A.
Pendahuluan
Sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Melayu di Indonesia terlebih dahulu mendapatkan
sentuhan dari ajaran agama Hindu-Budha, pengaruh agama Hindu-Budha bagi
masyarakat Melayu sangatlah besar, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan
alam pemikiran masyarakat Melayu. Meski demikian, aliran kepercayaan awal
masyarakat nusantara termasuk orang melayu yaitu animisme dan dinamisme tetap
ada, kedatangan agama Hindu-Budha tidak serta merta menghapuskan aliran
kepercayaan ini, namun dominasi ajaran Hindu-Budha sangat kental dalam kehidupan
masyarakat.
Kondisi
di atas terus berlanjut hingga beratus tahun lamanya, namun tatkala kedatangan
Islam ke Indonesia,[1]
keberadaan ajaran agama Hindu-Budha ini mulai mengalami kemerosotan, bukan
berarti pengaruh agama Hindu-Budha terhenti sampai disini, bahkan secara tidak
langsung Islam ikut andil dalam melestarikan beberapa budaya agama Hindu-Budha
di tengah masyarakat melayu, tetapi tentunya
budaya tersebut telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam.
Sebenarnya itulah poin
yang menjadi letak keunikan budaya Islam dalam masyarakat melayu, sehingga
sampai sekarang muncul perdebatan dan pro-kontra mengenai budaya-budaya Islam
yang diambil dari budaya non-Islam. Namun, dari fakta sejarah ini, bisa kita
ambil suatu pelajaran bahwa perkembangan Islam dilakukan dengan cara-cara yang
penuh toleransi, dalam artian pesan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat untuk semesta alam,[2] disampaikan
dengan cara yang damai dan persuasif, dakwah dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur
budaya lokal masyarakat melayu atau dengan cara akulturasi budaya bukan dengan
kekerasan.[3] Dengan
cara ini ajaran Islam meresap ke dalam masyarakat Melayu. Sehingga muncul idiom cultural yang mengatakan bahwa
“Dunia Melayu Dunia Islam dan Budaya Melayu - Budaya Islam”, ini suatu ungkapan
yang menyatakan bahwa antara dunia Melayu dan Islam merupakan dua hal yang
tidak terpisahkan.
Bertolak dari
pernyataan di atas, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah wujud
akulturasi Islam dan Budaya Melayu tersebut?, sehingga Islam identik dengan
Melayu begitupun sebaliknya, padahal sebelumnya masyarakat melayu sudah kaya akan pengaruh dari
kebudayaan agama Hindu-Budha, tetapi tidak ada ungkapan yang mengatakan dunia
melayu adalah dunia Hindu-Budha.
Satu hal yang perlu
dipahami bersama, sebenarnya kajian akulturasi Islam di Indonesia, tidak hanya
meliputi dunia melayu saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa contoh akulturasi Islam
juga sangat kental dalam masyarakat Jawa. Permasalahannya sekarang adalah
apakah etnis Jawa masuk ke dalam ranah masyarakat melayu?, hal ini perlu
dijelaskan agar tidak ada kesimpangsiuran mengenai masyarakat melayu yang akan
dibahas dalam makalah ini. Namun berdasarkan pendapat Hamka yang menyatakan
bahwa secara umum Melayu adalah negeri-negeri Melayu atau pulau-pulau Melayu
yang terbentang dari semenanjung Melayu, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga termasuk di dalamnya Filipina dan
Thailand Selatan, maka penulis beranggapan bahwa Jawa termasuk ke dalam ras
Melayu.[4]
Berdasarkan pendapat
Hamka di atas, maka fokus kajian yang menjadi sampel wujud akulturasi islam dan
budaya melayu dalam makalah ini, sebagian besar terfokus pada budaya masyarakat
melayu yang ada di sebagian pulau Sumatra dan Jawa, mengingat contoh wujud
akulturasi budaya Islam dan budaya masyarakat lokal banyak terdapat di kedua
wilayah tersebut.
B. Hubungan antara Agama dan Budaya
1. Pandangan Islam terhadap Kebudayaan
Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk manusia
agar bersosialisasi kemudian melahirkan suatu kebudayaan. Kebudayaan yang
mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, serta
kebiasaan-kebiasaan yang dibuat manusia sebagai anggota masyarakat, dipandang
sebagai realita yang menjadi sasaran
ajaran Islam. Peran agama Islam dalam kebudayaan ini adalah memberikan nilai-nilai
etis yang menjadi ukuran nilai.[5]
Kebudayaan
itu sendiri, dalam kerangka Islam, diartikan sebagai proses pengembangan
potensi kemanusiaan, yaitu mengembangkan fitrah,
hati nurani dan daya untuk melahirkan kekuatan dan perekayasaan. Oleh karena
itu, apabila dari segi prosesnya, kebudayaan dalam Islam adalah pendayagunaan
segenap potensi kemanusiaan agar manusia mempertahankan dan mengembangkan akal
budi yang manusiawi. Adapun dari segi produknya, kebudayaan adalah segala
sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka
meningkatkan hasil kerja yang menggambarkan kualitas kemanusiaannya. Kerangka
pemikiran Islam ini, bersesuian dengan definisi kebudayaan pada umumnya, yang
menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa
manusia.
2. Pengaruh Islam dalam Masyarakat
Melayu
Dari
berbagai sumber, disepakati bahwa budaya awal masyarakat Indonesia adalah
budaya yang identik dengan animisme dan
dinamisme. Animisme ialah suatu paham
dimana setiap benda memiliki animus atau
jiwa yang diyakini memiliki pengaruh bagi manusia, seperti azimat-azimat,
tongkat dan sebagainya. Sedangkan dinamisme
ialah kepercayaan dimana setiap benda memiliki kekuatan seperti
gunung-gunung, batu-batu dan sebagainya.[6] Pada
perkembangannya budaya yang mencirikan budaya primitif ini, mulai beralih ke
budaya Hindu-Budha, meminjam istilah dari Taufik Abdullah yang mengatakan bahwa
pra-Islam masyarakat terlebih dahulu mengalami yang namanya “Hindunisasi”,
proses Hindunisasi ini memberikan landasan yang kuat bagi pondasi kebudayaan
masyarakat melayu. Tampilnya Islam, sebagai agama dan kekuatan dagang di tanah
melayu, tidak serta merta merusak landasan ini, tetapi secara perlahan-lahan
mengubah dasar ideologinya.[7]
Abdul Karim dalam
bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang berubah pasca kedatangan Islam.
Pertama, dibidang ketuhanan, ditetapkan tauhid yang patut dipuja dan diyakini
memiliki kekuasaan Yang Maha Besar ialah Allah Yang Tunggal. Ke-dua, Manusia
dihadapan Allah SWT memiliki derajat yang sama, kemuliaan diperoleh apabila
manusia bertawakal kepada Allah SWT, dan taqwa menjadi ukuran kemuliaan.[8]
Ke-Tiga, kehidupan manusia dalam masyarakat terikat dalam kesatuan dan
persatuan yang terbagi-bagi menurut susunan kemasyarakatan. Ke-empat, kehidupan
bermasyarakat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat secara bersmusyawarah
sesuai dengan kehendak bersama. Ke-lima, nikmat Allah yang tertuang dilangit,
bumi, dan diantara keduanya harus dinikmati secara merata.[9]
Pada mulanya kedatangan
Islam lebih menekankan atau memperhatikan unsur-unsur yang berhubungan dengan keyakinan
dan peribadatan atau ritual, tetapi pada perkembangannya, Islam juga mengarahkan
manusia untuk berbudaya, karena Islam menganggap bahwa kebudayaan merupakan
bagian dari agama.[10] Seperti
pertanyaan HAR Gibb yang dikutip oleh Nasir yang mengatakan bahwa “Islam is indeed much-morew than a system of
theology, it is complete civilization”, Islam sesungguhnya lebih dari
sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna, lebih lanjut
Nasir menambahkan bahwa landasan perdaban Islam adalah kebudayaan Islam,
terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama,
dalam Islam agama bukanlah kebudayaan, tetapi agama dapat melahirkan
kebudayaan.[11]
Hal diatas bersesuaian dengan
hasil kajian sebagian besar sarjana dan peneliti yang mengkaji islam dikawasan
nusantara, mereka sependapat bahwa sejak era formatif pada masa awalnya, Islam
memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah, sosial budaya, intelektual,
politik dan ekonomi Nusantara atau Asia Tenggara umumnya. Dalam konteks ini
Judith Nagata, ahli Islam Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa “It is almost imposible to think of Malay
without reference to Islam”. Hal ini menjelaskan bahwa mustahil rasanya
jika memikirkan Melayu tanpa mengkaitkan dengan Islam. Begitu juga Ernest
Gellner yang menyatakan Islam telah menjadi cara hidup dan sebagai high culture oleh masyarakat muslim
pribumi, termasuk di nusantara.[12] Setidaknya
ke-dua ungkapan ini memberikan jawaban bahwa pernyataan “Dunia Melayu adalah
Dunia Islam dan Budaya Melayu adalah Budaya Islam”, bukanlah suatu ungkapan
yang berlebihan, tetapi memang landasan budaya masyarakat melayu pada saat itu
adalah Islam.
3.
Akulturasi Islam dan Budaya Melayu
“Kami tidaklah pernah mengutus seorang Utusan pun kecuali dengan bahasa
kaumnya, agar ia dapat memberi
penjelasan kepada mereka”. Tentang “bahasa” dalam firman Allah
tersebut, ditafsirkan oleh A. Yusuf Ali, tidak hanya bahasa dalam
lingusitiknya, tapi juga dalam arti cultural dan bahan cara berfikir. Semua
utusan Allah menyampaikan pesan Ilahi kepada kaumnya, selain melalui bahasa
linguistiknya, juga bahasa budaya dan cara berfikir mereka. Lebih lanjut Yusuf
Ali menjelaskan bahwa
“Jika tujuan dari pesan suci (risalah) ialah membuat sesuatu menjadi
terang, maka ia harus disampaikan dalam “bahasa” yang berlaku di antara
masyarakat, yang kepada mereka utusan itu dikirim. Melalui masyarakat itu pesan
tersebut dapat mencapai seluruh umat manusia. Bahkan ada pengertian yang lebih
luas untuk “bahasa”, ia tidak semata-mata masalah abjad, huruf atau kata-kata
semata. Setiap zaman atau masyarakat atau dunia dalam pengertian psikologis
membentuk jalan pikirannya dalam cetakan atau bentuk tertentu, pesan Tuhan
karena bersifat universal dapat dinyatakan dalam bentuk semua cetakan dan
bentuk, dan sama-sama absah dan diperlukan untuk semua tingkatan manusia, dan
area itu harus diterangkan kepada
masing-masing sesuai dengan kemampuannya atau daya penerimanya. Dalam hal ini
Al-Qur’an menakjubkan, ia sekaligus untuk orang yang paling sederhana dan untuk
orang yang paling maju.” [13]
Bertolak dari pendapat
diatas, maka penulis berasumsi bahwa selain dengan menggunakan bahasa dalam
artian yang sebenarnya, Islamisasi di tanah Melayu juga melalui media “bahasa”
dalam artian “bahasa budaya”. Bahasa budaya yang dimaksud adalah dengan cara
pendekatan budaya dalam wujud akulturasi. Sehingga dengan “bahasa budaya”
inilah, Islamisasi di tanah melayu meresap hingga ke dalam kehidupan
masyarakat, hingga lapisan paling bawah sekalipun.
Untuk memahami lebih
lanjut, wujud akulturasi Islam dalam dunia Melayu, terlebih dahulu kita harus
mengetahui arti dari Budaya, secara etimologi budaya berasal dari bahsa sansekerta
“Budhayah” yaitu bentuk jamak dari kata “Buddhi” atau akal. Jadi budaya atau
kebudayaan itu dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan
akal. Secara lebih jelas Koentjaraningrat menyatakan bahwa hal-hal yang
bersangkutan dengan budi dan akal tersebut terbagi ke-dalam 7 unsur, yakni
sistem organisasi masyarakat, sistem religi, sistem pengetahuan, sistem mata
pencariaan hidup dan ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa dan
kesenian.[14]
Ketika, membicarakan
masalah akulturasi Islam dalam budaya melayu tentu tidak akan terlepas dari konsep
7 unsur budaya di atas. Namun, sulit rasanya jika ingin dijelaskan satu
persatu, sehingga dalam makalah ini wujud akulturasi Islam dalam budaya Melayu
secara garis besar terbagi menjadi dua, yakni akulturasi fisik, seperti bentuk
bangunan, kesenian dan akulturasi yang sifatnya non-fisik seperti pemikiran
politik, bahasa, dll.
a. Akulturasi Fisik
1. Arsitektur
Diantara hasil seni bangun Islam
yang sangat menonjol adalah masjid, masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan
kegamaan. Model masjidnya berbeda dengan bentuk masjid Negara Islam lainnya,[15]
mungkin karena berdekatan masa, bentuk masjid di Indonesia pada mulanya banyak
dipengaruhi oleh seni bangun Hindu, masjid tertua yang memperlihatkan ragam
seni bangun itu, misalnya Masjid Demak, Kudus, Cirebon, Banten dan Ampel. Di masjid-masjid
itulah, menurut sejarah para wali mengajarkan agama Islam. Bentuk masjid itu
menjadi model bagi masjid-masjid lainnya. Ciri-ciri model seni bangunan lama
yang merupakan bentuk akulturasi dari seni bangun Hindu-Budha adalah sebagai
berikut:
a)
Atap
tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang
paling atas biasanya semacam mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil,
kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang ini terdapat pada relief
candi Jawa Timur.[16]
b)
Tidak
adanya menara, sehingga pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul
bedug, dari masjid-masjid tua hanya Masjid Kudus dan Banten yang memiliki
menara. Terkhususnya menara Masjid Kudus memiliki nuansa akulturasi yang kental
antara budaya Islam dan Hindu, karena menara Masjid Kudus tidak lain adalah
sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan penggunaannya dan diberi
atap tumpang.[17]
Selain pengaruh dari
ajaran Hindu-Budha, terdapat pula bangunan yang terdiri dari unsur budaya Islam
dan daerah, seperti halnya masjid Minangkabau yang mendapat pengaruh “rumah
gadang”. Begitu pula Masjid Agung yang ada di Palembang. Dari sudut arsitektur
bangunan mesjid Agung Palembang tidak banyak berbeda dengan masjid-masjid di
Indonesia khususnya di Jawa, yaitu bentuk arsitektur tradisional dengan atap
berundak dengan limas dipuncaknya (mustaka), yang melambangkan “Ma’rifat” yaitu
tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.[18]
Bentuknya
yang segi delapan, berdasarkan budaya lokal melayu yang mempunyai ketentuan-ketentuan
sesuai dengan hukum adat dan ajaran Islam, yang disebut pucuk larangan yang delapan, isinya adalah:
a)
Sambung
Salah, yaitu larangan yang menyangkut masalah perzinahan dan dilarang
berdua-duaan bagi kaum laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
b)
Siak
bakar, larangan membakar harta orang lain
c)
Upeah
Racun, larangan meracun orang hingga menyebabkan kematian atau sakit
d)
Tikam
Bunuh, larangan membunuh hewan peliharaan
e)
Maling
Curai, larangan mencuri
f)
Rebut
Rampeak, tidak boleh merampas atau
mengambil barang orang secara paksa
g)
Dago
Dagi, tidak boleh mengancam atau menantang orang brekelahi
h)
Umbak
Umbai, tidak boleh merayu istri atau anak gadis orang dengan jalan menipunya
untuk berbuat tidak baik.[19]
2.
Seni Hias
Kebudayaan
Islam yang paling awal masuk ke tanah melayu, berupa seni hias atau kaligrafi
yang tertera pada batu nisan. Yakni batu nisan makam Sultan Malik As-Shaleh
yang wafat pada tahun 1292. Batunya terbuat dari batu pualam putih diukir
dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat Al-Qur’an dan keterangan
tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang
serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[20]
Adapun
akulturasi budaya yang nampak pada batu nisan ini adalah corak-corak yang terdapat
pada nisan itu sendiri. Dalam dunia Islam seni hias yang mengambil pola
geometri dan erat kaitannya dengan kaligrafi adalah hiasan segitiga tumpal,
kurawal, segi empat atau belah ketupat, jalinan tali atau tambang, sedangkan
budaya local mengikutsertakan hiasan bunga Aceh yang disebut Boengoeng awan si tangke, beragam rosseta dan pola hiasan bunga teratai.
Berbagai hiasan dari nisan kubur yang ada di Samudra Pasai dan Aceh tersebut
menunjukkan percampuran antara seni hias Islam dengan seni hias lokal yang
diambil dari pola floralistik. [21]
b. Akultuasi Non Fisik
1. Pemerintahan
Satu hal yang perlu diketahui bahwa,
sistem pemerintahan dalam masyarakat terbagi menjadi 3 bagian, yakni otoritas
tradisional, kharismatik, dan legal rasional.[22]
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa-masa pemerintahan dari budaya animisme-dinamisme,
Hindu-Budha maupun Islam, masing-masing menerapkan tipe kepemimpinan
tradisional dan kharismatik. Dimana kursi kekuasaan dipegang oleh raja
berdasarkan garis keturunan dan raja dianggap orang yang paling berpengaruh
dalam masyarakat. Meski demikian, garis keturunan serta kewibawaan ini tidak
terlalu bisa diandalkan tanpa adanya pengakuan dari masyarakat, sehingga perlu
yang namanya legitimasi kekuasaan.
Misalkan konsep penguasa dan
kekuasaan menurut kebudayaan melayu Palembang, berasal dari suatu doktrin
tentang asal-usul kharisma dan legitimasi penguasa Melayu, yang diturunkan dari
Bukit Seguntang, hal ini ditandai dengan adanya kontrak atau perjanjian awal (primeval convenant) antara Tuan Hamba (sang penguasa) dan Hamba (rakyat) di Bukit Seguntang. Kontrak
ini adalah jaminan perjanjian sepanjang waktu bagaimana sang penguasa berlaku
terhadap rakyatnya atau sebaliknya. Perjanjian awal ini melahirkan konsep daulat dan derhaka. Sebagai pemegang kuasa berdasarkan perjanjian, maka Tuan
Hamba memiliki daulat, daulat ini dihubungkan dengan karisma raja dan tuah yang dimiliki oleh raja. Pribadi
dan tokoh raja yang memerintah dikaitkan pula dengan dengan unsur kesucian yang
dimiliki oleh raja tersebut. Menolak perintah raja dan enggan mengakui
kedaulatannya akan dianggap sebagai perbuatan mendurhakai raja atau derhaka.
Pada perkembangannya, yakni ketika
masuknya Islam konsep daulat tetap
dipertahankan, namun yang membedakan adalah konsep daulat melayu menganggap raja
sebagai orang yang paling suci,[23] sedangkan pada masa Islam raja dengan gelar
Sultan, Malik, dan sebagainya dianggap sebagai manusia yang mulia bukan yang
paling suci.[24]
Konsep daulat ini hanya akan berkembang
jika Sultan dikaitkan dengan cerita-cerita mitos mengenai asal-usul Sultan,
cerita-cerita ini mengesankan bahwa Sultan adalah sosok yang luar biasa. Dalam
budaya melayu, misalnya Hikayat Raja-Raja
Pasai, naskahnya berbahasa melayu, tetapi disalin di Demak pada tahun 1814.
Buku ini menceritakan bahwa Islam masuk ke Samudra, daerah pertama yang menjadi
tempat berdirinya sebuah kerajaan Islam. Batu nisan Sultan yang pertama Malik
As-Shaleh, yang bertarikh 1297 M telah dibicarakan. Dalam cerita ini disebutkan
bahwa khalifah Mekah mendengar tentang eksistensi Samudra dan memutuskan untuk
mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi ramalan Nabi Muhammad SAW bahwa
kelak pada suatu hari akan ada sebuah kota besar di Timur yang bernama Samudra,
yang akan menghasilkan banyak orang suci. Singkat cerita, dijelaskan pula bahwa
penguasa Samudra pada saat itu, Merah Silu bermimpi bahwa nabi menampakkan diri
kepadanya, mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam kepadanya dengan
cara meludah ke dalam mulutnya, dan memberinya gelar Sultan Malik As-Shalih.
Setelah terbangun, sultan yang baru mendapati bahwa dirinya dapat membaca
Al-Qur’an walaupun dirinya belum pernah belajar Al-Qur’an.[25]
Selain itu ada pula, cerita lainnya
yang terangkum dalam Sejarah Melayu,
salah satu kutipannya yang menguatkan legitimasi para Sultan adalah “Kita
bukanlah keturunan Jin dan Peri, kita adalah Keturunan dari Raja Iskandar
Zulkarnain”. Kutipan ini menghadirkan klaim keturunan dari Iskandar
Zulkarnain, seorang raja muslim yang termasyhur. Dalam tradisi politik melayu,
genealogi dipertahankan sebagai tanda kebesaran para raja Melayu. Cerita
Iskandar bisa membuat para raja mampu membangun kesan heroik, yang dibutuhkan
dalam rangka membangun kekuasaan politik yang berpusat pada raja dalam
masyarakat yang telah terislamkan.[26]
Adapun poin yang perlu diperhatikan
antara legitimasi raja pada masyarakat melayu Hindu-Budha dan pada masa Islam
adalah pola dari keduanya, yakni sama-sama melegitimasikan kekuasaan melalui
faktor keturunan dari seseorang yang dianggap Suci. Seperti pola kekuasaan
Melayu Palembang Hindu-Budha yang diceritakan berasal dari sosok suci yang
turun ke Bukit Seguntang, begitu pula ketika Islam masuk legitimasi masih didasarkan
pada keturunan, misalkan dalam Sejarah
Melayu yang mengklaim keturunan melayu merupakan keturunan dari Iskandar
Zulkarnain. Jadi pada masa Islam pola legitimasi Hindu-Budha tetap
dipertahankan, namun cerita-ceritanya memuat unsur-unsur dan ajaran-ajaran
Islam.
2. Tulisan dan Bahasa
Salah satu aspek yang paling
menonjol dalam kehidupan masyarakat melayu yang mencirikan budaya Islam adalah
perkembangan tulisan dan bahasa arab, Arab yang merupakan salah satu bangsa
yang ikut serta dalam menyebar luaskan Islam ke kawasan nusantara, tidak hanya
membawakan ajaran-ajaran keagamaan, tetapi juga mengajarkan keterampilan untuk
menulis.
Salah satu kutipan yang bisa
dijadikan rujukan mengenai pengenalan tulisan Arab ke Asia Tenggara, adalah
kutipan Mohd. Yatim, yang menyatakan bahwa diantara sumbangan besar Islam bagi
rakyat di kepulauan Melayu-Indonesia adalah dampaknya bagi perkembangan bahasa
Melayu.[27] Dengan
masuknya kerajaan-kerajaan Melayu ke agama Islam, maka tulisan Arab dan Jawi
dikenalkan dan diterima oleh orang-orang Melayu sebagai media penulisan bahasa
melayu.[28]
Tulisan Jawi sendiri adalah aksara Arab-Melayu, yakni tulisan dengan
menggunakan huruf Arab untuk mengeja teks berbahasa Melayu. Orang-orang Melayu
pada saat itu banyak menulis dengan menggunakan huruf Arab yang dimodifikasi
agar sesuai dengan alphabet bahasa mereka.[29]
3. Adat
Wilayah yang masih kental dengan unsur
melayu dan erat kaitannya dengan Islam adalah daerah Minangkabau. Waktu agama
Islam masuk di Minangkabau, adat Minangkbau tidak hancur, disebabkan adat
Minangkabau adalah berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada
alam, “Alam Takambang Jadi Guru”,
ungkapan ini menyatakan tunduk kepada hukum alam, ketika bertemu dengan hukum Islam,
Islam tinggal memberi ruh, itulah sunnatullah, karena yang menciptakan dan
mengatur alam dan tingkah laku alam adalah Allah SWT. [30]
Oleh sebab itu agama Islam menerima
kenyataan adat Minangkabau. Malahan kedatangan agama Islam kemasyarakat
Minangkabau merupakan penyempurnaan adat itu. Adat Minangkabau itu adalah suatu
pandangan hidup yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang nyata dan
terdapat pada alam yang nyata, dan ditangkap oleh faktor yang nyata terdapat
dalam diri manusia yaitu, pikiran dan rasa.
Untuk menyempurnakan adat itu agama
Islam memberikan ketentuan dan isi pada keyakinan, adat hanya sanggup mencapai
pikiran dan rasa yang terdapat dalam diri manusia dan tidak sanggup memberikan
kepuasan, agama Islam telah memberi isi yang baru dan sempurna terhadap
kepuasan keyakinan dalam diri manusia. Penyempurnaan agama Islam terhadap adat
Minangkabau adalah adat Minangkabau yang selama ini merupakan pandangan hidup,
mengenai pergaulan hidup di dunia saja, sekarang telah disempurnakan oleh agama
melalui keyakinan terhadap dunia dan akhirat. [31]
C. Kesimpulan
Pada
kenyataannya, antara Islam dan Melayu sulit untuk dipisahkan, sehingga muncul
ungkapan bahwa “Dunia Melayu adalah Dunia Islam dan Budaya Melayu adalah Budaya
Islam”. Masuknya Islam ke tanah melayu, banyak membawa perubahan, terutama dari
segi kepercayaan, yang awalnya percaya kepada dewa-dewa berpindah menjadi
kepercayaan Tauhid, yakni percaya kepada satu Tuhan Allah SWT. Disamping itu,
pengaruh ajaran Islam juga menyentuh ke aspek budaya masyarakat melayu.
Islam yang menawarkan konsep ajaran rahmatan lil alamin, disebarkan melalui dengan
cara damai, budaya-budaya awal masyarakat melayu yang didominasi oleh ajaran
Hindu-Budha perlahan-lahan diubah, dan digantikan dengan unsur – unsur Islam, dengan
kata lain menggunakan cara akulturasi. Dengan cara ini ternyata, proses
Islamisasi berjalan lebih mudah, karena dengan pendekatan budaya, masyarakat
melayu tidak merasa terintimidasi atau cultural
shock, justru pada kenyataannya Islam sangat diterima oleh masyarakat, berbagai
kebudayaan yang dihasilkan selalu dilandasi dengan ajaran Islam, baik berupa
bangunan, kesenian, paham politik, tulisan, bahasa dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Buku:
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim
dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika.
Hanafiah, Djohan. 1995. Melayu- Jawa Citra Budaya dan Sejarah
Palembang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Karim, M. Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta : Pustaka
Book Publisher.
Majid, Nurcholis, dkk. 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta : Penerbit Paramadina.
Marsden,William. 2013. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Prestasi Pustaka Publisher.
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press.
Sunanto, Musyrifah. 2014. Sejarah Peradaban Islam Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah Buku yang Akan Mengubah Drastis
Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. Bandung : Salamadani Pustaka
Semesta.
Sutrisno,
Budiono Hadi. 2009. Sejarah Wali Songo
Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta : Graha Pustaka
Tjandarasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Yusuf, Ali Anwar. 2003. Wawasan Islam. Bandung : Penerbit
Pustaka Setia.
Panitia Renovasi Masjid Agung
Palembang._____. 261 Tahun Masjid Agung Dan
Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.
Jurnal:
Eriswan, “Islam dan Budaya
Melayu”, dalam Jurnal Ekspresi Seni, vol
14.No.1, Juni 2015.
Mohammad Ali, ___, Sumbangan Tamadun Islam dalam Kehidupan Masyarakat di Alam,_______
[1] Banyak teori yang mejelaskan mengenai masuk dan berkembangnya Islam
ke Indonesia, secara garis besar sekurang-kurangnya ada empat teori yakni,
teori Gujarat, teori Arab, teori Cina, teori Persia, Lihat Ahmad Mansyur
Negara, 2009, Api Sejarah Indonesia,
Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, hlm.99-101, sedikit berbeda dengan buku
ini dalam hal jumlah teori, namun substansinya masih sama, Musyrifah Sunanto
dalam bukunya menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga pendapat dari para ahli
mengenai teori masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, dipelopori oleh
sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hourgrounje yang
berpendapat bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat dengan bukti ditemukannya makam Sultan
yang beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra
Pasai yang dikatkan berasal dari Gujarat. Kedua, pendapat dari sarjana-sarjana
muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang berpendapat bahwa Islam datang
ke-Indonesia pada abad ke-7 langsung dari Arab, dengan bukti jalur pelayaran
yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai sejak sebelum abad ke-13
yaitu sejak abad ke-7 M, melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang
di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan BanI Ummayah di Asia Barat. Ketiga,
perndapat sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah yang
mengkompromikan kedua pendapat tersebut, menurutnya Islam memang benar sudah
datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para
pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam mulai masuk secara
besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya
kerajaan Samudra Pasai. Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, hlm.
8-9.
[2] Q.S. Al-Anbiya [21]:107, yang artinya ”Tiada Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh alam”.
[3] Dengan memperhatikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat melayu,
maka ungkapan Islam yakni Al-Islamu
Shalihun Likulli Zamanin wamakanin” atau Islam adalah agama yang sesuai
dengan segala zaman dan tempat itu terbukti. Ali Anwar Yusuf, 2003, Wawasan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka
Setia, hlm. 15, buktinya Islam bisa berkembang dan diterima secara suka rela
oleh masyarakat Indonesia yang saat itu dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha,
justru budaya yang ada diakulturasikan oleh para penyiar agama dengan budaya
Islam, guna menarik minat dari masyarakat Indonesia, Islam tidak di siarkan
dengan kekerasan namun melalui pendekatan budaya yang penuh toleransi, sebagaimana
teori yang dikemukakan oleh Jhon Crawford, 1820 M dalam History Of Indoan Archipelago, yakni “Para wiraswasta muslim tidak datang sebagai penakluk seperti yang
dikerjakan oleh bangsa Spanyol pada abad ke-16 M. Mereka tidak menggunakan
pedang dalam dakwahnya. Juga tidak memiliki hak untuk melakukan penindasan
terhadap rakyat bawahnya.” Ahmad Mansyur Negara, 2009,…………, hlm. 121
[4] Hamka, 1976, Sejarah Umat
Islam Jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 34-35. Meskipun sedikit
berbeda, namun sebagai gambaran dalam literatur lainnya dijelaskan bahwa Dunia
Melayu (The Malay World) merupakan suatu istilah yang sudah lama digunakan
dalam literature asing untuk mengacu kepada kawasan yang lebih luas dari
Nusantara, bahkan hampir meliputi kawasan Asia Tenggara. Secara umum wilayah
hunia masyarakat Meliputi wilayah Tamiang (Aceh Timur), spenajang pantai timur
Provinsi Sumatrea Utara (Kabupaten lNagkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan
Batu), Provinsi Riau dan Riau Kepulauan, Provinsi Kalimantan Barat, Malaysia Barat
dan pesisir Malaysia Timur, daerah Selatan Mungthai, Brunei dan Singapura
mengidentikkan diri merka, sebagai orang Melayu (Malay People), Eriswan, “Islam dan Budaya Melayu”, dalam Jurnal Ekspresi Seni, (vol.14.No.1, Juni
2015), hlm. 1
[5] Ali Anwar Yusuf, 2003,…………,hlm. 56
[6] M. Abdul Karim, 2007, Islam
Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm. 136
[7] Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, 1988, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES,
hlm. 59
[8] Ajaran Islam menyatakan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama
dihadapan Allah SWT, tetapi hal yang membedakan adalah kadar iman dan taqwa. Ajaran ini disambut
dengan baik oleh masyarakat Indonesia pada saat itu, karena sebelum kedatangan Islam,
atau tepatnya pada masa Hindu masyarakat terbagi menjadi atas beberapa
tingkatan, dalam hindu dikenal dengan sistem kasta, yang terbagi menjadi kasta
brahmana (pendeta), ksatria (bangsawan), waisya (pedagang) dan sudra (rakyat
jelata). Kelas sudra yang terdiri dari rakyat jelata, dianggap sebagai kasta
kelas yang paling bawah. Namun demikian, secara umumnya ia terbagi kepada dua
kelompok yaitu golongan bangsawan atau pemerintah (raja) dan golongan rakyat
jelata yang menjadi hamba kepada golongan pemerintah atau bangsawan tersebut.
Rakyat biasa bukan saja menjadi hamba dalam aspek pemerintah dan politik, malah
juga dalam sebuah aspek sosial seperti pernikahan. Ali Mohammad,_____,Sumbangan Tamadun Islam Dalam kehidupan Masyarakat di Alam Melayu
Hingga Abad ke-17 M,______, hlm. 73
[9] M. Abdul Karim, 2007,…………………, hlm. 144
[10] Musyrifah Sunanto, 2014,……………, hlm. 8-9
[11] Eriswan,2015,………………………………, hlm. 5
[12] Azyumardi Azra, 2010, Islam
dan Penguatan Peradaban Nusantara,____,hlm.1
[13]Nurcholis Majid, 1995, Kontekstualisasi
Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Paramadina, hlm. 496
[14]Koentjaraningrat, 2002, Manusia
dan Kebudayaandi Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan
[15] Kekhasan corak seni bangun masjid itu mungkin disebabkan oleh
faktor keuniversalan yang terkandung dalam pengertian masjid menurut hadis, dan
tidak adanya aturan yang dicantumkan dalam-dalam ayat Al-Qur’an bagaimana
seharusnya membuat bangunan masjid, kecuali arahnya yang disebut kiblat. Dengan
demikian dalam dunia Islam, kalangan arsitek dan masyarakat muslim mempunyai
kebebasan untuk berkreasi membuat bangunan masjid Uka Tjandarasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.237
[16] Dalam bukunya Uka menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan
masjid-masjid kuno di Indonesia dibangun dengan menngunakan atap tumpang.
Pertama, mungkin dapat ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan
ekolobi, yaitu dengan bagunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air
meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian
lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke
dalam masjid apabila hari panas. Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang
disebut meru, yang pada masa
kebudayaan Pra-Islam(Hindu-Budha) dianggap sebagai bangunan suci tempat para
dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid meupakan faktor
penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama
Hindu-Budha ke Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (Cultural Shock), terutama karena di
dalam masjid diajarkan ketauhidan. Uka Tjandrasasmita,……….., hlm. 240
[17] Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus mengikuti jejak Sunan Kalijaga.
Yakni dengan menggunakan model Tut Wuri
Handayani. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal,
melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Seperti penggunaan candi
menjadi menara Masjid. Budiono Hadi Sutrisno. Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta :
Graha Pustaka, hlm. 119
[18] Panitia Renovasi Masjid Agung, ______, 261 Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____,
hlm. 15
[19] Panitia Renovasi Masjid Agung,………………., hlm 16
[20]Musyrifah Sunanto, 2014,…………, hlm. 94
[21] Uka Tjandrasasmita,2009,…………., hlm 248
[22] Tiga tipe
kepemimpinan menurut Max Webber, yaitu: 1. otoritas tradisional yang dimiliki
berdasarkan pewarisan atau turun temurun, 2. otoritas karismatik, yaitu berdasarkan
pengaruh dan kewibawaan pribadi, 3. otoritas legal rasional yang dimiliki berdasarkan
jabatan serta kemampuannya. Bernard Raho, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hlm.
31
[23] Konsep daulat adalah
sebuah contoh yang tepat, berasal dari bahasa Arab ,d-w-l dengan makna aslinya bergilir, berganti, istilah daulat
berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti
dan akhirnya sebuah kerajaan. Dalam tradisi politik melayu, istilah daulat juga
digunakan untuk menujukkan kekuasaan kerajaan, melekatkan elemen local dalam
penggunaan istilah tersebut. Didefinisikan sebagai elemen ketuhanan dalam
martabat raja. Daulat merujuk kepada elemen politik yang bercirikan
supranatural, konsekuensinya daulat diasosiasikan dengan kedaukatan suci sang
raja. Jajat Burhanuddin, 2012, Ulama dan
Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Penerbit
Mizan, hlm. 25, jadi tidak mengherankan jika dalam konsep kekuasaan melayu
menganggap raja dalah orang yang paling suci.
[24] Ali Mohammad, …………, hlm. 76
[25] M.C Ricklefs, 2011, Sejarah
Indonesia Modern, Yogyakarta: hlm. 11-12
[26] Jajat Burhanuddin, 2012,………….hlm. 23
[27] Salah satu tokoh muslim yang mendorong lebih jauh perkembangan
bahasa melayu sebagai lingua franca di
wilayah Melayu – Indonesia adalah al-Raniri, meski bahasa ibu al-Raniri
bukanlah Melayu, penguasaannya atas bahasa ini tidak perlu diperdebatkan lagi.
Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad VXII dan XVIII, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, hlm. 237
[28] Uka Tjandrasasmita, 2009, ……………………..., hlm. 290
[29] William Marsden, 2013, Sejarah
Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 231
[30] Erniawati,…………,hlm. 6
[31] Erniawati,…………,hlm. 7