A. Latar
Belakang
Islam dan melayu merupakan dua kata
yang memiliki keterikatan yang sangat kuat. Bahkan keterikatan ini menyebabkan
munculnya idiom yang mengatakan bahwa dunia Islam dunia Melayu (DMDI). Meskipun
pada kenyataannya, istilah DMDI ini terus menimbulkan perdebatan, karena tidak
bisa dipungkiri bahwa tidak semua bangsa melayu itu memeluk agama Islam. Jika
demikian halnya, maka istilah DMDI ini tidak sepenuhnya bisa digunakan. Akan
tetapi, hal ini juga tidak bisa dinafikkan begitu saja, karena dari fakta
sejarah diketahui bahwa Islam turut memberi pengaruh tersendiri kepada masyarakat
melayu di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik.
Dalam bidang politik, pengaruh Islam
ini ditandai dengan munculnnya kerajaan-kerajaan yang bernuansa Islam. Salah
satunya adalah kerajaan yang berpusat di wilayah Palembang, yang dikenal dengan
sebutan Kesultanan Palembang Darussalam. Kesultanan ini didirikan oleh Raden
Tumenggung yang memproklamirkan dirinya menjadi Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Iman pada tahun 1666 M sekaligus menjadi
sultan pertama dengan julukan Sultan Jamaluddin pada tahun 1681 M.[1]
Sebelum menjadi
kesultanan yang merdeka, kerajaan di Palembang ini merupakan kerajaan yang
tunduk pada kekuasaan raja yang ada di Jawa.[2]
Sehingga sistem pemerintahan yang diterapkan oleh sultan di Palembang sedikit
banyaknya mengikuti sistem kerajaan di Jawa. Hal ini membentuk identitas
tersendiri bagi Kesultanan Palembang, dikarenakan masyarakat Palembang itu
sendiri termasuk ke dalam bangsa melayu, sehingga ke-dua tradisi ini membentuk
identitas Melayu-Jawa.
Satu hal yang
perlu dipahami bahwa identitas Melayu-Jawa dalam pemerintahan dijalankan oleh sultan
dengan berdasarkan pada ajaran-ajaran agama Islam. Tidak ada pertentangan
diantara ke-duanya, namun justru sebaliknya, ajaran Islam dijadikan alat bagi
sultan untuk melegitimasi kedudukannya sebagai seorang penguasa, bukan berarti
Islam hanya sebagai simbol semata, namun lebih dari itu Islam dan Melayu-Jawa
memiliki keterkaitan atau relasi sehingga mengantarkan Kesultanan Palembang
pada masa kejayaan. Bisa disimpulkan bahwa Islam merupakan agama Kesultanan
Palembang Darussalam yang bercorak Melayu-Jawa.
Pada masa
kejayaannya, sejarah mencatat bahwa Kesultanan Palembang Darussalam dijadikan sebagai
pusat persinggahan atau pelabuhan penting dalam jalur perdagangan
internasional.[3]
Banyak bangsa asing yang mengunjungi kota Palembang untuk melakukan aktifitas perdagangan,
seperti bangsa Cina, India, Arab bahkan bangsa Belanda. Jika bangsa Cina, India
dan Arab melakukan aktifitas perdagangan di wilayah Kesultanan Palembang dengan
cara damai, maka berbeda halnya dengan bangsa Belanda. Mereka tidak ingin hanya
sebagai pihak yang ikut serta dalam aktifitas jual beli, namun lebih dari itu mereka
memiliki motif untuk melakukan monopoli perdagangan diwilayah Kesultanan
Palembang.
Tujuan monopoli
ini tidak akan pernah tercapai jika bangsa Belanda tidak mampu menaklukkan
kerajaan yang berkuasa di daerah tersebut, hal ini berujung pada peperangan antara
bangsa Belanda dengan Kesultanan Palembang. Tercatat terjadi beberapa kali
pertempuran, namun pada akhirnya Kesultanan Palembang harus mengakui kemenangan
bangsa Belanda, sebagai pihak yang menang bangsa Belanda mengeluarkan kebijakan
untuk menghapus Kesultanan Palembang Darussalam yang dilakukan pada tahun 1823.
Sejak saat itu, tidak ada lagi kerajaan yang berdaulat di tanah Palembang.
Artinya, secara politik kemapanan sistem Kesultanan Palembang yang terbentuk
antara hubungan Islam dengan tradisi Melayu-Jawa sudah tiada, dan sebagai
gantinya bangsa Belanda menerapkan sistem kolonial.
Dari beberapa
uraian diatas, mengindikasikan bahwa di Palembang telah terjadi dinamika atau
perubahan perubahan dalam bidang politik, pasang surut politik yang dialami
oleh kesultanan Palembang menjadi fokus makalah ini, dengan mencoba menjelaskan
dinamika atau perubahan yang terjadi di Palembang antara dua periode, yaitu
periode kesultanan dan kolonial Belanda. Dengan asumsi dasar, pada periode
kesultanan, politik Islam Melayu mengalami kemajuan yang pesat, namun ketika
kesultanan itu runtuh politik Islam Melayu ikut mengalami keruntuhan dan
sebagai gantinya Belanda menerapkan politik kolonial. Adapun permasalahan ini
terangkum dalam makalah yang berjudul Dinamika dan Relasi Politik Islam Melayu
di Kesultanan Palembang.
B.
Hubungan antara Islam dan Melayu-Jawa di Kesultanan Palembang
1.
Kekuasaan Berorientasi Pada Raja
Kesultanan Islam
Darusssalam berawal dari berdirinya
kerajaan Palembang, pada tahun 1546 di bawah Ki Gedeng Suro. Beberapa literatur mengungkapkan,
bahwa Islam masuk ke Palembang melalui jalur politik, yakni oleh Gubernur Palembang, Aria Damar. Dia mendidik
putra- putranya dalam lingkungan Islam,. kendati dia sendiri tidak berani
mengikrarkan keislamannya.[4]
Sejak berdiri hingga runtuhnya, Kesultanan Palembang Darussalam sempat
diperintah oleh 22 orang penguasa (
Sultan ). Para pemangku kekuasaan itu telah melekatkan gelar- gelar yang lazim
dalam digunakan dalam Islam. Bahkan sultan ke- 12, Kiai Mas Hindi
Abdurrahim yang memerintah tahun 1662-
1706 menggunakan gelar Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin
Sayidul Imam.
Istilah khalifatul atau khalifah
pada gelar tersebut menjelaskan bahwa kesultanan Palembang dipengaruhi oleh
Islam, kata khalifah sendiri berasal dari kata takhallafa yang berarti mengikuti (dibelakang orang lain) dan
menggantikan tempatnya.[5]
Dengan demikian, khalifah memiliki
arti wakil Allah dalam memelihara alam semesta. Sebagai wakil Allah di muka
bumi, maka dalam kekuasaan pengertian khalifah
dilekatkan pada raja yang menguasai
urusan politik (dunia) dan urusan agama (akhirat). Konsep “wakil Tuhan” di bumi
ini, dalam pelaksanaannya telah menempatkan raja sebagai penguasa mutlak yang
menjadi satu-satunya penghubung antara manusia dan Tuhan. Hal ini bertujuan
agar manusia selamat di dunia dan di akhirat, melalui satu-satunya jalan, yaitu
dengan tunduk kepada raja. Hal ini menyebabkan rakyat harus memiliki kepatuhan
mutlak kepada raja dan menganggapnya sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi
mengakibatkan lemahnya kontrol rakyat terhadap kekuasaan.
Konsep ini berkembang dengan sangat
baik di Kesultanan Palembang. Sehingga timbul pertanyaan mengapa hal itu bisa
terjadi?, padahal konsep ini menyebabkan rakyat tidak memiliki kontrol atas
penguasa, sehingga kita patut menduga apakah rakyat tidak memiliki kepedulian
terhadap konsep pemerintahan yang
diterapkan oleh penguasa. Untuk menjawabnya maka kita harus melihat kembali
kesultanan Palembang dari sisi sejarah.
Jika ditarik jauh ke masa
pra-sejarah, dimana masyarakat Palembang bahkan nusantara pada umumnya dipimpin
oleh seorang kepala suku yang dianggap sebagai primus interpares atau manusia utama. Sehingga menjadikan kepala
suku sebagai seorang penguasa yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur
rakyatnya baik dalam hal keduniaan ataupun kepercayaan. Konsep berorientasi
kepada penguasa ini terus berlanjut hingga memasuki masa kesultanan.
Pada masa kesultanan, dalam menjalankan
pemerintahannya, para sultan memperoleh legitimasi dari kepercayaan yang
berlaku di dalam masyarakat melayu Palembang. Mereka mempercayai suatu doktrin tentang asal-usul kharisma dan
legitimasi penguasa Melayu, yang diturunkan dari Bukit Seguntang, disini
terjadi kontrak atau perjanjian awal (primeval
convenant) antara Tuan Hamba (sang
penguasa) dan Hamba (rakyat) di Bukit
Seguntang, yaitu perjanjian antara Raja Palembang Seri Teri Buana sebagai
penguasa dan Demang Lebar Daun sebagai rakyat yang disebut dengan istilah
“bersumpah teguh janji”.[6]
Kontrak ini
adalah jaminan perjanjian sepanjang waktu bagaimana sang penguasa berlaku terhadap
rakyatnya atau sebaliknya. Dalam kontrak ini Demang Lebar Daun berjanji untuk
setia, patuh dan tidak derhaka kepada raja dan keturunannya, meskipun mereka
jahat. Disisi lain raja berjanji tidak akan mengaibi (mempermalukan rakyat).
Bila raja dan keturunannya lebih dahulu mengubah atau melanggar janji ini, maka
anak keturunan Demang Lebar Daun pun tidak terikat lagi dengan kontrak ini.[7]
Perjanjian awal
ini pada akhirnya melahirkan konsep daulat
[8] dan derhaka.
Sebagai pemegang kuasa berdasarkan perjanjian, maka Tuan Hamba memiliki daulat,
daulat ini dihubungkan dengan karisma raja dan tuah yang dimiliki oleh raja. Pribadi dan tokoh raja yang memerintah
dikaitkan pula dengan dengan unsur kesucian yang dimiliki oleh raja tersebut.
Menolak perintah raja dan enggan mengakui kedaulatannya akan dianggap sebagai
perbuatan mendurhakai raja atau derhaka.
Bila
dilihat dari tradisi politik di atas, maka sebenarnya dapat dipahami bahwa di
Kesultanan Palemembang, konsep pemerintahan yang berorientasi raja sebenarnya tidak mutlak.
Karena kemutlakan kekuasaan raja dibatasi oleh perjanjian yang mengharuskan raja
untuk berlaku adil dan tidak sewenang-wenang terhadap rakyat. Jadi dapat
dipahami bahwa konsep wakil Tuhan di muka bumi ini berkembang dengan baik di
Kesultanan Palembang, karena konsep ini memang sangat mendukung untuk
menciptakan kestabilan pemerintah dan menambah kewibawaan dan kemutlakan raja.
Melalui konsep ini rakyat dituntut untuk selalu patuh dan tunduk kepada raja.
Rakyat yang ingkar atau derhaka akan menerima hukuman. Jika raja berlaku adil,
maka tentu rakyat akan mematuhi raja, sehingga tercipta suasana yang harmonis
antara penguasa dan rakyat, yang pada akhirnya mengantarkan kerajaan pada masa
kejayaan. Kehancuran kerajaan Melayu dikarenakan raja sudah melupakan tugasnya
sebagai penguasa dunia dan agama.
2. Struktur Kekuasaan : Peranan Ulama
Dalam Pemerintahan
Kesultanan Palembang menganut konsep
raja sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi. Namun pada prakteknya raja tetap
membutuhkan aparat sebagai penghubung antara sultan dengan rakyat,[9] sehingga
dirasakan perlu untuk membentuk suatu struktur kekuasaan.
Struktur kekuasaan kesultanan Palembang
mengikuti pola pancalang lima dari
Majapahit, yang menjelaskan bahwa untuk pemerintahan suatu kerajaan diperlukan
seorang susuhunan, adipati, papatih, guru dan jaksa. Susuhunan sebagai pemegang kendali atas
kerajaan di Kesultanan Palembang disebut dengan Pangeran Ratu. Pemerintah
dibawahnya adalah empat mancanegara
sebagai bagian dari pancalang lima.[10]
Ke-empat mancanegara itu terdiri dari 4
pembesar negara yaitu patih dengan gelar Pangeran Natadiraja yang memegang
seluruh urusan kerajaan. Selanjutnya adipati dengan gelar Pangeran Citra yang
memimpin kelompok pengalasan atau
hulubalang sultan yang menjada kota. Berikutnya guru, sejak masuknya Islam
istilah guru ini diganti dengan penghulu dengan gelar Pangeran Penghulu Nata
Agama, yang merupakan kepala alim ulama yang mempunyai suatu pengadilan yang
mengadili hal-hal sesuai dengan hukum agama, terakhir adalah syahbandar yang
bertugas untuk mengurusi urusan pelabuhan dan perdagangan.[11]
Dari
struktur kekuasaan tersebut, tampak bahwa di Kesultanan Palembang memberikan
otoritas tersendiri kepada ulama,[12]
sehingga ada sebagian ulama yang ikut terlibat dalam urusan kesultanan dan
memiliki kedudukan sebagai penghulu. Jika sebagian ulama terlibat dalam perkara
pemerintahan, berarti ada ulama yang tidak terlibat dalam hal tersebut. Perlu
dipahami bahwa, di Kesultanan Palembang ulam terbagi menjadi tiga kategori, yaitu
ulama kesultanan, ulama birokrat dan ulama pengajar.[13]
Pertama,
ulama kesultanan adalah ulama yang diangkat oleh Sultan untuk mendampingi tugasnya
sebagai penasehat dalam urusan-urusan keagamaan, bukan sebagai pendamping dalam
mengembangkan agama Islam.[14] Ke-dua
ulama birokrat yang menjabat Penghulu Natanagama dan mengurusi urusan keagamaan.
Namun, pemberian jabatan ini tidaklah diberikan secara serta merta, melainkan
akibat dari adanya hubungan antara sultan dan ulama. Sehingga tidak heran
apabila di Kesultanan Palembang pun ulama juga mendapatkan penghormatan yang
luar biasa dari sultan yang berkuasa.
Untuk mengangkat harkat dan martabat ulama, sultan memberikan jabatan
politis, kepenghuluan, yang dipimpin oleh seorang ulama dengan gelar Penghulu
Natanagama yang bertugas mengurusi bidang keagamaan.[15] Ke-tiga
ulama yang berperan sebagai guru pengajar dan penyebar Islam di masyarakat.
Khusus
bagi kelompok ulama yang ke-tiga, terkadang memunculkan para ulama berkelas
internasional, seperti Abd’l-Samad‘l-Palimbani, yang telah banyak menulis
kitab-kitab keagamaan, dalam karyanya al-Palimbani tidak hanya menyiarkan
ajaran-ajaran para tokoh neosufi, tetapi juga mengimbau kaum Muslim untuk
melancarkan jihad melawan bangsa
Belanda sebagai penjajah, yang terus menggiatkan usaha-usaha untuk menundukkan
entitas-entitas politik Muslim Nusantara.[16] Dengan
demikian ia telah memberikan inspirasi baru berdasarkan doktrin agama, untuk
membangkitkan rasa patriotism dalam menentang penjajah.[17] Selain
al-Palimbani ada juga ulama lain seperti Muhammad Fakhr ‘l-Din, Abd ‘l-Rahman
al-Munawwar, dll.
3.
Runtuhnya Tradisi Politik Islam-Melayu
Kemasyhuran
Palembang sebagai kota Pelabuhan internasional menyebabkan banyak bangsa Asing
yang datang untuk melakukan aktifitas perdagangan. Kedatangan bangsa asing ke
Palembang, secara tidak langsung menjadikan Palembang tidak hanya sebagai pusat
jual beli akan tetapi lebih dari itu Palembang menjadi tempat bertemunya
berbagai macam kebudayaan.[18]
Sehingga akulturasi antara budaya asing dan budaya lokal masyarakat melayu
Palembang tidak bisa dihindarkan. Salah satunya akulturasi antara Islam dan
budaya melayu, baik itu akulturasi dalam wujud fisik dan non-fisik.
Ketika
kita berbicara mengenai akulturasi, maka yang akan dibahas adalah mengenai
percampuran antara dua unsur budaya yang menghasilkan budaya baru. Dalam
konteks makalah ini, hasil dari perwujudan akulturasi tersebut ditinjau dari
aspek politik. Dimana tradisi Islam mempengaruhi politik masyarakat melayu
Kesultanan Palembang. Islam tidak hanya sebagai simbol, akan tetapi Islam
dijadikan sebagai dasar pijakan bagi sultan untuk menjalankan pemerintahan. Sehingga,
diantara keduanya tercipta relasi atau hubungan yang mengantarkan kesultanan
Palembang pada masa kejayaan.
Namun,
tatanan politik yang telah mapan ini pada akhirnya mengalami kemerosotan bahkan
mengalami kehancuran. Hal ini dikarenakan pertempuran yang terjadi antara
Kesultanan Palembang dengan bangsa Belanda. Makalah ini tidak akan membahas mengenai
jalannya pertempuran tersebut, namun bisa disimpulkan bahwa pada akhirnya
bangsa Belanda berhasil mengalahkan Kesultanan Palembang, akibatnya pada tahun
1824 Kesultanan Palembang dihapuskan.[19]
Dengan
dihapuskannya Kesultanan Palembang, menandakan
bahwa konsep politik Islam-Melayu tidak ada lagi ditanah Melayu
Palembang. Karena Belanda menggantikannya pada konsep kekuasaan kolonila, dalam
struktur birokrasi kolonial tidak ditemukan tipe kepemimpinan yang menganggap
posisi sultan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, karena sultan atau para pembesar
kerajaan lainnya tidak lebih adalah para pegawai kolonial Belanda. Berbagai
posisi penting dalam birokrasi kolonial, dipegang oleh bangsa Belanda itu sendiri.
Berikut adalah struktur birokrasi dari kolonial Belanda dimulai dari yang paling tinggi adalah
Ratu Belanda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Residen Belanda, Asisten
Residen, controleur (kontrolir),
serta Gezaghebber, dengan demikian konsep Politik Islam-Melayu di tanah
Palembang telah berakhir.[20]
C. Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa antara Politik
Islam dan Melayu di Kesultanan Palembang, keduanya memiliki hubungan yang kuat.
Misalkan saja dalam konsep kekuasaan, tradisi politik Islam mudah diterima oleh
penguasa tanah Melayu, karena dengan menerima tradisi politik Islam justru
memperkuat kedudukan para raja atau sultan itu sendiri, dimana raja dianggap
sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi.
Bukan berarti, Islam hanya dijadikan
sebagai simbol untuk alat legitimasi semata, namun lebih dari itu Islam menjadi
agama negara atau agama kesultanan. Sehingga, semua kebijakan yang diambil
mengikutsertakan peranan dari para ulama. Bahkan, dalam menjalankan
pemerintahannya sultan didampingi oleh ulama, yang akhirnya mampu membawa
Kesultanan Palembang pada masa kejayaan, namun pada perkembangannya konsep
tradisi politik Islam-Melayu ini harus terhenti, akibat dari ekpansi wilayah
yang dilakukan oleh bangsa Belanda, sehingga menyebabkan kesultanan Palembang
mengalami keruntuhan.
Jadi
intinya adalah tradisi politik
Islam-Melayu di Kesultanan Palembang mengalami perkembangan bersamaan dengan
kejayaan yang dicapai oleh Kesultanan Palembang dan mulai menghilang seiring
dengan runtuhnya Kesultanan Palembang itu sendiri.
Daftar Pustaka
Arnold, Thomas W. Sejarah Da’wah
Islam. terj. A. Nawawi Rambe. Jakarta:Penerbit Wijaya. 1979
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2013
Burger, 1960, Sejarah Ekonomis Sosiologis,……….. ,
Burhanuddin, Jajat. Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta:
Penerbit Mizan. 2012
Harun, M. Yahya. Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVII. Yogyakarta: PT. Kurnia
Kalam Sejahtera. 1995
Ismail. Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik Di Keresidenan Palembang
1925-1942. Yogyakarta: Idea Press Yogyakarta. 2014
Mujib. “Pemilihan Ulama Kesultanan
Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”, dalam Jurnal Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat. No. 9, 1997.
Onghokam. Rakyat dan Negara. Jakarta: LP3ES. 1983
Peeters, Jeroen. Kaum Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang. Jakarta: INIS.
1997
Poesponegoro, Mawarti Djoened. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta:
Balai Pustaka. 2008
Rahim, Husni. Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan di Palembang. Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu. 1998
Sevenhoven, J.L Van. Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang.
Jakarta: Bhratara. 1971
Tim Penyusun. Sejarah Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah
“Sejarah Raja-Raja Palembang. Depok : Foukoka Pustaka Utama, 2011
[1] Ismail, Madrasah
dan Pergolakan Sosial Politik Di Keresidenan Palembang 1925-1942, (Yogyakarta:
Idea Press Yogyakarta, 2014), h. 30.
[2] Informasi mengenai lepasnya wilayah Palembang dari
kerajaan Mataram (Jawa) juga terdapat dalam buku karangan M. Yahya Harun, yang
menyatakan bahwa prestasi politik pada masa pemerintahan Sultan Susuhunan
Abdurraman yang paling menentukan bagi perkembangan Kesultanan Palembang adalah
kebijaksanaannya untuk melepaskan diri dari ikatan perlindungan (proktetorat)
Mataram kira-kira pada tahun 1674 tanpa menimbulkan penindasan dan peperangan.
M. Yahya Harun, Kerajaan Islam Nusantara
Abad XVI dan XVII, (Yogyakarta: PT. Kurnia Kalam Sejahtera, 1995), h. 45
[3] Tim Penyusun, Sejarah
Raja-Raja Palembang dan Silsilah Keturunannya Edisi Teks Naskah “Sejarah
Raja-Raja Palembang, (Depok : Foukoka Pustaka Utama, 2011), h. 16,
menjelaskan bahwa Palembang, ditenggarai
dahulu pernah menjadi pusat kerajaan “Maritim” Sriwijaya dan pada paruh akhir
abad millennium kedua pernah menjadi pusat Kerajaan Islam dengan dua fase,
pertama fase pra-kesultanan dan fase ke-dua, masa kesultanan. Sejak lama pula
Palembang telah menjadi simbol kebesaran kota maritim di Nusantara karena
peranannya dalam kancah pelayaran internasional. Di kota itu dilaksanakan tukar
menukar barang dagangan antar negeri, dan antar daerah. Perdagangan itu pula
yang telah mempercepat kota ini menjadi kota penting dalam percaturan ekonomi
dan perdagangan dunia
[4] Thomas W. Arnold, Sejarah Da’ wah Islam, terj. A. Nawawi
Rambe, (Jakarta:Penerbit Wijaya, 1979), h. 333
[5] Husni Rahim, Sistem
Otoritas dan Administrasi Islam: Studi Tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan di
Palembang, (Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 22
[7] Husni Rahim, h. 36
[8] Konsep daulat adalah sebuah contoh yang tepat,
berasal dari bahasa Arab ,d-w-l dengan
makna aslinya bergilir, berganti, istilah daulat berkembang menjadi konsep
politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti dan akhirnya sebuah
kerajaan. Dalam tradisi politik melayu, istilah daulat juga digunakan untuk
menujukkan kekuasaan kerajaan, melekatkan elemen local dalam penggunaan istilah
tersebut. Didefinisikan sebagai elemen ketuhanan dalam martabat raja. Daulat
merujuk kepada elemen politik yang bercirikan supranatural, konsekuensinya
daulat diasosiasikan dengan kedaukatan suci sang raja. Jajat Burhanuddin, Ulama
dan Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta:
Penerbit Mizan, 2012), h. 25,
jadi tidak mengherankan jika dalam konsep kekuasaan melayu menganggap raja
dalah orang yang mulia.
[9] Onghokam, Rakyat
dan Negara, (Jakarta: LP3ES, 1983), h.79. Dalam kerajaan tradisional, antara teori dan
praktek antara konsepsi dan kenyataannya
memang sering sangat berbeda. Prinsip muluk-muluk acapkali hanya untuk
memberikan legitimasi kepada kekuasaan, tanpa selalu melahirkan kontrol
kongkret. Bukan saja raja mempunyai kedudukan keramat. Akan tetapi, juga para
pangeran dan pejabat-pejabat lain dalam negara.
[10] J.L Van Sevenhoven, Lukisan Tentang Ibu Kota Palembang, (Jakarta: Bhratara, 1971), h.
28
[11] Husni Rahim, h. 68-69
[12] Ulama adalah bentuk plural dari kata dalam bahasa Arab alim yang berarti orang yang sangat berilmu atau orang yang
dianugerahi ilmu.
[13] Mujib,
“Pemilihan Ulama Kesultanan Palembang: Primordialisme atau Otoritas Sultan”,
dalam Jurnal Intizar kajian agama Islam dan Masyarkat, (No. 9, 1997), h. 31
[14] Ibid
[16] Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2013), h. 327
[17] M. Yahya Harun, Kerajaan
Kerajaan Islam Nusantara Abad XVI dan XVIII, (Yogyakarta: Kurnia Kalam
Sejahtera, 1995), h 49
[18] Burger,
1960, Sejarah Ekonomis Sosiologis,……….. ,h. 23. Menjelaskan bahwa Perdagangan
dan pelayaran ini merintis jalan bagi agama Hindu-Budha maupun Islam, ibarat benang emas halus disepanjang pantai
dimana nilai kebudayaannya sepuluh kali lebih penting artinya dibandingkan
dengan nilai perekonomiannya, karena perdagangan ini telah mempertemukan
berbagai kebudayaan
[19] Jeroen Peeters, Kaum
Tuo Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang, (Jakarta: INIS, 1997), h. 9
[20] Mawarti Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar