SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 03 Januari 2015

Epistimologi Ilmu Islam dan Barat

A. Pendahuluan       
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosopia, yang merupakan gabungan dari kata philia (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan), jadi secara harfiah filsafat bisa diartikan sebagai pecinta kebijaksanaan. [1] Filsafat sendiri secara umum, bisa dibagi menjadi tiga kelompok yakni ontology, epistimologi dan aksiologi. Untuk makalah kali ini akan dibatasi pada pembahasan mengenai epistimologi sebagai cabang dari filsafat.
Epistimologi sendiri membahas tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Ilmu atau knowledge merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, dalam pemahaman mengenai sumber dan cara memperoleh ilmu ini terdapat perbedaan, sehingga nantinya  menimbulkan ilmu yang bersifat agama dan ilmu yang sifatnya duniawi.
Perbedaan ini disebabkan oleh substansi dari ilmu pengetahuan duniawi, yang diidentikkan kepada ilmu pengetahuan barat-modern, meskipun peradaban barat ini menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun disadari atau tidak ilmu ini juga menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia khususnya terhadap keyakinan umat Islam. Karena ilmu barat-sekuler, tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.[2]
Tentu hal di atas, sangat bertolak belakang dengan konsep ilmu yang berlandaskan agama, khusunya agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits nabi yang memuji dan memuliakan ilmu serta mengajarkan umatnya untuk menuntut ilmu ke mana saja ia mampu melakukannya dan kapan saja selama hidup di dunia. Seluruh bidang keilmuan boleh dijamah dan dieksplorasi, kecuali Zat Tuhan sendiri yang memang tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan manusia, dalam pandangan Islam semua ciptaan Tuhan patut diteliti dan dikaji secara seksama karena semua ciptaan Tuhan adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan sendiri. Sehingga diharapkan dengan mengkaji ayat Tuhan tersebut seorang Ilmuwan Muslim akan bertambah keyakinan dan ketakwaannya kepada Allah.[3]
Hal ini bisa kita telusuri dari sejarah umat Islam terdahulu, dimulai dari perkembangan ilmu pada masa Nabi Muhammad SAW, hingga mengalami puncak kemajuan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, kemajuan ilmu ini bukan berarti bahwa umat Islam meninggalkan keyakinannya sebagai seorang muslim, karena tujuan utama ilmu dalam Islam adalah untuk mengenal Allah SWT. Inilah hal yang membedakan antara ilmu Islam dan ilmu barat-sekuler. Kemajuan yang dialami mencakup seluruh bidang keilmuan, baik yang sifatnya agama seperti ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu qalam, serta berkembang pula keilmuan yang bersifat duniawai seperti ilmu filsafat, ilmu kedokteran, matematika, geografi, sejarah dll. Kemajuan keilmuan ini hanya sebagian kecil bukti bahwa agama Islam tidak hanya menekankan pada aspek ilmu keagamaan tetapi juga aspek ilmu keduniaan.
Kemajuan ilmu yang dialami oleh umat Islam pada saat itu, justru berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh bangsa barat. Dimana kondisi keilmuan mereka cenderung tertinggal jauh dibandingkan dengan umat Islam, hal ini dikarenakan segala aspek kehidupan manusia diatur oleh pihak gereja atau kaum keagamaan, sehingga penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang.
Kondisi di atas, dalam sejarah, disebut sebagai masa the dark ages of Europe, setelah masa ini berakhir para ilmuwan kemudian memperkenalkan filsafat ilmu sekuler, yang menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan, Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang menganggu kebebasan manusia untuk berfikir. Dengan konsep seperti ini bangsa barat justru mengalami kemajuan yang pesat, tentu konsep seperti ini tidak bisa diterima oleh kalangan umat Islam.
Dari beberapa uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara epistimologi ilmu pengetahuan Islam dan barat, yakni konsep mengenai keikutsertaan “Tuhan” dalam ilmu pengetahuan, sehingga dalam kasus ini, penulis akan mencoba untuk lebih mengkaji perbedaan antara epistimologi ilmu Islam dan epistimologi ilmu barat, yang akan dituangkan ke dalam makalah yang berjudul “Epistimologi ilmu Islam dan Barat”.

B. Pembahasan
Epistemologi merupakan cabang dari filsafat, istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakan dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut epistemologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). [4] Adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana cara manusia memperoleh ilmu tersebut. Sesuai dengan judul makalah ini, maka terlebih dahulu akan dibedakan sumber ilmu versi Islam dan sumber ilmu versi Barat.
a. Sumber pengetahuan menurut Islam
            Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT, merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya. Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengakji ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT. Tentu hal ini berbeda kasusnya dengan kondisi pada eropa pada abad pertengahan, yang terlalu tunduk dengan doktrin gereja, sehingga ilmu tidak mengalami perkembangan.
            Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu Islam yang diwakili oleh epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah Al-Qur’an, hadits, indera, akal dan hati. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur’an sendiri ternyata memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-Qur’an mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dll.[5]

2. Hadist
Al-qur’an dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur’an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman isi Al-Qur’an.[6]

3. Pancaindera
            Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, apakah indra telah cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu?, mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
            Pertanyaan di atas bisa dijawab melalui pernyataan imam Al-Ghazali, Al-Ghazali memasukkan metode inderawi sebagai cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa metode indrawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang didapatkanpun sangat sederhana. Dari persoalan kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu daya. Hal ini dikarenakan pengalaman membuktikan bahwa ilmu indrawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan. [7]
            Penjelasan mengenai tipu daya yang dimaksudkan  oleh Al-Ghazali ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Mi’yar Al-Ilm, terutama dalam pembahasan mengenai ilmu, sebagai contoh Al-Ghazali mengemukakan tentang indera penglihatan atau mata, indra mata menyaksikan bahwa matahari ukurannya kecil dan bintang-bintang tampak seakan-seakan mutiara-mutiara yang tersebar di atas hamparan kebiruan. Akan tetapi, akal membuktikan bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan bintang-bintang juga lebih besar daripada yang tampak oleh mata kita.[8]
            Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan hal yang real.[9]
            Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang hakiki.

4. Akal
            Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai untuk dijadikan acuan mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut adalah akal. Dalam pandangan ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal disebut dengan rasionalisme.
            Akal menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan yang sempuran dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia, sekalipun fisiknya lebih kuat daripada manusia. Kedudukan akal seperti seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan membedakan), daya akal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Jiwa (roh) bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang menyinari seluruh tubuh.  Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa akal lebih patut disebut sebagai cahaya daripada indera.[10]
            Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses dan mengembangkan ilmu, sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya gerak dan perasaan. Akal adalah alat untuk berfikir guna menghasilkan ilmu sehingga dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. Indera adalah abdi dan pengikut setia akal. Indera ini dipengaruhi oleh keanekaragaman fenomena alam, tempat dan waktu, dengan kemajemukan kebaikan dan keburukan, kesalehan dan kemaksiatan. Jelaslah bahwa indera dipengaruhi oleh kehidupan duniawi, yang juga berpengaruh pada tujuan penggunaan akal.
            Dalam kaitannya dengan ilmu, akal dan indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal dalam mengolah rangsangan inderawi merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal.

5. Qalb (Hati)
            Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh Al-Gahzali. Dalam pandangan Al-Ghazali qalb memiliki dua pengertian, yakni pertama qalb didefinisikan sebagai daging yang bersuhu panas berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa yang bersifat hewani. Makna ke-dua adalah sangat lembut, pembimbing rohaniyah yang memiliki dengan kalbu yang berupa jasmani itu ketergantungan kepada anggota-anggota badan dan sifat-sifat yang disifati, kelemah lembutan itulah hakikat manusia yang mengerti, yang alim, penceramah, pencari ilmu, pahala, dan ganjaran. [11]
Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq), yang pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql al-mustafad”.[12]
Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan dzawq lebih tinggi daripada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi ilmu Al-Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang telah berhasil membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak menemukan dasar yang membuatnya percaya pada akal. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non-inderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra sensory perception) termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.[13]
Sehingga pengalaman penyelesaian akhir tentang keraguan terhadap pancaindera dan akal pada diri Al-Ghazali, ditemukan lewat nur dari Allah, yang mebuatnya yakin bahwa dengan dzawq inilah ilmu yang betul-betul diyakini ini diperoleh. Pengalaman inilah yang meyebabkan Al-Ghazali menempatkan adz-dzawq di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari Tuhan.

b. Sumber pengetahuan ilmu Barat
Dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristotels adalah dua filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda terkait sumber pengetahuan. Filsafat Plato disebut sebagai seorang yang memiliki pandangan rasionalisme. Tokoh rasionalisme ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan itu adalah rasio, dengan kata lain rasionalisme menempatkan posisi rasio (akal), sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum rasionalitas percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang apa yang ada “tentang realitas”dan strukturnya serta tentang alam semesta pada umumnya. [14] Masih menurut kaum rasionalis, realitas dan beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa tergantung pada pengamatan (pengalaman) atau tanpa penggunaan metode empiris. Karena itu pengetahuan seperti ini sering disebut sebagai pengetahuan a priori (a=dari dan prior=yang mendahului), berarti ilmu tidak tergantung pengalaman. Jadi pengetahuan a priori, artinya pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui pengalaman.
Sementara itu, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda terhadap pandangan Plato, meskipun Plato merupakan gurunya, Aristoteles memiliki pandangan filsafat empirisme. Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan atas metode empirisme eksperimental, sehingga kebenarannya dapat dibuktikan. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam perkembangannya berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan perbedaan antara ilmu pengetahuan (sience) dengan non ilmu. [15] Berdasarkan uraian mengenai sumber ilmu pengetahuan menurut Plato dan Aristoteles, terlihat bahwa Plato dan Aristoteles hanya menonjolkan satu sumber saja, Plato dengan akalnya (rasio) dan Aristoteles dengan pengalamannya (empiris). Karakteristik ini bahkan terus terjaga hingga munculnya sains modern.
Secara lebih jelas berikut akan disajikan karakteristik dari epistimologi ilmu barat. Pertama, objek kajian dalam epistimologi sains modern (ilmu barat) hanya terbatas pada realitas-realitas empirk indriawi di dunia fisik-material, bahkan realitas indriawi empirik itu dipandang sebagai realitas independen yang keberadaannya sama sekali terpisah dari tingkat realitas yang lebih tinggi, yakni realitas immaterial-nonfisik yang berada di dunia metafisik dan Tuhan. Ke-dua, pancaindra (utamanya) dan akal atau intelek (rasio) merupakan alat atau sumber pengetahuan, mungkin karena peran akal dalam epistimologi ilmu barat bukan sebagai alat untuk menangkap realitas (metafisk), maka tidaklah keliru kalau kemudian dikatakan bahwa pada dasarnya epistimologi barat  hanya lebih mengapresiasi pancaindera sebagai alat atau sumber ilmu pengetahuan yang utama dan akal menjadi sumber nomor dua. Ke-tiga, ilmu barat dibangun atas metode tunggal yang sekarang popular dengan sebutan metode ilmiah-positivisme sebagai landasan filosofisnya, yang hanya mengakui kebenaran ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.[16] Jika ilmu tersebut bersifat nonempiris-metafisik atau tidak bisa dibuktikan secara empiris maka status keilmiahannya ditolak.
Coba kita bandingkan epistimologi barat tersebut dengan epistimologi Islam, dalam hal ini epistimologi Imam Al-Ghazali, terlihat bahwa sumber ilmu pengetahuan menurut Islam lebih luas cakupannya tidak hanya berdasarkan akal ataupun pengalaman indera saja yang sama-sama memiliki keterbatasan, akan tetapi pengalaman indera ini disempurnakan  oleh akal (rasio) dan pada akhirnya akal juga tidak mampu menjelaskan  hal-hal yang bersifat metafisika, sehingga disinilah hati memiliki peranan penting, untuk menjelaskan hal tersebut berdasarkan ilham dan wahyu (Al-Qur’an). Jadi tidaklah mengherankan jika filsafat rasionalismenya Plato dan empirismenya Aristoteles tidak mampu menjangkau pemahaman mengenai ilmu yang sifatnya metafisika, karena ilmu metafisika hanya mampu dipahami melalui ilmu yang bersumber dari hati melalui ilham.

b. Epistimologi Barat dalam pandangan Islam
            Dari penjelasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa epistimologi ilmu Islam dan ilmu Barat memiliki perbedaan yang mencolok, epsitimologi ilmu Barat secara garis besar bersumber pada akal (rasionalisme) dan pengalaman (empirisme) yang nantinya berkembang menjadi aliran positivisme, sedangkan epistimologi ilmu islam tanpa menapikkan akal dan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan, namun yang terpenting dan yang paling utama adalah menjadikan wahyu sebagai sumber primernya. Wahyu untuk nabi dan Ilham untuk manusia pada umunya bersumber dari hati. Hal inilah yang tidak mendapatkan perhatian bagi kelompok positivisme dan rasionalisme.
            Karena terlalu mendewakan akal dan indera sebagai sumber ilmu, tanpa memperdulikan wahyu  mengakibatkan pikiran, waktu dan tenaga yang luar biasa besarnya dicurahkan untuk mencari asal-usul semesta alam, yang sifatnya rasional spekulatif dan tidak membawa dampak positif besar bagi kehidupan manusia, bahkan ilmu yang disebutkan sebagai sience ini bisa meruntuhkan keyakinan agama.
            Misalkan dalam masalah ilmu biologi dan ilmu sejarah, pada umunya tokoh agama hanya berpegang pada tekstual yang ada dalam kitab sebagai senjata untuk memerangi sains modern, melalui teori Darwin, ilmu sekuler ini menyatakan bahwa manusia berasal dari sesosok primata yang berevolusi menjadi manusia seutuhnya.[17] Tentu teori ini sangat bertentangan dengan ajaran dan konsep dasar Islam tentang penciptaan manusia.
Ilmu sekuler ini hanya mempelajari manusia berdasarkan bentuk fisik saja, karena fisik bisa terlihat dan dirasakan oleh indera sedangkan konsep ruh tidak bisa dijelaskan, aliran positivisme dan rasionalisme ini tidak mampu mencapai dan menjelaskan konsep ruh karena epsitimologi ilmu mereka memiliki keterbatasan yang sangat jelas hanya berpegang pada indera dan akal saja, sedangkan urusan ruh bukan termasuk ke dalam ilmu pengetahuan karena bersifat metafisika, sedangkan untuk urusan ilmu metafisika hanya bisa ditelusuri dari epistimologi yang bersumber pada hati. Dengan demikian yang mereka teliti hanyalah unsur fisik manusia, yaitu unsur daging dan tulang. Karena yang tersisa hanya tulang belulang, maka yang diteliti sebenarnya adalah “sejarah tulang manusia” bukan “sejarah manusia”. [18]
Charles Darwin, kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal mula spesies bukan berasl dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. Menurutnya Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam. Pandangan dari Darwin ini mendapatkan sambutan luar biasa dari Karl Marx, Marx yang pernah mengatakan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh bahkan agama merupakan candu untuk rakyat.[19] Dari pernyataan ini bisa dilihat betapa kuatnya penolakan yang dilakukan oleh golongan ilmuwan barat-sekuler tentang keberadaan Tuhan.            
Masih berkaitan dengan teori Charles Darwin, Islam tidak berpandangan demikian, dalam pandangan Islam Allah lah yang menciptakan manusia, fase sejarah terpenting umat manusia adalah saat berada di alam arwah dan membuat ikatan perjanjian dengan Allah SWT. Jadi bukan hanya sekedar pemahaman mengenai bentuk fisik saja, tanpa memperdulikan tujuan diciptakannya manusia, yakni mengenal Allah SWT dan beribadah kepadanya. Jadi cara pandang sekuler dan epistemologi yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu menghasilkan ilmu pengetahuan tentang sejarah manusia yang merusak manusia itu sendiri.[20]
            Epistimilogi ilmu barat yang di dapatkan melalui kebebasan berfikir sebebas-bebasnya tanpa memperdulikan lagi wahyu, sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam yang mengutamakan wahyu, karena akal dan indera memiliki keterbatasan. Sebenarnya untuk urusan agama, Allah telah mempersiapkan petunjuknya dalam Al-Qur’an sehingga tidak akan membiarkan manusia mempergunakan akal tanpa batas dan melanggar apa yang telah digariskan oleh wahyu. Kemudian mengenai syari’at, Allah telah menjelaskan pokok-pokok (ushlul) sehingga tinggal mempergunakan akal sehat untuk beritjihad demi meperoleh pengetahuan tentunya itjihad ini tak lepas dari tuntunan Al-Qur’an. [21]


 C. Kesimpulan
            Epistemologi merupakan cabang dari filsafat, istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854, adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana cara manusia memperoleh ilmu tersebut. Dalam prakteknya terdapat perbedaan pemahaman mengenai epistimologi ini, yaitu perbedaan epistimologi antara ilmu Islam dan ilmu Barat.
            Epsitimologi ilmu Islam, khususnya epistimologi ilmu Al-Ghazali, bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber primer, kemudian hadits, indra, akal dan qalb (hati), sedangkan epistimologi ilmu barat hanya condong kepada pendewaan terhadap indra (empirisme) yang nantinya akan berkembang menjadi aliran postivisme dan akal (rasio) atau paham rasionalisme. Inilah yang membedakan antara epistimologi Islam dan epistimologi ilmu Barat.
           

Daftar Pustaka
At-Thawil Taufiq, 2013, Agama dan Filsafat, penerjemah Imam Ahmad Ibnu Nizar,
Madiun: Al-Furqon
Husaini, Adian,dkk, 2013, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema
Insani
Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, Bandung: Penerbit Mizan
Lubis, Akhyar Yusuf, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shafa, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Mustofa, A, 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Solihin, 2001, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung:
CV Pustaka Setia
Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern,
Bandung: Penerbit Pustaka Setia




[1] Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 13-14
[2] Adrian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), hlm. 1
[3] Mulyadhi Kartanegara, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan), hlm. 132
[4] Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada), hlm.31
[5] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 93
[6] Op.Cit, Adrian Husaini, hlm.99
[7] Op. Cit, Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia Bandung), hlm. 41   
[8] Keraguan Al-Ghazali terhadap indra bisa dilihat pada buku, A.H Mustofa, 1997, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm.224, Al-Ghazali menyatakan bahwa “sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan indrawi, bagaimana pengetahuan itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai indera yang kuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlajan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian oula ketika engkau melihat bintang, maka dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi.”  
[9] Ibid,  Solihin,  hlm. 43
[10] Op. Cit, Mulyadhi Kertanegara, hlm. 21
[11] Op. Cit, Adrian Husaini, hlm. 107
[12] Op, Cit. Solihin, 2001, hlm. 46
[13] Op, Cit, Mulyadi Kertanegara, hlm. 28
[14] Op. Cit. Akhyar Yusuf Lubis, hlm. 33
[15] Op. Cit,Akhyar Yusuf Lubis, hlm. 33
[16] Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shaffa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),  hlm. 3
[17] Taufiq At-Thawil, 2013, Agama dan Filsafat (Terjemahan Imam Ahmad Ibnu Nizar), (Madiun: Al-Furqon), hlm. 268
[18] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[19] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 9
[20] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[21] Op. Cit, Taufiq At-Thawil, hlm. 141

Peradaban Islam Indonesia

A. Pendahuluan
Sebelum masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, sebenarnya di Indonesia terlebih dahulu telah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dari India. Namun pada kenyataannya dari dahulu sampai sekarang Indonesia justru dianggap sebagai negara yang dihuni oleh umat Islam dengan jumlah terbesar di dunia yang sangat diperhitungkan oleh bangsa lain. Hal itu tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui proses yang panjang.
Proses Islamisasi tersebut ternyata telah banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat Indoneisa, baik dibidang politik, sosial, keilmuan, seni dan bangunan, serta berbagai aspek lainnya. Hal ini menyebabkan mayoritas masyarakat Indonesia mulai meninggalkan keyakinan lamanya (Hindu-Budha) dan beralih kepada ajaran agama Islam. Peralihan keyakinan ini lebih dikarenakan Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun para da’i dan ulama, menyiarkan suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup yang secara kualitatif lebih maju daripada peradaban yang ada. Dalam bidang keyakinan misalnya keyakinan yang awalnya bersifat monoteisme menjadi politeisme, kemudian tidak adanya kasta dalam kehidupan sosial, sehingga masyrakat kelas bawahan merasa keberadaan mereka sebagai manusia dihargai dan memiliki hak yang sama dengan masyarakat kelas atas. Singkat kata kedatangan Islam mudah diterima oleh masyakarat Indonesia.
Setelah Islam mampu menancapkan pengaruh serta ajarannya dalam kehidupan masyarakat, barulah masyakat muslim Indonesia mulai membangun sebuah peradaban, yang mencakup diberbagai bidang, misalkan dalam politik menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, serta berkembangnya seni dan corak bangunan yang bernafaskan Islam, kemudian yang lebih penting adalah tumbuh dan berkembangnya ilmu-ilmu keagamaan yang nantinya menjadi Ideologi masyarakat muslim Indonesia untuk melawan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Asing.


B. Islam di Indonesia
1. Awal Masuk dan Berkembangan Islam di Indonesia
            Sejarah awal terbentuknya peradaban Islam di Indonesia cukup rumit. Banyak para ahli yang saling berbeda pendapat kapan Islam mulai muncul di Indonesia. Apabila digolongkan, setidaknya terdapat tiga pendapat para sarjana sejarah mengenai awal masuknya Islam di Indonesia.
a.       Pendapat pertama, yaitu pendapat dari para oriental Barat, diantaranya Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M dari negeri Gujarat dan bukan dari Arab langsung. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Makam Sultan Malik al-Saleh penguasa pertama Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama. Selanjutnya menurutnya Malik al-Saleh adalah merupakan keturunan Gujarat.[1]
b.      Pendapat kedua dikemukakan oleh para Sarjana Muslim, diantaranya yaitu Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah mulai masuk Indonesia pada abad ke 1 H atau sekitar abad ke 7 M langsung berasal dari Arab dengan buktinya yaitu bahwa jalur pelayaran dari Arab, India, melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Umayah dengan kekaisaran Dinasti Tang di China dan Sriwijaya di Asia Tenggara, telah ramai dan bersifat internasional, sejak abad ke-7 M,  jauh sebelum Samudra Pasai berdiri. [2]
c.       Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[3]
Dari ke-tiga teori di atas bisa disimpulkan bahwa, penyebaran agama Islam di Indonesia erat kaitannya dengan proses pelayaran dan perdagangan, namun proses islamisasi di Indonesia tidak hanya melalui perdagangan semata namun juga melalui proses lainnya seperti dakwah, perkawinan, pendidikan serta Tasawuf dan Tarekat.
a.       Dakwah
Bersamaan dengan kedatangan para pedagang muslim, datang pula para da’i, ulama dan sufi pengembara. Mereka inilah yang melakukan dakwah untuk menyiarkan agama Islam. Ada sebagian para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel. Demikian juga di Jawa, mempunyai penyiar Islam yang dikenal dengan sebutan para wali. [4]
b.      Perkawinan
Yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, Mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkwainan itu secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat karisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang muslim besar menikah dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain. [5]
c.       Pendidikan
Setelah kedudukan para pedagang telah mantap, mereka mulai menguasai kekuatan ekonomi dibandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubaligh lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. [6]
d.      Kesenian
Saluran yang sering digunakan untuk penyebaran Islam khususnya di pulau Jawa adalah melalui kesenian. Wali Songo terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni untuk berdakwah, seperti seni pewayangan, nyayian dan busana.[7]

2. Peradaban Islam Indonesia
            Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban Islam yang dibawa oleh para mubaligh Islam dari Arab diakulturasikan dengan tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban masyarakat setempat menjadi perpaduan yang membawa dampak positif bagi perkembangan budaya Islam Indonesia. Diantara peradaban Islam tersebut mencakup kedalam berbagai bidang di bawah ini.


a. Sistem Birokrasi
            Awal mula perkembangan Islam Indonesia ditandai dengan kemunculan berbagai kerajaan-kerajaan yang bernafaskan Islam, adapun kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri berada diwilayah pesisir, yakni kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M, namun pada tahun 1350 Samudra Pasai jatuh oleh karena serangan dari Majapahit, kemudian posisi Samudra Pasai digantikan oleh kerajaan Malaka hingga tahun 1511 akibat serangan dari Portugis, kerajaan Islampun kemudian dilanjutkan oleh Aceh Darussalam, adapun kerajaan Islam lainnya adalah Aceh, Demak, Banten, Cirebon, Ternate dan Tidore. [8]
            Ibu kota kerajaan selain merupakan pusat politik dan perdagangan, juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan mubaligh Islam. Misalkan di Kerajaan Samudra Pasai, Ibnu Batutah menceritkan bahwa, Sultan Al-Malik Az-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan. Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat dibidang kegamaan. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani menjadi mufti (qadhi Malikul Adil) Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mengangkat Syaikh Nuruddin Ar-Raniri menjadi mufti kerajaan, dan Sultanah Shafiatuddin Syah mengangkat Syaikh Abdur Rauf Singkel.[9]
            Keberadaan ulama sebagai penasihat raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Di Demak penasihat Raden Fatah raja pertama demak. Penasehatnya adalah para wali, terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Bahkan disamping berperan sebagai guru agama dan mubaligh, Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah) juga langsung berperan sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate, Sultan dibantu Oleh sebuah badan penasihat atau lembaga adat. Pada umunya badan ini beranggotakan sekelompok ulama, yang selain menjadi penasihat badan peradilan, juga memberi nasihat kepada raja apabila ia melanggar peraturan. [10]

b. Bidang Keilmuan
            Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan umat Islam di Indonesia terutama terletak dipundak para ulama. Paling tidak ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama: pertama, membentuk para kader ulama yang akan bertugas sebagai mubaligh ke berbagai daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah pesantren di Jawa, dayah di Aceh, dan Surau di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca diberbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut telah mencerminkan perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu.
            Pada abad ke-16 dan 17, banyak sekali bermunculan tulisan para cendekiawan Islam di Indonesia. Syed Muhammad Naguib Al-Attas menyatakan, abad-abad itu menyaksikan suatu kesuburan dalam penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional yang tidak terdapat tolok bandingnya di man-mana dizaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi, perlu juga diketahui bahwa ketika tradisi pemikiran Islam mulai terbentuk di kepalauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran telah mapan. Bahkan, disana dikenal dengan masa kebekuan, massa kemunduran pemikiran dalam bidang agama karena digalakkannya taqlid. Dunia pemikiran yang berkembang di Indonesia, bagaimanapun  mempunyai akar pada tradisi yang telah berkembang dipusat dunia Islamtersebut sebelumnya. Adapun beberapa tokoh ulama yang dikenal dengan karya sastranya, antara lain adalah:
1)      Hamzah Fansuri [11]
Merupakan seorang Sufi terkemuka yang berasal dari Fansur  (Pansur), Sumatra Utara. Karyanya yang rekenal adalah Asarul Arifin fi Bayan ila Suluk wa At-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf) adalah Syair perahu. Karya-karya yang lain, diantaranya adalah Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al-Asyikin.
2)      Syamsuddin As-Sumatrani [12]
Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid dari Hamzah Fansuri. Adapun hasil karyanya adalah Mir’atul Mu’minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun 1601. Buku itu berisi Tanya jawab tentang ilmu kalam dan juga beberapa buku lainnya. Karya lainnya adalah jauhar Al-Haqaid, Risalah At Tubayyin Mulahazat Al Muwahiddin ‘ala Al-Mulhiddin fi Dzikrillah, Kitab Al-Haraqah dan Nur Ad-Daqaiq, Zikir Dairah Qawsany Al-Adna, Miratul Qulub, Syarh Mir’atul Qulub, Kitab Tazym, Syi’ral Arifin, Kitab Ushul At-Tahqiq
3)      Nuruddin Ar-Raniri[13]
Nuruddin Ar-Raniri berasal dari India, seorang keturunn Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Beberapa karya dari Nuruddin Ar-Raniri diantaranya adalah Ash-Shirath Al-Mustaqim berisi tentang uraian hukum, Bustan Ash-Salathin berisi sejarah dan tuntutan bagi para penguasa dan raja, dan Asrar Al-Insan fi Ma’rifati Ar-ruh wa Ar-Rahman yang merupakan karya dalam ilmu kalam, Tibyan fi Ma’rifat Al-Adyan yang berisi perdebatannya dengan kaum wujudiyah, dan AL-Lama’ah fi Takfir man Qala bi Khalq Alqur’an yang merupakan bantahan terhadap pedapat Hamzah Fansuri bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
4)      Abdurrauf Singkel [14]
Ia menghidupkan kembali ajaran tasawud yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariah yang diajarkannya, walaupun dengan ungkapan wujud yang berbeda. kitab-kitab suluk di Jawa, sebagaimana karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersigat mistik yang terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam. Paham sufisme di Jawa memang diserap dari Kesusastraan Melayu karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Abdurrauf Singkel dan juga Nuruddin Ar-Raniri.
5)      Syaikh Yusuf Al-Makassari [15]
Karya-karyanya yang sebagian besar membahas mengenai bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam bentuk naskah yang belum diterbutkan. Syaikh Yusuf banyak berjasa dalam perlwanan terhadap penjajahan Belanda di Makasaar dan Banten. Bahkan oleh Belanda, Syaikh Yusuf akhirnya disingkirkan ke Sailan (Srilanka), dan akhirnya ke Afrika Selatan.
6)      Syaikh Nawawi Al-Bantani
Merupakan ulama dari Banten yang tinggal di Arab hingga wafatnya dan memperoleh gelar sebagai Sayyid Ulama Al-Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz), adapun hasil karyanya adalah Nihayatuz Zain, Sfinatun Naja, Nuruzh Zhalam, Kasyifatus Saja, Sulamul Fudhala, dan karyanya yang terkenal adalah At-Tafsir Al-Munir.[16]
7)      Syaikh Abdus Shamad Al- Falimbani[17]
Ia merupakan ulama terkenal di Palembang yang berasal dari keturunan Arab Yaman. Adapun judul karyanya adalah Zuhrah Al-Murid fi Bayan Kalimah At-Tauhid, Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mu’minin fi Fadhail Al-Jihad fi Sabilillah, Tuhfah Ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman Al-Mu’mininan wa Ma Yufsiduh fi Riddah Al-Murtadin, Al Urwah Al-Wutsqa wa Silsislah uli Tiqa, Ratib Abdus Shamad, Zad Al-Muttaqin fi Tauhid Rabbul ‘Alamin, Hidayah As-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin, Ay- Sayr As- Salikin ila Rabb Al-Alamin.

c. Aristektur Bangunan
            Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa, sebelum masuknya Islam ke Indonesia, masyrakat terlebih dahulu telah mendapatkan pengaruh dari agama Hndu-Budha. Pada perkembangannya terjadi akulturasi budaya antara budaya Islam dan budaya Hindu-Budha, yang menghasilkan kebudayaan baru sehingga hasil dan seni bangunan Islam di Indonesia berbeda dengan daerah Islam lainnya. Salah satu contohnya dalam corak arsitektur bangunan Mesjid yang menjadi tempat ibadah umat muslim.
            Hasil-hasil seni bangunan pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain Masjid Kuno Demak, Masjid Agung Ciptarasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid Baiturrahman di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, Masjid Kudus dll. Masjid-masjid tersebut menunjukkan keistimewaan karena merupakan perpaduan unsure kebudayaan Islam dengan budaya Hindu-Budha,  dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1)      Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang ini dalam kebusayaan hindu disebut juga dengan meru, yang terdapat terdapat juga di Bali pada upacara ngaben atau relief candi Jawa Timur. [18]
2)      Sebagian besar Masjid tidak memiliki menara karena pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul bedug. kecuali Masjid Kudus dan Banten keduanya memiliki menara. Menara Masjid Kudus tidak lain adalah sebuah Candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan dengan penggunaannya dan diberi atap tumpang, sedangkan menara Masjid Banten adalah tambahan dari zaman kemudian yang dibangun oleh Cordell, pelarian Belanda yang masuk Islam, yang bentuknya seperti Mercusuar. [19]
3)      Masjid-Masjid Tua
Masjid-Masjid tua, bahkan yang dibangun didekat Istana Raja Yogya dan Solo mempunyai letak yang tetap. Di depan istana selalu ada lapangan besar dengan pohon beringin kembar, sedangkan masjid selalu terletak di tepi barat lapangan. Di belakang Masjid sering terdapat makam-makam. Rangkaian makam dan masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari fungsi candi pada zaman Hindu-Indonesia.
Selain pengaruh dari Hindu-Budha, Masjid di Indonesia pun mendapatkan pengaruh dari budaya lokal Indonesia, meskipun tidak mengubah bentuk keseluruhan hanya menambah keindahan, seperti Masjid Minangkabau yang mendapat pengaruh dari “rumah gadang”, dan budaya asing lainnya seperti Masjid Kebon Jeruk Jakarta yang memperlihatkan pengaruh Belanda, dan Masjid Agung Palembang (terutama menaranya) dipengaruhi seni bagun Tionghoa. [20]

d. Seni Hias
            Seni ukiran di Indonesia bisa dilihat di Batu Nisan dan mimbar Masjid. Dibatu Nisan misalnya seni hias Kaligrafi pada Nisan kubur Sultan Malik As-Salih dari Gampung Samudra yang bertuliskan khat Tsulutsi, dan pada sejumlah nisan baik dari Samudra Pasai maupun dari Aceh sendiri. Berikutnya adalah seni hias Kaligrafi kufi dengan nama Fatimah binti Maimun bin Hibatullah, Nisan Kubur Malik Ibrhaim dari Gresik. Pada beberapa Nisan kubur dengan kaligrafi tesrebut, juga dituliskan beberapa petikan ayat Al-Qur’an seperti Surat al-Baqarrah ayat 225. Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26, 27, 185 dan beberapa ayat lain. Yang menarik perhatian juga, pada kaligrafi yang dituliskan pada nisan kubur Sultan Malik As-Salih, terdapat syair yang dalam bahasa Indonesia berbunyi: “sesunggunya dunia itu fana, dunia itu tidaklah kekal. Sesungguhnya dunia itu itu bagaikan sarang laba-laba yang dijalin oleh laba-laba. [21]
            Selain terdapat di nisan kubur, seni hias Islam jga terdapat di mimbar Masjid, salah satu contoh Masjid yang dihiasi dengan ukiran-ukiran adalah Masjid mantingan dekat jepara berbentuk kurawal, segi ketupat, dan lainnya. Perbedaanya hanya pahatan pada cadas dan pada kayu, yang menarik perhatian ialah hiasan pada dinding masjidnya yang berupa hiasan floralistik terdiri dari bunga-bungan terartai dan pohon pandanus, dibuat sedemikian rupa sehingga gambaran antropomorfik seperti gajah, ular, kepiting, kera tidak tampak jelas apabila tidak diperhatikan sungguh-sungguh.
            Ragam hias atau seni hias yang terdapat pada bangunan dan benda-benda tinggalan arkeologis, juga digunakan pada masa kebudayaan kontemporer, contohnya dapat disaksikan pada batik, seperti hiasan segi tiga tumpal, parang rusak, hiasan kawung sisi awan, udan liris, bahkan sidhomukti yang semula terdapat pada benda gerabah dan benda-benda perunggu serta megalitik masa pra-sejarah. Kemudian diteruskan pada hiasan candi-candi, lalu mengalami perkembangan dengan pencampuran unsure kebudayaan Islam dan diteruskan dalam hasil kebudayaan Kontemporer.

e. Lembaga Pendidikan Islam
            Lembaga pendidikan memiliki andil tersendiri dalam penyebaran Islam di Indonesia, sehingga pendidikan dijadikan sebagai media yang sangat ampuh dalam usaha menyebarluaskan agama Islam di Indonesia. Secara garis besar lembaga pendidikan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga yakni, zaman Kerajaan Islam, zaman Penajajahan dan zaman Kemerdekaan. Berikut penjelasannya
1) Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Pendidikan Islam pada masa ini berpusat di istana, yang berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan, selain itu juga istana dijadikan sebagai pusat penerjemahan dan penyalinan kitab-kitab terutama kitab-kitab keislaman. Mata pelajaran yang diberikan dilembaga-lembaga pendidikan Islam dibagi mejadi dua tingkatan, yakni :
a)      Tingkat dasar terdiri dari atas pelajaran membaca, menulis, bahasa Arab, pengajian Al-Qur’an dan ibadah praktis
b)      Tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Pada perkembagannya pusat pendidikan mulai dilakukan di luar istana, penamaan untuk lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar Istana berbeda-beda, di Minangkabau lembaga pendidikan Islam disebut dengan surau. [22] Lembaga ini diharapkan dapat mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan pengembangan Islam selanjutnya di Minangkabau. Surau inilah yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih teratur dimasa berikutnya, murid-muridnya kemudia kembali ke tempat masing-masing, mendirikan surau-surau sambil menyiarkan agama Islam.
Di Jawa lembaga pendidikan Islam disebut dengan Pesantren. [23] Lembaga pesantren dipimpin oleh seorang ulama atau kiai untuk tingkat lanjutan. Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan ketekunan masing-masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan budaya masyarakat Islam Indonesia.
            Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para walisongo penyebar agama Islam di Jawa mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan meneruska perjuangan agama Islam. Para walisongo juga menjadi tenaga inti dalam penyebaran agama Islam diberbagai daerah melalui lembaga pendidikan paesantren.
Adapun beberapa contoh pesantren yang didirikan oleh para walisongo adalah pesantren Giri dan pesantren Gresik. Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri sedangkan Pesantren Gresik didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim.
            Kurikulum dalam pesantren tidak begitu jelas, tetapi dalam pelaksanaannya telah mengguankan metode belajar, yakni sorogan dan bandungan. Sorogan adalah sisten pengajaran bersifat individual, biasanya bagi murid pemula. Metode ini digunakan yang berlangsung dirumah-rumah, masjid-masjid, dan langgar secara perorangan. Sedangkan metode bandungan (weton atau halaqah) adalah sekelompk santri mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab yang sering disebut dengan “kitab kuning” dengan cepat. Kiai atau Syaikh tidak begitu memperhatikan apakah seorang santri mengangkap penjelasannya atau tidak. Santri-santri senior biasanya memantu tugas-tugas Kaiai atau Syaikh, mereka dipanggil Ustad. Ustad yang banyak pengalaman disebut dengan kiai muda.

2) Pendidikan Islam Zaman penjajahan
a) Pendidikan Islam zaman Belanda
Dengan berkembangnya pemikiran dalam Islam diawal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa kalangan atau organisasi. Kurikulum mulai jelas, belajar untuk memahami, bukan sekedar menghafal, ditekankan dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan dengan madrasah. Pada umumnya madrasah dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar yang dinamakan dengan Madrasah Ibtidaiyah dan tingkat lanjutan yang dinamakan dengan Madrasah Tsanawiyah.
            Eksistensi dari lembaga pendidikan Islam pesantren dan Madrasah mengalami keterpurukan setelah Indonesia berada dibawah kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, hal ini dikarenakan colonial Belanda tidak menginginkan umat Islam mengalami kemajuan, cara yang dilakukan pemerintah Belanda adalah dengan cara mendirikan sekolah umum, dan lebih menjurus kepada sekolah gereja. Pada tahun 1819 Van den Cappelen tahun 1819 merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edaranya kepada para Bupati berisi “ Dianggap penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintahan yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka dapat mentaati undang-undang dan hukum negara.”
            Dari surat edaran di atas diketahui bahwa Belanda menganggap pendidikan agama Islam yang diselenggrakan di Pondok-pondok pesantren, Masjid, Mushala, dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para santri dianggap buta huruf karena tidak mampu menulis maupun membaca huruf latin, padahal para santri menguasai huruf arab. Jelasnya madrasah dan pesantren dianggap tidak berguna dan tingkatnya rendah, sehingga disebut sekolah desa. Oleh sebab itu, Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum ditiap kabupaten yang dimaksudkan untuk menandingi dan menyaingi madrasah, pesantren, dan pengajian desa itu. [24]
            Lembaga pendidikan Islam kembali mendapatkan angin segar setelah  Belanda menerapkan kebijakan politik etis, yang memberikan pendidikan kepada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda, inilah yang menjadi boomerang bagi Belanda, karena diluar perkiraan politik estis mampu membuka mata pribumi untuk bisa terlepas dari pengaruh penjajahan melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan masyarakat pribumi yang belajar ke Hijaz dan Mesir, banyak yang mendapatkan pengaruh dari luar, khusus dalam Islam mendapatkan pengaruh ide Pan Islamisme.
           
b) Pendidikan Islam zaman penajajahan Jepang
            Pada masa awalnya pemerintah Jepang seakan-akan membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang memperbolehkan didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren yang terbebas dari pengawasan Jepang. Adapun jalan yang ditempuh oleh pemerintah Jepang dalam menarik simpati masyarakat Indonesia adalah dengan cara sebagai berikut:
1)      Mengangkat K.H Hasyim Asyari dari Jombang sebagai kepala sumubu
2)      Pondok pesantren yang besar mendapatkan kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang
3)      Sekolah-sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti/agama
4)      Membentuk barisan Hizbullah yang member latihan dasar kemiliteran pemuda Islam (santri-santri) yang dipimpin oleh K.H Zainul Arifin
5)      Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K.H Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta
6)      Ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin nasionalis mebentuk barisan pembela tanah air (PETA)
7)      Umat Islam mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), [25] maksud dari pemerintah Jepang bersikap lembut dengan umat Islam adalah agar kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan perang Jepang pada perang Dunia ke-dua.

c) Pendidikan Zaman Kemerdekaan
            Setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam setahap demi setahap dimajukan, istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di surau dan menolak modernitas pada zaman colonial, sudah mulai beradaptasai dengan tuntutan zaman. Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda Islam diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri ditengah-tengah realita sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam. Sekolah agama termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan UUD 1945. Madrasah sebagai sekolah terbagi menjadi tiga, yakni
1)      Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun
2)      Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun
3)      Madrasah Aliyah Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun [26]
Sedangkan untuk tingkatan lanjut, Islam di Indonesia telah memulainya dengan mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam yang pertama (IMS) di Solo pad atahun 1939. Kemudian pada tahun 1940 di Jakarta didirikan sebuah Sekolah Tinggi Islam, dan setelah perpeindahannya ke Yogyakarta pad atahun 1948 namanya diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). [27] Salah satu Fakultas di UII berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri). Dijakarta dibuka ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama), pada bulan Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan PTAIN dengan ADIA menjadi IAIN.

f. Organisasi Politik
            Tingginya peradaban umat Islam Indonesia, bisa juga ditinjau dari segi organisasi. Banyak cendekiawan muslim Indonesia yang mendirikan organisasi yang akan menjadi cikal bakal terbentuknya suatu partai Islam besar di Indonesia. Beberapa organisasi Islam Indonesia telah memiliki andil yang cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam, termasuk juga dalam pembentukan budaya Islam dalam masyarakat luas.
Kemunculan organisasi-organisasi Islam ini tidak terlepas dari kondisi yang dihadapi umat muslim Indonesia pada saat itu, yang dihadapkan dengan suasana penuh dengan penindasan dan tekanan akibat dari praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing, sehingga pada masa awal pementukannya organisasi ini berjuang untuk melepaskan umat Islam pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya dari belenggu penjajahan. Adapun beberapa nama dari organisasi Islam tersebut adalah:
1) Jam’iyatul Khair
Merupakan organisasi Islam yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1950 di Jakarta. Tokoh terkenal seperti  Sayyid Shihan bin Shihab. Organisasi ini pada awal berdirinya memiliki aktivitas di bidang pembinaan pendidikan dasar dan pengiriman pelajar k eTurki. Walaupun organisasi ini bersifat independen, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang Arab.
Jam’iyatul Khair pada awalny merupakan satu-satunya organisasi  pendidikan yang menerapkan sistem pendidikan modern di Indonesia, dalam hal pembaruan pendidikan, para guru didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko, Mesir dan Arab.

2) Syarikat Islam (SI)
            Syarikat Islam, pada awalnya memiliki nama Syarikat Dagang Islam yang didirikan di Surakarta, 16 Oktober 1905, Senin Legi. Pendiri dari SDI ini adalah K.H Samanhoedi,[28] organisasi ini didirikan dengan tujuan sebagai jawaban terhadap upaya imperialisme modern yang menjadikan Indonesia sebagai market-pasar dan ­Raw Matterial Resources (sumber bahan mentah) industri penjajah Barat.
            Pada perkembangannya tahun 1912, SDI berubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) yang diprakarsai oleh Haji Oemar Said Cokroaminoto, Abdul Muis, H. Agus Salim dll, awlanya SI merupakan organisasi yang bergerak dibidang kegamaan, tetapi kemudian menjadi gerakan politik. Dan pada saat itu, SI juga banyak bergerak dibidang dakwah Islam dan sosial.

3)Muhammadiyah
            Muhammadiyah merupakan organisasi yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan [29] atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo. Adapaun tujuan dari Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dakwah Islamiyah dalam arti yang seluas-luasanya yang mencakup keseluruh bidang kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan dakwah. Muhammadiyah banyak memiliki sekolah formal, madrasah, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, universitas yang cukup banyak menyebar diberbagai kota.

4. Nadhatul Ulama (NU)
            Nadhatul Ulama (NU) artinya Kebangkitan Ulama, [30] adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren di bawah pimpinan K.H Hasyim Asy’ari, di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Diantara para tokoh ulama yang ikut mendirikan NU adalah K.H Wahab HasbullaH, K.H Bisri Syamsuri, K.H Mas’hum Lasem dll.
            Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang pendidikan, dakwah, dan sosial. NU memiliki pondok pesantren besar yang menyebar di Indonesia, seperti pEsantren Tebuireng Jombang, Pesantren Peterongan Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Plosos Kediri, Pesantren Asembagus Situbondo, Pesantren Kajen Pati, Pesantren Lasem Rembang,dll. Disamping pesantren pendidikan NU juga mendirikan sekolah-sekolah formal seperti MI,MTs,MA, juga SD,SMP,SMA sampai Perguruan Tinggi.
            Dalam dunia perpolitikan, NU Pernah terlibat setelah keluar dari partai politik MAYUMI (1955). Dalam pergerakan Nasional untuk memperebutkan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup besar. Bahkan diantara para tokoh NU ada yang diakui sebagai pahlawan Nasional seperti K.H Hasyim Asy’ari, K.H Wahid Hasyim, K.H zainal Mustafa, K.D zainul Arifin namun sekarang NU tidak ikut terlibat politik praktis.
           
 C. Kesimpulan
            Pembahasan mengenai peradaban Islam di Indonesia begitu sangat luas, karena jika dilihat dari kacamata sejarah peradaban Islam Indonesia tidak bisa ditinjau dari masa kekinian, namun hasus ditinjau juga dari masa lampau. Islam yang datang ke Indonesia pada abad ke-7 hijriyah dan mulai berkembang pada abad ke-13 M, menampakkan peradaban yang luar biasa dalam  perkembangannya.
            Peradaban tersebut terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam, baik dari sistem birokrasi kerajaan, bidang keilmuan, seni hias, corak arsitektur, lembaga pendidikan, serta pada masa kontemporer peradaban tersebut bisa dilihat dengan banyaknya muncul organisasi-organisasi yang bernafaskan Islam dan beberapa diantaranya berkembang menjadi partai besar Islam yang diperhitungkan pada masanya.

  
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. 1998. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES
Amin, Samsul Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup
Buchori, Didin Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka Intermasa
Noer, Delliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES
Sunanto, Musyrifah. 2014. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama
Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009.  Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semseta
Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mujamil Qomar.____.Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Penerbit Erlangga





[1] Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 8, penjelasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia juga terdapat dalam buku Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Pustaka Intermasa), hlm. 269-271, dalam buku ini dijelaskan bahwa terdapat teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia, yakni teori India, Arab, Bangladesh dan Cina.  Namun penulis memilih untuk membahas mengenai pertentangan teori Arab dan teori Gujarat, dengan acuan menggunakan buku Musyrifah Sunanto.
[2] Teori yang dikemukakan oleh Prof. Buya Hamka disebut juga dengan Teori Arab, sebenarnya sebelum Hamka sudah ada ahli yang mengungkpakan teori ini, yakni Crawfrud (1820), Keyzer (1859), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Lebih lanjut Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun 1962, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan melalui india. Juga bukan pula pada abad ke-11 M, melainkan pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ke-7 M. (Didin Saefuddin Buchori, 2009, hlm. 269). Sebenarnya teori Arab ini merupakan bantahan terhadap Teori Gujarat yang dikemukakan oleh Snouck Hourgronje, Snouck Hourgrounje merupakan seorang Belanda yang ditugaskan untuk mempelajari kehidupan masyarakat Aceh, dari catatan sejarah  diketahui bahwa Aceh merupakan wilayah yang anti Belanda, dan sangat aktif berjuang dalam mengusir penjajah Belanda dari tanah rencong. Meskipun pada akhirnya Aceh berhasil ditaklukkan, namun penaklukan tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah dan Aceh sangat sulit untuk ditaklukkan, hal ini dikarenakan banyak masyarakat Aceh yang menuntut Ilmu keislaman dan bahkan masih memiliki komunikasi dengan muslim Arab, dari ilmu yang didapatkan Islam tidak membenarkan praktik penindasan satu bangsa teradap bangsa lain. Berdasarkan pengalaman tersebut maka Snouck Hourgrounje menyarankan agar pemerinta Belanda memutus hubungan antara muslim di Indonesia dengan Muslim di Arab, salah satunya adalah dengan cara mengeluarkan Teori Gujarat.
[3] Taufik Abdullah, 1991, Sejarah Umat Islam Indonesia, (Majelis Ulama Indonesia), hlm.39
[4] Adapun nama-nama dari walisongo adalah Sunan Drajad, Sunan Gunung Jati, Sunan Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Utama), hlm. 117
[5] Penjelasan mengenai perkawinan antara para mubaligh dengan anak bangsawan pribumi, bisa dilihat dalam buku Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG), hlm. 27, dijelaskan bahwa Syekh Ngabdurrahman di Tuban (Jawa Timur) menikahi putri Aria Teja, Maulana Ishak menikah dengan Putri Raja Blambangan dan menyiarkan agama Islam di daerah tersebut. 
[6] Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 10
[7] Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 10

[8] Badri Yatim, 2000, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm.299  
[9] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 409
[10]Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 409
[11] Hamzah Fansuri merupakan seorang cendekiawan ulama, sastrawan, dan budayawan.Hamzah hidup di pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Ia berasal dari Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, sekarang kota kecil di pantai Barat Sumatra antara Sibolga dan Singkel. Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 181
[12] Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama Abdullah al-Sumatrani, dengan nama lengkap al-Arief Bilah al-Syaikh Syamsuddin al-Sumatrani. Beliau belajar ilmu sufi kepada Syaikh Hamzah Fansuri dan pernah juga belajar kepada Sunan Bonang di Jawa. Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 185

[13] Nur Al-Din Muhammad bin Ali Hasanji al-Hamid (al-Humayd) al-Syafi’I al-Ayydarusi al-Raniri dilaihrkan  di Ranir (modern: Randir), sebuah kota pelabuhan tua di panatai Gujarat India. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad ke-16, (Azyumardi Azra, 2013, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII & VXIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup), hlm.210, beliau tiba di Aceh pada tahun 1637 M.
[14] Memiliki nama lengkap Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, lahir di wilayah sinkil (modern:Singkel), diwilayah pantai barat Laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui, tetapi Rinkes setelah mengadakan kalkulasi ke belakang dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh mneyarankan bahwa penulisan tahun kelahiran Abdurrauf Singkel pada tahun 1024/1615. Azyumardi Azra, 2013 hlm. 239
[15] Syaikh Yusuf Al-Makassari memiliki nama lengkap Muhammad Yusuf bin AbdAllahAbu al-Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Maqassari, juga dikenal sebagai “Tuanta Salamaka ri Gowa” (Guru Kami yang Agung dari Gowa), beliau dilahirkan pada 1036/1627. Azyumardi Azra, 2013 hlm. 271

[16] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 414
[17] Nama lengkap al-Palimbani adalah Abd al-Shamda bin Abd Allah al-Jawi al-Palimbani, tetapi sumber-sumber Arab menamakannya dengan Sayid Abd al-Shamad bin Abd al-Rahman al-Jawi. Beliau dilahirkan pada sekiar tahun 1116/1704 di Palembang. Azyumardi Azra, 2013 hlm. 319


[18] Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 239, ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh Uka mengenai pembangunan atap masjid yang berbetuk tumpang, pertama ditinjau dari segi tekhnik yang disesuaikan dengan ekologi, yaitu dengan bangunan beratap tumpang atau tingkat yang meudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan atap diantaranya dengan bagian lowong yang merupakan tempat ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila hari panas. Ke-dua bentuk bangunan beratap tingkat yang disebut meru, yang pada masa Hindu-Budha dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk bangunan masjid merupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi mereka yang melakukan peralihan agama Hindu-Budha ke agama Islam, sehingga tidak menimbulkan kekagetan budaya (cultural shock), terutama karena di dalam masjid diajarkan ketauhidan. 
[19] Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah Kebudyaan Islam, (Jakarta:Kanisius), hlm. 77
[20] Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hlm. 97
[21] Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, hlm. 248
[22] Mujamil Qomar, ____, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Penerbit Erlangga), hlm.3
[23] Nama lembaga pendidikan pesantren tidak berasal dari tradisi Timur Tengah tetapi dari nama lembaga sebelum Islam. Pesantren berasal dari bahasa Tamil santri yang berarti guru ngaji. Sementara itu C.C Berg berpendapat bahwa :pesantren” berasal dari kata India Shastri berarti orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu. Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hlm.110
[24] Sampai awal abad ke-20 M, masyrakat pribumi umumnya buta huruf Latin. Mereka hanya mengenal huruf Arab Al-qur’an, huruf Arab Melayu atau huruf daerah. Hal ini terjadi sebagai dampak betapa kuatnya pengaruh ulama dan pesantren sebagai lembaga pencerdas bangsa. Lebih lanjut dijelaskan kemahsyuran dan daya tarik nasiona lyang melekat pada sebuah pesantren, sangat bergantung pada reputasi gurunya. Ajaran kejuangan pesantren telah meniadakan rasa etnoregional dan menjadikan Islam sebagai symbol gerakan national. Dengan kata lain, pengaruh ajaran ulama dalam lembaga pendidikan Islam mengubah jiwa sukuisme atau rasisme menjadi nasionalisme. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Utama), hlm.302, jadi bisa dimengerti jika pemerintah Belanda ingin menghentikan eksistensi dari pesantren dan madrasah, dengan mendirikan sekolah-sekolah umum.
[25] Pada bulan September 1917 , di Surabaya didirikan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang disponsori oleh Muhammadiyah dan NU. MIAI merupakan ferderasi organisasi Islam dan bercirikan semangat non kooperatif teradap pemerintah penjajah Belanda. Pada masa awal pendudukan Jepang (1942), MIAI mencoba untuk menjadi jembatan antara pemerintah militer Jepang dengan umat Islam. Pada bulan November 1943, MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Dengan tujuan utama untuk memperkuat kesatuan antar semua organisasi Islam, disamping itu juga membantu pemerintah militer Jepang menuju terciptanya Asia Timur Raya. (Didin Saefuddin Buchor, 2009, Sejarah Politik Islam, hlm. 32
[26] Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hlm. 192
[27] Taufik Abdullah ed, 1988, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta:LP3ES), hlm. 421
[28] Haji Samanhoedi dilahirkan di desa Sondokoro (Karangayar, Solo), sebagai seorang anak pedagang batik yang beranama Haji Mohammad Zen. Selain Haji Samanhoedi pendiri SDI adalah M.Asmodimedjo, M.Kertotaruno, M.Hadji AbdulRAJAK. (Delian Noer, 1996, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP3ES), hlm.119
[29] K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, merupakan seorang anak dari K.H Abubakar bin K. Sulaiman, Khatib di Masjid Sultan di kota itu. Ibunya adalah anak H. Ibrahim, penghulu. Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahu, fiqih dan tafsir di Yogya dan sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 dimana ia belajar selama setahun. Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia kembali mengunjungi tanah suci dan menetap disana selama dua tahun. Delian Noer, 1996, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942,hlm.85
[30] Apabila diperhatikan, nama Nahdatul Ulama yang berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan perjuangan nasional. Pengunaan nama Nahdaul Ulama mempertegas pula nama Perserikatan Ulama yang dibangun oleh K.H Abdulhalim yang memiliki kesamaan anutan sebagai penganut Ahli Sunnah wal Djama’ah dan bermahzab Syafi’i. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009, Api Sejarah, hlm. 453