SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 27 Januari 2018

BENGKULU PADA ABAD XVIII – AWAL ABAD XX M

A. Geografis dan Sistem Administratif Bengkulu
Bengkulu[1] merupakan provinsi yang terletak di sebelah Barat Pulau Sumatera bagian Selatan. Luas wilayah Provinsi Bengkulu mencapai lebih kurang 1.991.933 Ha atau 19.991,33 Km2.  Secara astronomis provinsi Bengkulu terletak antara 2° LS dan 5° LS serta 101° BT dan 104° BT, sedangkan secara  geografis menurut P.N. Van Kempen dalam catatannya tahun 1861, wilayah Bengkulu di sebelah utara berbatasan dengan Indrapura, Serampai dan Kerinci, sebelah Timur berbatasan dengan Residensi Palembang, sebelah Barat berbatasan dengan distrik Lampung dan sebelah baratnya berbatasan dengan Lautan Hindia.[2]
Beberapa sumber menjelaskan bahwa, di Bengkulu dahulu pernah berdiri beberapa kerajaan, diantaranya Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Itam, Kerajaan Sillebar dan Kerajaan Muko-Muko. Adapun wilayah Kerajaan Sungai Lemau berpusat di muara Sungai Lemau dan sekarang menjadi daerah Pondok Kelapa, dengan batas wilayah di sebelah Utara berbatasan dengan Indrapura, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Palembang.
Kerajaan Sungai Hitam wilayah kekuasaannya berada di antara sungai Bangkahulu dan Sungai Itam, dengan batas wilayah ke hulunya hingga Air Ranah Kepahiang, kehilirnya pesisir laut. Berikutnya Kerajaan Silebar, wilayahnya meliputi Sungai Lempuing hingga Sungai Angalam, yang mencakup Tanjung Aur dan wilayah Lima Buah Badak. Terakhir adalah  kerajaan Muko-Muko, luas wilayahnya meliputi Empat Belas Kota, Lima Kota, dan Proatin Lima Puluh Sembilan.[3]                                                                                          Pada perkembangan selanjutnya terjadi beberapa peristiwa penting yang pada akhirnya menentukan arah perjalanan dari kerajaan-kerajaan tersebut, diantaranya menjalin hubungan dengan pihak Kerajaan Banten. Sebelum menguasai wilayah Bengkulu, Kesultanan Banten terlebih dahulu menjalin hubungan dengan Kerajaan Indrapura.
Hubungan tersebut dipererat dengan pernikahan antara Sultan Hasanuddin (1552-1570) dengan putri penguasa Inderapura. Saat itu, Sultan Hasanuddin (1552-1570) menerima seluruh kawasan di pesisir Selatan Sumatera sebagai emas kawin, termasuk di dalamnya daerah Bengkulu.[4] Hal ini menyebabkan Bengkulu menjadi bagian dari wilayah Banten. Hal ini ditandai dengan dikirimnya seorang perwakilan pihak Banten di wilayah Bengkulu dengan sebutan jenang, yang bernama Jenang Karia Sutra Gista.
Selanjutnya untuk mengukuhkan hubungan persahabatan diantara keduanya, maka pada tahun 1668 Depati Bangsa Radin (1638-1710) dari Kerajaan Silebar mendapatkan gelar dari Kerajaan Banten dengan nama Pangeran Nata Di Raja,[5] dan Baginda Sebayam yang disebut juga Tuan Pati Bangun Negara dari Kerajaan Sungai Lemau, dengan julukan Pangeran Raja Muda. Pemberian gelar tersebut merupakan pertanda bahwa saat itu Kerajaan Sungai Lemau dan kerajaan Silebar diakui sebagai salah satu wilayah yang berada di bawah pengawasan Banten dan sebagai daerah pemasok lada bagi mereka.[6]
Bukan hanya pihak Banten yang tertarik menjalin hubungan dengan kerajan-kerajaan yang ada di Bengkulu. Sejarah mencatat bahwa meskipun berada di bawah pengaruh Banten, Bengkulu saat itu juga telah mengadakan hubungan dengan Inggris (EIC).[7] Kedatangan bangsa Inggris untuk pertama kali menginjakkan kakinya di Muara Sungai Bengkulu pada tanggal 24 Juni 1685, di bawah pimpinan Benjamin Bloome dan Joshua Charlton.[8]
Perlu diketahui bahwa sebelum tiba di Bengkulu, bangsa Inggris terlebih dahulu mengunjungi Bandar Banten dan mendirikan kantor dagang di sana dalam waktu yang cukup lama, namun kekalahan dengan VOC[9] dalam upaya persaingan untuk merebut pengaruh di Bandar Banten menyebabkan mereka terusir dan pada akhirnya mengharuskan mereka untuk mencari wilayah baru guna kembali membangun kekuatan dagang mereka di Nusantara.[10]                           
Wilayah yang dimaksud adalah wilayah Bengkulu. Dipilihnya daerah Bengkulu sebagai tujuan berikutnya bukanlah tanpa alasan. Pada saat itu Bengkulu merupakan salah satu daerah penghasil lada yang besar dan potensi tersebut terlebih dahulu telah menarik perhatian dari Kesultanan Banten. Mengetahui hal tersebut, Inggris yang terusir dari Banten kembali menyusun kekuatan mereka dengan cara berusaha menguasai daerah-daerah pesisir Sumatera yang menjadi sumber penghasil lada bagi Banten. Dengan demikian, dampak dari pengusiran Inggris dari Banten tidak terlalu besar, karena Inggris tetap bisa memonopoli dan menguasai aktivitas perdagangan lada.
Pasca tiba di Bengkulu, langkah awal yang dilakukan oleh Inggris untuk menancapkan pengaruhnya dimulai dengan mendekati para penguasa lokal Bengkulu. Usaha ini pada akhirnya menghasilkan persetujuan antara penguasa lokal Bengkulu dengan bangsa Inggris pada tanggal 12 Juli 1685.[11] Dalam perjanjian tersebut, Inggris diwakili oleh Komisaris Ralph Ord (1685) dan Pangeran Sungai Raja Muda (1668) mewakili Kerajaan Sungai Lemau. Bersamaan dengan itu, diadakan pula perjanjian dagang dengan Raja Sungai Itam, yaitu Depati Bangsa Raja (1650-1686M). Kedua perjanjian ini memberikan hak tunggal kepada Inggris untuk memonopoli perdagangan lada di kedua wilayah kerajaan tersebut.[12]
Inti dari persetujuan tersebut adalah penguasa lokal Bengkulu memberikan izin kepada pihak Inggris untuk bermukim di daerah yang cukup luas, di Muara Sungai Bengkulu dan mendirikan benteng Marlborough (1718-1719) guna melindungi pemukiman serta kegiatan jual-beli lada.[13] Mengenai perjanjian tentang izin kolonial Inggris untuk melakukan aktivitas perdagangan lada dan pembangunan Benteng Marlborough di Bengkulu terdapat dalam catatan J. Kathirithamby, yang mengatakan bahwa:
In July 1685, the Company signed a treaty with the pangeran of Sungai Lemau and Sungai Itam, gaining exclusive delivery of pepper at a fixed price of 12 dollars per bahar (fixed, later, at 560 pounds) and land for a settlement, upon which they raised the robust Fort Marlborough. (pada Juli 1685, kompeni menandatangani perjanjian dengan Pangeran Sungai Lemau dan Sungai Itam, hingga mendapatkan pengiriman lada khusus dengan harga tetap 12 dollars per bahar (kemudian ditetapkan sekitar 560 Pounds) dan sebidang lahan untuk pemukiman tempat mereka membangun benteng Marlborough.[14]

Hal tersebut dikarenakan adanya protes dari pihak Banten terhadap perjanjian yang dilakukan oleh pihak Inggris dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu karena bagaiamanapun saat itu Bengkulu adalah wilayah kekuasaan mereka. Protes tersebut disampaikan oleh pihak Banten melalui perwakilan mereka Jenang Karia Sutra Gista. Dalam suratnya yang ditujukan kepada Benjamin Bloome (1685-1690) pada bulan Januari 1686, Jenang Karia menyampaikan keberatannya atas penguasaan Inggris di Bengkulu. Hal tersebut tampak pada isi surat yang tertera di dalamnya.
“Hendaklah anda memaklumi, bahwa rakyat tersebut adalah dan senantiasa merupakan hamba rakyat dari raja Banten, dan karena itulah maka saya diutus untuk mengutarakan bahwa hal itu membawa kesulitan dan juga tidak setia kepada sultan kami, yakni sultan Banten. Dan tuan sendiri tentulah mengerti bahwa mereka adalah hamba rakyat dari sultan kami, sehingga mengherankan sekali, bahwa pihak Inggris tidak merasa malu untuk berurusan dengan mereka serta bercongkol di tengah-tengah mereka. Lebih-lebih lagi dengan menandatangani kontrak dengan mereka, dan selain itu mendirikan perbentengan, yang sesungguhnya hanyalah dapat dilakukan dengan orang-orang yang berkuasa serta berwenang memberikannya. Apabila dunia mengetahui akan tindakan tersebut, maka hal itu akan sangat menurunkan reputasi atau nama baik Inggris._______sekiranya tuan berniat untuk melakukan perdagangan serta berdiam di negeri ini, seyogyanya tuan pergi menghadap kepada sultan Banten. Tetapi apabila tuan tidak hendak pergi menghadap, maka perusahaan tuan tidaklah memperoleh restu dari sultan. Kami akan mengirimkan pasukan ke Bengkulu”.[15]
           
Menanggapi surat tersebut, pihak Inggris yang diwakili oleh Benyamin Bloome (1685-1690), Robert Landy, dan Joshua Charlton, mengirimkan surat balasan kepada Jenang Karia. Inti dari surat tersebut pihak Inggris berkenan meninggalkan Bengkulu dengan syarat pihak Banten memberikan kesempatan bagi pihak Inggris tempo waktu selama sepuluh hari untuk berunding dengan sultan Banten, dan apabila tidak diperkenankan maka pihak Inggris meminta agar diberikan waktu paling lama tiga puluh hari untuk mengangkut barang dagangan, serta kebutuhan lainnya. Apabila belum terangkut semua dengan kapal yang tersedia, pihak Inggris meminta izin agar menempatkan dua orang tenaga untuk menjaganya, sembari menunggu kapal bantuan. Selain itu, pihak Inggris meminta agar pihak Banten membantu mereka untuk menagih hutang kepada para pembesar Bengkulu yang berhutang kepada mereka.[16]
Semua persyaratan yang diajukan oleh pihak Inggris ditolak oleh pihak Banten, dengan beberapa alasan diantaranya waktu tiga puluh hari yang diinginkan oleh pihak Inggris dirasakan terlalu lama, pihak Banten hanya memberi tempo selama delapan hari, sedangkan perihal penaguhan hutang yang dipinta oleh pihak Inggris, tidak bisa dikabulkan oleh pihak Banten karena para pembesar yang berhutang telah pergi meninggalkan Bengkulu dan menetap di daerah lain, sehingga mereka tidak berhak mencampuri urusan orang daerah lain.     
            Kenyataan di atas memberikan kesan bahwa pihak Inggris merupakan pihak yang dirugikan. Akan tetapi jika dikaji kembali, pihak Inggris sebenarnya telah memperhitungkan bahwa persyaratan kepada pihak Banten pasti ditolak. Tempo yang diminta oleh Inggris sebenarnya memberikan kesempatan kepada pihak Inggris untuk menyusun kekuatan menghadapi kemungkinan serangan yang akan dilancarkan oleh pihak Banten ke Bengkulu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Benyamin Bloome (1685-1690) dan Joshua King dalam suratnya yang ditujukan kepada Faktori Inggris di Madras untuk meminta bantuan.
“Kalau kapal bernama Siam Merchant tiba kelak, kendatipun kapal bernama Charles berangkat, maka kami tidak merasa cemas orang-orang Bengkulu meninggalkan kami. Tetapi katakanlah kapal Charles sudah pergi dan kapal Siam Mierchant belum muncul, sebelum pasukan-pasukan dari Jawa bersama telah datang, sedangkan para raja-raja Bengkulu beserta anak buahnya sekali lagi meninggalkan kita, kamipun tetap tidak akan merasa cemas dan takut, karena kami merasa sanggup memukul mundur serangan mereka apabila mereka datang dengan sikap bermusuhan serta bertujuan untuk mengenyahkan kita (Inggris) di Bengkulu”.   
             
Sikap yang ditunjukkan oleh Inggris tersebut pada akhirnya menyebabkan Belanda mendesak Sultan Abu Nasr Abdul Kahar atau Sultan Haji (1683-1687) mengirimkan pasukan kurang lebih 3.000 orang ke Bengkulu beserta sebuah armada Belanda di bawah pimpinan Jenang Karia Sutra Gista. Namun serangan tersebut gagal mengusir Inggris dari tanah Bengkulu, dikarenakan oleh beberapa faktor, diantaranya berjangkitnya penyakit di antara pasukan penyerbu, serta kurangnya bantuan Belanda hingga mengharuskan pihak Banten mengundurkan diri. Dengan demikian, Inggris dapat menuntaskan penandatanganan sebuah kesepakatan dengan seorang penguasa setempat, pangeran Silebar, yang menguasai satu-satunya tempat berlabuh aman bagi kapal-kapal yang berkunjung ke pesisir Barat Sumata, yaitu di Pulau Bay.
Pada perkembangannya, upaya bangsa Inggris untuk memonopoli perdagangan lada di Bengkulu semakin digiatkan dengan mendatangkan bantuan dari tentara Sepoi pada tahun 1760 yang berasal dari Madras, kemudian pada tahun 1785 digantikan dengan tentara Sepoi dari Benggala.[17] Para pasukan yang didatangkan tersebut berdiam di sekitar Benteng Marlborough (1718-1719), tepatnya di bagian belakang benteng. Kediaman orang Sepoi ini disebut dengan kawasan Keling (saat ini kawasan Kebun Keling), disebut kawasan Keling karena pada saat itu tentara Sepoi yang didatangkan memiliki warna kulit yang hitam.[18]
Selain mendatangkan bantuan tentara dari luar, perhatian serta usaha dari pihak Inggris terhadap kegiatan ekonomi di Bengkulu dipusatkan secara massive, namun pada kenyataannya keinginan pihak Inggris tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan. Ekspedisi yang mereka lakukan di Bengkulu terhambat oleh kondisi geografis Bengkulu dan hujan yang terus menerus, hingga rasa bosan dan penyakit malaria membunuh banyak orang Inggris yang saat itu berada di Bengkulu.
Sir Thommas Stamford Raffles
Kondisi tersebut mulai teratasi ketika pemerintah Inggris mengutus Sir Thommas Stamford Raffles (1818-1824) ke Bengkulu pada tahun 1818 sebagai Gubernur Jenderal.[19] Pada masa pemerintahannya Raffles mulai melakukan beberapa perubahan di berbagai bidang, diantaranya perubahan pada sistem birokrasi. Dalam kurun waktu 1818-1824, Raffles menerapkan sistem indirect rule atau sistem pemerintahan tidak langsung. Artinya dalam menjalankan tugasnya Raffles memiliki perwakilan-perwakilan yang berasal dari kelompok elite pribumi Bengkulu, mereka diberikan kedudukan penting sebagai seorang regent atau bupati, sehingga dalam menjalankan roda pemerintahannya Raffles melibatkan para regent.
Adapun secara administratif wilayah Bengkulu secara garis besar terdiri atas tiga ditrik yaitu Sungai Lemau, Sungai Itam dan Selebar. Distrik Sungai Lemau dipimpin oleh Regent Pangeran Lenggang Alam (1755-1833), dengan wilayah meliputi Lais, Kertopati, Air Besi, Air Padang, Padang Betua dan Sungai Lemau, yang terdiri dari 143 dusun dengan penduduk berjumlah 12.817 jiwa. Kabupaten Sungai Itam berada di bawah pimpinan Regent Pangeran Bangsa Negara (1750-1829), dengan wilayah meliputi Lembak VIII, Proatin XII, Tepi Air dan Darat, yang terdiri atas 42 dusun dan berpenduduk berjumlah 4.122 jiwa, sementara itu distrik Selebar berada dibawah kepemimpinan Regent Pangeran Nata Di Raja IV (1765-1831) dengan wilayah meliputi Andalas, Pagar Agung, dan Selebar, yang terdiri atas 50 dusun dengan penduduk berjumlah 6.962 jiwa.[20]  
Tidak hanya pada tatanan birokrasi, Raffles juga melakukan pembangunan dan perbaikan pada fasilitas-fasilitas yang ada di kota Bengkulu. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pembangunan-pembangunan gedung dan jalan raya yang dilakukan pada masa pemerintahannya, sehingga dalam waktu singkat Raffles berhasil membangun Bengkulu menjadi ibu kota yang sungguh dapat dibanggakan.[21]Meskipun Raffles berhasil mengubah wajah kota Bengkulu menjadi terlihat menarik, tetapi Bengkulu bukanlah tujuan akhir dari cita-cita Raffles. Di Bengkulu Raffles mulai merancang untuk mencari wilayah lain yang menurut perhitungannya lebih memiliki nilai ekonomis dibandingkan dengan Bengkulu. Saat itu, tanpa sepengetahuan pemerintah Inggris, Raffles mencoba mendirikan pelabuhan Singapura untuk menunjang kepentingan perdagangan bangsa Inggris. Pada awalnya rencana besar Raffles ini tidak didukung oleh pemerintah Inggris karena bisa memicu terjadinya perang dengan pihak Belanda yang secara resmi sebenarnya berhak atas daerah tersebut. George Canning salah seorang pejabat pemerintah Inggris menulis surat kepada Raffles yang berisi ketidaksetujuan terhadap ide gila Raffles tersebut. Adapun kutipan dari isi suratnya adalah sebagai berikut:

“Saya tidak menyangkal bahwa kegiatan ekstrimmu dalam mengorek-ngorek pertanyaan-pertanyaan sulit dan kesukaanmu dengan seenaknya membuat pemerintahmu terlibat, tanpa pengetahuan dan mandat mereka, dalam langkah-langkah yang mungkin saja mendatangkan perang  pada mereka tanpa persiapan, pernah pada suatu ketika memaksa saya untuk mengucapkan apa yang ada dalam pikiran saya kepadamu dengan kata-kata yang tidak begitu halus”.[22]

Sikap dari George Canning tidak menyurutkan keinginan Raffles. Pada tanggal 29 Januari 1819 cita-cita Raffles untuk mendirikan Singapura berhasil diwujudkan. Sesuai dengan dugaan George Canning dalam suratnya, keberhasilan yang dicapai oleh Raffles ternyata mendapatkan respon keras dari pihak Belanda, mereka memprotes kebijakan Raffles karena mendirikan Singapura yang sebenarnya berada dalam wilayah kekuasaan kolonial Belanda.[23] Protes dari pihak Belanda pada akhirnya berhasil diselesaikan melalui suatu perjanjian yang dikenal dengan sebutan Traktat London 1824. Inti dari perjanjian tersebut adalah untuk mengatur pertukaran wilayah antara Inggris dan Belanda, dimana Inggris menyerahkan Bengkulu kepada Belanda, sedangkan sebagai gantinya Inggris mendapatkan Malaka dan Singapura dari tangan Belanda.[24] Traktat ini pula menandakan berakhirnya masa kepemimpinan Raffles di Bengkulu. Meski disepakati pada tahun 1824, Kota Bengkulu baru secara resmi diambil alih oleh Belanda setahun kemudian, yaitu pada tahun 1825. Dalam serah terima wilayah tersebut, pihak Inggris diwakili oleh John Prince sedangkan Belanda diwakili oleh Asisten Residen Belanda E.A Francis.[25]
Pada masa kependudukan Belanda (1825-1942), secara administrasi wilayah  Bengkulu pada masa kolonial Belanda tahun 1832 terbagi atas tujuh distrik, salah satu distrik merupakan distrik tambahan dari Palembang, yaitu distrik Ampat Lawang. Kemudian pada tahun 1911, wilayah Bengkulu terbagi atas enam distrik, dimana distrik Ampat Lawang tidak lagi termasuk ke dalam wilayah Bengkulu. Adapun keenam distrik tersebut adalah Bengkulu sebagai Ibukota, Seluma, Manna, Kaur, Krue, dan Lebong, sedangkan empat wilayah lainnya dijadikan sebagai sub-distrik, diantaranya daerah Lebong, Lais, Rejang dan Muko-Muko.[26]
Dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda, sistem indirect rule yang diterapkan oleh Raffles ditiadakan, sebagai gantinya pemerintah Belanda menerapkan sistem direct rule atau sistem pemerintahan langsung. Sistem ini mengkesampingkan peranan para elite pribumi Bengkulu dalam urusan pemerintahan di Kota Bengkulu. Puncaknya adalah dihapuskannya gelar regent pada tahun 1870. Hal ini menjadikan pemerintah Belanda dalam menjalankan roda pemerintahan memiliki kekuasaan penuh atas wilayah Bengkulu. Masa pemerintahan Belanda di Bengkulu sendiri harus berakhir pasca kedatangan Jepang ke Bengkulu. Adapun kekuasaan bangsa Jepang di Bengkulu dan Indonesia pada umumnya berakhir saat Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Meski demikian, berita kemerdekaan di Bengkulu baru tersebar luas pada bulan september 1945. Bengkulu secara resmi diserahkan oleh pihak Jepang kepada pihak pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Oktober 1945.[27]
Setelah Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara merdeka, Bengkulu tidak langsung menjadi provinsi, namun terlebih dahulu ditetapkan sebagai kota kecil yang tergabung dalam wilayah Provinsi Sumatera Selatan. Pada tahun 1957 Kota kecil Bengkulu berubah menjadi Kotapraja berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1957. Perubahan status menjadi provinsi baru diresmikan sejak tanggal 18 November 1968. Saat itu, Bengkulu merupakan provinsi ke 26 di Republik Indonesia yang disahkan melalui Undang-Undang No. 9 tahun 1967.[28]
Saat ini, secara administrasi Provinsi Bengkulu terdiri atas sembilan kabupaten dan satu kota, dimana wilayah Krui yang menjadi bagian dari Bengkulu pada masa Kolonial Belanda tidak lagi menjadi bagian dari wilayah Bengkulu melainkan masuk ke dalam wilayah adminstrasi Provinsi Lampung. Sedangkan beberapa daerah yang menjadi distrik pada masa Belanda saat ini berubah menjadi kabupaten, diantaranya Kabupaten Bengkulu Selatan (Manna) (1.186,10 Km2), Rejang Lebong (1.639,98 Km2), Kaur (2.369,05 Km2), dan Seluma (2.400,44 Km2), sedangkan wilayah sub-distrik pada masa Belanda saat ini telah menjadi kabupaten tersendiri, diantaranya Muko-Muko (4.036,70 Km2), Lebong (1.921,82 Km2), Kepahiang (665 Km2), Bengkulu Utara (4.324,60 Km2), dan Bengkulu Tengah (1.223,94 Km2), sedangkan Kota Bengkulu tetap menjadi ibukota provinsi (151,70 Km2).[29]
Kota Bengkulu sebagai pusat provinsi, secara astronomis terletak pada 102°14’42”-102°22’45” BT dan 3°43’49”-4°01’00” LS, sedangkan secara geografis Kota Bengkulu di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan Bengkulu Selatan, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Utara, sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Adapun wilayah Kota Bengkulu secara administratif berdasarkan Perda No.3 Tahun 2011[30] terdiri atas sembilan kecamatan, diantaranya Kecamatan Selebar, Kampung Melayu, Gading Cempaka, Ratu Agung, Ratu Samban, Singgaran Pati, Teluk Segara, Sungai Serut dan Muara Bangkahulu. Dari sembilan kecamatan tersebut terdapat 67 kelurahan.[31] Berdasarkan ketinggian wilayah, Kota Bengkulu terletak pada ketinggian antara 0-100 m/dpl dengan persebaran sporadis pada setiap wilayah kota, sehingga hal ini menyebabkan kota Bengkulu memiliki relief permukaan tanah yang bergelombang. Lokasi dengan titik tertinggi (hingga 100m/dpl) berada di bagian Tenggara (Kec.Selebar), sementara titik terendah berada di bagian Selatan, Utara dan Timur (antara 0-10 m/dpl), sedangkan pusat Kota Bengkulu sendiri berada pada ketinggian antara 10-25 m/dpl.[32]
Di beberapa tempat juga terdapat beberapa cekungan alur sungai dengan beberapa relief-relief kecil. Sebagian besar sungai mengalir dari daerah pegunungan Bukit Barisan ke arah Barat (laut), kecuali beberapa sungai di daerah Kabupaten Rejang Lebong yang mengalir ke arah timur, yaitu Air Sungai Rawas, Musi, Lakitan, Merah, Putih, Kelingi dan Beliti. Sedangkan sungai-sungai yang mengalir ke arah Barat antara lain Air Sebelat (Kabupaten Rejang Lebong), Ketahun, Seragan, Lais, Bintunan, Kancing (Kabupaten Bengkulu Utara), Sungai Itam, Sungai Serut,  Sillebar (Kotamadya Bengkulu), Air Jenggalu, Air Padang, Tais, Seluma, Talo, Pino, Manna, Bintuhan, Padang Guci, dan Air Tekap (Kabupaten Bengkulu Selatan).[33]
Di antara sungai-sungai tersebut yang cukup besar dan dapat dilayari sampai ke pedalaman adalah Air Ketahun dan Air Sebelat. Biasanya sungai ini dapat dilayari dengan kapal motor kecil yang dipergunakan oleh nelayan atau petani untuk mengangkut hasil hutan seperti kayu dan rotan. Sungai-sungai yang lebih kecil di samping untuk transportasi bagi petani ke ladang yang terletak di daerah pedalaman dengan menggunakan sampan dan rakit, juga merupakan sumber mata pencarian untuk menangkap ikan. Sedangkan beberapa sungai lainnya menjadi penghasil pasir dan batu berkualitas baik untuk bahan bangunan. Bahkan, Air Bintuhan merupakan penghasil batu koral yang indah dan menarik.[34]

B. Gambaran Umum Masyarakat Bengkulu
1. Kehidupan Sosial
Masyarakat Bengkulu merupakan masyarakat yang beragam. Berbagai macam suku seperti Minangkabau, Bugis, Cina dan India hadir disana. Menurut sejarahnya, kedatangan bangsa Minangkabau ke daerah Bengkulu pertama kali dipimpin oleh Datuk Bagindo Maharajo Sakti sebagai raja pertama yang berasal dari kerajaan Pagaruyung (Minangkabau), yang kemudian menjadi suami dari Puteri Gading Cempaka, ratu pertama dari Kerajaan Sungai Lemau.[35]
Kerajaan Sungai Lemau mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan Pangeran Mangku Raja (1668). Kemajuan ini menarik minat dari suku bangsa lainnya untuk datang ke Bengkulu, di antaranya suku Jawa, Banten, Palembang, Lembak, Lampung dan Bugis. Menariknya, kedatangan suku Bugis ke Bengkulu pada tahun 1688 bukanlah didasari oleh motif ekonomi, melainkan bertujuan untuk meredam perlawanan yang dilancarkan oleh rakyat Bengkulu kepada pemerintah kolonial Inggris yang saat itu telah berkuasa di wilayah Bengkulu.[36] Tidak hanya mendatangkan orang Bugis, pada masa kekuasaannya Inggris juga membawa orang-orang dari luar Indonesia, yaitu bangsa Cina, India, serta para budak Afrika ke Bengkulu. Bahkan orang Cina tersebut telah menetap di Bengkulu dan membuat suatu perkampungan khusus yaitu Kampung Cina yang letaknya tidak jauh dari Benteng Marlborough.[37]
Orang Cina menghuni kawasan yang letaknya terpisah dari pemukiman penduduk lainnya, yang disebut dengan Pasar Cina. Mereka memiliki sistem pemerintahannya sendiri yang dipimpin oleh seorang Kapten Cina, yaitu orang yang paling kaya dan bertanggung jawab di komunitas itu.[38] Sementara itu, bangsa India yang pertama kali dibawa oleh Inggris merupakan tentara yang berasal Madras pada tahun 1760. Namun pada tahun 1785, mereka ditarik kembali dan digantikan dengan tentara dari Benggali, sebagian besar dari mereka menganut agama Islam dari sekte Syi’ah. Selain bangsa pendatang, di Bengkulu juga terdapat masyarakat pribumi yang berasal dari beragam etnik dengan bahasa daerah dan dialek yang berbeda. Seperti bangsa Melayu, Rejang, Enggano, Serawai, Lembak, Pasemah, Mulak, Bintuhan, Pekal dan Muko-Muko.[39]
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bengkulu telah mengenal adanya stratifikasi sosial yang menjelaskan pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan dalam masyarakat.[40] Menurut Asisten Residen Francis (1828-1831), stratifikasi sosial masyarakat Bengkulu dari yang paling tinggi hingga paling rendah terdiri dari kepala pribumi, kelompok orang-orang tua (para tetua adat, ulama), anak-anak raja, masyarakat biasa, orang merdeka, orang berutang, dan para budak.[41]    Penggolongan kelas di atas telah menciptakan jarak yang cukup jauh antara golongan kelas atas dan golongan kelas menengah ke bawah. Namun penggolongan tersebut sama sekali tidak menunjukkan suatu pertetangan yang tajam, bahkan antara kelompok satu dengan yang lain bisa saling bekerjasama, memiliki rasa persatuan dan kebersamaan. Hubungan antara penguasa dan rakyat di Bengkulu lebih bersifat patrimonial. Menurut Max Webber sistem patrimonial merupakan sistem hubungan antara penguasa dan bawahan sebagai bapak dan anak buah atau hubungan patron dan client.[42]
Hubungan ini ditentukan bukan karena kemampuan atau profesinya melainkan oleh loyalitas masyarakat (client) terhadap atasan (patron). Meskipun demikian, bukan berarti patron bisa bertindak semaunya kepada client, semua hubungan tersebut teratur di dalam hukum adat, sehingga jika ada seorang raja yang tidak mampu menjalankan tugas sesuai adat atau bertindak menyimpang dari adat yang telah ditentukan maka hilanglah kepercayaan rakyat kepadanya.[43] Seiring banyaknya bangsa asing yang datang ke Bengkulu, khususnya bangsa Eropa, maka stratifikasi sosial masyarakat mengalami pergeseran. Berdasarkan laporan Van der Vinne, posisi puncak dalam masyarakat Bengkulu yang semula dipegang oleh kepala pribumi digantikan oleh orang-orang Eropa yang datang ke Bengkulu sebagai ambtenaar dan officer, seperti asisten residen, notaris, juru lelang, juru pelabuhan dan juru gudang. Sementara itu, untuk daerah luar Bengkulu dipercayakan kepada controleur, posthouder dan gezagheber yang semuanya berasal dari orang Belanda. Tugasnya adalah sebagai penanggung jawab wilayahnya masing-masing.[44]
Kelompok kedua adalah orang-orang Cina yang jumlahnya sekitar 544 jiwa. Pada umumnya mereka rajin berkerja, berdagang keliling dan menyebar di beberapa tempat. Sebagian juga mereka terlibat dalam urusan perdagangan dengan pihak pemerintah Belanda bahkan ada yang menjadi pemborong, baik dalam hal jual beli hasil bumi maupun perkebunan.[45]
Ketiga adalah orang-orang Persia dan Arab yang jumlahnya sedikit, merupakan kelompok tersendiri sebagai kaum pedagang. Kelompok keempat ditempati oleh orang-orang kafir yang bekerja pada orang-orang pensiunan Inggris.[46]
Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kelompok-kelompok masyarakat yang termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir, namun informasi mengenai kelas pekerja tersebut terdapat dalam  tulisan Benjamin Heyne. Heyne memang tidak menyebutkan kelas pekerja yang mengabdi kepada orang Inggris sebagai kelompok orang-orang kafir, melainkan disebut dengan kelompok para budak.[47] Orang Inggris di Bengkulu mempunyai sekitar 300 budak dan mereka hidup berpencar diantara kaum pendatang.Mereka yang tinggal bersama pendatang sebagian besar berdarah Melayu, sementara yang bekerja untuk EIC sebagian berdarah Afrika, yang sebagian besar berasal dari daerah Madagaskar, Angola, dan Mozambik. Kelompok budak ini sering pula disebut dengan caffree,[48] sehingga besar kemungkinan sebutan kafir yang ditujukan kepada mereka berasal dari istilah caffree. Mereka dikenal sebagai pelayan yang setia mekipun diberikan kebebasan untuk merdeka, sehingga ada anggapan bahwa mereka akan  tetap memilih menjadi budak orang Inggris dalam kondisi apapun.[49]
Kelompok kelima adalah orang-orang Benggala yang jumlahnya lebih sedikit daripada orang-orang Cina. Menurut laporan Vinne, semangat kerja orang Benggala lebih lambat dibandingkan dengan orang Melayu, bahkan lebih sulit dibina. Banyak orang Benggala yang tinggal di Bengkulu bekerja sebagai pengrajin maupun pelayan.[50] Kelompok keenam adalah orang Nias. Kelompok Ketujuh adalah orang-orang Melayu yang jumlahnya paling besar. Mereka datang dari berbagai dusun sebagai pengrajin dan membuka usaha kecil-kecilan.[51]
                       
2. Kehidupan Ekonomi
Sejarah mencatat bahwa beberapa wilayah di Bengkulu pada awal abad ke 17-M merupakan salah satu pusat perdagangan lada, diantaranya adalah wilayah Kerajaan Sungai Silebar dan Kerajaan Sungai Lemau. Hal tersebut,   menyebabkan terdapat pasar-pasar di daerah pesisir yang dijadikan sebagai tempat transaksi jual beli barang. Adapun empat pasar yang ada dihilir Bengkulu adalah Pasar Pondok Tuadah, Pasar Malintang, Pasar Baroo, dan Marlborough (Malabero).[52] Dengan keberadaan pasar tersebut pada saat itu masyarakat Bengkulu telah ikut terlibat dalam kegiatan perdagangan dan berprofesi sebagai seorang pedagang. Aktivitas perdagangan tersebut tetap berkembang meskipun Bengkulu beralih ke masa kependudukan kolonial asing.
Pada masa kependudukan Inggris (1685-1824), buah pala dan cengkeh pernah menjadi komoditi yang sangat penting di wilayah Sillebar, dimana kedua tanaman ini menjadi sumber penghasilan tersendiri bagi elite pribumi yang ada di Sillebar, sebagaimana yang tercatat dalam surat elite pribumi Sillebar kepada Edwards Coles (1781-1785) mengenai peraturan  jual beli buah pala dan cengkeh di wilayah tersebut.[53]  Berbeda dengan aktivitas perdagangan, aktivitas pertanian padi di Bengkulu tidak begitu berkembang akibat ketidaksesuaian lahan untuk menanam padi dan kesuburan tanah yang rendah.[54] Dalam catatan kolonial dijelaskan bahwa sebagian besar padi di kota Bengkulu di tanam di ladang atau di rawa-rawa, sehingga hasil yang didapatkan tidak begitu maksimal. Hal ini seringkali menyebabkan kelaparan dan munculnya wabah penyakit di wilayah tersebut. Untuk mencukupi jumlah konsumsi beras yang ada di Bengkulu, maka aktivitas pertanian dipusatkan di daerah yang subur seperti daerah  Lebong dan Rejang. Kedua wilayah ini menjadi daerah pemasok beras untuk kota Bengkulu yang jumlah pengirimannya mencapai 2 juta kilogram beras.[55] 
Langkah di atas juga di dukung dengan ditempatkannya seorang insinyur di Bengkulu pada tahun 1913 untuk melakukan penyelidikan dan penelitian  guna mengatasi permasalahan pertanian padi yang ada di Kota Bengkulu, selain itu pada tahun 1915 di Bengkulu didirikan pula perguruan tinggi pertanian pribumi. Kedua langkah tersebut menjadikan pertanian padi sebagai sektor yang menguntungkan. Salah satu upaya sederhana yang dilakukan untuk meningkatkan hasil produksi padi adalah diterapkannya teknik minapadi, dengan cara melepaskan bibit ikan di sawah, sehingga sawah tidak hanya diperuntukkan untuk menanam  padi saja melainkan juga dijadikan sebagai kolam peternakan ikan. Percobaan ini berhasil dengan baik, sehingga produksi terus berkembang di setiap tahunnya.[56]
Bukan hanya produksi beras, aktivitas pertanian juga ditujukan pada tanaman kopi, tembakau dan sirih. Khusus untuk tanaman kopi ditanam di daerah pegunungan, terutama di daerah Krui. Pada tahun 1913, total ekspor kopi dari daerah ini hampir mencapai angka 9.000.000 kilogram, sedangkan tanaman tembakau yang sangat dicari berasal dari daerah Rejang. Selain itu, aktivitas pertanian juga menghasilkan tanaman pinang, jagung, gambir, tebu, kelapa (output 380.000 kilogram kopra), ubi kayu, kacang, kapulaga, karet, dan Rotan.[57]
Selain aktivitas pertanian, masyarakat Bengkulu juga melakukan kegiatan perburuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kegiatan perburuan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan sederhana seperti perangkap ayam hutan (acit ayam berugo), jaring rusa, dekut kijang, dekut ruak-ruak, perangkap puyuh dan lain-lain. Meskipun dengan alat sederhana, namun hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bengkulu telah memiliki pengetahuan dalam mengumpulkan makanan.
Dari informasi yang didapatkan, kegiatan perburuan hewan yang cukup besar seperti rusak tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan dilakukan secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang teganai (pawang) yang dibantu oleh beberapa orang dalam kelompok-kelompok yang memiliki tugas masing-masing, seperti kelompok banjei (kelompok kejut), kelompok lambung (tengah) dan kelompok bagian ujung.[58]
Dalam pelaksanaannya, kegiatan berburu masih dipengaruhi oleh unsur sakral, seperti pembacaan mantra dalam setiap aktivitas perburuan yang dibacakan oleh teganai, adapun mantra yang dibacakan adalah “Hai sekedar rusa, hai sekedar rotan, jaring tibo, ruso datan, lain juo jaring kito”. Mantera ini dibacakan berulang-ulang sebanyak tiga kali, serta dilanjutkan dengan bacaan selanjutnya “Ho Rajo Seliman, ho Rajo Seliman, mari kito berepek surak, ruso malang ruso celako, ruso mangulang ditinjak lamo”.[59]
Pembacaan mantra tersebut dianggap sebagai hal penting yang turut menentukan berhasil atau tidaknya aktivitas berburu. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang ilmiah, sebenarnya dalam kegiatan perburuan tersebut hubungan kerjasama antar kelompoklah yang menjadi faktor penentu berhasil atau tidaknya aktivitas perburuan.

3. Sistem Keyakinan
Jauh sebelum kedatangan agama Islam, masyarakat Bengkulu sudah mengenal bentuk keyakinan. Sama halnya dengan masyarakat nusantara pada umunya, masyarakat Bengkulu telah menganut sistem animisme dan dinamisme,[60] serta dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha.[61] Pengaruh Budha dimungkinkan berasal dari daerah Palembang yang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.[62]Sedangkan pengaruh Hindu dibawa oleh penguasa-penguasa lokal yang berasal dari Majapahit, sebagaimana banyak diceritakan dalam tradisi lisan.
Pengaruh Hindu-Budha antara lain tampak di daerah Rejang, dengan adanya upacara Mendundang Benih dan upacara Kejai. Upacara ini dilakukan menggambarkan rasa syukur dan permohonan pada Dewi Sri agar diberkahi dan memperolah hasil panen yang baik serta dilindungi dari mara bahaya. Adapun di daerah Kaur (Manna) pengaruh Hindu-Budha tampak pada upacara-upacara seperti upacara kelahiran, kematian, pemotongan rambut, kikir gigi selain itu juga dalam upacara pengambilan sumpah, sedangkan bentuk lain dari pengaruh tersebut adalah pengenalan terhadap dewa dan  adanya dupa serta pembakaran kemenyan disaat berlangsungnya upacara-upacara tersebut.                                  Adapun kepercayaan animisme-dinamisme yang berkembang di Bengkulu berupa kepercayaan pada orang alus, yaitu sesuatu yang superior dan mempunyai kekuatan untuk melakukan kejahatan ataupun kebaikan pada manusia. Penduduk Bengkulu pada saat itu sangat menghormati orang alus ini.[63] Pada umumnya kebiasaan para penduduk untuk membuat sesajian adalah untuk orang alus agar mereka dilindungi dan terhindar dari segala macam ganggguan. Selain itu, sering dilakukan juga upacara pemanggilan orang alus dengan cara membakar kemenyan yang dipanggil oleh seorang dukun.[64] Di Kaur (Manna), sesajian diberikan kepada leluhur yang sudah meninggal yang dianggapnya pantas menerima penghormatan besar dan mereka berkali kali diberi sesaji. Sesaji diberikan terutama di rumah poyang.[65] Selain itu, masyarakat Bengkulu juga mempercayai benda-benda yang mereka anggap memiliki kekuatan, seperti keris, kuburan tua, batu-batu besar, dll.

4. Sistem Pengetahuan
            Dalam sistem pengetahuan, bisa dikatakan masyarakat Bengkulu telah memiliki pengetahuan yang cukup tinggi. Misalkan pengetahuan mengenai tumbuh-tumbuhan yang bisa dimanfaatkan untuk obat-obatan, seperti akar sekembung, getahnya dimanfaatkan untuk obat luka yang paling mujarab, akar cinta ali adalah obat malaria, akar seghikau dapat diminum airnya kalau keadaan sudah terdesak dalam hutan, jenis-jenis cendawan dijadikan obat sakit perut, dan masih banyak tumbuhan lainnya.[66]
            Selain pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan, masyarakat Bengkulu juga telah memiliki pengetahuan membaca gejala-gejala alam. Masyarakat pesisir pantai sudah memiliki pengetahuan secara umum tentang waktu pasang naik dan pasang surut, hal ini berhubungan dengan profesi mereka sebagai seorang nelayan. Setiap sehari semalam terjadi dua kali pasang surut dan pasang naik, yang jarak satu dan lainnya sama sepanjang waktu. Perbedaan waktu pasang setiap hari lebih kurang 30 menit lebih lambat dari hari sebelumnya. Masyarakat pesisir mengetahui bahwa pasang juga terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya pasang anak bulan. Pasang ini adalah pasang naik yang lebih besar dari pasang-pasang lainnya yang terjadi tiga kali dalam sebulan. Selain itu, masyarakat pesisir juga mengetahui apabila melihat fenomena awan berbentuk sisik ikan, berarti pada waktu itu merupakan musim katung bertelur dan ikan banyak ditepi laut, sehingga waktu tersebut merupakan kesempatan untuk mencari telur katung dan menangkap ikan. Selain dari awan, gejala alam juga bisa dilihat dari bulan. Apabila bulan berdekatan dengan bintang, pertanda bahwa badai akan segera datang, sehingga para nelayan harus bersiap-siap untuk menyelamatkan diri.[67] Tidak hanya masyarakat pesisir, masyarakat pedalaman yang berprofesi sebagai petani juga memiliki pengetahuan untuk membaca fenomena alam. Misalkan apabila matahari bewarna merah, maka itu pertanda musim kemarau sudah tiba, sehingga waktu tersebut tidak baik untuk bertanam padi atau tanaman lainnya. Masyarakat juga mengetahui tanah yang bagus untuk bercocok tanam atau tidak. Bagi mereka tanah yang subur ditandai dengan banyak kotoran cacing tanah yang besar-besar dan banyak tumbuh batang puar, tanahnya bewarna hitam, dan kayu-kayuan berdaun rimbun atau batu-batuan jika dibelah berwarna hitam.[68] Selain pengetahuan untuk membaca fenomena alam, masyarakat Bengkulu juga memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat mistis. Misalnya jika mereka melihat seekor burung (ruak-ruak) memasuki rumah seseorang, itu menandakan bahwa keluarga rumah tadi akan ditimpa kesusahan. Itulah sebabnya kalau ini terjadi, biasanya keluarga yang bersangkutan akan mengadakan do’a tolak balak (menolak bahaya yang akan terjadi).[69]
            Sistem pengetahuan masyarakat Bengkulu juga bisa dilihat dari kemampuan baca dan tulis mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peninggalan naskah-naskah kuno yang ditulis dengan menggunakan huruf asli masyarakat Bengkulu, yaitu huruf ka-ga-nga. Naskah-naskah tersebut biasanya ditulis di atas permukaan bilah bambu, kulit kayu, kertas ataupun kulit hewan. Naskah tersebut memuat banyak informasi di dalamnya, diantaranya mengenai ilmu-ilmu agama, pengobatan, dll. Menariknya dari jenis informasi yang disampaikan dalam naskah, kedudukan si penulis dalam masyarakat bisa diketahui. Jika penulis naskah tersebut adalah seorang dukun atau tabib, maka tulisan yang dihasilkan hanya berkisar pada teks-teks tentang pengobatan. Sementara itu, tulisan yang banyak memuat tentang ajaran-ajaran Islam, maka kedudukan si penulis dalam masyarakat adalah seorang ulama, ataupun tulisan mengenai adat kebanyakan ditulis oleh para kepala adat. Hal ini merupakan fenomena yang mudah dipahami, mengingat tulisan yang termuat dalam naskah merupakan aset penting bagi posisi mereka, misalkan bagi para dukun atau tabib, penulisan naskah tersebut dijadikan sebagai media untuk melestarikan pengobatan tradisional kepada keturunan mereka.[70]                                                                    
           Pada perkembangan selanjutnya, pengaruh Islam juga mulai masuk ke wilayah Bengkulu, sehingga pengetahuan masyarakat Bengkulu tentang baca tulis bertambah, tidak hanya sebatas pada huruf ka-ga-nga, namun juga mulai mengenal huruf jawi, yang dituliskan dengan huruf Arab dan ejaannya menggunakan bahasa melayu. Sehingga tidak jarang bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan akan huruf ka-ga-nga dan huruf jawi, menulis suatu naskah dengan menggunakan ke dua huruf tersebut secara bersamaan. Biasanya tulisan ka-ga-nga ditulis di sebelah kanan, sementara itu tulisan jawi di sebelah kiri naskah. Sementara itu, terdapat juga naskah-naskah yang ditulis hanya menggunaka huruf jawi, diantaranya surat para penguasa Bengkulu dan catatan-catatan mengenai budaya masyarakat, salah satunya adalah naskah Cerita dari Tabot.[71]
Tidak hanya dalam bentuk naskah kuno, ekspresi masyarakat Bengkulu mengenai huruf Arab juga dituangkan di atas permukaan sebuah kain batik, yang disebut dengan batik besurek. Batik ini tersusun dengan motif lokal dengan pola kaligrafi, sementara kandungan nilainya bersumber pada Islam. Batik tidak hanya sekedar sebagai pakaian, namun juga menjadi bagian dari ritual. Karena aslinya kain besurek merupakan kain bertulisan ayat-ayat yang bernilai sakral yang penggunaannya hanya ditujukan untuk menutupi keranda jenazah, sedangkan kain besurek tersebut tidak digunakan untuk baju. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian masyarakat Bengkulu dalam penggunaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penutup tubuh, dianggap sebagai hal yang merendahkan Al-Qur’an, sehingga ketika kain batik besurek dimodifikasi dalam bentuk pakaian, maka batik besurek menampilkan motif dengan cara menyamarkan tulisan yang masih mirip kaligrafi tetapi hakikatnya tidak terbaca.[72]
Tidak hanya mengenal huruf Arab, seiring perkembangan zaman dan majunya dunia pendidikan di awal abad 20 M, menyebabkan sebagian besar masyarakat Bengkulu mulai mengenal huruf latin yang diajarkan disekolah-sekolah. Baik sekolah yang diadakan oleh pemerintah dan swasta mulai didirikan di Bengkulu. Dari pihak pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1918 mendirikan sekolah dasar, HIS (Holland Indische School) adalah sekolah Belanda untuk bumiputera (1919), Sekolah Angka I/II, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara dengan sekolah menengah pertama, ELS (Europeesche Lagere School) diperuntukkan bagi keturunan Eropa, HIK (Hollandsce Indische Kweekschool) atau Sekolah Guru Bantu, dan AMS (Algemeene Middelbare School) atau setara dengan pendidikan menengah umum. Sementara itu, dari pihak swasta juga berperan penting bagi kemajuan pendidikan di Bengkulu, dengan mendirikan sekolah-sekolah, seperti Taman Siswa tahun 1931, Muhammadiyah pada tahun 1928,[73] seperti Mualimin, dan Aisyah.[74]

C. Masuk dan Berkembangnya Islam di Bengkulu
Mayoritas masyarakat Bengkulu adalah pemeluk agama Islam. Hingga saat ini pengaruh dan ajaran-ajaran agama Islam begitu terasa dalam kehidupan masyarakat. Meski demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti awal mula kapan masuknya Islam ke Bengkulu. Namun, dari beberapa sumber yang dikumpulkan, maka didapati beberapa teori-teori yang menjelaskan tentang asal mula kedatangan Islam di Bengkulu, seperti penjelasan di bawah ini.
1. Teori Masuknya Islam di Bengkulu
Masuknya Islam ke wilayah Bengkulu menyisakan beberapa teori hingga saat ini. Namun, dari sumber yang didapatkan bisa dipastikan awal mula masuknya Islam ke Bengkulu dilakukan dengan cara damai, yaitu melalui saluran-saluran islamisasi seperti perdagangan, pernikahan, dakwah, pendidikan, seni, dll. Informasi paling awal mengenai masuknya Islam ke Bengkulu adalah teori Aceh, teori ini mengatakan bahwa Islam masuk ke Bengkulu melalui tokoh ulama dari Aceh yang bernama Tengku Malim Muhidin yang menyebarkan Islam di kawasan Gunung Bungkuk sekitar tahun 1417.[75]
Berikutnya teori Banten, teori ini dihubungkan dengan aktivitas perdagangan lada. Dari sudut pandang sejarah, Bengkulu merupakan salah satu wilayah penghasil lada di pesisir Barat pantai Sumatera. Hal inilah yang menyebabkan saat itu wilayah Silebar telah mengadakan hubungan dengan para pedagang asing serta kerajaan-kerajaan Islam. Hubungan perdagangan tersebut menjadi salah satu pintu masuknya Islam ke Bengkulu, terlebih lagi di saat wilayah Bengkulu mengadakan hubungan dengan Kerajaan Banten.
Hubungan antara kerajaan Banten dan Kerajaan Selebar dan Sungai Lemau terjalin pada masa Sultan Hasanuddin (1552-1570). Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin Banten saat itu merupakan kerajaan Islam yang kuat. Didukung oleh kekuatan tersebut, Sultan Hasanuddin berupaya untuk memperluas wilayah kekuasaannya, termasuk wilayah pesisir barat pantai Sumatera. Upaya tersebut berhasil setelah Sultan Hasanuddin (1552-1570) menikahi puteri penguasa Indrapura. Sebagai emas kawin maka wilayah yang berada di bawah pengaruh Indrapura diberikan kepada Sultan Hasanuddin (1552-1570), termasuk di dalamnya wilayah Silebar (Bengkulu).[76] Dengan melebarnya pengaruh Banten hingga Bengkulu, maka agama Islam juga menyebar ke sana.
Berikutnya Teori Sumatera Barat. Dalam Tambo Bangkahulu dijelaskan bahwa raja pertama dari Kerajaan Sungai Lemau adalah seorang yang berasal dari Minangkabau bernama Baginda Maharaja Sakti.[77]Saat itu Baginda Maharaja Sakti mendirikan kerajaan Sungai Lemau (1625-1630) setelah menikah dengan Putri Gading Cempaka,[78] seorang bangsawan dari Kerajaan Sungai Serut. Sebelum menjadi seorang raja, Baginda Maharaja Sakti terlebih dahulu meminta janji setia kepada para pembantunya, dimana dalam perjanjian tersebut dijelaskan bahwa bagi siapa yang melanggar perjanjian tersebut akan dikutuk dengan Al-Qur’an 30 juz.[79] Kebiasaan sumpah menggunakan Al-Qur’an juga di dukung oleh pernyataan dari Benjamin Bloome (1685-1690), kepala kantor dagang Inggris di Bengkulu. Menurutnya saat itu penduduk pesisir Bengkulu telah menganut agama Islam karena saat EIC datang ke Bengkulu bertepatan dengan bulan puasa dan ketika mereka bersumpah mereka menggunakan kitab suci Al-Qur’an.
we coming just about the time of their Rammazan or time of fasting. He must therefore, as the rest had done, swear upon the Alcoran to be true and faithful to the Rt. Honourable Company”.[80]
                Tidak hanya melalui media perdagangan, Islamisasi juga dilakukan melalui media pernikahan, yaitu pernikahan antara Sultan Muzzafar Syah (1620-1660 M) dari Kerajaan Indrapura dengan Putri Serindang Bulan, putri Raja Rio Mawang (1550-1600 M) dari Lebong. Berikutnya pernikahan antara Pangeran Nata Di Raja (1638-1710 M) dengan Putri Kemayun, putri Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) dari Kerajaan Banten.[81]
Berikutnya adalah Islamisasi melalui media seni budaya. Inilah poin yang menjadi letak Islamisasi di Bengkulu dan wilayah lain pada umumnya. Suatu pelajaran penting bahwa perkembangan Islam dilakukan dengan cara-cara yang penuh toleransi, dalam artian pesan agama Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat untuk semesta alam,[82] disampaikan dengan cara yang damai dan persuasif, dakwah dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat atau dengan cara akulturasi budaya bukan dengan kekerasan.[83] Hingga saat ini salah satu budaya yang masih rutin dilakukan setiap tahunnya adalah tradisi Tabot.                                                                                                                        Islamisasi di Bengkulu semakin disempurnakan dengan memanfaatkan media pendidikan. Pendidikan Islam memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan Islam di Bengkulu, sehingga banyak masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah agama. Akan tetapi, usaha tersebut seringkali menimbulkan gejolak-gejolak kecil antara kelompok ulama yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, pertentangan ini sering pula disebut pertentangan antara kaum tuo dan kaum mudo,[84] seperti kasus konflik yang terjadi di Marga Soekau Afdeeling Kroe (Krui), Keresidenan Bengkulu pada awal Februari 1929.
Pada saat itu kaum tuo menghasut masyarakat untuk tidak menyekolahkan anaknya di sekolah yang didirikan oleh kaum mudo, Al-Irsyad School, dengan alasan bahwa kaum mudo merupakan kelompok wahabi dan wahabi tidak termasuk dalam mazhab yang empat.[85] Meski demikian, pertentangan tersebut tidak menghalangi persebaran Islam di Bengkulu melalui sarana pendidikan. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya sekolah Islam yang digagas oleh PERTI pada tahun 1930 an, yaitu Tasyanul Chair (1934), Jamiatul Chair (1933), dan Muawanatul Chair Arabisch School (1937).
Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa proses masuknya Islam di Bengkulu telah dimulai sejak abad XV yang dibawa oleh para ulama dari dalam maupun luar Indonesia, dimana proses Islamisasi di Bengkulu tersebut dilakukan melalui aktivitas perdagangan, pernikahan dan kontak budaya. Islamisasi pun semakin disempurnakan dengan didirikannya sekolah-sekolah Islam pada awal abad ke-20, baik yang bersifat tradisional maupun reformis.

2. Pengaruh Islam dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Bengkulu
a Struktur Masyarakat
Struktur lapisan masyarakat Bengkulu sedikit banyaknya megalami perubahan pasca kedatangan Islam, bentuk perubahan ini bisa dilihat dari munculnya golongan kelas baru yang kedudukannya di tengah masyarakat Bengkulu berada dalam kelas para elite, yaitu elite agama. Menurut catatan Kolonel Nahuijs pada tahun 1823, hampir di setiap dusun atau kampung di Bengkulu terdapat elite agama atau para ulama.
Meskipun berstatus sebagai ulama, dalam prakteknya mereka memiliki gelar tersendiri yang disesuaikan degan tugas dan peranannya dalam hal pelaksanaan ibadah. Kedudukan yang paling tingggi dipegang oleh khadi atau khali, kelompok ini sangat disegani karena tugasnya sebagai seorang guru ngaji dianggap sebagai orang yang saleh. Jumlah mereka sangat sedikit, bahkan tidak jarang terdapat kampung yang tidak memiliki khadi atau khali.[86]  Imam bertugas sebagai seorang pemimpin dalam setiap kegiatan ibadah di dalam masjid, surau maupun langgar, sementara itu tugas imam dibantu oleh seorang ketip, yang bertugas untuk menyampaikan ceramah pada hari Jum’at. Kemudian imam juga dibantu oleh seorang bilal yang bertugas untuk menjaga mesjid, surau atau langgar, dan sekaligus bertugas untuk mengumandangkan azan sebagai panggilan untuk mengumandangkan azan. Selain bilal terdapat juga seorang gharim yang bertugas untuk menjaga kebersihan mesjid.[87]
Kedudukan meraka sebagai kelompok elite agama tidak hanya menyangkut masalah keagamaan, tetapi “jubah” elite yang mereka kenakan memberikan nilai prestise tersendiri kepada mereka, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat mereka memiliki hak-hak istimewa sebagai kelompok kelas atas, diantaranya dibebaskan dari pajak kepala, dibebaskan dari kerja wajib, serta memperoleh penghasilan dari uang perkawinan, uang memandikan jenazah, serta uang sumpah dalam peradilan adat pribumi.[88]
Kenyataan tersebut pada akhirnya menyebabkan banyak dari masyarakat Bengkulu berlomba untuk memperoleh gelar-gelar keagamaan, salah satu cara yang harus dilakukan untuk memperoleh gelar tersebut adalah dengan menunaikan ibadah haji. Sehingga pelaksanaan ibadah haji, tidak hanya sekedar perkara untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima, namun gelar haji yang mereka dapatkan memberikan kesempatan ekonomis kepada mereka.
Meskipun seseorang yang terkuras atau kehilangan sumber ekonominya untuk biaya melaksanakan ibadah haji, tidak terlalu berpengaruh, karena dengan gelar haji yang mereka miliki mereka dapat dengan mudah memperoleh kembali kesempatan ekonomi, melalui kepercayaan masyarakat yang dihubungkan dengan otoritas sosial keagamaan mereka.[89]

b. Hukum Adat
Pengaruh Islam juga terdapat dalam hukum adat masyarakat Bengkulu, misalkan dalam adat pernikahan bagi masyarakat Rejang. Dengan masuknya agama Islam, maka ada tiga larangan-larangan dalam pernikahan menurut Hukum Syarak, yaitu larangan untuk menikahi wanita musyrik atau yang berbeda agama, kemudian larangan yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan atau pertalian darah, dan larangan yang didasarkan pada ibu satu sepersusuan.[90] Contoh kasus mengenai larangan pernikahan yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan terdapat pada hukum adat Rejang. Sebelum masuknya pengaruh Islam di Suku Bangsa Rejang, telah dijumpai larangan pernikahan antara bapak tiri dan anak tiri, jika ini terjadi maka si pelaku dapat di hukum penjara. Namun, setelah masuknya pengaruh Islam, maka larangan pernikahan tersebut diperhalus, dimana larangan akan berlaku jika si Bapak tiri menikahi anak tiri yang ibu dari anak tiri tersebut telah di campuri, tetapi jika ibu dari si anak tiri belum dicampuri maka ia diperbolehkan menikahi anak tiri itu. Dan hal tersebut merupakan ajaran yang terdapat dalam Q.S An-Nisa, ayat 23.

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمۡ أُمَّهَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُمۡ وَعَمَّٰتُكُمۡ وَخَٰلَٰتُكُمۡ وَبَنَاتُ ٱلۡأَخِ وَبَنَاتُ ٱلۡأُخۡتِ وَأُمَّهَٰتُكُمُ ٱلَّٰتِيٓ أَرۡضَعۡنَكُمۡ وَأَخَوَٰتُكُم مِّنَ ٱلرَّضَٰعَةِ وَأُمَّهَٰتُ نِسَآئِكُمۡ وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ وَحَلَٰٓئِلُ أَبۡنَآئِكُمُ ٱلَّذِينَ مِنۡ أَصۡلَٰبِكُمۡ وَأَن تَجۡمَعُواْ بَيۡنَ ٱلۡأُخۡتَيۡنِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٢٣
Artinya: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara perempuanmu yang perempuan, anak-anak perempuan dari sudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudaramu sepersusuan, ibu-ibu istrimu, anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan diharamkan pula istri-istri anak kandungmu, dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.[91]

Pengaruh Islam juga telah memunculkan model pernikahan yang baru, apabila sebelumnya masyarakat Bengkulu mengenal model pernikahan semendo tambik anak tidak beradat, dimana si laki-laki tinggal di rumah si perempuan selama-lamanya dan perbelanjaan upacara pernikahan di tanggung seluruhnya oleh pihak perempuan. Jadi model pernikahan seperti ini menunjukkan bentuk pernikahan orang yang tidak sederajat, yaitu derajat si suami nampak lebih rendah dibandingkan derajat si isteri.
Setelah mendapatkan pengaruh Islam, model pernikahan yang menunjukkan ketidaksetaraan derajat tersebut mulai berkembang ke arah persamaan derajat, sehingga menghasilkan model pernikahan baru yaitu kawin semendo beradat atau lebih dikenal dengan nama sebutan kawin semendo rajo-rajo.[92] Selain itu, pengaruh Islam juga terdapat pada hukum mengenai pewarisan harta. Hukum waris yang ditumbuh kembangkan oleh masyarakat Bengkulu yang mengacu pada hukum Faraidh (Islam).

c. Budaya
Penyebaran Islam yang dilakukan secara damai menjadi salah satu faktor keberhasilan proses Islamisasi di Bengkulu, sehingga Islam begitu melekat dalam kehidupan masyarakat, meskipun pada kenyataannya praktek Islam di Bengkulu tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh keyakinan lokal masyarakat. Sehingga boleh dikatakan bahwa dalam budaya masyarakat Bengkulu terdapat percampuran antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal masyarakat setempat, misalnya dalam segi budaya material, yaitu bentuk bangunan mesjid.
Beberapa masjid biasanya dibangun dengan menggunakan atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Jumlah atapnya selalu ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima.[93] Pembuatan atap tumpang pada bangunan mesjid memiliki makna tersendiri. Dalam bukunya Uka menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan masjid-masjid dibangun dengan menggunakan atap tumpang, yaitu: Pertama, mungkin dapat ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan ekologi, yaitu dengan bagunan beratap tumpang atau tingkat yang memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila hari panas.
Kedua, bentuk bangunan beratap tingkat yang disebut meru, yang pada masa kebudayaan Pra-Islam(Hindu-Budha) dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid meupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama Hindu-Budha ke Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (Cultural Shock), terutama karena di dalam masjid diajarkan ketauhidan.[94]
Tidak hanya dari bentuk bangunan mesjid, pengaruh Islam juga bisa dilihat dari bentuk batu nisan makam kuno. Salah satu kompleks makam kuno di Bengkulu terdapat pada kompleks pemakaman Tapak Jedah. Salah satu makam kuno disusun dari bata dan menggunakan spesi sebagai perekat antara satu bata dengan yang lain, baik untuk jirat maupun nisannya. Adapun bentuk nisan dari makam tersebut berbentuk piramid berundak tiga dengan puncak berbentuk ratna. Bagian dasar nisan membentuk semacam sayap di kanan dan kirinya. Pada nisan tersebut tertulis inskripsi yang menggunakan huruf Arab yang terdiri dari dua baris, tetapi sudah dalam kondisi yang sangat aus sehingga tidak memungkinkan untuk di baca.[95]
Selain dari budaya material, pengaruh Islam juga berkembang pada budaya immaterial masyarakat Bengkulu, misalkan dalam tradisi Malam Tujuh Likur. Tradisi ini dilakukan pada bulan Ramadhan, meski dilakukan pada bulan suci umat Islam, tradisi ini mencerminkan pula keyakinan lokal masyarakat Bengkulu yang erat dengan kepercayaan terhadap arwah para leluhur. Tradisi Malam Tujuh Likur bertepatan pada malam ke 27 bulan Ramadhan. Menurut kebiasaan, pada malam itu banyak umat Islam di Bengkulu memasang lampu yang terang dan membunyikan long (petasan) di rumah mereka masing-masing. Hal ini dilakukan atas dasar kepercayaan bahwa pada malam tujuh likur tersebut arwah-arwah nenek moyang atau arwah ibu bapaknya datang berkunjung ke rumah anak cucunya, bersamaan dengan beberapa malaikat yang turun dari langit. Lampu terang serta long yang dibunyikan merupakan penghormatan kepada “tamu-tamu besar” tersebut.[96]
Selain Tradisi Malam Tujuh Likur, di Bengkulu terdapat beberapa tradisi lainnya yang bernuansa Islami, salah satunya adalah tradisi Sarafal Anam. Tradisi ini diyakini diperkenalkan oleh seorang pendakwah Islam bernama Syekh Serunting, sekitar abad ke-17 M. Tradisi yang dibawakan merupakan kesenian yang memuat unsur-unsur Islam, hal ini dapat dilihat dari syair-syair yang dilafazkan. Syair-syair yang sering dilafazkan berupa puji-pujian atas nabi dan rasul yang berirama melayu dengan diiringi suara rabana. Hingga saat ini, tradisi Sarafal Anam tetap dilestarikan oleh masyarakat Bengkulu, diantaranya oleh masyarakat Lembak. Biasanya tradisi ini dilakukan pada acara prosesi adat istiadat masyarakat seperti acara pernikahan dan aqiqah.[97]
Tradisi berikutnya adalah tradisi Tabot yang saat ini bentuk bangunannya menjadi icon dari daerah Bengkulu. Tabot sendiri merupakan bangunan yang bentuknya menyerupai pagoda, dimana bangunan dibentuk bertingkat semakin ke atas semakin kecil. Pembuatan Tabot tidak boleh dilakukan sembarang waktu, karena Tabot sendiri hanya dibuat sebelum memasuki tahun baru Islam. Jika dilihat, tradisi Tabot di Bengkulu pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tradisi Asyura yang dilakukan oleh kelompok Syi’ah di Iran, yaitu sama-sama ditampilkan untuk mengenang kesyahidan Al-Husain di Padang Karbala, sehingga tidak mengherankan jika simbol-simbol Syi’ah seperti telapak tangan lengkap dengan lima jari juga digunakan oleh para pendukung Tabot Bengkulu, mereka menyebutnya dengan penja. Selain itu, atribut-atribut yang berkenaan dengan Islam pun di tampilkan, seperti bendera yang bertuliskan lafaz Allah dan nama-nama tokoh Islam seperti Al-Hassan dan Al-Husain. Akan tetapi, tidak hanya memuat unsur Islam, keyakinan lokal masyarakat pun tetap terlihat pada pelaksanaan tradisi Tabot.
Salah satu contoh nyata dari penggabungan antara nilai-nilai Islam dengan kepercayaan lokal masyarakat setempat dalam pelaksanaan Tabot terdapat pada tahapan duduk penja, meskipun ritual tersebut selalu diawali dengan pembacaan basmallah serta do’a Islami, namun pada kenyataannya masih memuat unsur kepercayaan lokal masyarakat, dimana kepercayaan tersebut tidak bisa diingkari begitu saja, karena telah menjadi budaya yang mereka yakini secara turun temurun, praktek kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan memperebutkan air bekas pencucian penja. Hal itu dimaksudkan untuk mengambil serta mengharapkan berkah serta kebahagiaan dari air tersebut, mereka percaya bahwa air bekas mencuci penja dapat menyembuhkan bermacam-macam jenis penyakit.[98]
Dari uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa pengaruh Islam bagi kehidupan budaya masyarakat Bengkulu sangatlah besar, meskipun pada kenyataannya praktek-praktek keislaman ataupun simbol keislaman tersebut tidak terlepas dari pengaruh keyakinan-keyakinan lokal masyarakat, yang terlebih dahulu menganut keyakinan animisme, dinamisme, dan mendapatkan pengaruh dari ajaran Hindu-Budha.  




[1]Setidaknya ada tiga versi cerita mengenai asal mula nama Bengkulu. Pertama, awal mula nama Bengkulu dihubungkan dengan kisah ekspansi kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Muda ke wilayah ini. Saat itu, pasukan Aceh berusaha masuk melalui sungai Serut, karena tidak berhasil berhasil melamar dan mendapatkan Puteri Gading Cempaka, anak Ratu Agung (Raja Sungai Serut). Mendengar kabar tentang rencana kedatangan pasukan Aceh ini, penguasa Kerajaan Sungai Serut saat itu memerintahkan untuk membangun pertahanan dengan cara menghanyutkan kayu-kayu ke Sungai Serut. Dengan banyaknya kayu yang dihanyutkan ke sungai tersebut, maka gerak orang Aceh menjadi terhambat. Penghambatan ke hulu sungai tersebut disebut dengan istilah empang ke hulu yang berarti hambat ke hulu. Taktik dan semboyan orang Sungai Serut ini akhirnya melahirkan nama Bangkahulu, yang kemudian berubah menjadi Bengkulu. Sedangkan Sungai Serut dikenal dengan sebutan Sungai Bengkulu. Kedua, nama Bengkulu dihubungkan dengan kedudukan Palembang. Dilihat dari sudut pandang Palembang, di samping adanya pulau Bangka yang terletak di sebelah hilir, ada pula Bangka Hulu. Disebut dengan Bangka Hulu karena untuk mencapainya orang harus berlayar ke hulu. Kata Bangka adalah sebuah kata Austronesia yang bisa berarti pinang atau perahu. Dalam kaitan interpretasi yang mengaitkan Bengkulu dengan Bangka Hulu, diartikan sebagai pinang atau perahu yang hanyut dari hulu. Tim Penyusun, Arung Samudera Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B Lapian, (Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2001), hlm. 55-56. Ketiga, nama Bengkulu dihubungkan dengan kerajaan Banten, karena menurut versi ini kata Bengkulu berasal dari kata Banten Kulon, yang berarti Banten yang terdapat disebelah barat (kulon). Istilah ini kemudian disingkat menjadi Ban-Kulon dan lebih dikenal dengan sebutan Bengkulen.  
[2]Batas wilayah tersebut dijelaskan oleh P.N. Van Kempen dalam catatanya tahun 1861. Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Sejarah Abad-19, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 23. Untuk melihat Geografis Bengkulu saat ini lihat Bengkulu dalam Angka 2015, (Bengkulu: Badan Pusat Statistik Bengkulu, 2015), hlm. 3. Jika dibandingkan dengan kondisi Geografis Bengkulu saat ini maka tidak terdapat perubahan yang signifikan, di sebelah Utara Bengkulu berbatasan dengan provinsi Sumatera Barat, Samudera Hindia dan Provinsi Lampung di sebelah Selatan, Samudera Hindia di sebelah Barat, dan Provinsi Jambi serta Provinsi Sumatera Selatan di sebelah Timur.
[3]Untuk melihat informasi mengenai kerajaan-kerajaan di Bengkulu. Lihat, Tambo Bangkaholoe, 1993, hlm. 3 & 48. Agus Setiyanto, Orang-Orang Besar Bengkulu, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hlm. 14
[4]Kathirithamby Wells, “Report  from the Minister of Banten Tsiely Godong and former translator of the English Harkis Baly concerning the English presence in Silebar and Bengkulu,West-Sumatra, 1696”, ANRI, diakses dari http://www.sejarah-nusantara.go.id. Pada tanggal 15 Desember 2016.
[5]Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm.7
[6]Hal ini terekam dalam cawan tembaga bertahun 1668. Kathirithamby Wells, “Report  from the Minister of Banten Tsiely Godong and former translator of the English Harkis Baly concerning the English presence in Silebar and Bengkulu,West-Sumatra, 1696”, ANRI, diakses dari http://www.sejarah-nusantara.go.id. Pada tanggal 15 Desember 2016.
[7]EIC adalah singkatan dari East Indian Company yang merupakan persekutuan dagang Inggris yang didirikan pada tahun 1600 dengan persetujuan Ratu Elizabeth I, pusat kekuasaan dari EIC berada di Kalkuta India. Pada tahun 1873 EIC secara resmi dibubarkan dan peranannya diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Inggris. Danto Pamungkas, Kamus Sejarah Lengkap, (Yogyakarta: Mata Padi Presindo, 2014), hlm. 118
[8]Hal ini terungkap dalam surat yang dikirim oleh Benjamin Bloome dan Joshua Charlton kepada para penguasa Kompeni Hindia Timur Inggris di Madras pada bulan Oktober 1685. Firdaus Burhan, Bengkulu Dalam Sejarah, (Jakarta: PT. Yayasan Pengembangan Seni Budaya Nasional Indonesia, 1998), hlm. 3
[9]VOC merupakan singkatan dari Verenidge Oost Indische Compagnie atau Persekutuan Dagang HindiaTimur milik bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 dan dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799.  Danto Pamungkas, Kamus Sejarah Lengkap, hlm.583-584
[10]Keberhasilan Belanda dalam menaklukan Banten tidak terlepas dari politik devide et impera (adu domba) antara Sultan Abulfatah Agung dengan anaknya Pangeran Haji. Sultan Abulfatah Agung merupakan penguasa yang dikenal anti Belanda, sedangkan Pangeran Haji menunjukkan sikap persahabatan dengan orang Belanda. Pangeran Haji sangat ambisius terhadap kekuasaan dan ingin segera memperoleh tahta kerajaan. Karena itu dia mencari persahabatan dengan orang Belanda. Ketika terjadinya perang antara pasukan Sultan Abulfatah Agung melawan pasukan Pangeran Haji yang dibantu oleh Kolonial Belanda, pasukan Abulfatah Agung tak kuasa menahan gempuran dari serdadu kolonial Belanda sehingga mereka dapat dikalahkan. Pasca kekalahan tersebut, tahta kerajaan diambil alih oleh Pangeran Haji, tetapi kedudukannya sebagai sultan sangatlah terbatas, boleh dikatakan sebenarnya Pangeran Haji hanya diperalat oleh pihak kolonial Belanda demi kepentingan mereka yang ingin menguasai dan memonopoli perdagangan yang ada di Bandar Banten. Dampak dari semua ini adalah kolonial Belanda menjadi penguasa tunggal perdagangan yang ada di Banten, hal ini menyebabkan bangsa Eropa lainnya seperti Inggris, Denmark dan Portugis terusir dari Banten.  Inggris yang terusir dari Banten membangun benteng dipantai barat Sumatra dekat Bengkulu, sedangkan Portugis mundur ke daerah Timor. (Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, terj. Samsuddin Berlian, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), hlm. 201-202  
[11]Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, hlm. 35
[12]Tidak lama kemudian wilayah Selebar turut pula bekerjasama dengan pihak Inggris namun perjanjian diantara keduanya belum sepenuhnya tuntas Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1900,  hlm. 35
[13] Benteng Malborough secara umum meiliki bentuk segi empat, yang memiliki bastion di keempat sudutnya. Pintu masuk benteng berada di sisi barat daya yang berupa bangunan yang terpisah berbentuk segi tiga. Benteng Malborough dikelilingi oleh parit. Parit tersebut memisahkan bangunan tua dengan bagunan depan. Kedua bangunan tersebut dihubungkan oleh sebuah jembatan. Pembangunan benteng ini dilatarbelakangi oleh buruknya kondisi benteng Fort York yang mereka tempati. Hal ini dikarenakan besarnya gelombang di muara sungai Bengkulu, tempat yang penuh dengan rawa dan kurang sehat menyebabkan banyak orang Inggris serta para pengikutnya mati. Oleh sebab itu, Inggris mulai memindahkan lojinya ke Ujung Karang. Pada awal tahun 1714 mereka membangun benteng baru yang lebih besar, kukuh dan strategis diatas sebuah bukit kecil di pinggir pantai Tapak Paderi, tiga km jaraknya dari Fort York. Pembangunanya dikerjakan oleh arsitek dan para pekerja yang sengaja didatangkan dari India.Pembanguna benteng baru ini dilakukan secara bertahap selama lima tahun. Para penguasa EIC (East Indies Company) yang turut berperan dalam pembangunan benteng baru ini diantaranya wakil gubernur Charles Barwell (1695-1696) dengan para raja Bengkulu tersebut. Selain dari wakil Gubernur Joseph Colet, juga para wakil Gubernur Theopilus Shylingge (1716-1717), Richard Farmer dan pengawas (supervisor) Thomas Cooke (1718 sampai benteng itu rampung 1719). Benteng baru ini diberi nama Fort Marlborough sebagai kenangan kepada seorang komandan militer Inggris yang terkenal (the first Duke of Marlborough). Siddik Abdullah, Sejarah Bengkulu, 1500-1900, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm.42. Pada bangunan depan terdapat terdapat pintu masuk yang berbentuk lengkungan yang hanya berupa lorong yang menuju ke jembatan penghubung antara bangunan depan dengan banguanan tua. Di sekitar dinding lorong terdapat empat nisan, yang dua nisannya berasal dari masa Benteng York dan duanya lagi berasal dari masa Benteng Marlborough terdapat nama George Shaw 1704, Richard Watts Esq 1705, James Cune 1773 dan Henry Stirling 1774. Pada bagian belakang benteng ini terdapat makam dengan nisan yang terbuat dari batu akan tetapi sudah tidak dapat terbaca lagi. Dahri Harapandi, Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu, (Jakarta: Citra, 2009), h. 71-72.
[14]Wells, J. Kathirithamby, The British West Sumatran Presidency (1760-85), (Kuala Lumpur: University of Malaya Press. 1977), hlm.21
[15]Firdaus Burhan, Bengkulu dalam Sejarah, hlm. 27-28
[16]Firdaus Burhan, Bengkulu dalam Sejarah, hlm. 38
[17]Bisa dimengerti mengapa tentara Sepoi  dari India didatangkan ke Bengkulu, mengingat pada saat itu markas besar Inggris untuk asia terletak di Kalkuta, India. Beberapa catatan tentang keterlibatan tentara Sepoi  dengan orang Bengkulu terjadi pada saat peritiwa perlawanan terhadap residen Thomas Parr. Saat itu, raja dan rakyat dari kerajaan Sungai Lemau, Sungai Hitam dan Selebar dengan persenjataan yang sederhana berhasil memukul mundur pasukan Inggris yang terdiri dari orang Inggris, Portugis, orang Sepoi (India), dll, dari benteng Marlborough. Pada peristiwa tersebut residen Thomas Parr mati terbunuh. Firadus Burhan, Bengkulu dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Pengembangan Seni Budaya Nasional Indonesia, 1988), hlm.61. Selain di Bengkulu, tenaga tentara Sepoi juga pernah digunakan oleh Inggris pada saat merebut Istana Yogyakarta pada bulan Juni 1812. M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: UGM Press, 2011), hlm.175
[18]Phesi Ester Julikawati, “Mengungkap Jejak si Keling dan Imam Senggolo”, Kupas Bengkulu, diakses dari http://www.kupasbengkulu.com/mengungkap-jejak-si-keling-dan-imam-senggolo.html, pada tanggal 7 Februari 2017.
[19]Sebelum diangkat menjadi Gubernur Bengkulu, Raffles sebelumnya merupakan Gubernur Jenderal di Batavia yang mulai memerintah dari tahun 1811, tetapi  pasca diadakannya Convection of London 1814, Batavia yang sebelumnya direbut oleh Inggris dari pihak Belanda harus dikembalikan ketangan Belanda. Pada 19 Agustus 1816, bendera Inggris turun dan bendera Belanda naik di Batavia. Pemerintah Inggris yang terusir dari Batavia berusaha untuk kembali menancapkan pengaruhnya di Nusantara. Saat itu, pada tahun 1818 Raffles yang mewakili pihak Inggris di Nusantara membangun kembali basic kekuatan Inggris di Bengkulu. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), hlm. 107 & 114
[20]Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1900, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 94
[21]M.Z.Ranni,Perlawanan Terhadap Penjajah dan Perjuangan Menegakkan Kemerdekaan Indonesia di Bengkulu, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 33
[22]Bernard H.M Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, hlm. 316  
[23]Protes dari pihak Belanda sangat beralasan, mengingat sebenarnya saat itu Singapura berada di bawah kerajaan Johor, sedangkan kerajaan itu tunduk kepada Belanda. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, hlm. 114
[24]Traktat London adalah perjanjian antara Inggris dan Belanda yang dilakukan di Kota London pada tanggal 17 Maret 1824, yang memperlihatkan suatu usaha dari pemerintah Inggris untuk menjamin persahabatan dengan pihak Belanda di dalam menangani masalah keduanya di Eropa sekaligus mengakhiri persaingan dan permusuhan antara keduanya dalam urusan kekuasaan di wilayah jajahan. Pihak Belanda diwakili oleh Hendrick Fagel dan Anton Reinhard Falck, sedangkan Britania diwakili oleh George Canning dan Charles Watkins William Wynn.  Adapun isi dari perjanjian ini menetapkan bahwa Belanda menyerahkan semua kantor dagangnya di India kepada Inggris, menarik semua keberatannya atas pendudukan Singapura oleh Inggris, menyerahkan Malaka dan berjanji tidak akan melakukan pendudukan di Semenanjung Melayu atau menandatangani perjanjian apapun dengan raja-rajanya, sedangkan pihak Inggris menyerahkan Bengkulu dan semua wilayah kekuasaannya di Sumatera kepada Belanda dan bersumpah tidak akan melakukan pendudukan serta perjanjian dengan raja-raja dipulau tersebut. Dengan catatan Belanda tidak boleh memperluas daerahnya di Aceh karena Kerajaan Aceh diakui kedaulatannya oleh Inggris dan Belanda. Hall, Sejarah Asia Tenggara, (Surabaya: Usaha Nasional, 1975), hlm. 486. Lihat pula H.M Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal Mencari Identitas Kebangsaan, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm.82
[25]Adapun daerah-daerah yang diserahkan kepada Belanda adalah Kabupaten Sungai Lemau, Kabupaten Sungai Itam serta distrik Selebar. Achmadin Dalip, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu, (Bengkulu: Proyek Inventarisasi dan Dokementasi Kebudayaan Daerah, 1983), hlm. 40
[26]Stibbe, D.G, Encylopedia van nederlandsch-indie, (Gravenhage-Martinus Nijhoff Leiden: N.V.E.J. Brill, 1919), hlm. 272 
[27]Tanggal 27 Oktober 1945 pembesar-pembesar Jepang mengundang pemimpin dan pejuang kemerdekaan daerah Bengkulu, untuk melakukan suatu perundingan yang memutuskan pihak Jepang bersedia untuk menyerahkan pemerintahan. Di tanggal yang sama terjadi peristiwa penurunan bendera hinomaru di depan rumah Syu Cokan yang selanjutnya diganti dengan bendera merah putih. Tim Penyusun, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bengkulu, (Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984), hlm. 100
[28]Tim Penyusun, Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu, (Jakarta: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 1
[29]Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Sejarah Abad ke-19, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 164
[30]Lembaran Daerah Kota Bengkulu Tahun 2011 Nomor 03
[31]Pada masa kolonial Inggris kota Bengkulu secara garis besar terdiri dari 3 distrik, yaitu Sungai Lemau, Sungai Itam dan Selebar. Distrik Sungai Lemau dipimpin oleh regent atau Bupati Pangeran Lenggang Alam (1755-1833), dengan wilayah meliputi Lais, Kertopati, Air Besi, Air Padang, Padang Betua dan Sungai Lemau Bengkulu, yang terdiri dari 143 dusun dengan penduduk berjumlah 12.817 jiwa. Berikutnya Distrik Sungai Itam berada di bawah pimpinan Bupati Pangeran Bangsa Negara (1750-1829) dengan wilayah bawahan meliputi Lembak VIII, Proatin XII, Tepi Air dan di darat, yang terdiri dari 42 dusun dan berpenduduk 4.122 jiwa, serta yang terakhir adalah distrik Selebar di bawah pimpinan Bupati Pangeran Nata Di Raja IV (1765-1831) dengan wiilayah meliputi Andalas, Pagar Agung dan Selebar yang terdiri dari 50 dusun dengan penduduk berjumlah 6.962 jiwa.
[32]Pemerintah Kota Bengkulu, RPJMD Kota Bengkulu Tahun 2013-2018, (Bengkulu: Pemerintah Kota Bengkulu, 2013), hlm. 17
[33]Tim Penyusun, Arung Samudera Persembahan Memperingati Sembilan Windu A.B Lapian, hlm. 59
[34]Ibid., hlm. 59-60
[35]Tambo Bangkaholoe, (Jakarta: Balai Pustaka, 1933), hlm. 5
[36]Menurut catatan sejarah, pemerintah Inggris di Bengkulu bermaksud mengundang Orumkey Lilla (orang kaya lela) dari Indrapura, untuk membantu keamanan di wilayah Bengkulu. Akan tetapi pada tahun 1688 ternyata yang datang adalah Daing Marupa beserta orang Bugis dan pasukan Ambon.Sejak saat itu, orang Bugis mulai menetap di Bengkulu dan memperoleh kedudukan sebagai pasukan tentara Inggris dengan julukan Korps Bugis. Agus Setyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Sejarah Abad ke-19, hlm. 57 Adapun kedudukan kapten kepala korps Bugis diserahkan kepada anak keturunan dari Daeng Marupa yaitu Sutan Endey. Saat itu tugas utama dari korps Bugis adalah untuk membantu meredam perang saudara di wilayah Anak Sungai, yaitu wilayah Bengkulu paling Utara, antara Manjuto dan Ketaun, yang terdiri atas Muko-Muko, Bantal, Seblat dan Ketaun. Rusli Amran, Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 278.  Akan tetapi pada tahun 1695, hubungan antara Sutan Endey dan pemerintah Inggris mulai renggang,  puncaknya Sutan Endey diberhentikan dari jabatannya. Sebagai gantiny, maka ditahun yang sama pihak Inggris mengangkat Daeng Mabella untuk menggantikan kedudukan Sutan Endey. Daeng sendiri merupakan gelar untuk bangsawan menengah, sedangkan Mabella dalam bahasa Bugis berarti jauh. Pada masa kolonial Inggris pasukan Daeng Mabella dibentuk menjadi pasukan keamanan yang disebut dengan Bugis-Corps di bawah pimpinan Kapten Daeng Mabella. Achmadin Dalip, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolnialisme di Daerah Bengkulu, (Bengkulu: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), hlm.27. 
[37]Soemargono, Profil Provinsi Republik Indonesia Bengkulu, (Jakarta: PT Intermasa, 1992), hlm. 8
[38]Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marcopolo sampai Tan Malaka, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. 161. Berdasarkan surat kabar Tjahaja Sari Tjermin, orang Cina yang ada di Bengkulu telah membaur dengan masyarakat pribumi, bahkan peranakan Cina banyak sebagian besar tidak lagi mengetahui bahasa Tionghoa dan perkara membaca dan menulis huruf Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa melayu dan menulis dengan huruf Belanda, hanya sedikit dari mereka yang pandai berbahasa Belanda. Soetan Andomo, “Membangoenkan Bangsa serta dengan Bahasanya”, Tjahaja Sari Tjermin, Sabtu, 2 Maret 1918, hlm. 9
[39]Jumhari, Pola Asimilasi Etnis Cina di Kota Bengkulu 1950-1998, (Bengkulu: CV. Faura Abadi, 2004), hlm.21. Suku Rejang sebagian besar berdomisili di Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kabupaten Bengkulu Utara. Suku Serawai sebagian besar berdomisili di Bengkulu Selatan. Suku Kaur sebagian besar berdomisili di Kabupaten Kaur, yang menggunakan bahasa Mulak. Suku Lembak, tersebar di sebagian kecil Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Kabupaten Rejang Lebong dan Kota Bengkulu, komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Bulang. Suku Muko-Muko sebagian besar berdomisili di Kabupaten Muko-Muko. Suku Pekal sebagian besar berdomisili di Kecamatan Ketahun, yang menggunakan bahasa Pekal. Suku Melayu, umumnya berada di wilayah Kota Bengkulu. Suku Pasemah sebagian besar berdomisili di Kabupaten Bengkulu Selatan, yang menggunakan bahasa Pasemah. Suku Enggano berdomisili di Pulau Enggano, komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Enggano.
[40]Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rhineka Cipta, 1997),  hlm. 196-197
[41]Agus Setyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif  Sejarah Abad 19, hlm.39
[42]Dalam masyarakat Jawa konsep hubungan patron dan client lebih dikenal dengan hubungan antara gusti dan kawula, istilah tersebut sebenarnya berasal dari mistik agama yang menggambarkan persatuan antara manusia dan Tuhan, dimana raja diibaratkan sebagai seorang titisan Tuhan sehingga disebut dengan gusti sedangkan rakyat/bawahan merupakan umat (kawula) yang harus mengabdi kepada gusti. G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa dan Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987), hlm.102
[43]Jika dibandingkan dengan konsep masyarakat Jawa, konsep rakyat dan penguasa masyarakat di Bengkulu memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam konsep masyarakat Jawa raja dianggap sebagai dalang sejati, segala yang dilakukan raja adalah kehendak Tuhan, segala sesuatu di tanah Jawa, bumi tempat kita hidup, air yang kita minum, daun, rumput dan yang ada di atas tanah adalah milik raja begitupun kuasa atas manusia. Oleh sebat itu terhadapa keinginan raja, rakyat harus mempunyai satu jawaban yaitu terserah kehendak raja. Ibid.,
[44]Ramli Achmad, Sistem Kepemimpinan dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Bengkulu, (Bengkulu: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1985), hlm. 17
[45]Agus Setyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Abad ke-19, hlm. 40
[46]Ibid.,
[47]Meskipun berasal dari kelas para budak, tetapi mereka digambarkan memiliki tubuh tegap dan kekar. Mereka juga berpakaian bagus dan sepertinya diberi cukup makan. Mereka selalu tampak riang, mereka senang bernyayi ketika berkerja, sementara seusai kerja mereka kerap menghibur diri dengan menari mengikuti irama biola yang fals atau mengikuti irama nyanyian sendiri yang lebih lumayan dibandingkan suara biola. Perempuan-perempuan muda menari dengan lincah, gerakan mereka yang cekatan menyerupai gadis-gadis yang terdidik dengan baik disekolah-sekolah swasta Inggris. Kabarnya jumlah mereka terus berkurang, hal itu pasti disebabkan oleh gaya hidup mereka yang kelewat boros, apalagi sebenarnya mereka diperlakukan dengan baik oleh majikan. Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marcopolo sampai Tan Malaka, hlm. 161.
[48]Anatona, “Budak Afrika Milik EIC Inggris di Fort Marlborough Bengkulu Tahun 1786”, dalam Jurnal Linguistika Kultura¸Vol.01, No.03, 2008, hlm. 261
[49]Dari penjelasan mengenai tugas dan pekerjaan untuk melayani bangsa Inggris, maka peneliti melihat bahwa adanya kesamaan tugas antara kelompok kafir yang menduduki lapisan ke lima dalam stratifikasi sosial Masyarakat Bengkulu dengan kelompok para budak dalam tulisan Heyne, sehingga dari kesamaan tersebut peneliti berasumsi bahwa “orang kafir” adalah sebutan kepada para pekerja yang mengabdi kepada pihak Inggris. Mereka bukanlah sekelompok orang yang berasal dari ras, suku dan bangsa yang sama, melainkan kelompok yang terdiri dari ras, suku dan bangsa yang berbeda. 
[50]Anthony Reid, Sumatera Tempo Doeloe: dari Marcopolo sampai Tan Malaka, hlm. 161
[51]Agus Setyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Abad ke 19, hlm. 40-41
[52]Baginda Pangeran Mangku Raja itu membuat aturan Pasar Bangkahulu dan diangkat baginda empat orang penghulu pasar dan diberi gelar datuk, datuk itu diambil dari turunan menteri yang berempat dahulu yang di bawa oleh  Tuanku Baginda Maharaja Sakti tatkala turun dari Minangkabau ke Bangkahulu, yaitu Agam, Sumpu, Melali, Singkarak dan Sandingbaka. Untuk menjaga keamanan pasar maka sebagai kepala pasar peranan para datuk sangat diharapkan, mereka memiliki kekuasaan penuh atas pasar yang dikuasainya, tugas dari para datuk adalah mengelola pasar di hilir (pantai) serta menjaga keamanan pasar, di dalam menjalankan tugasnya para datuk dibantu oleh para pemangku dan penghulu muda. Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu Perspektif Abad ke 19, hlm. 84
[53]ANRI, Papieren Omtrent eene te doene Ondernemingen tegen Bezittingen der Engelsche ten Bencoelen op Sumatera Westkust, 1766.  Lihat lampiran 1
[54]Peralatan yang digunakan oleh masyarakat Bengkulu masih tergolong sederhana. Peralatan yang digunakan erat kaitannya dengan profesi dan kegiatan yang mereka tekuni, misalkan dalam kegiatan berladang. Adapun kegiatan berladang ini menggunakan sistem sekali pakai, artinya setelah selesai menggunakan satu ladang maka mereka mencari ladang baru dengan cara kembali membuka hutan. Wijang Jati Riyanto, Peralatan Berburu Tradisional, (Bengkulu: Proyek Pembinaan Permuseuman Bengkulu, 1999), hlm.8
[55]Stibbe, D.G, Encylopedia van Nederlandsch-Indie, hlm. 269  
[56]Ibid.,
[57]Ibid.,
[58] Wijang Jati Riyanto, Peralatan Berburu Tradisional, hlm.8
[59]Ibid.,
[60]Animisme adalah kepercayaan terhadap roh yang mendiami setiap benda misalnya pohon, batu dan sebagainya, sedangkan dinamisme merupakan kepercayaan yang menganggap segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidupnya. Danto Pamungkas, Kamus Sejarah Lengkap, (Yogyakarta: Mata Padi Pressindo, 2014), hlm. 19 & 103.
[61]Meski mendapatkan pengaruh Hindu-Budha, bukan berarti masyarakat Bengkulu menganut ke dua agama tersebut, karena dari catatan sejarah tidak ditemukan benda- benda peninggalan Hindu-Budha, ataupun gelar raja yang menggunakan gelar Hindu-Budha.
[62]Hubungan antara Bengkulu dan daerah Palembang pada masa dahulu bermula dari kedatangan seorang pelarian bernama Asuanda atau Sangaran seorang pasirah suku Lembak Beliti yang berasal dari dusun Taba Pingin pucuk Palembang, dengan maksud untuk meminta suaka politik kepada Baginda Sebayam (Raja Sungai Lemau), karena kelakuannya yang baik maka Baginda Sebayam mengangkat Asuanda menjadi anak angkatnya serta mendapatkan sebuah wilayah antara Sungai Bangkaholoe dan Sungai Itam, pada perkembangannya Asuanda mendirikan perkampungan yang berkembang menjadi kerajaan bernama Kerajaan Sungai Itam dan mengangkat dirinya sendiri menjadi raja. Agus Setiyanto, Orang-Orang besar Bengkulu, (Yogyakarta: Penerbit Ombak), hlm. 14
[63]Menurut kepercayaan penduduk, orang alus dapat menjadi baik dan jahat. Mengundang amarah apabila mereka bisa menjadi sebab kesialan saat ini atau di masa depan. Namun, ketika membicarakan tentang makhluk ini, merek menyebutnya dengan nama malaikatdan jin. William Marsden, Sejarah Sumatra, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hlm.264
[64]Sebagai contoh kepercayaan mereka terhadap orang alus, masyarakat rejang mengidentifikasikannya menjadi beberap macam, antara lain: semat, bulau lekat, yakni bertempat tinggal di hutan-hutan lebat dan pohon-pohon besar, semat pitol, yakni yang berdiam dimathari, jurang, batu besar danau, tanah dan sebagainya. Semat laut, bentuknya seperti wanita buruk yang badannya kurus dan tinggi. Kepercayaan kepada makhluk halus lainnya yang dikenal oleh masyarakat Bengkulu pada saat itu, yaitu keyakinan adanya binatang akuan yang berasal dari jelmaan makhluk halus. Binatang akuan ini sering digunakan oleh pemiliknya sebagai sarana untuk meminta pertolongan.
[65]Endang Rochmiatun, “Perdagangan dan Awal Islamisasi di Bengkulu”, dalam jurnal Tamaddun, Vol. VI, no. 2, 2006, hlm. 145
[66]Tim penyusun, Adat Istiada Daerah Bengkulu, (Bengkulu: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudyaan Daerah, 1977), hlm. 112
[67]Ibid.,hlm. 113
[68]Ibid.,hlm. 114
[69]Ibid.,hlm. 114
[70]Ngudining Rahayu, “Literasi dan Naskah Ulu Abad XIX Pada Berbagai Kelompok Etnis di Bengkulu”, dalam Jurnal Wacana, Vol.14, No. 2, 2016, hlm. 130
[71]Cerita dari Tabot. Secara filologis, teks naskah ini merupakan naskah tunggal, yang berukuran 21 cm x 17 cm. Terdiri atas 8 halaman yang ditulis dengan aksara Arab-Melayu (lihat lampiran). Di dalam naskah terdapat catatan tanggal 6 Juli 1886, angka tersebut merupakan tahun disaat Bengkulu berada dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Naskah ini menceritakan sedikit tentang latar belakang pelaksaan Tradisi Tabot, serta menjelaskan dengan rinci tahapan-tahapan pelaksanaan tradisi ini.
[72]Pada masa lalu, aslinya kain besurek merupakan kain bertulisan ayat-ayat yang bernilai sakral, karena hanya digunakan untuk menutupi jenazah. Kain tersebut tidak digunakan untuk baju. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian masyarakat Bengkulu dalam penggunaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penggunaan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai penutup tubuh, dianggap sebagai hal yang merendahkan Al-Qur’an, sehingga batik besurek menampilkan motif dengan cara menyamarkan tulisan yang masig mirip kaligrafi tetapi hakikatnya tidak terbaca.
[73]Muhammadiyah melebarkan sayapnya ke daerah Sungai Agam dan Batang pada tahun 1925. Diawali dari Sumatera inilah Muhammadiyah berkembang ke daerah lainnya. Di Bengkulu organisasi Muhammadiyah mulai masuk pada tahun 1927. Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, (Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013), hlm. 9
[74]Tim Penyusun, Sejarah Sosial Daerah Kota Bengkulu, (Bengkulu: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984), hlm. 65
[75]Muhammad Tarobin, Seni “Sarafal Anam” di Bengkulu: Makna, Fungsi dan Pelestarian, dalam Jurnal Bimas Islam,(Vol. 2, No. 2, 2015), hlm. 277
[76]Kathirithamby Wells, “Report  from the Minister of Banten Tsiely Godong and former translator of the English Harkis Baly concerning the English presence in Silebar and Bengkulu,West-Sumatra, 1696”, ANRI, diakses dari http://www.sejarah-nusantara.go.id. Pada tanggal 15 Desember 2016.
[77]Menurut riwayat, Kerajaan Sungai Serut di hancurkan oleh Aceh sekitar tahun 1615, dan rajanya, Anak Dalam (1570-1615), menghilang di Gunung Bungkuk. Saat itu rakyat kerajaan Sungai Serut yang disebut dengan Rejang Sawah tidak memiliki raja. Kekosonga kekuasaan inilah yang menyebabkan penguasa kerajaan Depati Tiang Empat yang ada di Rejang Lebong, berselisih paham tentang siapa yang akan menggantikan Anak Dalam sebagai Raja Ulu Bengkulu. perselisihan ini pada akhirnya diadukan kepada Raja Minangkabau yang ada di Pagaruyung. Dari sejarah kita ketaheui bahwa Kerajaan Minangkabau pada pada akhir abad XVI telah menganut Agama Islam. Sebagai solusinya Raja Minangkabau mengutus Bagindo Maharaja Sakti untuk menjadi raja di bekas Kerajaan Sungai Serut, dan menamakan kerajaan tersebut dengan nama Kerajaan Sungai Lemau.   Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, (Jakarta: Balai Pustaka. 1996), hlm. 21-22
[78]Endang Rochmiatun, Perdagangan dan Awal Islamisasi di Bengkulu, dalam jurnal Tamaddun, (Vol. VI, no. 2, 2006), hlm. 142
[79]Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm. 65
[80]Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, hlm.36
[81]Ibid., hlm. 17-18
[82]Q.S. Al-Anbiya:107, yang artinya ”Tiada Kami mengutus Engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
[83]Dengan memperhatikan unsur-unsur budaya lokal masyarakat melayu, maka ungkapan Islam yakni Al-Islamu Shalihun Likulli Zamanin wamakanin” atau Islam adalah agama yang sesuai dengan segala zaman dan tempat itu terbukti. Ali Anwar Yusuf, Wawasan Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia, 2003), hlm. 15, buktinya Islam bisa berkembang dan diterima secara suka rela oleh masyarakat Indonesia yang saat itu dipengaruhi oleh ajaran Hindu-Budha, justru budaya yang ada diakulturasikan oleh para penyiar agama dengan budaya Islam, guna menarik minat dari masyarakat Indonesia, Islam tidak di siarkan dengan kekerasan tetapi melalui pendekatan budaya yang penuh toleransi, sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Jhon Crawford, 1820 M dalam History of Indonecian Archipelago, yaituPara wiraswasta muslim tidak datang sebagai penakluk seperti yang dikerjakan oleh bangsa Spanyol pada abad ke-16 M. Mereka tidak menggunakan pedang dalam dakwahnya. Juga tidak memiliki hak untuk melakukan penindasan terhadap rakyat bawahnya.” Ahmad Mansyur Negara, Api Sejarah Buku yang Akan Mengubah Drastis Pandangan Anda Tentang Sejarah Indonesia, (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta, 2009), hlm. 121  
[84]Kaum Tuo adalah sebutan untuk kalangan Islam tradisionalis sementara itu kaum mudo adalah sebutan untuk golongan Islam Reformis. Ismail, Madrasah dan Pergolakan Sosial Politik di Keresidenan Palembang 1925-1942, (Yogyakarta: Idea Press, 2014), hlm. 318
[85]Kaum Tuo berpendapat bahwa ajaran dari kaum mudo sesat dan menyesatkan, seperti yang disampaikan oleh Pangeran Abdoel Majid, “Di Padang tidak lagi terpakai kaum mudo sebab telah nyata salahnya, mau masuk Lampung di tolak oleh alim-alim di situ. Dipadang Bengkulu juga, cuma masih ada di Betawi tempat orang yang bodoh bodoh. Kalau bangsa Said dan bangsa Arab tidak dekat disitu. At-ati Pangeran urus betul-betul kaum disini, karena agama kaum muda sesat”. Sikap dari Kaum Tuo tersebut ditangggapi oleh kaum mudo dengan dengan kecaman dan kritik yang tajam.Melalui surat kabar kaum mudo menyayangkan sikap dari kaum tuo yang ditujukan kepada mereka, “Tuan-tuan pembaca kami banyak bergirang hati dan Pangeran hendak mendirikan sekolaha tersebut, tetapi jangan hendaknya mencaci sekolah yang lain seperti Al-Irsjad, Muhamadiyah, Islamiyah dan sebagainya”. Ibid., hlm. 323
[86]Agus Setyanto, Gerakan Sosial Masyarakat Bengkulu Abad XIX, Peran Elite Politik dan Elit Agama, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), hlm. 176
[87]Ibid., hlm. 177
[88]Endang Rochmiatun, “Perdagangan dan Awal Islamisasi di Bengkulu”, hlm. 147
[89]Pada tahun 1913, tercatat ada 277 masyarakat Bengkulu yang menunaikan ibadah haji, yang sebagian besar di dominasi oleh masyarakat dari daerah Rejang. Endang Rochmiatun, “Perubahan Ekonomi dan Perkembangan Islam di Bengkulu Akhir Abad XIX sampai Awal Abad XX”, dalam Jurnal Sosiohumanika, (Vol.1, No. 16 B, 2003), hlm. 43
[90]Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejang, (Jakarta: Balai Pustaka, 1980), hlm. 241-243
[91]Q.S, An-Nisa: 23.
[92]Abdullah Siddik, Hukum Adat Rejan, hlm. 232
[93]Misalkan pada atap Mesjid Syuhada kota Bengkulu yang didirikan sekitar tahun 1767 M, atau pada bentuk atap Mesjid Jamik Bengkulu.
[94]Uka Tjandarasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm.240.
[95]Retno Purwanti, “Masuknya Islam di Bengkulu: Tinjauan Arkeologi”, dalam Jurnal Siddhayatra, Vol. 15, No. 1, 2000, hlm. 35
[96]Rasali, “Malam Toedjoeh Likoer”, Soeling Hindia, Maret, 1926, hlm. 4
[97]Oktarina Haryani, “Kesenian Sarafal Anam dan Nilai-Nilai yang Terkandung di dalamnya pada Adat Masyarakat Lembak (Studi Kasus Kelurahan Dusun Besar Kecamatan Singaran Pati Kota Bengkulu”, Skripsi, (Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2013), hlm. 37-38. Lihat juga Muhammad Tarobin, “Seni Sarafal Anam di Bengkulu: Makna, Fungsi, dan Pelestarian”, dalam Jurnal Bimas Islam, (Vol. 8, No. 2,  2015), hlm. 265  
[98]Redaksi, “KKT Bengkulu gelar prosesi duduk penja”, Antara Bengkulu.com, Minggu, 18 November 2012, diakses dari http://Antarabengkulu.com/berita/7894/kkt-bengkulu-gelar-prosesi-duduk-penja, pada tanggal 1 Agustus 2017.

Tidak ada komentar: