A. Pendahuluan
Istilah
filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosopia,
yang merupakan gabungan dari kata philia (cinta)
dan Sophia (kebijaksanaan), jadi
secara harfiah filsafat bisa diartikan sebagai pecinta kebijaksanaan. [1] Filsafat sendiri secara
umum, bisa dibagi menjadi tiga kelompok yakni ontology, epistimologi dan
aksiologi. Untuk makalah kali ini akan dibatasi pada pembahasan mengenai
epistimologi sebagai cabang dari filsafat.
Epistimologi
sendiri membahas tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih
ilmu. Ilmu atau knowledge merupakan
sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, dalam pemahaman
mengenai sumber dan cara memperoleh ilmu ini terdapat perbedaan, sehingga
nantinya menimbulkan ilmu yang bersifat
agama dan ilmu yang sifatnya duniawi.
Perbedaan
ini disebabkan oleh substansi dari ilmu pengetahuan duniawi, yang diidentikkan
kepada ilmu pengetahuan barat-modern, meskipun peradaban barat ini menghasilkan
ilmu yang bermanfaat, namun disadari atau tidak ilmu ini juga menyebabkan
kerusakan dalam kehidupan manusia khususnya terhadap keyakinan umat Islam.
Karena ilmu barat-sekuler, tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama,
namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang
terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk
rasional.[2]
Tentu
hal di atas, sangat bertolak belakang dengan konsep ilmu yang berlandaskan
agama, khusunya agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang sangat menghargai
ilmu pengetahuan. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits nabi yang memuji dan
memuliakan ilmu serta mengajarkan umatnya untuk menuntut ilmu ke mana saja ia
mampu melakukannya dan kapan saja selama hidup di dunia. Seluruh bidang
keilmuan boleh dijamah dan dieksplorasi, kecuali Zat Tuhan sendiri yang memang
tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan manusia, dalam pandangan Islam semua
ciptaan Tuhan patut diteliti dan dikaji secara seksama karena semua ciptaan
Tuhan adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan sendiri. Sehingga diharapkan dengan mengkaji
ayat Tuhan tersebut seorang Ilmuwan Muslim akan bertambah keyakinan dan
ketakwaannya kepada Allah.[3]
Hal
ini bisa kita telusuri dari sejarah umat Islam terdahulu, dimulai dari perkembangan
ilmu pada masa Nabi Muhammad SAW, hingga mengalami puncak kemajuan keilmuan
pada masa dinasti Abbasiyah, kemajuan ilmu ini bukan berarti bahwa umat Islam
meninggalkan keyakinannya sebagai seorang muslim, karena tujuan utama ilmu
dalam Islam adalah untuk mengenal Allah SWT. Inilah hal yang membedakan antara
ilmu Islam dan ilmu barat-sekuler. Kemajuan yang dialami mencakup seluruh bidang
keilmuan, baik yang sifatnya agama seperti ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadist
dan ilmu qalam, serta berkembang pula keilmuan yang bersifat duniawai seperti
ilmu filsafat, ilmu kedokteran, matematika, geografi, sejarah dll. Kemajuan
keilmuan ini hanya sebagian kecil bukti bahwa agama Islam tidak hanya
menekankan pada aspek ilmu keagamaan tetapi juga aspek ilmu keduniaan.
Kemajuan
ilmu yang dialami oleh umat Islam pada saat itu, justru berbanding terbalik
dengan kondisi yang dialami oleh bangsa barat. Dimana kondisi keilmuan mereka
cenderung tertinggal jauh dibandingkan dengan umat Islam, hal ini dikarenakan
segala aspek kehidupan manusia diatur oleh pihak gereja atau kaum keagamaan, sehingga
penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan yang bertolak belakang dengan doktrin
gereja dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang.
Kondisi
di atas, dalam sejarah, disebut sebagai masa the dark ages of Europe, setelah masa ini berakhir para ilmuwan
kemudian memperkenalkan filsafat ilmu sekuler, yang menolak keberadaan dan
kehadiran Tuhan, Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai sesuatu
yang menganggu kebebasan manusia untuk berfikir. Dengan konsep seperti ini
bangsa barat justru mengalami kemajuan yang pesat, tentu konsep seperti ini
tidak bisa diterima oleh kalangan umat Islam.
Dari
beberapa uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang
sangat mencolok antara epistimologi ilmu pengetahuan Islam dan barat, yakni
konsep mengenai keikutsertaan “Tuhan” dalam ilmu pengetahuan, sehingga dalam
kasus ini, penulis akan mencoba untuk lebih mengkaji perbedaan antara
epistimologi ilmu Islam dan epistimologi ilmu barat, yang akan dituangkan ke
dalam makalah yang berjudul “Epistimologi ilmu Islam dan Barat”.
B. Pembahasan
Epistemologi
merupakan cabang dari filsafat, istilah epistemologi pertama kali digunakan
oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakan dengan cabang filsafat
lainnya yaitu ontology. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa
Yunani episteme diartikan sebagai
pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut epistemologi dapat dimengerti sebagai teori
pengetahuan (theory of knowledge). [4] Adapun objek yang dibahas
dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana cara manusia
memperoleh ilmu tersebut. Sesuai dengan judul makalah ini, maka terlebih dahulu
akan dibedakan sumber ilmu versi Islam dan sumber ilmu versi Barat.
a. Sumber pengetahuan menurut Islam
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah
SWT, merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi
dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang
luput dari pengawasannya. Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat
manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam
tidak perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah
menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengakji ilmu pengetahuan
akan mampu untuk mengenal Allah SWT. Tentu hal ini berbeda kasusnya dengan
kondisi pada eropa pada abad pertengahan, yang terlalu tunduk dengan doktrin
gereja, sehingga ilmu tidak mengalami perkembangan.
Adapun sumber-sumber dalam
epistimologi ilmu Islam yang diwakili oleh epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah
Al-Qur’an, hadits, indera, akal dan hati. Berikut akan dijelaskan kedudukan
masing-masing sumber tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Oleh
karena itu, Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam
epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur’an sendiri
ternyata memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya
diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-Qur’an
mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani
dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dll.[5]
2. Hadist
Al-qur’an
dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur’an
merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan
hadits merupakan penjelas (bayan)
bagi keumuman isi Al-Qur’an.[6]
3. Pancaindera
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan
pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh
melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi
ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan
yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah
kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, apakah indra
telah cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu?, mengingat
indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan timbulnya
kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
Pertanyaan di atas bisa dijawab
melalui pernyataan imam Al-Ghazali, Al-Ghazali memasukkan metode inderawi
sebagai cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Ghazali
berpendapat bahwa metode indrawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami
sehingga ilmu yang didapatkanpun sangat sederhana. Dari persoalan kesederhanaan
dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh
secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu daya. Hal ini dikarenakan
pengalaman membuktikan bahwa ilmu indrawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan. [7]
Penjelasan mengenai tipu daya yang
dimaksudkan oleh Al-Ghazali ini terdapat
dalam karyanya yang berjudul Mi’yar
Al-Ilm, terutama dalam pembahasan mengenai ilmu, sebagai contoh Al-Ghazali
mengemukakan tentang indera penglihatan atau mata, indra mata menyaksikan bahwa
matahari ukurannya kecil dan bintang-bintang tampak seakan-seakan
mutiara-mutiara yang tersebar di atas hamparan kebiruan. Akan tetapi, akal
membuktikan bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan bintang-bintang juga
lebih besar daripada yang tampak oleh mata kita.[8]
Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan
manusia memiliki berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera
sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak
dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Begitu
juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz
min Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan
kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang
diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu,
ia bukan merupakan hal yang real.[9]
Dari penjelasan di atas, bisa
disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui
indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti
ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang
hakiki.
4. Akal
Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu
pengetahuan, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh
ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai untuk dijadikan acuan
mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat atau sumber lain untuk
pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut adalah akal. Dalam pandangan
ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal disebut dengan rasionalisme.
Akal menurut Al-Ghazali diciptakan
oleh Allah SWT dalam keadaan yang sempuran dan mulia, sehingga dapat membawa
manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk
kepada manusia, sekalipun fisiknya lebih kuat daripada manusia. Kedudukan akal
seperti seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan membedakan), daya akal dan pemahaman. Kebahagiaan
spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Jiwa
(roh) bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang menyinari seluruh
tubuh. Al-Ghazali bahkan menyebutkan
bahwa akal lebih patut disebut sebagai cahaya daripada indera.[10]
Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat
dipahami bahwa pada dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses
dan mengembangkan ilmu, sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya gerak
dan perasaan. Akal adalah alat untuk berfikir guna menghasilkan ilmu sehingga
dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. Indera adalah abdi dan pengikut
setia akal. Indera ini dipengaruhi oleh keanekaragaman fenomena alam, tempat
dan waktu, dengan kemajemukan kebaikan dan keburukan, kesalehan dan
kemaksiatan. Jelaslah bahwa indera dipengaruhi oleh kehidupan duniawi, yang
juga berpengaruh pada tujuan penggunaan akal.
Dalam kaitannya dengan ilmu, akal
dan indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling
berhubungan dalam proses pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal
dalam mengolah rangsangan inderawi merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal pada perkembangannya juga
belum mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena alam, akal hanya mampu
menjelaskan hal yang sifatnya nyata sedangkan hal yang gaib atau metafisika
tidak mampu dijangkau oleh akal.
5. Qalb (Hati)
Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang
sering digunakan oleh Al-Gahzali. Dalam pandangan Al-Ghazali qalb memiliki dua pengertian, yakni
pertama qalb didefinisikan sebagai daging yang bersuhu panas berbentuk kusama
berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada rongga yang berisi darah
hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa yang bersifat hewani. Makna
ke-dua adalah sangat lembut, pembimbing rohaniyah yang memiliki dengan kalbu
yang berupa jasmani itu ketergantungan kepada anggota-anggota badan dan
sifat-sifat yang disifati, kelemah lembutan itulah hakikat manusia yang
mengerti, yang alim, penceramah,
pencari ilmu, pahala, dan ganjaran. [11]
Qalbu
itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan esensi manusia serta
sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh
ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu lebih mendekati ilmu tentang
hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan
jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq),
yang pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql al-mustafad”.[12]
Al-Ghazali
memandang bahwa kedudukan dzawq lebih
tinggi daripada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi
ilmu Al-Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang
telah berhasil membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak menemukan
dasar yang membuatnya percaya pada akal. Ketika akal tidak mampu memahami
wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Ketika
akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam
ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu memahami
pengalaman-pengalaman non-inderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra sensory perception) termasuk
pengalaman-pengalaman mistik atau religius.[13]
Sehingga
pengalaman penyelesaian akhir tentang keraguan terhadap pancaindera dan akal
pada diri Al-Ghazali, ditemukan lewat nur dari Allah, yang mebuatnya yakin
bahwa dengan dzawq inilah ilmu yang
betul-betul diyakini ini diperoleh. Pengalaman inilah yang meyebabkan
Al-Ghazali menempatkan adz-dzawq di
atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari Tuhan.
b. Sumber pengetahuan ilmu Barat
Dalam
sejarah filsafat, Plato dan Aristotels adalah dua filsuf yang memiliki pandangan
yang berbeda terkait sumber pengetahuan. Filsafat Plato disebut sebagai seorang
yang memiliki pandangan rasionalisme. Tokoh rasionalisme ini berpandangan bahwa
sumber pengetahuan itu adalah rasio, dengan kata lain rasionalisme menempatkan
posisi rasio (akal), sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum
rasionalitas percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai
pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang apa
yang ada “tentang realitas”dan strukturnya serta tentang alam semesta pada
umumnya. [14]
Masih menurut kaum rasionalis, realitas dan beberapa kebenaran tentang realitas
dapat dicapai tanpa tergantung pada pengamatan (pengalaman) atau tanpa
penggunaan metode empiris. Karena itu pengetahuan seperti ini sering disebut
sebagai pengetahuan a priori (a=dari dan prior=yang mendahului),
berarti ilmu tidak tergantung pengalaman. Jadi pengetahuan a priori, artinya pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui
pengalaman.
Sementara
itu, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda terhadap pandangan Plato,
meskipun Plato merupakan gurunya, Aristoteles memiliki pandangan filsafat
empirisme. Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus
didasarkan atas metode empirisme eksperimental, sehingga kebenarannya dapat
dibuktikan. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam perkembangannya
berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan perbedaan antara ilmu
pengetahuan (sience) dengan non ilmu.
[15] Berdasarkan uraian
mengenai sumber ilmu pengetahuan menurut Plato dan Aristoteles, terlihat bahwa
Plato dan Aristoteles hanya menonjolkan satu sumber saja, Plato dengan akalnya
(rasio) dan Aristoteles dengan pengalamannya (empiris). Karakteristik ini
bahkan terus terjaga hingga munculnya sains modern.
Secara
lebih jelas berikut akan disajikan karakteristik dari epistimologi ilmu barat. Pertama, objek kajian dalam
epistimologi sains modern (ilmu barat) hanya terbatas pada realitas-realitas
empirk indriawi di dunia fisik-material, bahkan realitas indriawi empirik itu
dipandang sebagai realitas independen yang keberadaannya sama sekali terpisah
dari tingkat realitas yang lebih tinggi, yakni realitas immaterial-nonfisik
yang berada di dunia metafisik dan Tuhan. Ke-dua,
pancaindra (utamanya) dan akal atau intelek (rasio) merupakan alat atau
sumber pengetahuan, mungkin karena peran akal dalam epistimologi ilmu barat
bukan sebagai alat untuk menangkap realitas (metafisk), maka tidaklah keliru
kalau kemudian dikatakan bahwa pada dasarnya epistimologi barat hanya lebih mengapresiasi pancaindera sebagai
alat atau sumber ilmu pengetahuan yang utama dan akal menjadi sumber nomor dua.
Ke-tiga, ilmu barat dibangun atas
metode tunggal yang sekarang popular dengan sebutan metode ilmiah-positivisme
sebagai landasan filosofisnya, yang hanya mengakui kebenaran ilmiah yang dapat
dibuktikan kebenarannya secara empiris.[16] Jika ilmu tersebut
bersifat nonempiris-metafisik atau tidak bisa dibuktikan secara empiris maka
status keilmiahannya ditolak.
Coba
kita bandingkan epistimologi barat tersebut dengan epistimologi Islam, dalam
hal ini epistimologi Imam Al-Ghazali, terlihat bahwa sumber ilmu pengetahuan
menurut Islam lebih luas cakupannya tidak hanya berdasarkan akal ataupun
pengalaman indera saja yang sama-sama memiliki keterbatasan, akan tetapi
pengalaman indera ini disempurnakan oleh
akal (rasio) dan pada akhirnya akal juga tidak mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat metafisika, sehingga
disinilah hati memiliki peranan penting, untuk menjelaskan hal tersebut
berdasarkan ilham dan wahyu (Al-Qur’an). Jadi tidaklah mengherankan jika
filsafat rasionalismenya Plato dan empirismenya Aristoteles tidak mampu
menjangkau pemahaman mengenai ilmu yang sifatnya metafisika, karena ilmu
metafisika hanya mampu dipahami melalui ilmu yang bersumber dari hati melalui
ilham.
b. Epistimologi Barat dalam pandangan Islam
Dari penjelasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa
epistimologi ilmu Islam dan ilmu Barat memiliki perbedaan yang mencolok,
epsitimologi ilmu Barat secara garis besar bersumber pada akal (rasionalisme)
dan pengalaman (empirisme) yang nantinya berkembang menjadi aliran positivisme,
sedangkan epistimologi ilmu islam tanpa menapikkan akal dan pengalaman sebagai
sumber ilmu pengetahuan, namun yang terpenting dan yang paling utama adalah menjadikan
wahyu sebagai sumber primernya. Wahyu untuk nabi dan Ilham untuk manusia pada
umunya bersumber dari hati. Hal inilah yang tidak mendapatkan perhatian bagi
kelompok positivisme dan rasionalisme.
Karena terlalu mendewakan akal dan
indera sebagai sumber ilmu, tanpa memperdulikan wahyu mengakibatkan pikiran, waktu dan tenaga yang
luar biasa besarnya dicurahkan untuk mencari asal-usul semesta alam, yang sifatnya
rasional spekulatif dan tidak membawa dampak positif besar bagi kehidupan
manusia, bahkan ilmu yang disebutkan sebagai sience ini bisa meruntuhkan keyakinan agama.
Misalkan dalam masalah ilmu biologi
dan ilmu sejarah, pada umunya tokoh agama hanya berpegang pada tekstual yang
ada dalam kitab sebagai senjata untuk memerangi sains modern, melalui teori
Darwin, ilmu sekuler ini menyatakan bahwa manusia berasal dari sesosok primata
yang berevolusi menjadi manusia seutuhnya.[17] Tentu teori ini sangat
bertentangan dengan ajaran dan konsep dasar Islam tentang penciptaan manusia.
Ilmu
sekuler ini hanya mempelajari manusia berdasarkan bentuk fisik saja, karena
fisik bisa terlihat dan dirasakan oleh indera sedangkan konsep ruh tidak bisa dijelaskan, aliran
positivisme dan rasionalisme ini tidak mampu mencapai dan menjelaskan konsep ruh karena epsitimologi ilmu mereka
memiliki keterbatasan yang sangat jelas hanya berpegang pada indera dan akal
saja, sedangkan urusan ruh bukan
termasuk ke dalam ilmu pengetahuan karena bersifat metafisika, sedangkan untuk
urusan ilmu metafisika hanya bisa ditelusuri dari epistimologi yang bersumber
pada hati. Dengan demikian yang mereka teliti hanyalah unsur fisik manusia,
yaitu unsur daging dan tulang. Karena yang tersisa hanya tulang belulang, maka
yang diteliti sebenarnya adalah “sejarah tulang manusia” bukan “sejarah
manusia”. [18]
Charles
Darwin, kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi
Darwin, asal mula spesies bukan berasl dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada
lingkungan”. Menurutnya Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesies
yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies
menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam. Pandangan
dari Darwin ini mendapatkan sambutan luar biasa dari Karl Marx, Marx yang
pernah mengatakan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan
dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh bahkan agama
merupakan candu untuk rakyat.[19] Dari pernyataan ini bisa
dilihat betapa kuatnya penolakan yang dilakukan oleh golongan ilmuwan barat-sekuler
tentang keberadaan Tuhan.
Masih
berkaitan dengan teori Charles Darwin, Islam tidak berpandangan demikian, dalam
pandangan Islam Allah lah yang menciptakan manusia, fase sejarah terpenting
umat manusia adalah saat berada di alam arwah dan membuat ikatan perjanjian
dengan Allah SWT. Jadi bukan hanya sekedar pemahaman mengenai bentuk fisik
saja, tanpa memperdulikan tujuan diciptakannya manusia, yakni mengenal Allah
SWT dan beribadah kepadanya. Jadi cara pandang sekuler dan epistemologi yang
menolak wahyu sebagai sumber ilmu menghasilkan ilmu pengetahuan tentang sejarah
manusia yang merusak manusia itu sendiri.[20]
Epistimilogi ilmu barat yang di
dapatkan melalui kebebasan berfikir sebebas-bebasnya tanpa memperdulikan lagi wahyu,
sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam yang mengutamakan wahyu, karena
akal dan indera memiliki keterbatasan. Sebenarnya untuk urusan agama, Allah
telah mempersiapkan petunjuknya dalam Al-Qur’an sehingga tidak akan membiarkan
manusia mempergunakan akal tanpa batas dan melanggar apa yang telah digariskan
oleh wahyu. Kemudian mengenai syari’at,
Allah telah menjelaskan pokok-pokok (ushlul)
sehingga tinggal mempergunakan akal sehat untuk beritjihad demi meperoleh
pengetahuan tentunya itjihad ini tak lepas dari tuntunan Al-Qur’an. [21]
C. Kesimpulan
Epistemologi merupakan cabang dari filsafat, istilah
epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854, adapun
objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan
bagaimana cara manusia memperoleh ilmu tersebut. Dalam prakteknya terdapat
perbedaan pemahaman mengenai epistimologi ini, yaitu perbedaan epistimologi
antara ilmu Islam dan ilmu Barat.
Epsitimologi ilmu Islam, khususnya
epistimologi ilmu Al-Ghazali, bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber primer,
kemudian hadits, indra, akal dan qalb (hati), sedangkan epistimologi ilmu barat
hanya condong kepada pendewaan terhadap indra (empirisme) yang nantinya akan
berkembang menjadi aliran postivisme dan akal (rasio) atau paham rasionalisme.
Inilah yang membedakan antara epistimologi Islam dan epistimologi ilmu Barat.
Daftar Pustaka
At-Thawil Taufiq, 2013, Agama dan Filsafat, penerjemah Imam
Ahmad Ibnu Nizar,
Madiun: Al-Furqon
Husaini, Adian,dkk, 2013, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam,
Jakarta: Gema
Insani
Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, Bandung:
Penerbit Mizan
Lubis, Akhyar Yusuf, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shafa, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Mustofa, A, 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Solihin, 2001, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung:
CV Pustaka Setia
Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern,
Bandung: Penerbit
Pustaka Setia
[1] Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik
Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 13-14
[2] Adrian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam,
(Jakarta: Gema Insani), hlm. 1
[3] Mulyadhi Kartanegara, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung:
Mizan), hlm. 132
[4] Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada), hlm.31
[5] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 93
[6] Op.Cit, Adrian Husaini, hlm.99
[7] Op. Cit, Solihin, 2001, Epistimologi
Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, (Bandung:
Pustaka Setia Bandung), hlm. 41
[8] Keraguan Al-Ghazali terhadap
indra bisa dilihat pada buku, A.H Mustofa, 1997, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm.224, Al-Ghazali
menyatakan bahwa “sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama,
telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada
pengetahuan indrawi, bagaimana pengetahuan itu bisa diterima. Seperti misalnya
penglihatan sebagai indera yang kuat. Ketika engkau melihat bayangan di
sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah
beberapa saat, engkau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus,
melainkan perlajan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya
bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian oula ketika engkau melihat bintang,
maka dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya
menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi.”
[9] Ibid, Solihin, hlm. 43
[10] Op. Cit, Mulyadhi Kertanegara, hlm. 21
[11] Op. Cit, Adrian Husaini, hlm. 107
[12] Op, Cit. Solihin, 2001, hlm. 46
[13] Op, Cit, Mulyadi Kertanegara, hlm. 28
[14] Op. Cit. Akhyar Yusuf Lubis, hlm. 33
[15] Op. Cit,Akhyar Yusuf Lubis, hlm.
33
[16] Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shaffa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), hlm. 3
[17] Taufiq At-Thawil, 2013, Agama dan Filsafat (Terjemahan Imam
Ahmad Ibnu Nizar), (Madiun: Al-Furqon), hlm. 268
[18] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[19] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 9
[20] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[21] Op. Cit, Taufiq At-Thawil, hlm. 141