SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Senin, 09 Maret 2015

Pengaruh Hellenisme dalam tradisi keilmuan Islam pada masa dinasti Abbasiyah

A. Pendahuluan
            Pencapaian umat Islam dalam kemajuan peradaban terutama dalam bidang keilmuan, yang terjadi pada masa dinasti Abbasiyah, tidak terlepas dari kebijakan para khalifah abbasiyah yang memfokuskan perhatian terhadap bidang keilmuan. Kehausan umat Islam dalam bidang keilmuan, tidak hanya meliputi ilmu keagamaan semata, namun juga memfokuskan pada ilmu pengetahuan. Sehingga dengan waktu yang relatif singkat, dinasti Abbasiyah menjelma menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Ada hal menarik mengiringi kesuksesan dinasti Abbasiyah mencapai puncak keemasan. Diawali dengan keberhasilan militer Islam terutama pada masa dinasti Ummayah dalam melakukan ekspansi keluar jazirah Arab guna menyebarluaskan ajaran agama Islam, menjadikan Islam memiliki wilayah taklukkan yang luas.[1] Namun faktanya sebelum ditaklukkan oleh umat Islam wilayah tersebut terlebih dahulu mendapatkan pengaruh dari budaya besar lainnya seperti budaya Yunani, sehingga interaksi umat Islam dengan kebudayaan wilayah taklukkan tersebut tidak  terhindarkan.
Interaksi intelektual umat Islam dengan dunia pemikiran Yunani yang dikenal juga dengan Hellesnisme terjadi terutama di beberapa wilayah, diantaranya Iskandaria (Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia) dan Jundisapur (Persia). Ditempat itulah, lahir dorongan untuk melakukan kegiatan penelitian dan penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani, Persia dan lain-lain, dituangkan ke dalam bahasa Arab.[2] Sehingga penerjemahan karya-karya ini dikenal dengan sebutan gerakan terjemahan.
Meskipun budaya Yunani tersebut menjadi salah satu faktor penunjang kemajuan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, namun perlu dicatat bahwa tidak semua ilmu yang berkembang mendapatkan pengaruh dari Yunani, bahkan ilmu yang mendapatkan pengaruhpun tidak dijiplak begitu saja oleh umat Islam, sehingga nantinya menyebabkan lahirnya ilmu baru bagi umat Islam yang merupakan hasil dari interaksi antara tradisi keilmuan Islam dengan Yunani.

B. Hellenisme dan Tradisi Keilmuan Islam
1. Hellenisme
Istilah Hellenisme dalam istilah modern diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make Greek). Awal kebudayaan Hellenisme ini ditandai dengan keberhasilan Alexander Agung dalam menaklukkan berbagai wilayah di muka bumi, dan pada akhirnya berhasil mendirikan kerajaan raksasa yang meliputi wilayah India Barat sampai Yunani dan Mesir, yang nantinya membentuk perpaduan kebudayaan antara Yunani, Mediterania, Mesir dan Persia yang disebut dengan peradaban Hellenisme. Kebudayaan ini berlangsung kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai dari 323 SM – 20 SM (dari masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles hingga Berkembangnya Agama Kristen atau zaman Philo).
Difusi yang terjadi menyebabkan keberagaman budaya tersebut melebur menjadi satu yang menampung gagasan politik, ilmu pengetahuan dll. Pada masa itu pula muncul beberapa kota yang menjadi pusat peradaban, diantaranya Alexandria dan Athena, kota Alexandria dijadikan sebagai pusat Ilmu pengetahuan yang menjadi landasan berkembangnya ilmu matematika, astronomi, biologi, dan ilmu pengobatan. Sementara di Athena fokus kajian lebih mengutamakan kajian mengenai filsafat Plato dan Aristoteles. Adapun tiga aliran filsafat yang menonjol pada zaman Helenisme yakni Stoisisme, Epikurisme dan Neoplatonisme.[3]
2. Tradisi Keilmuan Islam
            Islam sangat menekankan pentingnya ilmu bagi umat manusia, bahkan Islam mewajibkan bagi para penganutnya untuk menuntut ilmu guna meneliti, memahami alam semesta dan kondisi alamiah yang berkaitan dengan hal tersebut. Bahkan secara lebih spesifik pencarian ilmu akan bermuara pada satu titik yakni mendekatkan diri pada Allah SWT melalui perantara ilmu yang dipelajari.
Dalam sejarahnya kelahiran Ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat periode, pertama turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam. Turunnya wahyu pada periode Mekah merupakan pembentukan struktur konsep dunia dan akhirat sekaligus yang merupakan sebuah struktur konsep tentang dunia yang baru. Seperti konsep tentang Tuhan dan keimanan kepadanya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari pembalasan, dsb. Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah ditandai dengan tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam, dan sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.[4]
Periode Kedua, lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti konsep tentang ilmu pengetahuan, tentang etika, dan tentang manusia, misalnya konsep yang terdapat dalam wahyu seperti ilm, ushul,kalam, nazhar, wujud, tafsir, fiqh, halal, haram, iradah dan lain-lain mulai dipahami secara intens. Periode ke-tiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan munculnya komunitas ilmuwan Islam yang tekoordinir dalam wadah kelompok belajar atau sekolah Ashabus-Shuffah di Madinah. Ilmuwan yang muncul adalah para pakar hadist seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, dll.[5] Periode terakhir adalah lahirnya disiplin-disiplin ilmu Islam.
3. Perbedaan Tradisi Keilmuan Hellenisme dan Islam
Tradisi Keilmuan Hellenisme dan Islam, diibaratkan seperti kedua sisi mata uang yang saling bertolak belakang, termasuk dalam hal keilmuan. Perbedaan ini muncul akibat ketidaksamaan keduanya dalam hal bagaimana cara atau langkah umat manusia memperoleh ilmu itu sendiri atau lebih dikenal dengan epistimilogi pengetahuan. Disatu sisi budaya Hellenisme yang identik dengan bangsa Yunani, dalam epistimologinya tidak mengenal kepercayaan akan adanya Tuhan, namun mereka lebih mengandalkan akal dan pancaindera tanpa melibatkan unsur ketuhanan di dalamnya.
Di sisi lain, kepercayaan yang semacam itu tidak berlaku bagi umat Islam, umat Islam tidak hanya melibatkan akal dan pancaindera semata dalam epistimologinya, lebih dari itu umat Islam percaya bahwa akal dan pancaindera memiliki keterbatasan, sehingga Tuhan ikut berperan didalamnya melalui bisikan qalbu ataupun wahyu. Berikut akan dijelaskan secara mendasar perbedaan keduanya dalam hal epistimilogi pengetahuan.

a. Epistimologi Hellenisme
Sebelum munculnya Islam, bangsa Yunani sudah dikenal dengan peradabannya yang tinggi, termasuk dalam bidang keilmuan. Salah satu buktinya adalah munculnya para ilmuwan Yunani dengan pemikiran-pemikirannya yang masih dikenal sampai saat ini, diantaranya Plato dan Aristoteles. Meskipun Plato dan Aristoteles tidak hidup persis pada masa Helenisme,[6] namun bisa dikatakan dalam hal epistimologi, ke-dua tokoh ini mampu menjadi landasan bagi tokoh pemikir setelah mereka. Pengaruh Plato terlihat dalam aliran Neo Platonisme pada masa Hellenisme.
Pemikiran Plato disebut sebagai pemikiran yang memiliki pandangan rasionalisme. Artinya bahwa sumber pengetahuan itu adalah rasio, dengan kata lain rasionalisme menempatkan posisi rasio (akal), sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum rasionalitas percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang apa yang ada “tentang realitas”dan strukturnya serta tentang alam semesta pada umumnya.[7]
Sementara itu, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda terhadap pandangan Plato, meskipun Plato merupakan gurunya, Aristoteles memiliki pandangan filsafat empirisme. Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan atas metode empirisme eksperimental, sehingga kebenarannya dapat dibuktikan melalui pancindera. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam perkembangannya berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan perbedaan antara ilmu pengetahuan (sience) dengan non ilmu. [8]
Berdasarkan uraian mengenai sumber ilmu pengetahuan menurut Plato dan Aristoteles, terlihat bahwa Plato dan Aristoteles hanya menonjolkan satu sumber saja, Plato dengan akalnya (rasio) dan Aristoteles dengan pengalamannya yang diperoleh dari pancaindera (empiris). Karakteristik ini bahkan terus terjaga hingga munculnya sains modern.

b. Epistimologi Islam
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya. Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengkaji ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT.
Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu Islam adalah Al-Qur’an, hadits, indera, akal dan qalbu. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
1] Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur’an sendiri ternyata memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-Qur’an mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dll.[9]

2] Hadist
Al-qur’an dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur’an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman isi Al-Qur’an.[10]

3] Pancaindera
            Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, apakah indra telah cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu?, mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
            Pertanyaan di atas bisa dijawab melalui pernyataan imam Al-Ghazali, yang merupakan ilmuwan serta pemikir terkenal umat Islam. Al-Ghazali memasukkan metode inderawi sebagai cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa metode indrawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang didapatkanpun sangat sederhana. Dari persoalan kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu daya. Hal ini dikarenakan pengalaman membuktikan bahwa ilmu indrawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan.[11] Penjelasan mengenai tipu daya yang dimaksudkan  oleh Al-Ghazali ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Mi’yar Al-Ilm, terutama dalam pembahasan mengenai ilmu.[12]
            Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan hal yang real.[13]
            Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang hakiki.

4] Akal
            Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai untuk dijadikan acuan mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut adalah akal. Dalam pandangan ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal disebut dengan rasionalisme.
            Dalam kaitannya dengan ilmu, akal dan indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses pengeolahan ilmu. Bahkan Al-Qur’an mengajak kita untuk menggunakan pancaindera dan akal dalam mengamati pengalaman, baik yang sifatnya material maupun spiritual. Indra dan akal saling menyempurnakan dan keduanya tidak dipisahkan serta tidak bisa berdiri sendiri seperti yang diklaim oleh Plato dan Aristoteles.
Namun akal pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal. Sehingga hal yang gaib atau metafisika hanya mampu diraih melalui qalbu.

e. Qalb (Hati)
            Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh Al-Gahzali. Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq).[14]Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan dzawq lebih tinggi daripada pancaindera dan akal. Pancaindera dan Akal dibatasi pada kegiatan argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari Tuhan.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka bisa dipahami hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara epistimologi Yunani dan Islam adalah, Pertama bangsa Yunani tidak melibatkan unsur ketuhanan di dalamnya sedangkan umat Islam selalu berpedoman dengan wahyu Tuhan guna memperoleh ilmu, Kedua bangsa Yunani lebih mengedepankan Akal dan Pengalaman melalui pancaindera, bahkan keduanya tidak digunakan secara bersamaan. Sedangkan dalam Islam penggunaan akal dan pancaindera tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki keterikatan guna memperoleh ilmu.  Ketiga sumber ilmu bangsa Yunani memiliki keterbatasan karena hanya melibatkan akal dan pancaindera semata yang tentunya juga memiliki keterbatasan, sedangkan dalam Islam keterbatasan Akal dan pancaindera tersebut dapat di tutupi dengan penggunaan qalbu guna mendapatkan ilham ataupun wahyu bagi para Nabi.

3. Unsur Hellenisme dalam Tradisi Keilmuan Islam Dinasti Abbasiyah
a. Awal mula bercampurnya tradisi Hellenisme dan Islam
Membicarakan perkembangan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, tidak bisa dilepaskan dari sejarah dinasti sebelumnya yakni dinasti bani Ummayah. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, pasca berakhirnya masa Nabi Muhammad SAW dan para Khalifah, eksistensi umat Islam di dunia makin menguat, baik dari segi perpolitikan, militer, maupun ilmu pengetahuan, kondisi ini tidak hanya terjadi di jazirah Arab semata namun sudah mulai menyebar ke luar wilayah jazirah Arab.
Dimulai dengan keberhasilan dinasti Ummayah dalam melakukan ekspansi wilayah guna menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia, yang pada akhirnya mampu menyamai bahkan menandingi peradaban besar sebelumnya seperti peradaban bangsa Yunani. Sehingga semua wilayah yang pada awalnya berada dibawah kekuasaan bangsa Yunani berhasil direbut. Pusat-pusat ilmu pengetahuan di Yunani dan Alexandria jatuh ke tangan kaum muslimin.
Meskipun umat Islam keluar sebagai pemenang dalam gelanggang politik dan militer guna memperebutkan wilayah tersebut, keberadaan Islam tidak serta merta meniadakan dan menghapuskan kebudayaan asli wilayah taklukkan, namun justru hidup dalam sikap toleransi yang teramat besar, bahkan berkat politik keagamaan yang berdasarkan pada konsep toleransi Islam tersebut, sampai sekarang masih banyak kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang tetap bertahan aman. Sikap toleransi tersebut menghasilkan interaksi intelektual umat Islam dengan pemikiran Yunani, terutama terjadi di kota yang menjadi pusat pengetahuan.
Menjelang berakhirnya bani Umayyah, kekuasaan Islam yang luas tetap berlanjut dibawah penguasa dari dinasti Abbasiyah, berbeda dengan pendahulunya, para penguasa dinasi Abbasiyah tidak terlalu berambisi untuk melakukan ekspansi wilayah, namun perhatian justru lebih difokuskan pada pengembangan Ilmu Pengetahuan. Interaksi umat Islam dengan budaya luar yang memiliki peradaban tinggi dalam ilmu pengetahuan, menjadi modal awal bagi umat Islam guna mengembangkan tradisi keilmuan.[15]
Dikota-kota seperti Alexandria, Jundisapur, Harran, Edessa dan Nisibis sejumlah besar pengetahuan Yunani dan Babilonia, juga Hindu dan Persia, terpelihara sebagai sebuah tradisi pengetahuan yang hidup secara baik hingga memasuki periode Islam. Lebih dari itu, ketika umat Islam mencurahkan perhatiannya pada ilmu-ilmu pra Islam, mereka dengan mudah mendapatkan sumber aslinya.[16]
Pada permulaan periode bani Abbasiyah, sumber-sumber ilmu pengetahuan dari budaya non-Islam mulai diterjemahkan, sehingga gerakan ini dikenal dengan nama gerakan terjemahan, khususnya dibawah khalifah Harun al-Rasyid, Al Ma’mun dan al-Mu’tashim. Melalui gerakan ini muncullah para penerjemah handal yang bisa masuk dengan mudah ke dalam istana kekhalifahan di Baghdad. Seperti Hunain bin Ishak yang beragama Kristen, Tsabit bin Qurrah, Ibnu al-Muqaffa’ dll. Dalam dua abad, mulai dari sekitar tahun 750-1000 M, korpus yang tak terhitung banyaknya dari karya-karya metafisik, filosofis dan ilmiah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa Yunani, Suryani, Pahlevi dan lain-lain.[17]
Dijelaskan pula oleh Halkin dalam Solihin bahwa kekayaan budaya Syria, Persia, dan Hindu  disalin oleh umat Islam ke dalam bahasa Arab setelah ditemukan. Para khalifah, Gubernur dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad kesembilan dan kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika dan filsafat dari Yunani, sastra dari Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa Arab.[18]
b. Wujud pengaruh Hellenisme dalam Islam
            Gerakan terjemahan yang dilakukan pada masa dinasti Abbasiyah, menghasilkan banyak karya-karya terjemahan tentang ilmu pengetahuan yang bersumber dari budaya non Islam. Karya tersebut memuat banyak gagasan mengenai ilmu-ilmu kedokteran, fisika, astronomi, matematika, filsafat, sastra, matematika dll. Hal ini menunjukkan perkembangan yang luar biasa bagi umat Islam dalam bidang keilmuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu yang terjadi mampu mengantarkan dinasti Abbasiyah mencapai masa keemasan. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman para khalifah dinasti Abbasiyah dalam mendefinisikan tentang ilmu pengetahuan. Islam membedakan dua wilayah bahasan yang berkaitan dengan pengetahuan. Wilayah pertama berkaitan dengan urusan-urusan kemanusiaan yang mencakup politik, sosial, ekonomi, hukum peribadatan dll. Sedangkan wilayah kedua berkaitan dengan ilmu pengetahuan murni.
Pada wilayah pertama, pengetahuan harus bersumber dari wahyu (kitab suci Ilahi), wahyu menyuruh dan memerintahkan seluruh umat Islam untuk mengembalikan seluruh persoalan hanya kepada Allah melalui perantara Al-Qur’an. Adapun wilayah kedua lebih bersifat terbuka, yaitu berkaitan dengan ilmu murni, yang dihasilkan dari hasil olah pemikiran dan pemahaman manusia terhadap alam semesta. Ilmu pengetahuan ini tidak berkaitan dengan pandangan hidup seseorang, baik Budhaisme, Hellenisme, Kristianisme maupun Islamisme.[19]
Dengan pembagian dan pendefinisian tersebut, umat Islam pada saat itu mampu meraih kemajuan dalam semua bidang ilmu pengetahuan yang ada, bahkan mampu menjadi pionir dalam mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang baru. Beberapa kemajuan Ilmu yang diperoleh umat Islam dapat disebutkan sebagai berikut, diantaranya:


1] Filsafat Islam
Pengembangan Ilmu yang diperoleh dari penerjemahan buku-buku serta karya-karya dari umat non- Islam, ternyata menyebabkan munculnya pro dan kontra diinternal umat Islam itu sendiri, beberapa golongan merasa keberatannya akan ilmu baru yang diambil dari kebudayaan non-Islam tersebut, keberatan yang diajukan bukan tanpa alasan, mereka menganggap bahwa budaya Hellenisme merupakan budaya yang berasal dari orang-orang musyrik, contoh kasus yang terjadi adalah mengenai pro dan kontra dalam ilmu Filsafat Islam.
Pada awalnya agama Islam tidak mengenal yang namanya ilmu filsafat. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Arab “falsafah” pun dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal yakni “philosophia”, yang berarti kecintaan pada kebenaran. Meskipun filsafat Islam memiliki dasar yang kokoh dan bersumber dari ajaran-ajaran Islam, namun tak dapat dipungkiri bahwa didalamnya juga terkandung unsur-unsur dari kebudayaan luar terutama Hellenisme atau dunia pemikiran Yunani.[20]
Dari berbagai unsur pemikiran Hellenik, Neoplatonisme merupakan salah satu yang paling berpengaruh dalam sistem filsafat Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan falsafah kaum musyrik (pagans) yang dipelopori oleh Plotinus, dan penerapan pemikirannya dengan suatu agama wahyu tentu menimbulkan masalah yang besar. Ajarannya yang mengajarkan konsep tentang Yang Esa (the one, yang satu) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sebab, cause).[21] Terkesan sebagai ajaran Tauhid,  hal inilah yang mampu mempengaruhi pemikiran umat Islam pada masa bani Abbasyah. Dalam konsep tentang yang satu ini, kaum muslim menemukan gema yang mendebarkan bagi penekanan ajaran Nabi Muhammad tentang keesaan Allah (tauhid). Melalui ajaran Plotinus yang telah membangun sistemnya dengan logika yang ketat dari sejumlah kecil prinsip aksiomatik, membangkitkan harapan bagi umat Islam bahwa wahyu Islam bisa dibuktikan dengan logika.[22]
            Selain Plotinus, ajaran Plato dan Aristoteles juga memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan Filsafat Islam, beberapa Filsuf Islam ternama menjadikan Palto dan Aristoteles sebagai inspirasi mereka. Seperti Filsuf Ibnu Sina, yang merupakan seorang Filsuf yang menghidupkan kembali Filsafat Yunani aliran Aristotels dan Plato. Tokoh lainnya adalah Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Suhrawardi, Ibnu Arabi dll. [23]

2] Ilmu Kedokteran
            Perkembangan Ilmu kedokteran sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, Yunani dan India. Diantara para ahli kedokteran ternama pada saat itu adalah Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih, seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundhisapur Iran, perlu diketahui bahwa Jundhisapur Iran merupakan akademi terkenal di Persia, materi yang diajarkan di akademi ini merupakan pengembangan tradisi keilmuan Yunani,[24] tokoh lainnya adalah Abu Bakar ar-Razi yang dikenal sebagai Galien Arab, Ibnu Shina (Avicenna) dan Ar-Razi.

3] Matematika
            Dalam ilmu Matematika para ahli dinasti Abbasiyah menganggap bahwa Fitagoras sebagai guru bangsa Arab, diantara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi yang mengarang kitab Al-Jabar wa Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka nol, tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas.

4] Ilmu Astronomi
            Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India dan Persia. Persentuhan Islam dengan Ilmu Astronomi bermula dari kegiatan terjemahan sebuah karangn tentang astronomi oleh Al-Faziri ke dalam bahasa Arab. Ilmu mengenai perbintangan telah menarik perhatian orang Arab sejak lama namun penyelidikan yang dilakukan belum berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Dengan giat umat Islam menaruh perhatiannya atas ilmu astronomi sebagai suatu cara untuk menentukan waktu sholat serta arah kiblat.[25] Adapun ahli astronomi muslim yang terkenal pada saat itu adalah Abu Mansur Al-Falaki, Jabir Al-Batani sebagai pencipta teropong bintang pertama dan Raihan Al-Biruni.[26]
           
C. Kesimpulan
            Beberapa kemajuan yang dialami oleh umat Islam pada masa bani Abbasiyah tidak terlepas dari dua suku kata yang sangat berpengaruh, yakni gerakan terjemahan. Gerakan ini melakukan kegiatan untuk menerjemahkan buku-buku dan karya dari budaya Hellenisme atau pemikiran dunia Yunani, yang akhirnya telah memberikan pemahaman bagi umat Islam mengenai Ilmu pengetahuan  yang baru, yang merupakan gabungan dari tradisi keilmuan Islam dan Yunani.
Perkembangan keilmuan ini ditandai pula dengan munculnya para ilmuwan-ilmuwan Islam bahkan filsuf-filsuf Islam. Perlu diingat bahwa keduanya tidak hanya menguasai dan menerima begitu saja ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, melainkan juga telah menambahkan hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dilapangan ke dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga mampu mengubah ilmu yang awalnya milik orang non-Islam menjadi ilmu pengetahuan dan filsafat  yang memuat unsur-unsur ke Islaman.
Catatan penting yang bisa didapatkan dalam pembahasan ini adalah, materi ini mampu memberikan pemahaman bahwa Islam bukan merupakan agama yang tidak menghargai kebudayaan umat lain yang non-islam, buktinya Islam pada masa bani Abbasiyah justru mengalami kemajuan pesat dalam keilmuan setelah bersentuhan dengan budaya Yunani. kedua materi ini mampu mematahkan anggapan kebanyakan orang yang telah mencap Islam sebagai agama yang kaku dalam menanggapi perkembangan dan perubahan zaman.
           



[1] Beberapa wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh dinasti Ummayah meliputi wilayah Afrika Utara, Andalusia (Spanyol), Transoxiana di Asia Tengah dan Sindh (Pakistan). Lihat Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, 2014, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, (Jakarta: Al-Kautsar), hlm. 394
[2] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: Penerbit Pustaka Setia), hlm. 53
[3] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 25. Dijelaskan bahwa Stoisisme dikenalkan oleh Zeno dari Kition (333-262 SM), yang terkenal karena etikanya, yang mengajarkan bahwa manusia akan bahagia jika ia bertindak sesuai dengan akal budinya, Epikurisme dikenalkan oleh Epikuros (341-270 SM), yang mengajarkan bahwa kesenangan itu baik asalkan sekadaranya, dengan artian kita harus memiliki kesenangan, kesenangan tidak boleh memiliki kita, sedangkan Neo Platonisme diperkenalkan oleh seorang filosof Mesir Plotinos (205-270 M), mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan ajaran Plato dan kelihatan sebagai suatu agama. Tidak mengherankan jika aliran Neo Platonisme terlihat sebagai agama, mengingat Yunani merupakan negeri yang terkenal dengan mitologinya yang mempercayai dewa-dewa sebagai penguasa, sedangkan ajaran Neo Platonisme dalam hal kepercayaan tidak lagi menyebutkan kata dewa melainkan sudah menggunakan kata Yang Esa, tapi tentu saja Yang Esa dalam hal ini tidak bisa diartikan sebagai Tuhan karena Plotinos sendiri tidak menyebutkan kata Tuhan dalam ajarannya.
[4] Adrian Husaini, 2013, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema Insani: Jakarta), hlm. 23
[5] Adrian Husaini, 2013, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, hlm. 24

[6] Mengenai periodesasi perkembangan pemikiran barat bisa dilihat dalam Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Bersama), hlm. 6, dijelaskan bahwa pemikiran barat berkembang dari Periode Yunani Klasik, Periode Abad Pertengahan, Periode Modern, Periode Postmodern atau Kontemporer. Namun dalam buku ini posisi zaman Hellenisme tidak dijelaskan secara gamblang. Beda halnya dalam buku Solihin dijelaskan bahwa zaman Hellenisme berada dalam periode Yunani Klasik, setelah masa kejayaan Plato dan Aristoteles. M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern), hlm. 23
[7] Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 33
[8] Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,hlm. 33
[9] Adrian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam hlm. 93
[10] Adrian Husaini, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam hlm.99
[11] Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia Bandung), hlm. 41   
[12] Keraguan Al-Ghazali terhadap indra bisa dilihat pada buku, A.H Mustofa, 1997, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm.224, Al-Ghazali menyatakan bahwa “sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan indrawi, bagaimana pengetahuan itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai indera yang kuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlajan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi.” 
[13] Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali,hlm. 43
[14] Selain Indera dan akal, ada pemberian Allah yang tersembunyi yang dinamakan dengan hikmah. Filosof modern menyebutnya dengan intuisi, dan adz-dzawq dalam bahasa Al-Ghazali. Disamping Al-hikmah, Allah memberikan An-Nur (cahaya) dan Al-Fariqah atau Al-Furqan, artinya pembeda antara yang hak dan yang batil. Hikmah ini tidak dapat diketahui oleh akal dan indera, tetapi dapat diperoleh melalui apa yang ada dibalik itu. Ahli Psikologi menyebutnya sebagai indera keenam. Ali Anwar Yusuf, 2003, Wawasan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia), hlm. 27
[15]Didin Syaefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa, hlm. 102. Adanya kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lainnya. Di Baghdad terdapat empat kebudayaan yang berlainan, yaitu kebudayaan Arab, Persia, Yunani dan Hindu. Tidak dapat dihindari bahwa dalam keempat kebudayaan tadi terjadi proses asimilasi, saling memberi dan menerima, serta saling mempengaruhi. Hal ini telah memberi dampak besar terhadap perkembangan intelektual masyarakat pada masa itu.
[16] Seyyed Hossein Nasr, 1964, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Alih Bahasa oleh Maimun Syamsuddin, 2014, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibnu Arabi, (Jogjakarta: IRCiSoD), hlm. 11. Dijelaskan bahwa Alexandria, merupakan tempat bertemunya arus cultural Helenik, Yahudi, Babilonia dan Mesir yang terlah diterjemahkan kedalam bahasa Suryani (Syiriac), Jundisapur, merupakan pusat pengetahuan yang dibangun oleh raja Persia guna menandingi pusat belajar Byzantium, dan disinilah para Filsuf dan Ilmuwan India, Kristen dan Yahudi diminta mengajar dan melakukan kajian, sehingga tradisi pengobatan India terbentuk dan tergabung dengan tradisi pengobatan Yunani. Harran, merupakan tempat tinggal kaum Sabean yang menggangap diri meraka sebagai pengikut Nabi Idris atau Hermes, yang menyebarkan banyak pengetahuan madhzab-madhzab yang lebih esoteric dalam periode Hellenistik, seperti Neophythagorianisme dan Hermetisisme.
[17] Ibid, Seyyed Hosein Nasr, terj, hlm.12
[18] M.Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik Hingga Modern, hlm.53. lihat pula Fazlur Rahman, 1994, A Young Muslim’s Guide to the Modern World, Alih Bahasa Menjelajah Dunia Modern, (Bandung : Mizan), hlm. 84, Penerjemahan bahasa-bahasa purbakala mulai dilakukan ke dalam bahasa Arab dengan bantuan kaum terpelajar. Proses penerjemahan memakan waktu hampir 150 hingga 200 tahun yang berhasil menerjemahkan sebagian besar filsafat dan ilmu pengetahuan purbakala ke dalam bahasa Arab dan untuk waktu 700 tahun berikutnya, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang paling penting di seluruh dunia
[19] Ali Anwar Yusuf, 2003, Wawasan Islam, hlm. 12
[20] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 49
[21] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 56
[22] Tamim Ansyari, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman, hlm. 175
[23] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 149-150
[24] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik  Islam, hlm. 101
[25] Phillip K. Hitti,_____, Duni Arab Sedjarah Ringkas, terjemahan oleh Usuludin Hutagalung dan Sihombing, Jakarta:_____ hlm. 117
[26] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 151