A. Pendahuluan
Sebelum
masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia, sebenarnya di Indonesia terlebih
dahulu telah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha dari India. Namun pada
kenyataannya dari dahulu sampai sekarang Indonesia justru dianggap sebagai negara
yang dihuni oleh umat Islam dengan jumlah terbesar di dunia yang sangat
diperhitungkan oleh bangsa lain. Hal itu tentunya tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi melalui proses yang panjang.
Proses
Islamisasi tersebut ternyata telah banyak mempengaruhi berbagai aspek kehidupan
masyarakat Indoneisa, baik dibidang politik, sosial, keilmuan, seni dan
bangunan, serta berbagai aspek lainnya. Hal ini menyebabkan mayoritas
masyarakat Indonesia mulai meninggalkan keyakinan lamanya (Hindu-Budha) dan
beralih kepada ajaran agama Islam. Peralihan keyakinan ini lebih dikarenakan
Islam yang dibawa oleh para pedagang maupun para da’i dan ulama, menyiarkan
suatu rangkaian ajaran dan cara serta gaya hidup yang secara kualitatif lebih
maju daripada peradaban yang ada. Dalam bidang keyakinan misalnya keyakinan
yang awalnya bersifat monoteisme menjadi politeisme, kemudian tidak adanya
kasta dalam kehidupan sosial, sehingga masyrakat kelas bawahan merasa
keberadaan mereka sebagai manusia dihargai dan memiliki hak yang sama dengan
masyarakat kelas atas. Singkat kata kedatangan Islam mudah diterima oleh
masyakarat Indonesia.
Setelah
Islam mampu menancapkan pengaruh serta ajarannya dalam kehidupan masyarakat,
barulah masyakat muslim Indonesia mulai membangun sebuah peradaban, yang
mencakup diberbagai bidang, misalkan dalam politik menyebabkan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam, serta berkembangnya seni dan corak bangunan yang
bernafaskan Islam, kemudian yang lebih penting adalah tumbuh dan berkembangnya
ilmu-ilmu keagamaan yang nantinya menjadi Ideologi masyarakat muslim Indonesia
untuk melawan praktik penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Asing.
B. Islam di Indonesia
1. Awal Masuk dan Berkembangan Islam di Indonesia
Sejarah awal terbentuknya peradaban Islam di Indonesia
cukup rumit. Banyak para ahli yang saling berbeda pendapat kapan Islam mulai
muncul di Indonesia. Apabila digolongkan, setidaknya terdapat tiga pendapat
para sarjana sejarah mengenai awal masuknya Islam di Indonesia.
a. Pendapat pertama, yaitu pendapat dari para oriental
Barat, diantaranya Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-13 M dari negeri Gujarat dan bukan dari Arab langsung.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Makam Sultan Malik al-Saleh penguasa
pertama Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama. Selanjutnya menurutnya Malik
al-Saleh adalah merupakan keturunan Gujarat.[1]
b. Pendapat kedua dikemukakan oleh para Sarjana Muslim,
diantaranya yaitu Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam
sudah mulai masuk Indonesia pada abad ke 1 H atau sekitar abad ke 7 M langsung
berasal dari Arab dengan buktinya yaitu bahwa jalur pelayaran dari Arab, India,
melalui selat Malaka yang menghubungkan dinasti Umayah dengan kekaisaran
Dinasti Tang di China dan Sriwijaya di Asia Tenggara, telah ramai dan bersifat
internasional, sejak abad ke-7 M, jauh
sebelum Samudra Pasai berdiri. [2]
c. Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah
mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam
sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 atau 8
Masehi, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan.
Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada
abad ke-13 M dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat
arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulagu Khan. Kehancuran
Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah
Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara.[3]
Dari
ke-tiga teori di atas bisa disimpulkan bahwa, penyebaran agama Islam di
Indonesia erat kaitannya dengan proses pelayaran dan perdagangan, namun proses
islamisasi di Indonesia tidak hanya melalui perdagangan semata namun juga
melalui proses lainnya seperti dakwah, perkawinan, pendidikan serta Tasawuf dan
Tarekat.
a.
Dakwah
Bersamaan dengan
kedatangan para pedagang muslim, datang pula para da’i, ulama dan sufi
pengembara. Mereka inilah yang melakukan dakwah untuk menyiarkan agama Islam.
Ada sebagian para ulama atau sufi itu ada yang kemudian diangkat menjadi
penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di Aceh ada Syaikh Hamzah
Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri, Abd. Rauf Singkel. Demikian
juga di Jawa, mempunyai penyiar Islam yang dikenal dengan sebutan para wali. [4]
b.
Perkawinan
Yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, Mubaligh
dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti
sosial, yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim. Dengan perkwainan itu
secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan
sifat karisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang muslim besar menikah
dengan putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra
mahkota kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain. [5]
c.
Pendidikan
Setelah
kedudukan para pedagang telah mantap, mereka mulai menguasai kekuatan ekonomi
dibandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi
pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam
di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi
pelajar-pelajar dan mengirim mubaligh lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik
Ibrahim ke Jawa. Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren,
di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. [6]
d.
Kesenian
Saluran yang
sering digunakan untuk penyebaran Islam khususnya di pulau Jawa adalah melalui
kesenian. Wali Songo terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak cabang seni
untuk berdakwah, seperti seni pewayangan, nyayian dan busana.[7]
2. Peradaban Islam Indonesia
Islam datang di Indonesia dengan membawa peradaban
baru yang memiliki corak keislaman secara khusus. Beberapa bentuk peradaban
islam mewarnai kehidupan dan pemikiran masyarakat Islam di Indonesia. Peradaban
Islam yang dibawa oleh para mubaligh Islam dari Arab diakulturasikan dengan
tradisi dan budaya setempat. Akulturasi antara peradaban Islam dan peradaban
masyarakat setempat menjadi perpaduan yang membawa dampak positif bagi
perkembangan budaya Islam Indonesia. Diantara peradaban Islam tersebut mencakup
kedalam berbagai bidang di bawah ini.
a. Sistem Birokrasi
Awal mula perkembangan Islam Indonesia
ditandai dengan kemunculan berbagai kerajaan-kerajaan yang bernafaskan Islam,
adapun kerajaan-kerajaan Islam yang pertama berdiri berada diwilayah pesisir,
yakni kerajaan Samudra Pasai pada abad ke-13 M, namun pada tahun 1350 Samudra
Pasai jatuh oleh karena serangan dari Majapahit, kemudian posisi Samudra Pasai
digantikan oleh kerajaan Malaka hingga tahun 1511 akibat serangan dari
Portugis, kerajaan Islampun kemudian dilanjutkan oleh Aceh Darussalam, adapun
kerajaan Islam lainnya adalah Aceh, Demak, Banten, Cirebon, Ternate dan Tidore.
[8]
Ibu kota kerajaan selain merupakan
pusat politik dan perdagangan, juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan
mubaligh Islam. Misalkan di Kerajaan Samudra Pasai, Ibnu Batutah menceritkan
bahwa, Sultan Al-Malik Az-Zahir, dikelilingi oleh ulama dan mubaligh Islam, dan
raja sendiri sangat menggemari diskusi mengenai masalah-masalah keagamaan.
Raja-raja Aceh mengangkat para ulama menjadi penasihat dan pejabat dibidang
kegamaan. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syaikh Syamsuddin
As-Sumatrani menjadi mufti (qadhi Malikul
Adil) Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Tsani (1636-1641 M) mengangkat Syaikh
Nuruddin Ar-Raniri menjadi mufti kerajaan, dan Sultanah Shafiatuddin Syah
mengangkat Syaikh Abdur Rauf Singkel.[9]
Keberadaan ulama sebagai penasihat
raja, terutama dalam bidang keagamaan juga terdapat di kerajaan-kerajaan Islam
lainnya. Di Demak penasihat Raden Fatah raja pertama demak. Penasehatnya adalah
para wali, terutama Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga. Bahkan disamping berperan
sebagai guru agama dan mubaligh, Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah) juga
langsung berperan sebagai kepala pemerintahan. Di Ternate, Sultan dibantu Oleh
sebuah badan penasihat atau lembaga adat. Pada umunya badan ini beranggotakan
sekelompok ulama, yang selain menjadi penasihat badan peradilan, juga memberi
nasihat kepada raja apabila ia melanggar peraturan. [10]
b. Bidang Keilmuan
Penyebaran dan pertumbuhan
kebudayaan umat Islam di Indonesia terutama terletak dipundak para ulama.
Paling tidak ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama: pertama, membentuk para kader ulama yang akan bertugas sebagai
mubaligh ke berbagai daerah yang lebih luas. Cara ini dilakukan di dalam lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang dikenal dengan istilah pesantren di Jawa, dayah di
Aceh, dan Surau di Minangkabau. Kedua, melalui karya-karya yang tersebar
dan dibaca diberbagai tempat yang jauh. Karya-karya tersebut telah mencerminkan
perkembangan pemikiran dan ilmu-ilmu keagamaan di Indonesia pada masa itu.
Pada abad ke-16 dan 17, banyak
sekali bermunculan tulisan para cendekiawan Islam di Indonesia. Syed Muhammad
Naguib Al-Attas menyatakan, abad-abad itu menyaksikan suatu kesuburan dalam
penulisan sastra, filsafat, metafisika dan teologi rasional yang tidak terdapat
tolok bandingnya di man-mana dizaman apapun di Asia Tenggara. Akan tetapi,
perlu juga diketahui bahwa ketika tradisi pemikiran Islam mulai terbentuk di
kepalauan Indonesia ini, di pusat dunia Islam, bidang pemikiran telah mapan.
Bahkan, disana dikenal dengan masa kebekuan, massa kemunduran pemikiran dalam
bidang agama karena digalakkannya taqlid. Dunia pemikiran yang berkembang di
Indonesia, bagaimanapun mempunyai akar
pada tradisi yang telah berkembang dipusat dunia Islamtersebut sebelumnya.
Adapun beberapa tokoh ulama yang dikenal dengan karya sastranya, antara lain
adalah:
1) Hamzah Fansuri [11]
Merupakan seorang Sufi terkemuka yang berasal dari
Fansur (Pansur), Sumatra Utara. Karyanya
yang rekenal adalah Asarul Arifin fi
Bayan ila Suluk wa At-Tauhid, suatu uraian singkat tentang sifat-sifat dan
inti ilmu kalam menurut teologi Islam. Karyanya yang bersifat mistik (tasawuf)
adalah Syair perahu. Karya-karya yang
lain, diantaranya adalah Syair Burung
Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al-Asyikin.
2) Syamsuddin As-Sumatrani [12]
Syamsuddin As-Sumatrani adalah murid dari Hamzah
Fansuri. Adapun hasil karyanya adalah Mir’atul
Mu’minin (Cermin Orang Beriman) pada tahun 1601. Buku itu berisi Tanya
jawab tentang ilmu kalam dan juga beberapa buku lainnya. Karya lainnya adalah jauhar Al-Haqaid, Risalah At Tubayyin
Mulahazat Al Muwahiddin ‘ala Al-Mulhiddin fi Dzikrillah, Kitab Al-Haraqah dan
Nur Ad-Daqaiq, Zikir Dairah Qawsany Al-Adna, Miratul Qulub, Syarh Mir’atul
Qulub, Kitab Tazym, Syi’ral Arifin, Kitab Ushul At-Tahqiq
3) Nuruddin Ar-Raniri[13]
Nuruddin Ar-Raniri berasal dari India, seorang
keturunn Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh pada tahun 1637 M. Beberapa
karya dari Nuruddin Ar-Raniri diantaranya adalah Ash-Shirath Al-Mustaqim berisi tentang uraian hukum, Bustan Ash-Salathin berisi sejarah dan
tuntutan bagi para penguasa dan raja, dan Asrar
Al-Insan fi Ma’rifati Ar-ruh wa Ar-Rahman yang merupakan karya dalam ilmu
kalam, Tibyan fi Ma’rifat Al-Adyan yang
berisi perdebatannya dengan kaum wujudiyah,
dan AL-Lama’ah fi Takfir man Qala bi
Khalq Alqur’an yang merupakan bantahan terhadap pedapat Hamzah Fansuri
bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
4) Abdurrauf Singkel [14]
Ia menghidupkan kembali ajaran tasawud yang
sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariah yang
diajarkannya, walaupun dengan ungkapan wujud yang berbeda. kitab-kitab suluk di
Jawa, sebagaimana karya Hamzah Fansuri di Aceh, bersigat mistik yang terambil
dari tradisi mistik (tasawuf) Islam. Paham sufisme di Jawa memang diserap dari
Kesusastraan Melayu karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Abdurrauf
Singkel dan juga Nuruddin Ar-Raniri.
5) Syaikh Yusuf Al-Makassari [15]
Karya-karyanya yang sebagian besar membahas mengenai
bidang tasawuf itu diperkirakan berjumlah 20 buah dan sekarang masih dalam
bentuk naskah yang belum diterbutkan. Syaikh Yusuf banyak berjasa dalam
perlwanan terhadap penjajahan Belanda di Makasaar dan Banten. Bahkan oleh
Belanda, Syaikh Yusuf akhirnya disingkirkan ke Sailan (Srilanka), dan akhirnya
ke Afrika Selatan.
6) Syaikh Nawawi Al-Bantani
Merupakan ulama dari Banten yang tinggal di Arab
hingga wafatnya dan memperoleh gelar sebagai Sayyid Ulama Al-Hijaz (Penghulu Ulama Hijaz), adapun hasil karyanya
adalah Nihayatuz Zain, Sfinatun Naja,
Nuruzh Zhalam, Kasyifatus Saja, Sulamul Fudhala, dan karyanya yang terkenal
adalah At-Tafsir Al-Munir.[16]
7) Syaikh Abdus Shamad Al- Falimbani[17]
Ia
merupakan ulama terkenal di Palembang yang berasal dari keturunan Arab Yaman.
Adapun judul karyanya adalah Zuhrah
Al-Murid fi Bayan Kalimah At-Tauhid, Nashihah Al-Muslimin wa Tadzkirah Al-Mu’minin
fi Fadhail Al-Jihad fi Sabilillah, Tuhfah Ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman
Al-Mu’mininan wa Ma Yufsiduh fi Riddah Al-Murtadin, Al Urwah Al-Wutsqa wa
Silsislah uli Tiqa, Ratib Abdus Shamad, Zad Al-Muttaqin fi Tauhid Rabbul
‘Alamin, Hidayah As-Salikin fi Suluk Maslak Al-Muttaqin, Ay- Sayr As- Salikin
ila Rabb Al-Alamin.
c. Aristektur Bangunan
Pada pembahasan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa, sebelum masuknya Islam ke Indonesia, masyrakat terlebih
dahulu telah mendapatkan pengaruh dari agama Hndu-Budha. Pada perkembangannya
terjadi akulturasi budaya antara budaya Islam dan budaya Hindu-Budha, yang
menghasilkan kebudayaan baru sehingga hasil dan seni bangunan Islam di
Indonesia berbeda dengan daerah Islam lainnya. Salah satu contohnya dalam corak
arsitektur bangunan Mesjid yang menjadi tempat ibadah umat muslim.
Hasil-hasil seni bangunan pada zaman
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia antara lain Masjid Kuno Demak,
Masjid Agung Ciptarasa Kesepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, Masjid
Baiturrahman di Aceh, Masjid Ampel di Surabaya, Masjid Kudus dll. Masjid-masjid
tersebut menunjukkan keistimewaan karena merupakan perpaduan unsure kebudayaan
Islam dengan budaya Hindu-Budha, dengan ciri-ciri
sebagai berikut:
1) Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke
atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Selalu
bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang
ini dalam kebusayaan hindu disebut juga dengan meru, yang terdapat terdapat juga di Bali pada upacara ngaben atau
relief candi Jawa Timur. [18]
2) Sebagian besar Masjid tidak memiliki menara karena
pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul bedug. kecuali Masjid Kudus
dan Banten keduanya memiliki menara. Menara Masjid Kudus tidak lain adalah
sebuah Candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan dengan penggunaannya dan
diberi atap tumpang, sedangkan menara Masjid Banten adalah tambahan dari zaman
kemudian yang dibangun oleh Cordell, pelarian Belanda yang masuk Islam, yang
bentuknya seperti Mercusuar. [19]
3) Masjid-Masjid Tua
Masjid-Masjid tua, bahkan yang dibangun didekat
Istana Raja Yogya dan Solo mempunyai letak yang tetap. Di depan istana selalu
ada lapangan besar dengan pohon beringin kembar, sedangkan masjid selalu terletak
di tepi barat lapangan. Di belakang Masjid sering terdapat makam-makam.
Rangkaian makam dan masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari fungsi
candi pada zaman Hindu-Indonesia.
Selain
pengaruh dari Hindu-Budha, Masjid di Indonesia pun mendapatkan pengaruh dari
budaya lokal Indonesia, meskipun tidak mengubah bentuk keseluruhan hanya
menambah keindahan, seperti Masjid Minangkabau yang mendapat pengaruh dari
“rumah gadang”, dan budaya asing lainnya seperti Masjid Kebon Jeruk Jakarta
yang memperlihatkan pengaruh Belanda, dan Masjid Agung Palembang (terutama
menaranya) dipengaruhi seni bagun Tionghoa. [20]
d. Seni Hias
Seni ukiran di Indonesia bisa dilihat di Batu Nisan
dan mimbar Masjid. Dibatu Nisan misalnya seni hias Kaligrafi pada Nisan kubur
Sultan Malik As-Salih dari Gampung Samudra yang bertuliskan khat Tsulutsi, dan
pada sejumlah nisan baik dari Samudra Pasai maupun dari Aceh sendiri.
Berikutnya adalah seni hias Kaligrafi kufi dengan nama Fatimah binti Maimun bin
Hibatullah, Nisan Kubur Malik Ibrhaim dari Gresik. Pada beberapa Nisan kubur
dengan kaligrafi tesrebut, juga dituliskan beberapa petikan ayat Al-Qur’an
seperti Surat al-Baqarrah ayat 225. Surat Ali Imran ayat 17, 18, 19, 25, 26,
27, 185 dan beberapa ayat lain. Yang menarik perhatian juga, pada kaligrafi
yang dituliskan pada nisan kubur Sultan Malik As-Salih, terdapat syair yang
dalam bahasa Indonesia berbunyi: “sesunggunya dunia itu fana, dunia itu
tidaklah kekal. Sesungguhnya dunia itu itu bagaikan sarang laba-laba yang
dijalin oleh laba-laba. [21]
Selain terdapat di nisan kubur, seni
hias Islam jga terdapat di mimbar Masjid, salah satu contoh Masjid yang dihiasi
dengan ukiran-ukiran adalah Masjid mantingan dekat jepara berbentuk kurawal,
segi ketupat, dan lainnya. Perbedaanya hanya pahatan pada cadas dan pada kayu,
yang menarik perhatian ialah hiasan pada dinding masjidnya yang berupa hiasan
floralistik terdiri dari bunga-bungan terartai dan pohon pandanus, dibuat
sedemikian rupa sehingga gambaran antropomorfik seperti gajah, ular, kepiting,
kera tidak tampak jelas apabila tidak diperhatikan sungguh-sungguh.
Ragam hias atau seni hias yang
terdapat pada bangunan dan benda-benda tinggalan arkeologis, juga digunakan
pada masa kebudayaan kontemporer, contohnya dapat disaksikan pada batik, seperti
hiasan segi tiga tumpal, parang rusak, hiasan kawung sisi awan, udan liris,
bahkan sidhomukti yang semula terdapat pada benda gerabah dan benda-benda
perunggu serta megalitik masa pra-sejarah. Kemudian diteruskan pada hiasan
candi-candi, lalu mengalami perkembangan dengan pencampuran unsure kebudayaan
Islam dan diteruskan dalam hasil kebudayaan Kontemporer.
e. Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan memiliki andil tersendiri dalam
penyebaran Islam di Indonesia, sehingga pendidikan dijadikan sebagai media yang
sangat ampuh dalam usaha menyebarluaskan agama Islam di Indonesia. Secara garis
besar lembaga pendidikan Islam di Indonesia terbagi menjadi tiga yakni, zaman
Kerajaan Islam, zaman Penajajahan dan zaman Kemerdekaan. Berikut penjelasannya
1) Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Pendidikan
Islam pada masa ini berpusat di istana, yang berfungsi sebagai tempat mudzakarah masalah-masalah ilmu
pengetahuan dan sebagai perpustakaan, selain itu juga istana dijadikan sebagai
pusat penerjemahan dan penyalinan kitab-kitab terutama kitab-kitab keislaman.
Mata pelajaran yang diberikan dilembaga-lembaga pendidikan Islam dibagi mejadi
dua tingkatan, yakni :
a) Tingkat dasar terdiri dari atas pelajaran membaca,
menulis, bahasa Arab, pengajian Al-Qur’an dan ibadah praktis
b) Tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu
fiqih, tasawuf, ilmu kalam dan lain sebagainya.
Pada
perkembagannya pusat pendidikan mulai dilakukan di luar istana, penamaan untuk
lembaga-lembaga pendidikan Islam di luar Istana berbeda-beda, di Minangkabau
lembaga pendidikan Islam disebut dengan surau.
[22] Lembaga
ini diharapkan dapat mendidik kader-kader ulama yang akan melakukan
pengembangan Islam selanjutnya di Minangkabau. Surau inilah yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang
lebih teratur dimasa berikutnya, murid-muridnya kemudia kembali ke tempat
masing-masing, mendirikan surau-surau sambil menyiarkan agama Islam.
Di
Jawa lembaga pendidikan Islam disebut dengan Pesantren. [23] Lembaga
pesantren dipimpin oleh seorang ulama atau kiai untuk tingkat lanjutan.
Kemajuan seorang penuntut sangat ditentukan oleh kerajinan, kesungguhan, dan
ketekunan masing-masing. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan budaya masyarakat Islam
Indonesia.
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Para walisongo penyebar agama Islam di
Jawa mengembangkan pesantren sebagai lembaga kaderisasi tenaga dakwah yang akan
meneruska perjuangan agama Islam. Para walisongo juga menjadi tenaga inti dalam
penyebaran agama Islam diberbagai daerah melalui lembaga pendidikan paesantren.
Adapun beberapa
contoh pesantren yang didirikan oleh para walisongo adalah pesantren Giri dan
pesantren Gresik. Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri sedangkan Pesantren
Gresik didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim.
Kurikulum dalam pesantren tidak
begitu jelas, tetapi dalam pelaksanaannya telah mengguankan metode belajar,
yakni sorogan dan bandungan. Sorogan adalah sisten pengajaran bersifat individual, biasanya bagi
murid pemula. Metode ini digunakan yang berlangsung dirumah-rumah,
masjid-masjid, dan langgar secara perorangan. Sedangkan metode bandungan (weton atau halaqah) adalah sekelompk santri mendengarkan seorang
guru membaca, menerjemahkan, menerangkan, mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab yang sering disebut dengan “kitab kuning” dengan cepat. Kiai atau Syaikh
tidak begitu memperhatikan apakah seorang santri mengangkap penjelasannya atau
tidak. Santri-santri senior biasanya memantu tugas-tugas Kaiai atau Syaikh,
mereka dipanggil Ustad. Ustad yang banyak pengalaman disebut dengan kiai muda.
2) Pendidikan Islam Zaman penjajahan
a) Pendidikan Islam zaman Belanda
Dengan
berkembangnya pemikiran dalam Islam diawal abad ke-20, persoalan administrasi
dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian beberapa kalangan atau
organisasi. Kurikulum mulai jelas, belajar untuk memahami, bukan sekedar
menghafal, ditekankan dan pengertian ditumbuhkan. Itulah yang dinamakan dengan
madrasah. Pada umumnya madrasah dibagi menjadi dua jenjang, yaitu tingkat dasar
yang dinamakan dengan Madrasah Ibtidaiyah dan tingkat lanjutan yang dinamakan
dengan Madrasah Tsanawiyah.
Eksistensi dari lembaga pendidikan
Islam pesantren dan Madrasah mengalami keterpurukan setelah Indonesia berada
dibawah kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda, hal ini dikarenakan colonial
Belanda tidak menginginkan umat Islam mengalami kemajuan, cara yang dilakukan
pemerintah Belanda adalah dengan cara mendirikan sekolah umum, dan lebih
menjurus kepada sekolah gereja. Pada tahun 1819 Van den Cappelen tahun 1819
merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu
pemerintah Belanda. Dalam surat edaranya kepada para Bupati berisi “ Dianggap
penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintahan yang menjamin
meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar mereka dapat
mentaati undang-undang dan hukum negara.”
Dari surat edaran di atas diketahui
bahwa Belanda menganggap pendidikan agama Islam yang diselenggrakan di
Pondok-pondok pesantren, Masjid, Mushala, dianggap tidak membantu pemerintah
Belanda. Para santri dianggap buta huruf karena tidak mampu menulis maupun
membaca huruf latin, padahal para santri menguasai huruf arab. Jelasnya
madrasah dan pesantren dianggap tidak berguna dan tingkatnya rendah, sehingga
disebut sekolah desa. Oleh sebab itu, Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum
ditiap kabupaten yang dimaksudkan untuk menandingi dan menyaingi madrasah,
pesantren, dan pengajian desa itu. [24]
Lembaga pendidikan Islam kembali
mendapatkan angin segar setelah Belanda
menerapkan kebijakan politik etis, yang memberikan pendidikan kepada pribumi
dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda,
inilah yang menjadi boomerang bagi Belanda, karena diluar perkiraan politik
estis mampu membuka mata pribumi untuk bisa terlepas dari pengaruh penjajahan
melalui pendidikan. Hal ini dikarenakan masyarakat pribumi yang belajar ke
Hijaz dan Mesir, banyak yang mendapatkan pengaruh dari luar, khusus dalam Islam
mendapatkan pengaruh ide Pan Islamisme.
b) Pendidikan Islam zaman penajajahan Jepang
Pada masa awalnya pemerintah Jepang seakan-akan
membela kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk
menarik dukungan rakyat Indonesia, pemerintah Jepang memperbolehkan
didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren yang terbebas dari pengawasan
Jepang. Adapun jalan yang ditempuh oleh pemerintah Jepang dalam menarik simpati
masyarakat Indonesia adalah dengan cara sebagai berikut:
1)
Mengangkat K.H
Hasyim Asyari dari Jombang sebagai kepala sumubu
2)
Pondok pesantren
yang besar mendapatkan kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang
3)
Sekolah-sekolah
negeri diberi pelajaran budi pekerti/agama
4)
Membentuk
barisan Hizbullah yang member latihan dasar kemiliteran pemuda Islam
(santri-santri) yang dipimpin oleh K.H Zainul Arifin
5)
Jepang
mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam dipimpin oleh K.H Wahid Hasyim,
Kahar Muzakkir dan Bung Hatta
6)
Ulama Islam
bekerja sama dengan pemimpin nasionalis mebentuk barisan pembela tanah air
(PETA)
7)
Umat Islam
mendirikan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), [25]
maksud dari pemerintah Jepang bersikap lembut dengan umat Islam adalah agar
kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan perang Jepang
pada perang Dunia ke-dua.
c) Pendidikan Zaman Kemerdekaan
Setelah merdeka, pendidikan Islam mulai mendapat
kedudukan yang sangat penting dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan
Islam setahap demi setahap dimajukan, istilah pesantren yang dulu hanya
mengajar agama di surau dan menolak
modernitas pada zaman colonial, sudah mulai beradaptasai dengan tuntutan zaman.
Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan madrasah dan sekolah umum, sehingga pemuda
Islam diberi banyak pilihan. Upaya ini merupakan usaha untuk menata diri
ditengah-tengah realita sosial modern dan kompleks. Pesantren juga telah lebih
berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi Islam. Sekolah agama termasuk
madrasah, ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang
berdasarkan UUD 1945. Madrasah sebagai sekolah terbagi menjadi tiga, yakni
1)
Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) setingkat SD lama belajar enam tahun
2)
Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN) setingkat SMP lama belajar tiga tahun
3)
Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) setingkat SMA lama belajar tiga tahun [26]
Sedangkan
untuk tingkatan lanjut, Islam di Indonesia telah memulainya dengan mendirikan
lembaga pendidikan tinggi Islam yang pertama (IMS) di Solo pad atahun 1939.
Kemudian pada tahun 1940 di Jakarta didirikan sebuah Sekolah Tinggi Islam, dan
setelah perpeindahannya ke Yogyakarta pad atahun 1948 namanya diubah menjadi
Universitas Islam Indonesia (UII). [27] Salah
satu Fakultas di UII berubah menjadi PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri). Dijakarta dibuka ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama), pada bulan Mei 1960
Departemen Agama menggabungkan PTAIN dengan ADIA menjadi IAIN.
f. Organisasi Politik
Tingginya peradaban umat Islam Indonesia, bisa juga
ditinjau dari segi organisasi. Banyak cendekiawan muslim Indonesia yang
mendirikan organisasi yang akan menjadi cikal bakal terbentuknya suatu partai
Islam besar di Indonesia. Beberapa organisasi Islam Indonesia telah memiliki
andil yang cukup besar terhadap proses pengembangan agama Islam, termasuk juga
dalam pembentukan budaya Islam dalam masyarakat luas.
Kemunculan
organisasi-organisasi Islam ini tidak terlepas dari kondisi yang dihadapi umat
muslim Indonesia pada saat itu, yang dihadapkan dengan suasana penuh dengan
penindasan dan tekanan akibat dari praktik penjajahan yang dilakukan oleh
bangsa asing, sehingga pada masa awal pementukannya organisasi ini berjuang
untuk melepaskan umat Islam pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya
dari belenggu penjajahan. Adapun beberapa nama dari organisasi Islam tersebut
adalah:
1) Jam’iyatul
Khair
Merupakan organisasi
Islam yang berdiri pada tanggal 17 Juli 1950 di Jakarta. Tokoh terkenal seperti
Sayyid Shihan bin Shihab. Organisasi ini
pada awal berdirinya memiliki aktivitas di bidang pembinaan pendidikan dasar
dan pengiriman pelajar k eTurki. Walaupun organisasi ini bersifat independen,
tetapi mayoritas anggotanya adalah orang Arab.
Jam’iyatul Khair pada
awalny merupakan satu-satunya organisasi
pendidikan yang menerapkan sistem pendidikan modern di Indonesia, dalam
hal pembaruan pendidikan, para guru didatangkan dari Tunisia, Sudan, Maroko,
Mesir dan Arab.
2) Syarikat
Islam (SI)
Syarikat Islam, pada awalnya
memiliki nama Syarikat Dagang Islam yang didirikan di Surakarta, 16 Oktober
1905, Senin Legi. Pendiri dari SDI ini adalah K.H Samanhoedi,[28] organisasi
ini didirikan dengan tujuan sebagai jawaban terhadap upaya imperialisme modern
yang menjadikan Indonesia sebagai market-pasar dan Raw Matterial Resources (sumber bahan mentah) industri penjajah
Barat.
Pada perkembangannya tahun 1912, SDI
berubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI) yang diprakarsai oleh Haji Oemar
Said Cokroaminoto, Abdul Muis, H. Agus Salim dll, awlanya SI merupakan
organisasi yang bergerak dibidang kegamaan, tetapi kemudian menjadi gerakan
politik. Dan pada saat itu, SI juga banyak bergerak dibidang dakwah Islam dan
sosial.
3)Muhammadiyah
Muhammadiyah merupakan organisasi
yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad
Dahlan [29]
atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo.
Adapaun tujuan dari Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dakwah Islamiyah dalam
arti yang seluas-luasanya yang mencakup keseluruh bidang kehidupan masyarakat,
seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan dakwah. Muhammadiyah banyak
memiliki sekolah formal, madrasah, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim
piatu, universitas yang cukup banyak menyebar diberbagai kota.
4. Nadhatul
Ulama (NU)
Nadhatul Ulama (NU) artinya Kebangkitan Ulama, [30]
adalah organisasi massa Islam yang didirikan oleh para ulama pesantren di bawah
pimpinan K.H Hasyim Asy’ari, di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Diantara
para tokoh ulama yang ikut mendirikan NU adalah K.H Wahab HasbullaH, K.H Bisri
Syamsuri, K.H Mas’hum Lasem dll.
Lapangan usaha NU meliputi bidang-bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial. NU memiliki pondok pesantren besar yang
menyebar di Indonesia, seperti pEsantren Tebuireng Jombang, Pesantren
Peterongan Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, Pesantren Lirboyo Kediri,
Pesantren Plosos Kediri, Pesantren Asembagus Situbondo, Pesantren Kajen Pati,
Pesantren Lasem Rembang,dll. Disamping pesantren pendidikan NU juga mendirikan
sekolah-sekolah formal seperti MI,MTs,MA, juga SD,SMP,SMA sampai Perguruan
Tinggi.
Dalam dunia perpolitikan, NU Pernah
terlibat setelah keluar dari partai politik MAYUMI (1955). Dalam pergerakan
Nasional untuk memperebutkan kemerdekaan Indonesia, peran NU cukup besar.
Bahkan diantara para tokoh NU ada yang diakui sebagai pahlawan Nasional seperti
K.H Hasyim Asy’ari, K.H Wahid Hasyim, K.H zainal Mustafa, K.D zainul Arifin
namun sekarang NU tidak ikut terlibat politik praktis.
C. Kesimpulan
Pembahasan mengenai peradaban Islam di Indonesia
begitu sangat luas, karena jika dilihat dari kacamata sejarah peradaban Islam
Indonesia tidak bisa ditinjau dari masa kekinian, namun hasus ditinjau juga
dari masa lampau. Islam yang datang ke Indonesia pada abad ke-7 hijriyah dan
mulai berkembang pada abad ke-13 M, menampakkan peradaban yang luar biasa dalam
perkembangannya.
Peradaban tersebut terlihat dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Islam, baik dari sistem birokrasi kerajaan,
bidang keilmuan, seni hias, corak arsitektur, lembaga pendidikan, serta pada
masa kontemporer peradaban tersebut bisa dilihat dengan banyaknya muncul organisasi-organisasi
yang bernafaskan Islam dan beberapa diantaranya berkembang menjadi partai besar
Islam yang diperhitungkan pada masanya.
Daftar Pustaka
Abdullah,
Taufik. 1998. Tradisi dan Kebangkitan
Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES
Amin, Samsul
Munir. 2014. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
Amzah
Azra, Azyumardi. 2013. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Perdana Media Grup
Buchori, Didin
Saefuddin. 2009. Sejarah Politik Islam. Jakarta:
Pustaka Intermasa
Noer, Delliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942.
Jakarta: LP3ES
Sunanto, Musyrifah.
2014. Sejarah Peradaban Islam Indonesia.
Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama
Suryanegara, Ahmad
Mansur. 2009. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semseta
Tjandrasasmita, Uka.
2009. Arkeologi Islam Nusantara.
Jakarta: KPG
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Mujamil Qomar.____.Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi.
Penerbit Erlangga
[1]
Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 8, penjelasan
mengenai masuknya Islam ke Indonesia juga terdapat dalam buku Didin Saefuddin
Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam,
(Jakarta: Pustaka Intermasa), hlm. 269-271, dalam buku ini dijelaskan bahwa
terdapat teori mengenai masuknya Islam ke Indonesia, yakni teori India, Arab,
Bangladesh dan Cina. Namun penulis
memilih untuk membahas mengenai pertentangan teori Arab dan teori Gujarat,
dengan acuan menggunakan buku Musyrifah Sunanto.
[2]
Teori yang dikemukakan oleh Prof. Buya Hamka disebut juga dengan Teori Arab,
sebenarnya sebelum Hamka sudah ada ahli yang mengungkpakan teori ini, yakni
Crawfrud (1820), Keyzer (1859), De Hollander (1861) dan Veth (1878). Lebih
lanjut Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia” pada tahun
1962, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Arab, bukan
melalui india. Juga bukan pula pada abad ke-11 M, melainkan pada abad pertama
Hijriyah atau bertepatan dengan abad ke-7 M. (Didin Saefuddin Buchori, 2009,
hlm. 269). Sebenarnya teori Arab ini merupakan bantahan terhadap Teori Gujarat
yang dikemukakan oleh Snouck Hourgronje, Snouck Hourgrounje merupakan seorang
Belanda yang ditugaskan untuk mempelajari kehidupan masyarakat Aceh, dari
catatan sejarah diketahui bahwa Aceh merupakan
wilayah yang anti Belanda, dan sangat aktif berjuang dalam mengusir penjajah
Belanda dari tanah rencong. Meskipun pada akhirnya Aceh berhasil ditaklukkan,
namun penaklukan tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah dan Aceh sangat
sulit untuk ditaklukkan, hal ini dikarenakan banyak masyarakat Aceh yang
menuntut Ilmu keislaman dan bahkan masih memiliki komunikasi dengan muslim
Arab, dari ilmu yang didapatkan Islam tidak membenarkan praktik penindasan satu
bangsa teradap bangsa lain. Berdasarkan pengalaman tersebut maka Snouck
Hourgrounje menyarankan agar pemerinta Belanda memutus hubungan antara muslim
di Indonesia dengan Muslim di Arab, salah satunya adalah dengan cara
mengeluarkan Teori Gujarat.
[3]
Taufik Abdullah, 1991, Sejarah Umat Islam
Indonesia, (Majelis Ulama Indonesia), hlm.39
[4]
Adapun nama-nama dari walisongo adalah Sunan Drajad, Sunan Gunung Jati, Sunan
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009, Api
Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Utama), hlm. 117
[5]
Penjelasan mengenai perkawinan antara para mubaligh dengan anak bangsawan
pribumi, bisa dilihat dalam buku Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG), hlm. 27, dijelaskan
bahwa Syekh Ngabdurrahman di Tuban (Jawa Timur) menikahi putri Aria Teja,
Maulana Ishak menikah dengan Putri Raja Blambangan dan menyiarkan agama Islam
di daerah tersebut.
[6]
Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 10
[7]
Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 10
[8]
Badri Yatim, 2000, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm.299
[9]
Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 409
[10]Samsul
Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban
Islam, hlm. 409
[11]
Hamzah Fansuri merupakan seorang cendekiawan ulama, sastrawan, dan
budayawan.Hamzah hidup di pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. Ia
berasal dari Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, sekarang kota kecil
di pantai Barat Sumatra antara Sibolga dan Singkel. Musyrifah Sunanto, 2014,
hlm. 181
[12]
Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang keturunan ulama, ayahnya bernama
Abdullah al-Sumatrani, dengan nama lengkap al-Arief Bilah al-Syaikh Syamsuddin
al-Sumatrani. Beliau belajar ilmu sufi kepada Syaikh Hamzah Fansuri dan pernah
juga belajar kepada Sunan Bonang di Jawa. Musyrifah Sunanto, 2014, hlm. 185
[13]
Nur Al-Din Muhammad bin Ali Hasanji al-Hamid (al-Humayd) al-Syafi’I
al-Ayydarusi al-Raniri dilaihrkan di
Ranir (modern: Randir), sebuah kota pelabuhan tua di panatai Gujarat India. Tahun
kelahirannya tidak diketahui, tetapi kemungkinan besar menjelang akhir abad
ke-16, (Azyumardi Azra, 2013, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abd XVII & VXIII, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup), hlm.210, beliau tiba di Aceh pada tahun 1637 M.
[14]
Memiliki nama lengkap Abd al-Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, lahir
di wilayah sinkil (modern:Singkel), diwilayah pantai barat Laut Aceh. Tahun
kelahirannya tidak diketahui, tetapi Rinkes setelah mengadakan kalkulasi ke
belakang dari saat kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh mneyarankan bahwa
penulisan tahun kelahiran Abdurrauf Singkel pada tahun 1024/1615. Azyumardi
Azra, 2013 hlm. 239
[15]
Syaikh Yusuf Al-Makassari memiliki nama lengkap Muhammad Yusuf bin AbdAllahAbu
al-Mahasin al-Taj al-Khalwati al-Maqassari, juga dikenal sebagai “Tuanta
Salamaka ri Gowa” (Guru Kami yang Agung dari Gowa), beliau dilahirkan pada
1036/1627. Azyumardi Azra, 2013 hlm. 271
[16]
Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah
Peradaban Islam, hlm. 414
[17]
Nama lengkap al-Palimbani adalah Abd al-Shamda bin Abd Allah al-Jawi
al-Palimbani, tetapi sumber-sumber Arab menamakannya dengan Sayid Abd al-Shamad
bin Abd al-Rahman al-Jawi. Beliau dilahirkan pada sekiar tahun 1116/1704 di
Palembang. Azyumardi Azra, 2013 hlm. 319
[18]
Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam
Nusantara, hlm. 239, ada beberapa alasan yang diungkapkan oleh Uka mengenai
pembangunan atap masjid yang berbetuk tumpang, pertama ditinjau dari segi
tekhnik yang disesuaikan dengan ekologi, yaitu dengan bangunan beratap tumpang
atau tingkat yang meudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan, dan tingkatan
atap diantaranya dengan bagian lowong yang merupakan tempat ventilasi yang
dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila hari panas. Ke-dua bentuk
bangunan beratap tingkat yang disebut meru, yang pada masa Hindu-Budha dianggap
sebagai bangunan suci tempat para dewa. Bentuknya yang kemudian diambil untuk
bangunan masjid merupakan faktor penting untuk menimbulkan daya tarik bagi
mereka yang melakukan peralihan agama Hindu-Budha ke agama Islam, sehingga
tidak menimbulkan kekagetan budaya (cultural
shock), terutama karena di dalam masjid diajarkan ketauhidan.
[19]
Soekmono, 1973, Pengantar Sejarah
Kebudyaan Islam, (Jakarta:Kanisius), hlm. 77
[20]
Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, hlm. 97
[21]
Uka Tjandrasasmita, 2009, Arkeologi Islam
Nusantara, hlm. 248
[22]
Mujamil Qomar, ____, Pesantren dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Penerbit
Erlangga), hlm.3
[23]
Nama lembaga pendidikan pesantren tidak berasal dari tradisi Timur Tengah
tetapi dari nama lembaga sebelum Islam. Pesantren berasal dari bahasa Tamil santri yang berarti guru ngaji.
Sementara itu C.C Berg berpendapat bahwa :pesantren” berasal dari kata India Shastri berarti orang yang mengetahui
buku-buku suci agama hindu. Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, hlm.110
[24]
Sampai awal abad ke-20 M, masyrakat pribumi umumnya buta huruf Latin. Mereka
hanya mengenal huruf Arab Al-qur’an, huruf Arab Melayu atau huruf daerah. Hal
ini terjadi sebagai dampak betapa kuatnya pengaruh ulama dan pesantren sebagai
lembaga pencerdas bangsa. Lebih lanjut dijelaskan kemahsyuran dan daya tarik
nasiona lyang melekat pada sebuah pesantren, sangat bergantung pada reputasi
gurunya. Ajaran kejuangan pesantren telah meniadakan rasa etnoregional dan
menjadikan Islam sebagai symbol gerakan national. Dengan kata lain, pengaruh
ajaran ulama dalam lembaga pendidikan Islam mengubah jiwa sukuisme atau rasisme
menjadi nasionalisme. Ahmad Mansyur Suryanegara, 2009, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka Utama), hlm.302, jadi bisa
dimengerti jika pemerintah Belanda ingin menghentikan eksistensi dari pesantren
dan madrasah, dengan mendirikan sekolah-sekolah umum.
[25]
Pada bulan September 1917 , di Surabaya didirikan Majelis Islam A’la Indonesia
(MIAI), yang disponsori oleh Muhammadiyah dan NU. MIAI merupakan ferderasi
organisasi Islam dan bercirikan semangat non kooperatif teradap pemerintah
penjajah Belanda. Pada masa awal pendudukan Jepang (1942), MIAI mencoba untuk
menjadi jembatan antara pemerintah militer Jepang dengan umat Islam. Pada bulan
November 1943, MIAI dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi). Dengan tujuan utama untuk memperkuat kesatuan antar semua
organisasi Islam, disamping itu juga membantu pemerintah militer Jepang menuju
terciptanya Asia Timur Raya. (Didin Saefuddin Buchor, 2009, Sejarah Politik Islam, hlm. 32
[26]
Musyrifah Sunanto, 2014, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, hlm. 192
[27]
Taufik Abdullah ed, 1988, Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, (Jakarta:LP3ES), hlm. 421
[28]
Haji Samanhoedi dilahirkan di desa Sondokoro (Karangayar, Solo), sebagai
seorang anak pedagang batik yang beranama Haji Mohammad Zen. Selain Haji
Samanhoedi pendiri SDI adalah M.Asmodimedjo, M.Kertotaruno, M.Hadji AbdulRAJAK.
(Delian Noer, 1996, Gerakan Modern Islam
Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP3ES), hlm.119
[29]
K.H Ahmad Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad
Darwis, merupakan seorang anak dari K.H Abubakar bin K. Sulaiman, Khatib di
Masjid Sultan di kota itu. Ibunya adalah anak H. Ibrahim, penghulu. Setelah ia
menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahu, fiqih dan tafsir di Yogya dan
sekitarnya, ia pergi ke Mekkah tahun 1890 dimana ia belajar selama setahun.
Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Sekitar tahun 1903 ia kembali
mengunjungi tanah suci dan menetap disana selama dua tahun. Delian Noer, 1996, Gerakan Modern Islam Indonesia 1900-1942,hlm.85
[30]
Apabila diperhatikan, nama Nahdatul Ulama
yang berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam
saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan perjuangan nasional.
Pengunaan nama Nahdaul Ulama mempertegas
pula nama Perserikatan Ulama yang
dibangun oleh K.H Abdulhalim yang memiliki kesamaan anutan sebagai penganut
Ahli Sunnah wal Djama’ah dan bermahzab Syafi’i. Ahmad Mansyur Suryanegara,
2009, Api Sejarah, hlm. 453
3 komentar:
sangat membantu! terimakasih banyak
Terima kasih juga, sdah berkunjung ke blog saya..
Posting Komentar