,……….. ,
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Penerbit Mizan. 2012
Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera. 1995
Ismail. Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik Di Keresidenan Palembang 1925-1942. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. 2014
Mujib. “Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”, dalam Jurnal Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat. No. 9, 1997.
Onghokam. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES. 1983
Peeters, Jeroen. Kaum Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang. Jakarta: INIS. 1997
Poesponegoro, Mawarti Djoened. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. 2008
Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan di Palembang. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu. 1998
Sevenhoven, J.L Van. Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang. Jakarta: Bhratara. 1971
Tim Penyusun. Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja Palembang. Depok : Foukoka Pustaka Utama, 2011


[1] Ismail, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik Di Keresidenan Palembang 1925-1942, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta, 2014), h. 30.
[2] Informasi mengenai lepasnya wilayah Palembang dari kerajaan Mataram (Jawa) juga terdapat dalam buku karangan M. Yahya Harun, yang menyatakan bahwa prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan Abdurraman yang paling menentukan bagi perkembangan Kesultanan Palembang adalah kebijaksanaannya untuk melepaskan diri dari ikatan perlindungan (proktetorat) Mataram kira-kira pada tahun 1674 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan. M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII, (Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h. 45
[3] Tim Penyusun, Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah Raja-Raja Palembang, (Depok : Foukoka Pustaka Utama, 2011), h. 16, menjelaskan bahwa Palembang, ditenggarai dahulu pernah menjadi pusat kerajaan “Maritim” Sriwijaya dan pada paruh akhir abad millennium kedua pernah menjadi pusat Kerajaan Islam dengan dua fase, pertama fase pra-kesultanan dan fase ke-dua, masa kesultanan. Sejak lama pula Palembang telah menjadi simbol kebesaran kota maritim di Nusantara karena peranannya dalam kancah pelayaran internasional. Di kota itu dilaksanakan tukar menukar barang dagangan antar negeri, dan antar daerah. Perdagangan itu pula yang telah mempercepat kota ini menjadi kota penting dalam percaturan ekonomi dan perdagangan dunia
[4] Thomas W. Arnold, Sejarah Da’ wah Islam, terj. A. Nawawi Rambe, (Jakarta:Penerbit Wijaya, 1979), h. 333
[5] Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan di Palembang, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 22

[6] Husni Rahim, h. 35  
[7] Husni Rahim, h. 36
[8] Konsep daulat adalah sebuah contoh yang tepat, berasal dari bahasa Arab ,d-w-l dengan makna aslinya bergilir, berganti, istilah daulat berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti dan akhirnya sebuah kerajaan. Dalam tradisi politik melayu, istilah daulat juga digunakan untuk menujukkan kekuasaan kerajaan, melekatkan elemen local dalam penggunaan istilah tersebut. Didefinisikan sebagai elemen ketuhanan dalam martabat raja. Daulat merujuk kepada elemen politik yang bercirikan supranatural, konsekuensinya daulat diasosiasikan dengan kedaukatan suci sang raja. Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Penerbit Mizan, 2012), h. 25, jadi tidak mengherankan jika dalam konsep kekuasaan melayu menganggap raja dalah orang yang mulia.
[9] Onghokam, Rakyat dan Negara, (Jakarta: LP3ES, 1983), h.79. Dalam  kerajaan tradisional, antara teori dan praktek  antara konsepsi dan kenyataannya memang sering sangat berbeda. Prinsip muluk-muluk acapkali hanya untuk memberikan legitimasi kepada kekuasaan, tanpa selalu melahirkan kontrol kongkret. Bukan saja raja mempunyai kedudukan keramat. Akan tetapi, juga para pangeran dan pejabat-pejabat lain dalam negara. 
[10] J.L Van Sevenhoven, Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang, (Jakarta: Bhratara, 1971), h. 28
[11] Husni Rahim, h. 68-69
[12] Ulama adalah bentuk plural dari kata dalam bahasa Arab alim yang berarti orang yang sangat berilmu atau orang yang dianugerahi ilmu.
[13] Mujib, “Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”, dalam Jurnal Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997), h. 31
[14] Ibid

[15] Ibid, h. 32
[16] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2013), h. 327
[17] M. Yahya Harun, Kerajaan Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVIII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h 49
[18] Burger, 1960, Sejarah Ekonomis Sosiologis,…….. ,h. 23. Menjelaskan bahwa Perdagangan dan pelayaran ini merintis jalan bagi agama Hindu-Budha maupun Islam, ibarat benang emas halus disepanjang pantai dimana nilai kebudayaannya sepuluh kali lebih penting artinya dibandingkan dengan nilai perekonomiannya, karena perdagangan ini telah mempertemukan berbagai kebudayaan 

[19] Jeroen Peeters, Kaum Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang, (Jakarta: INIS, 1997), h. 9
[20] Mawarti Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 4

Tidak ada komentar: