SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Senin, 16 November 2015

Akulturasi Islam dalam Budaya Melayu

A. Pendahuluan
            Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Melayu di Indonesia terlebih dahulu mendapatkan sentuhan dari ajaran agama Hindu-Budha, pengaruh agama Hindu-Budha bagi masyarakat Melayu sangatlah besar, baik dari aspek politik, ekonomi, sosial dan alam pemikiran masyarakat Melayu. Meski demikian, aliran kepercayaan awal masyarakat nusantara termasuk orang melayu yaitu animisme dan dinamisme tetap ada, kedatangan agama Hindu-Budha tidak serta merta menghapuskan aliran kepercayaan ini, namun dominasi ajaran Hindu-Budha sangat kental dalam kehidupan masyarakat.
            Kondisi di atas terus berlanjut hingga beratus tahun lamanya, namun tatkala kedatangan Islam ke Indonesia,[1] keberadaan ajaran agama Hindu-Budha ini mulai mengalami kemerosotan, bukan berarti pengaruh agama Hindu-Budha terhenti sampai disini, bahkan secara tidak langsung Islam ikut andil dalam melestarikan beberapa budaya agama Hindu-Budha di tengah masyarakat melayu, tetapi tentunya  budaya tersebut telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam.
Sebenarnya itulah poin yang menjadi letak keunikan budaya Islam dalam masyarakat melayu, sehingga sampai sekarang muncul perdebatan dan pro-kontra mengenai budaya-budaya Islam yang diambil dari budaya non-Islam. Namun, dari fakta sejarah ini, bisa kita ambil suatu pelajaran bahwa perkembangan Islam dilakukan dengan cara-cara yang penuh toleransi, dalam artian pesan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat untuk semesta alam,[2] disampaikan dengan cara yang damai dan persuasif, dakwah dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat melayu atau dengan cara akulturasi budaya bukan dengan kekerasan.[3] Dengan cara ini ajaran Islam meresap ke dalam masyarakat Melayu. Sehingga muncul idiom cultural yang mengatakan bahwa “Dunia Melayu Dunia Islam dan Budaya Melayu - Budaya Islam”, ini suatu ungkapan yang menyatakan bahwa antara dunia Melayu dan Islam merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.
Bertolak dari pernyataan di atas, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimanakah wujud akulturasi Islam dan Budaya Melayu tersebut?, sehingga Islam identik dengan Melayu begitupun sebaliknya, padahal sebelumnya  masyarakat melayu sudah kaya akan pengaruh dari kebudayaan agama Hindu-Budha, tetapi tidak ada ungkapan yang mengatakan dunia melayu adalah dunia Hindu-Budha.
Satu hal yang perlu dipahami bersama, sebenarnya kajian akulturasi Islam di Indonesia, tidak hanya meliputi dunia melayu saja. Tidak bisa dipungkiri bahwa contoh akulturasi Islam juga sangat kental dalam masyarakat Jawa. Permasalahannya sekarang adalah apakah etnis Jawa masuk ke dalam ranah masyarakat melayu?, hal ini perlu dijelaskan agar tidak ada kesimpangsiuran mengenai masyarakat melayu yang akan dibahas dalam makalah ini. Namun berdasarkan pendapat Hamka yang menyatakan bahwa secara umum Melayu adalah negeri-negeri Melayu atau pulau-pulau Melayu yang terbentang dari semenanjung Melayu, Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga termasuk di dalamnya Filipina dan Thailand Selatan, maka penulis beranggapan bahwa Jawa termasuk ke dalam ras Melayu.[4]
Berdasarkan pendapat Hamka di atas, maka fokus kajian yang menjadi sampel wujud akulturasi islam dan budaya melayu dalam makalah ini, sebagian besar terfokus pada budaya masyarakat melayu yang ada di sebagian pulau Sumatra dan Jawa, mengingat contoh wujud akulturasi budaya Islam dan budaya masyarakat lokal banyak terdapat di kedua wilayah tersebut.

B. Hubungan antara Agama dan Budaya
1. Pandangan Islam terhadap Kebudayaan
            Islam merupakan ajaran yang diturunkan untuk manusia agar bersosialisasi kemudian melahirkan suatu kebudayaan. Kebudayaan yang mencakup pengetahuan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan yang dibuat manusia sebagai anggota masyarakat, dipandang sebagai  realita yang menjadi sasaran ajaran Islam. Peran agama Islam dalam kebudayaan ini adalah memberikan nilai-nilai etis yang menjadi ukuran nilai.[5]
            Kebudayaan itu sendiri, dalam kerangka Islam, diartikan sebagai proses pengembangan potensi kemanusiaan, yaitu mengembangkan fitrah, hati nurani dan daya untuk melahirkan kekuatan dan perekayasaan. Oleh karena itu, apabila dari segi prosesnya, kebudayaan dalam Islam adalah pendayagunaan segenap potensi kemanusiaan agar manusia mempertahankan dan mengembangkan akal budi yang manusiawi. Adapun dari segi produknya, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka meningkatkan hasil kerja yang menggambarkan kualitas kemanusiaannya. Kerangka pemikiran Islam ini, bersesuian dengan definisi kebudayaan pada umumnya, yang menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. 

2. Pengaruh Islam dalam Masyarakat Melayu
Dari berbagai sumber, disepakati bahwa budaya awal masyarakat Indonesia adalah budaya yang identik dengan animisme dan dinamisme. Animisme ialah suatu paham dimana setiap benda memiliki animus atau jiwa yang diyakini memiliki pengaruh bagi manusia, seperti azimat-azimat, tongkat dan sebagainya. Sedangkan dinamisme ialah kepercayaan dimana setiap benda memiliki kekuatan seperti gunung-gunung, batu-batu dan sebagainya.[6] Pada perkembangannya budaya yang mencirikan budaya primitif ini, mulai beralih ke budaya Hindu-Budha, meminjam istilah dari Taufik Abdullah yang mengatakan bahwa pra-Islam masyarakat terlebih dahulu mengalami yang namanya “Hindunisasi”, proses Hindunisasi ini memberikan landasan yang kuat bagi pondasi kebudayaan masyarakat melayu. Tampilnya Islam, sebagai agama dan kekuatan dagang di tanah melayu, tidak serta merta merusak landasan ini, tetapi secara perlahan-lahan mengubah dasar ideologinya.[7]
Abdul Karim dalam bukunya menjelaskan bahwa ada beberapa hal yang berubah pasca kedatangan Islam. Pertama, dibidang ketuhanan, ditetapkan tauhid yang patut dipuja dan diyakini memiliki kekuasaan Yang Maha Besar ialah Allah Yang Tunggal. Ke-dua, Manusia dihadapan Allah SWT memiliki derajat yang sama, kemuliaan diperoleh apabila manusia bertawakal kepada Allah SWT, dan taqwa menjadi ukuran kemuliaan.[8] Ke-Tiga, kehidupan manusia dalam masyarakat terikat dalam kesatuan dan persatuan yang terbagi-bagi menurut susunan kemasyarakatan. Ke-empat, kehidupan bermasyarakat diatur oleh aturan-aturan yang dibuat secara bersmusyawarah sesuai dengan kehendak bersama. Ke-lima, nikmat Allah yang tertuang dilangit, bumi, dan diantara keduanya harus dinikmati secara merata.[9]
Pada mulanya kedatangan Islam lebih menekankan atau memperhatikan unsur-unsur yang berhubungan dengan keyakinan dan peribadatan atau ritual, tetapi pada perkembangannya, Islam juga mengarahkan manusia untuk berbudaya, karena Islam menganggap bahwa kebudayaan merupakan bagian dari agama.[10] Seperti pertanyaan HAR Gibb yang dikutip oleh Nasir yang mengatakan bahwa “Islam is indeed much-morew than a system of theology, it is complete civilization”, Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna, lebih lanjut Nasir menambahkan bahwa landasan perdaban Islam adalah kebudayaan Islam, terutama wujud idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama, dalam Islam agama bukanlah kebudayaan, tetapi agama dapat melahirkan kebudayaan.[11]
Hal diatas bersesuaian dengan hasil kajian sebagian besar sarjana dan peneliti yang mengkaji islam dikawasan nusantara, mereka sependapat bahwa sejak era formatif pada masa awalnya, Islam memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah, sosial budaya, intelektual, politik dan ekonomi Nusantara atau Asia Tenggara umumnya. Dalam konteks ini Judith Nagata, ahli Islam Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa “It is almost imposible to think of Malay without reference to Islam”. Hal ini menjelaskan bahwa mustahil rasanya jika memikirkan Melayu tanpa mengkaitkan dengan Islam. Begitu juga Ernest Gellner yang menyatakan Islam telah menjadi cara hidup dan sebagai high culture oleh masyarakat muslim pribumi, termasuk di nusantara.[12] Setidaknya ke-dua ungkapan ini memberikan jawaban bahwa pernyataan “Dunia Melayu adalah Dunia Islam dan Budaya Melayu adalah Budaya Islam”, bukanlah suatu ungkapan yang berlebihan, tetapi memang landasan budaya masyarakat melayu pada saat itu adalah Islam.
3. Akulturasi Islam dan Budaya Melayu
Kami tidaklah pernah mengutus seorang Utusan pun kecuali dengan bahasa kaumnya, agar ia dapat memberi  penjelasan kepada mereka”. Tentang “bahasa” dalam firman Allah tersebut, ditafsirkan oleh A. Yusuf Ali, tidak hanya bahasa dalam lingusitiknya, tapi juga dalam arti cultural dan bahan cara berfikir. Semua utusan Allah menyampaikan pesan Ilahi kepada kaumnya, selain melalui bahasa linguistiknya, juga bahasa budaya dan cara berfikir mereka. Lebih lanjut Yusuf Ali menjelaskan bahwa
Jika tujuan dari pesan suci (risalah) ialah membuat sesuatu menjadi terang, maka ia harus disampaikan dalam “bahasa” yang berlaku di antara masyarakat, yang kepada mereka utusan itu dikirim. Melalui masyarakat itu pesan tersebut dapat mencapai seluruh umat manusia. Bahkan ada pengertian yang lebih luas untuk “bahasa”, ia tidak semata-mata masalah abjad, huruf atau kata-kata semata. Setiap zaman atau masyarakat atau dunia dalam pengertian psikologis membentuk jalan pikirannya dalam cetakan atau bentuk tertentu, pesan Tuhan karena bersifat universal dapat dinyatakan dalam bentuk semua cetakan dan bentuk, dan sama-sama absah dan diperlukan untuk semua tingkatan manusia, dan area itu harus diterangkan  kepada masing-masing sesuai dengan kemampuannya atau daya penerimanya. Dalam hal ini Al-Qur’an menakjubkan, ia sekaligus untuk orang yang paling sederhana dan untuk orang yang paling maju.” [13]
Bertolak dari pendapat diatas, maka penulis berasumsi bahwa selain dengan menggunakan bahasa dalam artian yang sebenarnya, Islamisasi di tanah Melayu juga melalui media “bahasa” dalam artian “bahasa budaya”. Bahasa budaya yang dimaksud adalah dengan cara pendekatan budaya dalam wujud akulturasi. Sehingga dengan “bahasa budaya” inilah, Islamisasi di tanah melayu meresap hingga ke dalam kehidupan masyarakat, hingga lapisan paling bawah sekalipun.
Untuk memahami lebih lanjut, wujud akulturasi Islam dalam dunia Melayu, terlebih dahulu kita harus mengetahui arti dari Budaya, secara etimologi budaya berasal dari bahsa sansekerta “Budhayah” yaitu bentuk jamak dari kata “Buddhi” atau akal. Jadi budaya atau kebudayaan itu dapat diartikan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Secara lebih jelas Koentjaraningrat menyatakan bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal tersebut terbagi ke-dalam 7 unsur, yakni sistem organisasi masyarakat, sistem religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencariaan hidup dan ekonomi, sistem teknologi dan peralatan, bahasa dan kesenian.[14]
Ketika, membicarakan masalah akulturasi Islam dalam budaya melayu tentu tidak akan terlepas dari konsep 7 unsur budaya di atas. Namun, sulit rasanya jika ingin dijelaskan satu persatu, sehingga dalam makalah ini wujud akulturasi Islam dalam budaya Melayu secara garis besar terbagi menjadi dua, yakni akulturasi fisik, seperti bentuk bangunan, kesenian dan akulturasi yang sifatnya non-fisik seperti pemikiran politik, bahasa, dll.
a. Akulturasi Fisik
1. Arsitektur
            Diantara hasil seni bangun Islam yang sangat menonjol adalah masjid, masjid dijadikan sebagai pusat kegiatan kegamaan. Model masjidnya berbeda dengan bentuk masjid Negara Islam lainnya,[15] mungkin karena berdekatan masa, bentuk masjid di Indonesia pada mulanya banyak dipengaruhi oleh seni bangun Hindu, masjid tertua yang memperlihatkan ragam seni bangun itu, misalnya Masjid Demak, Kudus, Cirebon, Banten dan Ampel. Di masjid-masjid itulah, menurut sejarah para wali mengajarkan agama Islam. Bentuk masjid itu menjadi model bagi masjid-masjid lainnya. Ciri-ciri model seni bangunan lama yang merupakan bentuk akulturasi dari seni bangun Hindu-Budha adalah sebagai berikut:
a)      Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang ini terdapat pada relief candi Jawa Timur.[16]
b)      Tidak adanya menara, sehingga pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul bedug, dari masjid-masjid tua hanya Masjid Kudus dan Banten yang memiliki menara. Terkhususnya menara Masjid Kudus memiliki nuansa akulturasi yang kental antara budaya Islam dan Hindu, karena menara Masjid Kudus tidak lain adalah sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan penggunaannya dan diberi atap tumpang.[17]
Selain pengaruh dari ajaran Hindu-Budha, terdapat pula bangunan yang terdiri dari unsur budaya Islam dan daerah, seperti halnya masjid Minangkabau yang mendapat pengaruh “rumah gadang”. Begitu pula Masjid Agung yang ada di Palembang. Dari sudut arsitektur bangunan mesjid Agung Palembang tidak banyak berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia khususnya di Jawa, yaitu bentuk arsitektur tradisional dengan atap berundak dengan limas dipuncaknya (mustaka), yang melambangkan “Ma’rifat” yaitu tingkat mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.[18]
            Bentuknya yang segi delapan, berdasarkan budaya lokal melayu yang mempunyai ketentuan-ketentuan sesuai dengan hukum adat dan ajaran Islam,  yang disebut pucuk larangan yang delapan, isinya adalah:
a)      Sambung Salah, yaitu larangan yang menyangkut masalah perzinahan dan dilarang berdua-duaan bagi kaum laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
b)      Siak bakar, larangan membakar harta orang lain
c)      Upeah Racun, larangan meracun orang hingga menyebabkan kematian atau sakit
d)     Tikam Bunuh, larangan membunuh hewan peliharaan
e)      Maling Curai, larangan mencuri
f)       Rebut Rampeak, tidak boleh  merampas atau mengambil barang orang secara paksa
g)      Dago Dagi, tidak boleh mengancam atau menantang orang brekelahi
h)      Umbak Umbai, tidak boleh merayu istri atau anak gadis orang dengan jalan menipunya untuk berbuat tidak baik.[19]
2. Seni Hias
            Kebudayaan Islam yang paling awal masuk ke tanah melayu, berupa seni hias atau kaligrafi yang tertera pada batu nisan. Yakni batu nisan makam Sultan Malik As-Shaleh yang wafat pada tahun 1292. Batunya terbuat dari batu pualam putih diukir dengan tulisan arab yang sangat indah berisikan ayat Al-Qur’an dan keterangan tentang orang yang dimakamkan serta hari dan tahun wafatnya. Makam-makam yang serupa dijumpai pula di Jawa, seperti makam Maulana Malik Ibrahim di Gresik.[20]
            Adapun akulturasi budaya yang nampak pada batu nisan ini adalah corak-corak yang terdapat pada nisan itu sendiri. Dalam dunia Islam seni hias yang mengambil pola geometri dan erat kaitannya dengan kaligrafi adalah hiasan segitiga tumpal, kurawal, segi empat atau belah ketupat, jalinan tali atau tambang, sedangkan budaya local mengikutsertakan hiasan bunga Aceh yang disebut Boengoeng awan si tangke, beragam rosseta dan pola hiasan bunga teratai. Berbagai hiasan dari nisan kubur yang ada di Samudra Pasai dan Aceh tersebut menunjukkan percampuran antara seni hias Islam dengan seni hias lokal yang diambil dari pola floralistik. [21]
b. Akultuasi Non Fisik
1. Pemerintahan
            Satu hal yang perlu diketahui bahwa, sistem pemerintahan dalam masyarakat terbagi menjadi 3 bagian, yakni otoritas tradisional, kharismatik, dan legal rasional.[22] Tidak bisa dipungkiri bahwa pada masa-masa pemerintahan dari budaya animisme-dinamisme, Hindu-Budha maupun Islam, masing-masing menerapkan tipe kepemimpinan tradisional dan kharismatik. Dimana kursi kekuasaan dipegang oleh raja berdasarkan garis keturunan dan raja dianggap orang yang paling berpengaruh dalam masyarakat. Meski demikian, garis keturunan serta kewibawaan ini tidak terlalu bisa diandalkan tanpa adanya pengakuan dari masyarakat, sehingga perlu yang namanya legitimasi kekuasaan.
            Misalkan konsep penguasa dan kekuasaan menurut kebudayaan melayu Palembang, berasal dari suatu doktrin tentang asal-usul kharisma dan legitimasi penguasa Melayu, yang diturunkan dari Bukit Seguntang, hal ini ditandai dengan adanya kontrak atau perjanjian awal (primeval convenant) antara Tuan Hamba (sang penguasa) dan Hamba (rakyat) di Bukit Seguntang. Kontrak ini adalah jaminan perjanjian sepanjang waktu bagaimana sang penguasa berlaku terhadap rakyatnya atau sebaliknya. Perjanjian awal ini melahirkan konsep daulat dan derhaka. Sebagai pemegang kuasa berdasarkan perjanjian, maka Tuan Hamba memiliki daulat, daulat ini dihubungkan dengan karisma raja dan tuah yang dimiliki oleh raja. Pribadi dan tokoh raja yang memerintah dikaitkan pula dengan dengan unsur kesucian yang dimiliki oleh raja tersebut. Menolak perintah raja dan enggan mengakui kedaulatannya akan dianggap sebagai perbuatan mendurhakai raja atau derhaka.   
            Pada perkembangannya, yakni ketika masuknya Islam konsep daulat tetap dipertahankan, namun yang membedakan adalah konsep daulat melayu menganggap raja sebagai orang yang paling suci,[23]  sedangkan pada masa Islam raja dengan gelar Sultan, Malik, dan sebagainya dianggap sebagai manusia yang mulia bukan yang paling suci.[24]
            Konsep daulat ini hanya akan berkembang jika Sultan dikaitkan dengan cerita-cerita mitos mengenai asal-usul Sultan, cerita-cerita ini mengesankan bahwa Sultan adalah sosok yang luar biasa. Dalam budaya melayu, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, naskahnya berbahasa melayu, tetapi disalin di Demak pada tahun 1814. Buku ini menceritakan bahwa Islam masuk ke Samudra, daerah pertama yang menjadi tempat berdirinya sebuah kerajaan Islam. Batu nisan Sultan yang pertama Malik As-Shaleh, yang bertarikh 1297 M telah dibicarakan. Dalam cerita ini disebutkan bahwa khalifah Mekah mendengar tentang eksistensi Samudra dan memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi ramalan Nabi Muhammad SAW bahwa kelak pada suatu hari akan ada sebuah kota besar di Timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak orang suci. Singkat cerita, dijelaskan pula bahwa penguasa Samudra pada saat itu, Merah Silu bermimpi bahwa nabi menampakkan diri kepadanya, mengalihkan secara gaib pengetahuan tentang Islam kepadanya dengan cara meludah ke dalam mulutnya, dan memberinya gelar Sultan Malik As-Shalih. Setelah terbangun, sultan yang baru mendapati bahwa dirinya dapat membaca Al-Qur’an walaupun dirinya belum pernah belajar Al-Qur’an.[25]
            Selain itu ada pula, cerita lainnya yang terangkum dalam Sejarah Melayu, salah satu kutipannya yang menguatkan legitimasi para Sultan adalah   “Kita bukanlah keturunan Jin dan Peri, kita adalah Keturunan dari Raja Iskandar Zulkarnain”. Kutipan ini menghadirkan klaim keturunan dari Iskandar Zulkarnain, seorang raja muslim yang termasyhur. Dalam tradisi politik melayu, genealogi dipertahankan sebagai tanda kebesaran para raja Melayu. Cerita Iskandar bisa membuat para raja mampu membangun kesan heroik, yang dibutuhkan dalam rangka membangun kekuasaan politik yang berpusat pada raja dalam masyarakat yang telah terislamkan.[26]          
            Adapun poin yang perlu diperhatikan antara legitimasi raja pada masyarakat melayu Hindu-Budha dan pada masa Islam adalah pola dari keduanya, yakni sama-sama melegitimasikan kekuasaan melalui faktor keturunan dari seseorang yang dianggap Suci. Seperti pola kekuasaan Melayu Palembang Hindu-Budha yang diceritakan berasal dari sosok suci yang turun ke Bukit Seguntang, begitu pula ketika Islam masuk legitimasi masih didasarkan pada keturunan, misalkan dalam Sejarah Melayu yang mengklaim keturunan melayu merupakan keturunan dari Iskandar Zulkarnain. Jadi pada masa Islam pola legitimasi Hindu-Budha tetap dipertahankan, namun cerita-ceritanya memuat unsur-unsur dan ajaran-ajaran Islam.
           
2. Tulisan dan Bahasa
            Salah satu aspek yang paling menonjol dalam kehidupan masyarakat melayu yang mencirikan budaya Islam adalah perkembangan tulisan dan bahasa arab, Arab yang merupakan salah satu bangsa yang ikut serta dalam menyebar luaskan Islam ke kawasan nusantara, tidak hanya membawakan ajaran-ajaran keagamaan, tetapi juga mengajarkan keterampilan untuk menulis.
            Salah satu kutipan yang bisa dijadikan rujukan mengenai pengenalan tulisan Arab ke Asia Tenggara, adalah kutipan Mohd. Yatim, yang menyatakan bahwa diantara sumbangan besar Islam bagi rakyat di kepulauan Melayu-Indonesia adalah dampaknya bagi perkembangan bahasa Melayu.[27] Dengan masuknya kerajaan-kerajaan Melayu ke agama Islam, maka tulisan Arab dan Jawi dikenalkan dan diterima oleh orang-orang Melayu sebagai media penulisan bahasa melayu.[28] Tulisan Jawi sendiri adalah aksara Arab-Melayu, yakni tulisan dengan menggunakan huruf Arab untuk mengeja teks berbahasa Melayu. Orang-orang Melayu pada saat itu banyak menulis dengan menggunakan huruf Arab yang dimodifikasi agar sesuai dengan alphabet bahasa mereka.[29]

3. Adat
            Wilayah yang masih kental dengan unsur melayu dan erat kaitannya dengan Islam adalah daerah Minangkabau. Waktu agama Islam masuk di Minangkabau, adat Minangkbau tidak hancur, disebabkan adat Minangkabau adalah berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam, “Alam Takambang Jadi Guru”, ungkapan ini menyatakan tunduk kepada hukum alam, ketika bertemu dengan hukum Islam, Islam tinggal memberi ruh, itulah sunnatullah, karena yang menciptakan dan mengatur alam dan tingkah laku alam adalah Allah SWT. [30]
            Oleh sebab itu agama Islam menerima kenyataan adat Minangkabau. Malahan kedatangan agama Islam kemasyarakat Minangkabau merupakan penyempurnaan adat itu. Adat Minangkabau itu adalah suatu pandangan hidup yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan yang nyata dan terdapat pada alam yang nyata, dan ditangkap oleh faktor yang nyata terdapat dalam diri manusia yaitu, pikiran dan rasa.
            Untuk menyempurnakan adat itu agama Islam memberikan ketentuan dan isi pada keyakinan, adat hanya sanggup mencapai pikiran dan rasa yang terdapat dalam diri manusia dan tidak sanggup memberikan kepuasan, agama Islam telah memberi isi yang baru dan sempurna terhadap kepuasan keyakinan dalam diri manusia. Penyempurnaan agama Islam terhadap adat Minangkabau adalah adat Minangkabau yang selama ini merupakan pandangan hidup, mengenai pergaulan hidup di dunia saja, sekarang telah disempurnakan oleh agama melalui keyakinan terhadap dunia dan akhirat. [31]


C. Kesimpulan
Pada kenyataannya, antara Islam dan Melayu sulit untuk dipisahkan, sehingga muncul ungkapan bahwa “Dunia Melayu adalah Dunia Islam dan Budaya Melayu adalah Budaya Islam”. Masuknya Islam ke tanah melayu, banyak membawa perubahan, terutama dari segi kepercayaan, yang awalnya percaya kepada dewa-dewa berpindah menjadi kepercayaan Tauhid, yakni percaya kepada satu Tuhan Allah SWT. Disamping itu, pengaruh ajaran Islam juga menyentuh ke aspek budaya masyarakat melayu.
            Islam yang menawarkan konsep ajaran rahmatan lil alamin, disebarkan melalui dengan cara damai, budaya-budaya awal masyarakat melayu yang didominasi oleh ajaran Hindu-Budha perlahan-lahan diubah, dan digantikan dengan unsur – unsur Islam, dengan kata lain menggunakan cara akulturasi. Dengan cara ini ternyata, proses Islamisasi berjalan lebih mudah, karena dengan pendekatan budaya, masyarakat melayu tidak merasa terintimidasi atau cultural shock, justru pada kenyataannya Islam sangat diterima oleh masyarakat, berbagai kebudayaan yang dihasilkan selalu dilandasi dengan ajaran Islam, baik berupa bangunan, kesenian, paham politik, tulisan, bahasa dan sebagainya.


Daftar Pustaka
Buku:
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika.
Hanafiah, Djohan. 1995. Melayu- Jawa Citra Budaya dan Sejarah Palembang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Karim, M. Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta : Pustaka Book Publisher.
Majid, Nurcholis, dkk. 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta : Penerbit Paramadina.
Marsden,William. 2013. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
Ricklefs, M.C. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Sunanto, Musyrifah. 2014. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia. Bandung : Salamadani Pustaka Semesta.
Sutrisno, Budiono Hadi. 2009. Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta : Graha Pustaka
Tjandarasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Yusuf, Ali Anwar. 2003. Wawasan Islam. Bandung : Penerbit Pustaka Setia.
Panitia Renovasi Masjid Agung Palembang._____. 261 Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____.

Jurnal:
Eriswan, “Islam dan Budaya Melayu”, dalam Jurnal Ekspresi Seni, vol 14.No.1, Juni 2015.
Mohammad Ali, ___, Sumbangan Tamadun Islam dalam Kehidupan Masyarakat di Alam,_______




[1] Banyak teori yang mejelaskan mengenai masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia, secara garis besar sekurang-kurangnya ada empat teori yakni, teori Gujarat, teori Arab, teori Cina, teori Persia, Lihat Ahmad Mansyur Negara, 2009, Api Sejarah Indonesia, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, hlm.99-101, sedikit berbeda dengan buku ini dalam hal jumlah teori, namun substansinya masih sama, Musyrifah Sunanto dalam bukunya menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga pendapat dari para ahli mengenai teori masuknya Islam ke Indonesia. Pertama, dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouck Hourgrounje yang berpendapat bahwa  Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 dari Gujarat dengan bukti ditemukannya makam Sultan yang beragama Islam pertama Malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatkan berasal dari Gujarat. Kedua, pendapat dari sarjana-sarjana muslim, diantaranya Prof. Hamka, yang berpendapat bahwa Islam datang ke-Indonesia pada abad ke-7 langsung dari Arab, dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai sejak sebelum abad ke-13 yaitu sejak abad ke-7 M, melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan BanI Ummayah di Asia Barat. Ketiga, perndapat sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah yang mengkompromikan kedua pendapat tersebut, menurutnya Islam memang benar sudah datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam mulai masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 8-9.
[2] Q.S. Al-Anbiya [21]:107, yang artinya ”Tiada Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
[3] Dengan memperhatikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat melayu, maka ungkapan Islam yakni Al-Islamu Shalihun Likulli Zamanin wamakanin” atau Islam adalah agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat itu terbukti. Ali Anwar Yusuf, 2003, Wawasan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka Setia, hlm. 15, buktinya Islam bisa berkembang dan diterima secara suka rela oleh masyarakat Indonesia yang saat itu dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha, justru budaya yang ada diakulturasikan oleh para penyiar agama dengan budaya Islam, guna menarik minat dari masyarakat Indonesia, Islam tidak di siarkan dengan kekerasan namun melalui pendekatan budaya yang penuh toleransi, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Jhon Crawford, 1820 M dalam History Of Indoan Archipelago, yakni “Para wiraswasta muslim tidak datang sebagai penakluk seperti yang dikerjakan oleh bangsa Spanyol pada abad ke-16 M. Mereka tidak menggunakan pedang dalam dakwahnya. Juga tidak memiliki hak untuk melakukan penindasan terhadap rakyat bawahnya.” Ahmad Mansyur Negara, 2009,…………, hlm. 121  
[4] Hamka, 1976, Sejarah Umat Islam Jilid IV, Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 34-35. Meskipun sedikit berbeda, namun sebagai gambaran dalam literatur lainnya dijelaskan bahwa Dunia Melayu (The Malay World) merupakan suatu istilah yang sudah lama digunakan dalam literature asing untuk mengacu kepada kawasan yang lebih luas dari Nusantara, bahkan hampir meliputi kawasan Asia Tenggara. Secara umum wilayah hunia masyarakat Meliputi wilayah Tamiang (Aceh Timur), spenajang pantai timur Provinsi Sumatrea Utara (Kabupaten lNagkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu), Provinsi Riau dan Riau Kepulauan, Provinsi Kalimantan Barat, Malaysia Barat dan pesisir Malaysia Timur, daerah Selatan Mungthai, Brunei dan Singapura mengidentikkan diri merka, sebagai orang Melayu (Malay People), Eriswan, “Islam dan Budaya Melayu”, dalam Jurnal Ekspresi Seni, (vol.14.No.1, Juni 2015), hlm. 1
[5] Ali Anwar Yusuf, 2003,…………,hlm. 56
[6] M. Abdul Karim, 2007, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm. 136
[7] Taufik Abdullah dan Sharon Siddique, 1988, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, hlm. 59
[8] Ajaran Islam menyatakan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT, tetapi hal yang membedakan adalah  kadar iman dan taqwa. Ajaran ini disambut dengan baik oleh masyarakat Indonesia pada saat itu, karena sebelum kedatangan Islam, atau tepatnya pada masa Hindu masyarakat terbagi menjadi atas beberapa tingkatan, dalam hindu dikenal dengan sistem kasta, yang terbagi menjadi kasta brahmana (pendeta), ksatria (bangsawan), waisya (pedagang) dan sudra (rakyat jelata). Kelas sudra yang terdiri dari rakyat jelata, dianggap sebagai kasta kelas yang paling bawah. Namun demikian, secara umumnya ia terbagi kepada dua kelompok yaitu golongan bangsawan atau pemerintah (raja) dan golongan rakyat jelata yang menjadi hamba kepada golongan pemerintah atau bangsawan tersebut. Rakyat biasa bukan saja menjadi hamba dalam aspek pemerintah dan politik, malah juga dalam sebuah aspek sosial seperti pernikahan.  Ali Mohammad,_____,Sumbangan Tamadun Islam Dalam kehidupan Masyarakat di Alam Melayu Hingga Abad ke-17 M,______, hlm. 73  
[9] M. Abdul Karim, 2007,…………………, hlm. 144
[10] Musyrifah Sunanto, 2014,……………, hlm. 8-9
[11] Eriswan,2015,………………………………, hlm. 5
[12] Azyumardi Azra, 2010, Islam dan Penguatan Peradaban Nusantara,____,hlm.1
[13]Nurcholis Majid, 1995, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta: Penerbit Paramadina, hlm. 496
[14]Koentjaraningrat, 2002, Manusia dan Kebudayaandi Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan
[15] Kekhasan corak seni bangun masjid itu mungkin disebabkan oleh faktor keuniversalan yang terkandung dalam pengertian masjid menurut hadis, dan tidak adanya aturan yang dicantumkan dalam-dalam ayat Al-Qur’an bagaimana seharusnya membuat bangunan masjid, kecuali arahnya yang disebut kiblat. Dengan demikian dalam dunia Islam, kalangan arsitek dan masyarakat muslim mempunyai kebebasan untuk berkreasi membuat bangunan masjid  Uka Tjandarasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hlm.237
[16] Dalam bukunya Uka menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan masjid-masjid kuno di Indonesia dibangun dengan menngunakan atap tumpang. Pertama, mungkin dapat ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan ekolobi, yaitu dengan bagunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila hari panas. Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang disebut meru, yang pada masa kebudayaan Pra-Islam(Hindu-Budha) dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid meupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama Hindu-Budha ke Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (Cultural Shock), terutama karena di dalam masjid diajarkan ketauhidan. Uka Tjandrasasmita,……….., hlm. 240
[17] Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Kudus mengikuti jejak Sunan Kalijaga. Yakni dengan menggunakan model Tut Wuri Handayani. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit. Seperti penggunaan candi menjadi menara Masjid. Budiono Hadi Sutrisno. Sejarah Wali Songo Misi Pengislaman di Tanah Jawa. Yogyakarta : Graha Pustaka, hlm. 119
[18] Panitia Renovasi Masjid Agung, ______, 261 Tahun Masjid Agung Dan Perkembangan Islam di Sumatra Selatan._____, hlm. 15  
[19] Panitia Renovasi Masjid Agung,………………., hlm 16
[20]Musyrifah Sunanto, 2014,…………, hlm. 94
[21] Uka Tjandrasasmita,2009,…………., hlm 248
[22] Tiga tipe kepemimpinan menurut Max Webber, yaitu: 1. otoritas tradisional yang dimiliki berdasarkan pewarisan atau turun temurun, 2. otoritas karismatik, yaitu berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi, 3. otoritas legal rasional yang dimiliki berdasarkan jabatan serta kemampuannya. Bernard Raho, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 31
[23] Konsep daulat adalah sebuah contoh yang tepat, berasal dari bahasa Arab ,d-w-l dengan makna aslinya bergilir, berganti, istilah daulat berkembang menjadi konsep politik Islam untuk menandai kekuasaan sebuah dinasti dan akhirnya sebuah kerajaan. Dalam tradisi politik melayu, istilah daulat juga digunakan untuk menujukkan kekuasaan kerajaan, melekatkan elemen local dalam penggunaan istilah tersebut. Didefinisikan sebagai elemen ketuhanan dalam martabat raja. Daulat merujuk kepada elemen politik yang bercirikan supranatural, konsekuensinya daulat diasosiasikan dengan kedaukatan suci sang raja. Jajat Burhanuddin, 2012, Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, Jakarta: Penerbit Mizan, hlm. 25, jadi tidak mengherankan jika dalam konsep kekuasaan melayu menganggap raja dalah orang yang paling suci.
[24] Ali Mohammad, …………, hlm. 76
[25] M.C Ricklefs, 2011, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: hlm. 11-12
[26] Jajat Burhanuddin, 2012,………….hlm. 23 
[27] Salah satu tokoh muslim yang mendorong lebih jauh perkembangan bahasa melayu sebagai lingua franca di wilayah Melayu – Indonesia adalah al-Raniri, meski bahasa ibu al-Raniri bukanlah Melayu, penguasaannya atas bahasa ini tidak perlu diperdebatkan lagi. Azyumardi Azra, 2013,  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad VXII dan XVIII, Jakarta:  Kencana Prenada Media Grup, hlm. 237 
[28] Uka Tjandrasasmita, 2009, ……………………..., hlm. 290
[29] William Marsden, 2013, Sejarah Sumatra, Jakarta: Komunitas Bambu, hlm. 231
[30] Erniawati,…………,hlm. 6
[31] Erniawati,…………,hlm. 7



Jumat, 06 November 2015

Mungkin perasaan saya saja ??????????

Bagi saya, hari Jum'at merupakan hari yang penuh dengan keajaiban. Bagaimana tidak, di hari tersebut tepat pada tengah hari, mesjid akan dipenuhi oleh muslim laki-laki yang hendak menunaikan Ibadah Sholat Jum'at. Tak peduli betapa sunyinya mesjid tersebut pada hari-hari lain, khusus pada hari Jum'at mesjid tersebut akan dipenuhi oleh banyak muslim laki-laki. Orang tua, usia dewasa, remaja bahkan anak-anakpun turut hadir guna menjalankan ibadah ini. Mesjid seakan kedatangan tamu yang sangat banyak, sehingga terkadang para jamaah yang datangnya terlambat, harus rela menunggu diluar, karena ruangan mesjid tidak cukup lagi untuk menampung para jamaah.
Entah apa sebabnya,? Namun Sholat Jum'at seakan lebih populer dibandingkan sholat lima waktu dikalangan muslim laki-laki. Maaf beribu maaf, bukannya saya menafikkan kewajiban sholat lima waktu. Meskipun sholat Jum'at dan Sholat Lima Waktu hukumnya sama-sama wajib,  namun pada faktanya mesjid justru lebih ramai dipenuhi para jamaah pada saat ibadah sholat Jum'at dibandingkan pada waktu sholat lima waktu. sederhana bahkan cenderung tidak penting, tetapi bagi saya fenomena ini sangatlah unik.
Saya bukanlah orang yang pandai dalam menjelaskan perkara ini dalam pandangan Islam, dan tidak pula hebat menguraikannya ke dalam teori-teori ilmu sosial. Namun berbekal pemahaman dari logika sederhana saja, saya ingin mencurahkan pertanyaan yang terbesit dalam pikiran nan sempit. Dan dari apa yang saya rasakan serta saya alami selama ini, selain dari jumlah jamaah yang lebih banyak dari jamaah pada sholat lima waktu, ada pula perbedaan besar yang saya rasakan, yaitu perasaan sebagai makhluk yang sangat hina dihadapan Allah SWT, justru lebih menggema  pada saat Sholat Jum'at. Bahkan ikatan sebagai saudara muslim yang sama-sama berharap mendapatkan rahmat Allah SWT, begitu membumbung tinggi. Kata Amin yang diucapkan bersama-sama setelah Imam membacakan Al-Fatihah, diteriakkan dengan begitu lantang, namun dengan nada seolah-olah memelas, seperti mengatakan bahwa "Allah inilah kami umat Islam sebenarnya, kami beramai-ramai menyembahmu dalam penuh kehinaan, inilah kami kami dengan ikatan persaudaraan sesama muslim yang sangat kuat, berharap rahmat dari Engkau!!!!!". Emosi seperti ini sulit didapatkan pada saat sholat berjamaah dimesjid guna mendirikan sholat lima waktu, mungkin karena jemaahnya yang sedikit, maka emosi seperti itu sulit diciptakan, bahkan terkadang kata "amin" yang diucappun nyaris tak terdengar. Tak ada rasa kebersamaan, yang hanya ada melakukan serangkaian ritual ibadah yang dilakukan tanpa melibatkan perasaan. "Kosong" seakan tak bermakna.
Perasaan yang saya alami ini, membuat saya berasumsi bahwa, hendaknya Sholat Lima waktu ini juga ditegakkan seperti menegakkan Ibadah Sholat Jum'at, tidak dilakukan sendiri-sendiri. Bayangkan saja jika setiap lima kali dalam sehari kita berjamaah secara berama-ramai dalam menyembah Allah, memberikan kita semangat persatuan yang begitu tinggi. Sehingga, gambaran bahwa umat Islam itu seperti anggota tubuh, yang mana tatkala salahsatu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakannya, benar-benar dapat terwujud. Tidak lagi hanya berkutat pada tataran perencanaan, tetapi sudah betul-betul mapan prakteknya dalam kehidupan.
Mungkin, asumsi saya ini tidak berdasar, namun inilah yang saya rasakan selama ini, boleh saja orang lain mengatakan saya terlalu mengada-ada melalui pikiran ini, tetapi jika saya salah, maka tulisan ini tidak seharusnya ditulis oleh orang awam seperti saya, tetapi permasalahan ini seharusnya dipikirkan oleh orang-orang yang pandai dalam ilmu keagamaan. Jadi, harapan untuk mewujudkan persatuan dalam umat Islam, tidak hanya sebatas dimulut saja. Jika, sholat yang menjadi pondasi Islam saja tidak mampu menyatukan kita, maka jangan harap kita akan menjadi umat yang kuat.

Senin, 31 Agustus 2015

Tuan F2

Pukul 00.45 WIB, malam hari dan aku tetap terjaga di depan notebook berukuran kecil tetapi memiliki jasa yang besar bagiku, entah mengapa rasa kantuk sampai selarut ini belum juga datang, bahkan jari jemari seperti enggan terpisah dari keyboard yang tidak ada keistimewaan sama sekali, samalah dengan keyboard notebook pada umumnya, dipenuhi tombol-tombol angka, huruf-huruf, maupun simbol-simbol. Bagi ku terkadang kumpulan tombol tersebut seolah memiliki misteri, meskipun dipenuhi oleh berbagai tombol, tetap saja ada beberapa tombol yang sama sekali tidak pernah aku sentuh. Entah apa itu fungsinya??? yang jelas meskipun tombol itu ada, tetapi keberadaannya seringkali terabaikan. Sungguh tombol yang malang, ketika saudara-saudaranya mendapatkan sentuhan dan pijatan dari jari-jemari empunya notebook, engkau hanya berdiri kaku berharap mendapatkan sedikit sentuhan maupun pijatan, tetapi tetap saja harapan itu tidak akan pernah terwujud, jangankan disentuh atau dipijat, dilihatpun tidak. Oohhhh, sekali lagi tuan tombol yang malang, namun meskipun terabaikan engkau tetap berdiri rapi diantara saudara-saudaramu yang lain, tetap berbaris kokoh karena engkau tahu suatu saat keberadaanmu pasti akan dibutuhkan, karena engkau diciptakan pasti memiliki fungsi, tidak mungkin tidak.!!!! Misalkan saja tuan f2, engkau jarang sekali dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari para tombol dalam merangkai huruf maupun angka agar menjadi karya tulisan yang bermakna, bahkan dari banyaknya tulisan yang ada didunia ini, namamu tidak akan pernah tercantum. Keadaan yang sangat sulit, namun engkau tidak pernah protes maupun iri dengan saudara tombolmu yang lainnya, tetapi jika mereka menyadari, sebenarnya engkau tuan f2 !, adalah teladan sempurna bagi saudara-saudaramu yang lainnya, mengapa???? jawabannya simpel, ketika wadah tempat kalian para tombol berkumpul diserang oleh bangsa bar-bar yang menyebarkan virus pada mahakarya tulisan yang telah kalian rangkai. Ketika wadah tersebut terjangkit berbagai virus yang mengharuskan wadah tersebut untuk diinstal kembali, Tuan f2!!!, justru engkau lah yang tampil sebagai sosok pahlawan, justru engkaulah yang pertama kali yang akan ditekan dalam proses instal ulang tersebut. Jika engkau tidak ditekan, maka kinerja saudara tombolmu yang lainnya akan terganggu atau bahkan tidak akan pernah bekerja kembali. Tanpa ada keraguan, tak berlebihan rasanya jikalau engkau disebut sebagai pionir dalam memulai proses baru yang disebut dengan instal ulang, peradaban barupun dimulai berkat jasamu. Namun itu seperti "senjata makan tuan" atau bomerang bagimu, jasa besar yang engkau lakukan justru membuat popularitasmu akan kembali menurun, memang benar setelah instal ulang itu selesai, kinerja saudara-saudaramu akan kembali maksimal, ini pertanda bahwa perananmu dalam keyboard kembali akan terabaikan. Mungkin inilah yang membuatku tetap terjaga sampai selarut ini, ternyata lewat keheningan malam tuan f2 ingin menceritakan kepadaku apa yang sekarang ia rasakan.....