A. Pendahuluan
Pencapaian umat Islam dalam kemajuan
peradaban terutama dalam bidang keilmuan, yang terjadi pada masa dinasti
Abbasiyah, tidak terlepas dari kebijakan para khalifah abbasiyah yang
memfokuskan perhatian terhadap bidang keilmuan. Kehausan umat Islam dalam
bidang keilmuan, tidak hanya meliputi ilmu keagamaan semata, namun juga
memfokuskan pada ilmu pengetahuan. Sehingga dengan waktu yang relatif singkat, dinasti
Abbasiyah menjelma menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia.
Ada
hal menarik mengiringi kesuksesan dinasti Abbasiyah mencapai puncak keemasan. Diawali
dengan keberhasilan militer Islam terutama pada masa dinasti Ummayah dalam
melakukan ekspansi keluar jazirah Arab guna menyebarluaskan ajaran agama Islam,
menjadikan Islam memiliki wilayah taklukkan yang luas.[1] Namun faktanya sebelum
ditaklukkan oleh umat Islam wilayah tersebut terlebih dahulu mendapatkan
pengaruh dari budaya besar lainnya seperti budaya Yunani, sehingga interaksi
umat Islam dengan kebudayaan wilayah taklukkan tersebut tidak terhindarkan.
Interaksi
intelektual umat Islam dengan dunia pemikiran Yunani yang dikenal juga dengan
Hellesnisme terjadi terutama di beberapa wilayah, diantaranya Iskandaria
(Mesir), Damaskus, Antioch dan Ephesus (Syiria), Harran (Mesopotamia) dan
Jundisapur (Persia). Ditempat itulah, lahir dorongan untuk melakukan kegiatan
penelitian dan penerjemahan karya-karya ilmu pengetahuan dari bahasa Yunani,
Persia dan lain-lain, dituangkan ke dalam bahasa Arab.[2] Sehingga penerjemahan
karya-karya ini dikenal dengan sebutan gerakan terjemahan.
Meskipun
budaya Yunani tersebut menjadi salah satu faktor penunjang kemajuan keilmuan
pada masa dinasti Abbasiyah, namun perlu dicatat bahwa tidak semua ilmu yang
berkembang mendapatkan pengaruh dari Yunani, bahkan ilmu yang mendapatkan
pengaruhpun tidak dijiplak begitu saja oleh umat Islam, sehingga nantinya
menyebabkan lahirnya ilmu baru bagi umat Islam yang merupakan hasil dari
interaksi antara tradisi keilmuan Islam dengan Yunani.
B. Hellenisme dan Tradisi Keilmuan Islam
1. Hellenisme
Istilah
Hellenisme dalam istilah modern diambil dari bahasa Yunani kuno hellenizein yang
berarti “berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani” (to speak or make
Greek). Awal kebudayaan Hellenisme ini ditandai dengan keberhasilan
Alexander Agung dalam menaklukkan berbagai wilayah di muka bumi, dan pada
akhirnya berhasil mendirikan kerajaan raksasa yang meliputi wilayah India Barat
sampai Yunani dan Mesir, yang nantinya membentuk perpaduan kebudayaan antara
Yunani, Mediterania, Mesir dan Persia yang disebut dengan peradaban Hellenisme.
Kebudayaan ini berlangsung kurang lebih 300 tahun, yaitu mulai dari 323 SM – 20
SM (dari masa Alexander Agung atau Meninggalnya Aristoteles hingga Berkembangnya
Agama Kristen atau zaman Philo).
Difusi
yang terjadi menyebabkan keberagaman budaya tersebut melebur menjadi satu yang
menampung gagasan politik, ilmu pengetahuan dll. Pada masa itu pula muncul
beberapa kota yang menjadi pusat peradaban, diantaranya Alexandria dan Athena,
kota Alexandria dijadikan sebagai pusat Ilmu pengetahuan yang menjadi landasan
berkembangnya ilmu matematika, astronomi, biologi, dan ilmu pengobatan. Sementara
di Athena fokus kajian lebih mengutamakan kajian mengenai filsafat Plato dan
Aristoteles. Adapun tiga aliran filsafat yang menonjol pada zaman Helenisme
yakni Stoisisme, Epikurisme dan Neoplatonisme.[3]
2. Tradisi Keilmuan Islam
Islam sangat menekankan pentingnya ilmu bagi umat
manusia, bahkan Islam mewajibkan bagi para penganutnya untuk menuntut ilmu guna
meneliti, memahami alam semesta dan kondisi alamiah yang berkaitan dengan hal
tersebut. Bahkan secara lebih spesifik pencarian ilmu akan bermuara pada satu
titik yakni mendekatkan diri pada Allah SWT melalui perantara ilmu yang
dipelajari.
Dalam
sejarahnya kelahiran Ilmu dalam Islam dibagi ke dalam empat periode, pertama turunnya wahyu dan lahirnya
pandangan hidup Islam. Turunnya wahyu pada periode Mekah merupakan pembentukan
struktur konsep dunia dan akhirat sekaligus yang merupakan sebuah struktur
konsep tentang dunia yang baru. Seperti konsep tentang Tuhan dan keimanan
kepadanya, hari kebangkitan, penciptaan, akhirat, surga dan neraka, hari
pembalasan, dsb. Sementara turunnya wahyu pada periode Madinah ditandai dengan
tema-tema umum yang merupakan penyempurnaan ritual peribadatan, rukun Islam,
dan sistem hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.[4]
Periode
Kedua, lahirnya kesadaran bahwa wahyu
yang turun mengandung struktur ilmu pengetahuan. Seperti konsep tentang ilmu
pengetahuan, tentang etika, dan tentang manusia, misalnya konsep yang terdapat
dalam wahyu seperti ilm, ushul,kalam,
nazhar, wujud, tafsir, fiqh, halal, haram, iradah dan lain-lain mulai
dipahami secara intens. Periode ke-tiga
adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan munculnya
komunitas ilmuwan Islam yang tekoordinir dalam wadah kelompok belajar atau
sekolah Ashabus-Shuffah di Madinah.
Ilmuwan yang muncul adalah para pakar hadist seperti Abu Hurairah, Abu Dzar
al-Ghifari, Salman al-Farisi, dll.[5] Periode terakhir adalah
lahirnya disiplin-disiplin ilmu Islam.
3. Perbedaan Tradisi Keilmuan Hellenisme dan Islam
Tradisi
Keilmuan Hellenisme dan Islam, diibaratkan seperti kedua sisi mata uang yang
saling bertolak belakang, termasuk dalam hal keilmuan. Perbedaan ini muncul akibat
ketidaksamaan keduanya dalam hal bagaimana cara atau langkah umat manusia memperoleh
ilmu itu sendiri atau lebih dikenal dengan epistimilogi pengetahuan. Disatu
sisi budaya Hellenisme yang identik dengan bangsa Yunani, dalam epistimologinya
tidak mengenal kepercayaan akan adanya Tuhan, namun mereka lebih mengandalkan
akal dan pancaindera tanpa melibatkan unsur ketuhanan di dalamnya.
Di
sisi lain, kepercayaan yang semacam itu tidak berlaku bagi umat Islam, umat
Islam tidak hanya melibatkan akal dan pancaindera semata dalam epistimologinya,
lebih dari itu umat Islam percaya bahwa akal dan pancaindera memiliki
keterbatasan, sehingga Tuhan ikut berperan didalamnya melalui bisikan qalbu
ataupun wahyu. Berikut akan dijelaskan secara mendasar perbedaan keduanya dalam
hal epistimilogi pengetahuan.
a. Epistimologi Hellenisme
Sebelum
munculnya Islam, bangsa Yunani sudah dikenal dengan peradabannya yang tinggi,
termasuk dalam bidang keilmuan. Salah satu buktinya adalah munculnya para
ilmuwan Yunani dengan pemikiran-pemikirannya yang masih dikenal sampai saat ini,
diantaranya Plato dan Aristoteles. Meskipun Plato dan Aristoteles tidak hidup
persis pada masa Helenisme,[6] namun bisa dikatakan dalam
hal epistimologi, ke-dua tokoh ini mampu menjadi landasan bagi tokoh pemikir
setelah mereka. Pengaruh Plato terlihat dalam aliran Neo Platonisme pada masa
Hellenisme.
Pemikiran
Plato disebut sebagai pemikiran yang memiliki pandangan rasionalisme. Artinya bahwa
sumber pengetahuan itu adalah rasio, dengan kata lain rasionalisme menempatkan
posisi rasio (akal), sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum
rasionalitas percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai
pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang apa
yang ada “tentang realitas”dan strukturnya serta tentang alam semesta pada
umumnya.[7]
Sementara
itu, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda terhadap pandangan Plato,
meskipun Plato merupakan gurunya, Aristoteles memiliki pandangan filsafat
empirisme. Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus
didasarkan atas metode empirisme eksperimental, sehingga kebenarannya dapat
dibuktikan melalui pancindera. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam
perkembangannya berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan
perbedaan antara ilmu pengetahuan (sience)
dengan non ilmu. [8]
Berdasarkan
uraian mengenai sumber ilmu pengetahuan menurut Plato dan Aristoteles, terlihat
bahwa Plato dan Aristoteles hanya menonjolkan satu sumber saja, Plato dengan
akalnya (rasio) dan Aristoteles dengan pengalamannya yang diperoleh dari
pancaindera (empiris). Karakteristik ini bahkan terus terjaga hingga munculnya
sains modern.
b. Epistimologi Islam
Dalam
Islam diajarkan bahwa Allah SWT merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan
kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak
ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya. Ini bukanlah bentuk suatu
doktrin yang memaksa umat manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga
menyebabkan umat Islam tidak perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu
karena semuanya telah menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan
dengan mengkaji ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT.
Adapun
sumber-sumber dalam epistimologi ilmu Islam adalah Al-Qur’an, hadits, indera,
akal dan qalbu. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber tersebut
dalam epistimologi ilmu Islam.
1] Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Oleh
karena itu, Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam
epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur’an sendiri
ternyata memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya
diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-Qur’an
mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani
dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dll.[9]
2] Hadist
Al-qur’an
dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur’an
merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan
hadits merupakan penjelas (bayan)
bagi keumuman isi Al-Qur’an.[10]
3] Pancaindera
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan
pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh
melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi
ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan
yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah
kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, apakah indra
telah cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu?, mengingat
indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan timbulnya
kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
Pertanyaan di atas bisa dijawab
melalui pernyataan imam Al-Ghazali, yang merupakan ilmuwan serta pemikir
terkenal umat Islam. Al-Ghazali memasukkan metode inderawi sebagai cara yang
dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa
metode indrawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang
didapatkanpun sangat sederhana. Dari persoalan kesederhanaan dan penampakan
lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh secara indrawi
merupakan ilmu yang penuh dengan tipu daya. Hal ini dikarenakan pengalaman
membuktikan bahwa ilmu indrawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan.[11] Penjelasan mengenai tipu
daya yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali
ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Mi’yar
Al-Ilm, terutama dalam pembahasan mengenai ilmu.[12]
Al-Ghazali melihat bahwa indera
penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang
dilakukan indera sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya,
yang jauh tampak dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak
tampak diam. Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa
pancaindra memberdayakan kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa
semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan.
Oleh karena itu, ia bukan merupakan hal yang real.[13]
Dari penjelasan di atas, bisa
disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui
indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti
ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang
hakiki.
4] Akal
Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu
pengetahuan, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh
ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai untuk dijadikan acuan
mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat atau sumber lain untuk
pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut adalah akal. Dalam pandangan
ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal disebut dengan rasionalisme.
Dalam kaitannya dengan ilmu, akal
dan indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling
berhubungan dalam proses pengeolahan ilmu. Bahkan Al-Qur’an mengajak kita untuk
menggunakan pancaindera dan akal dalam mengamati pengalaman, baik yang sifatnya
material maupun spiritual. Indra dan akal saling menyempurnakan dan keduanya
tidak dipisahkan serta tidak bisa berdiri sendiri seperti yang diklaim oleh
Plato dan Aristoteles.
Namun
akal pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena
alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata sedangkan hal yang
gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal. Sehingga hal yang gaib
atau metafisika hanya mampu diraih melalui qalbu.
e. Qalb (Hati)
Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang
sering digunakan oleh Al-Gahzali. Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali
sebagai penunjukan esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa
manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat
qalbu lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan
menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq).[14]Al-Ghazali memandang bahwa
kedudukan dzawq lebih tinggi daripada
pancaindera dan akal. Pancaindera dan Akal dibatasi pada kegiatan argumentasi
dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima
ilham dari Tuhan.
Dari
beberapa penjelasan di atas, maka bisa dipahami hal yang menyebabkan terjadinya
perbedaan antara epistimologi Yunani dan Islam adalah, Pertama bangsa Yunani tidak melibatkan unsur ketuhanan di dalamnya
sedangkan umat Islam selalu berpedoman dengan wahyu Tuhan guna memperoleh ilmu,
Kedua bangsa Yunani lebih
mengedepankan Akal dan Pengalaman melalui pancaindera, bahkan keduanya tidak
digunakan secara bersamaan. Sedangkan dalam Islam penggunaan akal dan
pancaindera tidak dapat dipisahkan karena keduanya memiliki keterikatan guna
memperoleh ilmu. Ketiga sumber ilmu bangsa Yunani memiliki keterbatasan karena hanya
melibatkan akal dan pancaindera semata yang tentunya juga memiliki
keterbatasan, sedangkan dalam Islam keterbatasan Akal dan pancaindera tersebut
dapat di tutupi dengan penggunaan qalbu guna mendapatkan ilham ataupun wahyu
bagi para Nabi.
3. Unsur Hellenisme dalam Tradisi Keilmuan Islam
Dinasti Abbasiyah
a. Awal mula bercampurnya tradisi Hellenisme dan Islam
Membicarakan
perkembangan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, tidak bisa dilepaskan dari
sejarah dinasti sebelumnya yakni dinasti bani Ummayah. Sebelumnya telah
dijelaskan bahwa, pasca berakhirnya masa Nabi Muhammad SAW dan para Khalifah,
eksistensi umat Islam di dunia makin menguat, baik dari segi perpolitikan,
militer, maupun ilmu pengetahuan, kondisi ini tidak hanya terjadi di jazirah
Arab semata namun sudah mulai menyebar ke luar wilayah jazirah Arab.
Dimulai
dengan keberhasilan dinasti Ummayah dalam melakukan ekspansi wilayah guna
menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia, yang pada akhirnya mampu menyamai
bahkan menandingi peradaban besar sebelumnya seperti peradaban bangsa Yunani. Sehingga
semua wilayah yang pada awalnya berada dibawah kekuasaan bangsa Yunani berhasil
direbut. Pusat-pusat ilmu pengetahuan di Yunani dan Alexandria jatuh ke tangan
kaum muslimin.
Meskipun
umat Islam keluar sebagai pemenang dalam gelanggang politik dan militer guna
memperebutkan wilayah tersebut, keberadaan Islam tidak serta merta meniadakan dan
menghapuskan kebudayaan asli wilayah taklukkan, namun justru hidup dalam sikap
toleransi yang teramat besar, bahkan berkat politik keagamaan yang berdasarkan
pada konsep toleransi Islam tersebut, sampai sekarang masih banyak
kantong-kantong minoritas Kristen dan Yahudi yang tetap bertahan aman. Sikap
toleransi tersebut menghasilkan interaksi intelektual umat Islam dengan
pemikiran Yunani, terutama terjadi di kota yang menjadi pusat pengetahuan.
Menjelang
berakhirnya bani Umayyah, kekuasaan Islam yang luas tetap berlanjut dibawah
penguasa dari dinasti Abbasiyah, berbeda dengan pendahulunya, para penguasa
dinasi Abbasiyah tidak terlalu berambisi untuk melakukan ekspansi wilayah,
namun perhatian justru lebih difokuskan pada pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Interaksi umat Islam dengan budaya luar yang memiliki peradaban tinggi dalam
ilmu pengetahuan, menjadi modal awal bagi umat Islam guna mengembangkan tradisi
keilmuan.[15]
Dikota-kota
seperti Alexandria, Jundisapur, Harran, Edessa dan Nisibis sejumlah besar
pengetahuan Yunani dan Babilonia, juga Hindu dan Persia, terpelihara sebagai
sebuah tradisi pengetahuan yang hidup secara baik hingga memasuki periode
Islam. Lebih dari itu, ketika umat Islam mencurahkan perhatiannya pada
ilmu-ilmu pra Islam, mereka dengan mudah mendapatkan sumber aslinya.[16]
Pada permulaan
periode bani Abbasiyah, sumber-sumber ilmu pengetahuan dari budaya non-Islam mulai
diterjemahkan, sehingga gerakan ini dikenal dengan nama gerakan terjemahan,
khususnya dibawah khalifah Harun al-Rasyid, Al Ma’mun dan al-Mu’tashim. Melalui
gerakan ini muncullah para penerjemah handal yang bisa masuk dengan mudah ke
dalam istana kekhalifahan di Baghdad. Seperti Hunain bin Ishak yang beragama
Kristen, Tsabit bin Qurrah, Ibnu al-Muqaffa’ dll. Dalam dua abad, mulai dari
sekitar tahun 750-1000 M, korpus yang tak terhitung banyaknya dari karya-karya
metafisik, filosofis dan ilmiah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dari bahasa
Yunani, Suryani, Pahlevi dan lain-lain.[17]
Dijelaskan
pula oleh Halkin dalam Solihin bahwa kekayaan budaya Syria, Persia, dan
Hindu disalin oleh umat Islam ke dalam bahasa
Arab setelah ditemukan. Para khalifah, Gubernur dan tokoh-tokoh yang lain
menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan
ilmu bukan Islam yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Selama abad
kesembilan dan kesepuluh, karya-karya yang terus mengalir dalam ilmu-ilmu
kedokteran, fisika, astronomi, matematika dan filsafat dari Yunani, sastra dari
Persia, serta matematika dan astronomi dari Hindu tercurah ke dalam bahasa
Arab.[18]
b. Wujud pengaruh Hellenisme dalam Islam
Gerakan terjemahan yang dilakukan pada masa dinasti
Abbasiyah, menghasilkan banyak karya-karya terjemahan tentang ilmu pengetahuan
yang bersumber dari budaya non Islam. Karya tersebut memuat banyak gagasan
mengenai ilmu-ilmu kedokteran,
fisika, astronomi, matematika, filsafat, sastra, matematika dll. Hal ini
menunjukkan perkembangan yang luar biasa bagi umat Islam dalam bidang keilmuan.
Perkembangan
dan kemajuan ilmu yang terjadi mampu mengantarkan dinasti Abbasiyah mencapai
masa keemasan. Hal ini tidak terlepas dari pemahaman para khalifah dinasti
Abbasiyah dalam mendefinisikan tentang ilmu pengetahuan. Islam membedakan dua
wilayah bahasan yang berkaitan dengan pengetahuan. Wilayah pertama berkaitan
dengan urusan-urusan kemanusiaan yang mencakup politik, sosial, ekonomi, hukum
peribadatan dll. Sedangkan wilayah kedua berkaitan dengan ilmu pengetahuan
murni.
Pada
wilayah pertama, pengetahuan harus bersumber dari wahyu (kitab suci Ilahi),
wahyu menyuruh dan memerintahkan seluruh umat Islam untuk mengembalikan seluruh
persoalan hanya kepada Allah melalui perantara Al-Qur’an. Adapun wilayah kedua
lebih bersifat terbuka, yaitu berkaitan dengan ilmu murni, yang dihasilkan dari
hasil olah pemikiran dan pemahaman manusia terhadap alam semesta. Ilmu
pengetahuan ini tidak berkaitan dengan pandangan hidup seseorang, baik
Budhaisme, Hellenisme, Kristianisme maupun Islamisme.[19]
Dengan
pembagian dan pendefinisian tersebut, umat Islam pada saat itu mampu meraih
kemajuan dalam semua bidang ilmu pengetahuan yang ada, bahkan mampu menjadi
pionir dalam mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan yang baru. Beberapa kemajuan
Ilmu yang diperoleh umat Islam dapat disebutkan sebagai berikut, diantaranya:
1] Filsafat Islam
Pengembangan
Ilmu yang diperoleh dari penerjemahan buku-buku serta karya-karya dari umat
non- Islam, ternyata menyebabkan munculnya pro dan kontra diinternal umat Islam
itu sendiri, beberapa golongan merasa keberatannya akan ilmu baru yang diambil
dari kebudayaan non-Islam tersebut, keberatan yang diajukan bukan tanpa alasan,
mereka menganggap bahwa budaya Hellenisme merupakan budaya yang berasal dari
orang-orang musyrik, contoh kasus yang terjadi adalah mengenai pro dan kontra
dalam ilmu Filsafat Islam.
Pada
awalnya agama Islam tidak mengenal yang namanya ilmu filsafat. Hal ini
dibuktikan dengan penggunaan kata Arab “falsafah” pun dipinjam dari kata Yunani
yang sangat terkenal yakni “philosophia”, yang berarti kecintaan pada
kebenaran. Meskipun filsafat Islam memiliki dasar yang kokoh dan bersumber dari
ajaran-ajaran Islam, namun tak dapat dipungkiri bahwa didalamnya juga terkandung
unsur-unsur dari kebudayaan luar terutama Hellenisme atau dunia pemikiran
Yunani.[20]
Dari
berbagai unsur pemikiran Hellenik, Neoplatonisme merupakan salah satu yang
paling berpengaruh dalam sistem filsafat Islam. Neoplatonisme sendiri merupakan
falsafah kaum musyrik (pagans) yang dipelopori oleh Plotinus, dan penerapan
pemikirannya dengan suatu agama wahyu tentu menimbulkan masalah yang besar.
Ajarannya yang mengajarkan konsep tentang Yang Esa (the one, yang satu) sebagai
prinsip tertinggi atau sumber penyebab (sebab, cause).[21] Terkesan sebagai ajaran
Tauhid, hal inilah yang mampu
mempengaruhi pemikiran umat Islam pada masa bani Abbasyah. Dalam konsep tentang
yang satu ini, kaum muslim menemukan gema yang mendebarkan bagi penekanan
ajaran Nabi Muhammad tentang keesaan Allah (tauhid). Melalui ajaran Plotinus
yang telah membangun sistemnya dengan logika yang ketat dari sejumlah kecil
prinsip aksiomatik, membangkitkan harapan bagi umat Islam bahwa wahyu Islam
bisa dibuktikan dengan logika.[22]
Selain Plotinus, ajaran Plato dan
Aristoteles juga memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan Filsafat Islam,
beberapa Filsuf Islam ternama menjadikan Palto dan Aristoteles sebagai
inspirasi mereka. Seperti Filsuf Ibnu Sina, yang merupakan seorang Filsuf yang
menghidupkan kembali Filsafat Yunani aliran Aristotels dan Plato. Tokoh lainnya
adalah Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Suhrawardi, Ibnu Arabi dll. [23]
2] Ilmu Kedokteran
Perkembangan Ilmu kedokteran sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Persia, Yunani dan India. Diantara para ahli kedokteran ternama pada
saat itu adalah Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih, seorang ahli farmasi di rumah
sakit Jundhisapur Iran, perlu diketahui bahwa Jundhisapur Iran merupakan
akademi terkenal di Persia, materi yang diajarkan di akademi ini merupakan
pengembangan tradisi keilmuan Yunani,[24] tokoh lainnya adalah Abu
Bakar ar-Razi yang dikenal sebagai Galien Arab, Ibnu Shina (Avicenna) dan
Ar-Razi.
3] Matematika
Dalam ilmu Matematika para ahli dinasti Abbasiyah
menganggap bahwa Fitagoras sebagai guru bangsa Arab, diantara ahli matematika
Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi yang mengarang kitab Al-Jabar wa Muqabalah (ilmu hitung) dan
penemu angka nol, tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin
Ismail bin Al-Abbas.
4] Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai
aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India dan Persia.
Persentuhan Islam dengan Ilmu Astronomi bermula dari kegiatan terjemahan sebuah
karangn tentang astronomi oleh Al-Faziri ke dalam bahasa Arab. Ilmu mengenai
perbintangan telah menarik perhatian orang Arab sejak lama namun penyelidikan
yang dilakukan belum berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Dengan giat umat Islam
menaruh perhatiannya atas ilmu astronomi sebagai suatu cara untuk menentukan
waktu sholat serta arah kiblat.[25] Adapun ahli astronomi
muslim yang terkenal pada saat itu adalah Abu Mansur Al-Falaki, Jabir Al-Batani
sebagai pencipta teropong bintang pertama dan Raihan Al-Biruni.[26]
C. Kesimpulan
Beberapa kemajuan yang dialami oleh umat Islam pada
masa bani Abbasiyah tidak terlepas dari dua suku kata yang sangat berpengaruh,
yakni gerakan terjemahan. Gerakan ini melakukan kegiatan untuk menerjemahkan
buku-buku dan karya dari budaya Hellenisme atau pemikiran dunia Yunani, yang
akhirnya telah memberikan pemahaman bagi umat Islam mengenai Ilmu pengetahuan yang baru, yang merupakan gabungan dari tradisi
keilmuan Islam dan Yunani.
Perkembangan
keilmuan ini ditandai pula dengan munculnya para ilmuwan-ilmuwan Islam bahkan
filsuf-filsuf Islam. Perlu diingat bahwa keduanya tidak hanya menguasai dan
menerima begitu saja ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari
buku-buku Yunani, melainkan juga telah menambahkan hasil-hasil penyelidikan
yang mereka lakukan sendiri dilapangan ke dalam ilmu pengetahuan dan filsafat,
sehingga mampu mengubah ilmu yang awalnya milik orang non-Islam menjadi ilmu
pengetahuan dan filsafat yang memuat
unsur-unsur ke Islaman.
Catatan
penting yang bisa didapatkan dalam pembahasan ini adalah, materi ini mampu memberikan
pemahaman bahwa Islam bukan merupakan agama yang tidak menghargai kebudayaan
umat lain yang non-islam, buktinya Islam pada masa bani Abbasiyah justru
mengalami kemajuan pesat dalam keilmuan setelah bersentuhan dengan budaya
Yunani. kedua materi ini mampu mematahkan
anggapan kebanyakan orang yang telah mencap Islam sebagai agama yang kaku dalam
menanggapi perkembangan dan perubahan zaman.
[1] Beberapa wilayah yang berhasil
ditaklukkan oleh dinasti Ummayah meliputi wilayah Afrika Utara, Andalusia
(Spanyol), Transoxiana di Asia Tengah dan Sindh (Pakistan). Lihat Abdussyafi
Muhammad Abdul Lathif, 2014, Bangkit dan
Runtuhnya Khilafah Bani Umayyah, (Jakarta: Al-Kautsar), hlm. 394
[2] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern,
(Bandung: Penerbit Pustaka Setia), hlm. 53
[3] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 25.
Dijelaskan bahwa Stoisisme dikenalkan
oleh Zeno dari Kition (333-262 SM), yang terkenal karena etikanya, yang
mengajarkan bahwa manusia akan bahagia jika ia bertindak sesuai dengan akal
budinya, Epikurisme dikenalkan oleh
Epikuros (341-270 SM), yang mengajarkan bahwa kesenangan itu baik asalkan
sekadaranya, dengan artian kita harus memiliki kesenangan, kesenangan tidak
boleh memiliki kita, sedangkan Neo
Platonisme diperkenalkan oleh seorang filosof Mesir Plotinos (205-270 M),
mengajarkan suatu filsafat yang sebagian besar berdasarkan ajaran Plato dan kelihatan sebagai suatu agama. Tidak mengherankan
jika aliran Neo Platonisme terlihat sebagai agama, mengingat Yunani merupakan
negeri yang terkenal dengan mitologinya yang mempercayai dewa-dewa sebagai
penguasa, sedangkan ajaran Neo Platonisme dalam hal kepercayaan tidak lagi
menyebutkan kata dewa melainkan sudah menggunakan kata Yang Esa, tapi tentu
saja Yang Esa dalam hal ini tidak bisa diartikan sebagai Tuhan karena Plotinos
sendiri tidak menyebutkan kata Tuhan dalam ajarannya.
[4] Adrian Husaini, 2013, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Gema
Insani: Jakarta), hlm. 23
[5] Adrian Husaini, 2013, Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, hlm.
24
[6] Mengenai periodesasi perkembangan pemikiran
barat bisa dilihat dalam Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pt Raja Grafindo
Bersama), hlm. 6, dijelaskan bahwa pemikiran barat berkembang dari Periode
Yunani Klasik, Periode Abad Pertengahan, Periode Modern, Periode Postmodern
atau Kontemporer. Namun dalam buku ini posisi zaman Hellenisme tidak dijelaskan
secara gamblang. Beda halnya dalam buku Solihin dijelaskan bahwa zaman
Hellenisme berada dalam periode Yunani Klasik, setelah masa kejayaan Plato dan
Aristoteles. M. Solihin, 2007, Perkembangan
Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern), hlm. 23
[7] Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,
hlm. 33
[8] Akhyar Yusuf Lubis, 2013, Filsafat Ilmu Klasik
Hingga Kontemporer,hlm. 33
[9] Adrian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam
hlm. 93
[10] Adrian Husaini, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam hlm.99
[11] Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut
Pandang Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia Bandung), hlm. 41
[12] Keraguan Al-Ghazali terhadap indra bisa
dilihat pada buku, A.H Mustofa, 1997, Filsafat
Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm.224, Al-Ghazali menyatakan bahwa
“sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir
dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan
indrawi, bagaimana pengetahuan itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan
sebagai indera yang kuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam,
tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat,
engkau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan
perlajan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu
tidak mengenal diam. Demikian pula ketika engkau melihat bintang, maka dikira
ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa
bintang itu lebih besar daripada bumi.”
[13] Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut
Pandang Al-Ghazali,hlm. 43
[14] Selain Indera dan akal, ada pemberian
Allah yang tersembunyi yang dinamakan dengan hikmah. Filosof modern menyebutnya dengan intuisi, dan adz-dzawq dalam bahasa Al-Ghazali.
Disamping Al-hikmah, Allah memberikan An-Nur
(cahaya) dan Al-Fariqah atau Al-Furqan, artinya pembeda antara yang
hak dan yang batil. Hikmah ini tidak
dapat diketahui oleh akal dan indera, tetapi dapat diperoleh melalui apa yang
ada dibalik itu. Ahli Psikologi menyebutnya sebagai indera keenam. Ali Anwar
Yusuf, 2003, Wawasan Islam, (Bandung
: CV Pustaka Setia), hlm. 27
[15]Didin Syaefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka
Intermasa, hlm. 102. Adanya kebudayaan yang heterogen di Baghdad menimbulkan
proses interaksi antara satu kebudayaan dan kebudayaan lainnya. Di Baghdad
terdapat empat kebudayaan yang berlainan, yaitu kebudayaan Arab, Persia, Yunani
dan Hindu. Tidak dapat dihindari bahwa dalam keempat kebudayaan tadi terjadi
proses asimilasi, saling memberi dan menerima, serta saling mempengaruhi. Hal
ini telah memberi dampak besar terhadap perkembangan intelektual masyarakat
pada masa itu.
[16] Seyyed Hossein Nasr, 1964, Three Muslim Sages: Avicenna, Suhrawardi, Alih
Bahasa oleh Maimun Syamsuddin, 2014, Tiga
Mazhab Utama Filsafat Islam Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibnu Arabi,
(Jogjakarta: IRCiSoD), hlm. 11. Dijelaskan bahwa Alexandria, merupakan tempat
bertemunya arus cultural Helenik, Yahudi, Babilonia dan Mesir yang terlah
diterjemahkan kedalam bahasa Suryani (Syiriac),
Jundisapur, merupakan pusat pengetahuan yang dibangun oleh raja Persia guna
menandingi pusat belajar Byzantium, dan disinilah para Filsuf dan Ilmuwan
India, Kristen dan Yahudi diminta mengajar dan melakukan kajian, sehingga
tradisi pengobatan India terbentuk dan tergabung dengan tradisi pengobatan
Yunani. Harran, merupakan tempat tinggal kaum Sabean yang menggangap diri meraka
sebagai pengikut Nabi Idris atau Hermes, yang menyebarkan banyak pengetahuan
madhzab-madhzab yang lebih esoteric dalam periode Hellenistik, seperti Neophythagorianisme
dan Hermetisisme.
[17] Ibid,
Seyyed Hosein Nasr, terj, hlm.12
[18] M.Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat dari Klasik
Hingga Modern, hlm.53. lihat pula Fazlur Rahman, 1994, A Young Muslim’s Guide
to the Modern World, Alih Bahasa Menjelajah Dunia Modern, (Bandung : Mizan), hlm. 84, Penerjemahan bahasa-bahasa purbakala mulai dilakukan ke dalam
bahasa Arab dengan bantuan kaum terpelajar. Proses penerjemahan memakan waktu
hampir 150 hingga 200 tahun yang berhasil menerjemahkan sebagian besar filsafat
dan ilmu pengetahuan purbakala ke dalam bahasa Arab dan untuk waktu 700 tahun
berikutnya, bahasa Arab menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang paling penting di
seluruh dunia
[19] Ali Anwar Yusuf, 2003, Wawasan Islam, hlm. 12
[20] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 49
[21] M. Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, hlm. 56
[22] Tamim Ansyari, 2009, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta: Zaman, hlm.
175
[23] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah),
hlm. 149-150
[24] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, hlm. 101
[25] Phillip K. Hitti,_____, Duni Arab Sedjarah Ringkas, terjemahan
oleh Usuludin Hutagalung dan Sihombing, Jakarta:_____ hlm. 117
[26] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah),
hlm. 151