SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 03 Januari 2015

Epistimologi Ilmu Islam dan Barat

A. Pendahuluan       
Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosopia, yang merupakan gabungan dari kata philia (cinta) dan Sophia (kebijaksanaan), jadi secara harfiah filsafat bisa diartikan sebagai pecinta kebijaksanaan. [1] Filsafat sendiri secara umum, bisa dibagi menjadi tiga kelompok yakni ontology, epistimologi dan aksiologi. Untuk makalah kali ini akan dibatasi pada pembahasan mengenai epistimologi sebagai cabang dari filsafat.
Epistimologi sendiri membahas tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Ilmu atau knowledge merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Namun, dalam pemahaman mengenai sumber dan cara memperoleh ilmu ini terdapat perbedaan, sehingga nantinya  menimbulkan ilmu yang bersifat agama dan ilmu yang sifatnya duniawi.
Perbedaan ini disebabkan oleh substansi dari ilmu pengetahuan duniawi, yang diidentikkan kepada ilmu pengetahuan barat-modern, meskipun peradaban barat ini menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun disadari atau tidak ilmu ini juga menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia khususnya terhadap keyakinan umat Islam. Karena ilmu barat-sekuler, tidak dibangun di atas wahyu dan kepercayaan agama, namun berdasarkan tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional.[2]
Tentu hal di atas, sangat bertolak belakang dengan konsep ilmu yang berlandaskan agama, khusunya agama Islam. Agama Islam merupakan agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Banyak ayat Al-Qur’an dan Hadits nabi yang memuji dan memuliakan ilmu serta mengajarkan umatnya untuk menuntut ilmu ke mana saja ia mampu melakukannya dan kapan saja selama hidup di dunia. Seluruh bidang keilmuan boleh dijamah dan dieksplorasi, kecuali Zat Tuhan sendiri yang memang tidak mungkin dijangkau oleh kemampuan manusia, dalam pandangan Islam semua ciptaan Tuhan patut diteliti dan dikaji secara seksama karena semua ciptaan Tuhan adalah tanda-tanda (ayat) Tuhan sendiri. Sehingga diharapkan dengan mengkaji ayat Tuhan tersebut seorang Ilmuwan Muslim akan bertambah keyakinan dan ketakwaannya kepada Allah.[3]
Hal ini bisa kita telusuri dari sejarah umat Islam terdahulu, dimulai dari perkembangan ilmu pada masa Nabi Muhammad SAW, hingga mengalami puncak kemajuan keilmuan pada masa dinasti Abbasiyah, kemajuan ilmu ini bukan berarti bahwa umat Islam meninggalkan keyakinannya sebagai seorang muslim, karena tujuan utama ilmu dalam Islam adalah untuk mengenal Allah SWT. Inilah hal yang membedakan antara ilmu Islam dan ilmu barat-sekuler. Kemajuan yang dialami mencakup seluruh bidang keilmuan, baik yang sifatnya agama seperti ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu qalam, serta berkembang pula keilmuan yang bersifat duniawai seperti ilmu filsafat, ilmu kedokteran, matematika, geografi, sejarah dll. Kemajuan keilmuan ini hanya sebagian kecil bukti bahwa agama Islam tidak hanya menekankan pada aspek ilmu keagamaan tetapi juga aspek ilmu keduniaan.
Kemajuan ilmu yang dialami oleh umat Islam pada saat itu, justru berbanding terbalik dengan kondisi yang dialami oleh bangsa barat. Dimana kondisi keilmuan mereka cenderung tertinggal jauh dibandingkan dengan umat Islam, hal ini dikarenakan segala aspek kehidupan manusia diatur oleh pihak gereja atau kaum keagamaan, sehingga penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan yang bertolak belakang dengan doktrin gereja dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang.
Kondisi di atas, dalam sejarah, disebut sebagai masa the dark ages of Europe, setelah masa ini berakhir para ilmuwan kemudian memperkenalkan filsafat ilmu sekuler, yang menolak keberadaan dan kehadiran Tuhan, Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang menganggu kebebasan manusia untuk berfikir. Dengan konsep seperti ini bangsa barat justru mengalami kemajuan yang pesat, tentu konsep seperti ini tidak bisa diterima oleh kalangan umat Islam.
Dari beberapa uraian di atas, maka bisa disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara epistimologi ilmu pengetahuan Islam dan barat, yakni konsep mengenai keikutsertaan “Tuhan” dalam ilmu pengetahuan, sehingga dalam kasus ini, penulis akan mencoba untuk lebih mengkaji perbedaan antara epistimologi ilmu Islam dan epistimologi ilmu barat, yang akan dituangkan ke dalam makalah yang berjudul “Epistimologi ilmu Islam dan Barat”.

B. Pembahasan
Epistemologi merupakan cabang dari filsafat, istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 untuk membedakan dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology. Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut epistemologi dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan (theory of knowledge). [4] Adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana cara manusia memperoleh ilmu tersebut. Sesuai dengan judul makalah ini, maka terlebih dahulu akan dibedakan sumber ilmu versi Islam dan sumber ilmu versi Barat.
a. Sumber pengetahuan menurut Islam
            Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT, merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak ada segala sesuatupun yang luput dari pengawasannya. Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa umat manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak perlu bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah menjadi kepunyaan Allah SWT, justru Islam mengajarkan dengan mengakji ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT. Tentu hal ini berbeda kasusnya dengan kondisi pada eropa pada abad pertengahan, yang terlalu tunduk dengan doktrin gereja, sehingga ilmu tidak mengalami perkembangan.
            Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu Islam yang diwakili oleh epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah Al-Qur’an, hadits, indera, akal dan hati. Berikut akan dijelaskan kedudukan masing-masing sumber tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Oleh karena itu, Al-Qur’an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur’an sendiri ternyata memiliki keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya diperuntukkan bagi satu zaman tertentu. Dengan keistimewaan tersebut Al-Qur’an mampu memecahkan problem kemanusiaan dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dll.[5]

2. Hadist
Al-qur’an dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran islam, serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur’an merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan hadits merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman isi Al-Qur’an.[6]

3. Pancaindera
            Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris. Ilmu indrawi ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah kemudian dihasilkan ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, apakah indra telah cukup memadai untuk dijadikan sebagai patokan sumber ilmu?, mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
            Pertanyaan di atas bisa dijawab melalui pernyataan imam Al-Ghazali, Al-Ghazali memasukkan metode inderawi sebagai cara yang dilakukan manusia untuk memperoleh ilmu. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa metode indrawi ini sangat sederhana dan mudah dipahami sehingga ilmu yang didapatkanpun sangat sederhana. Dari persoalan kesederhanaan dan penampakan lahiriah inilah Al-Ghazali berasumsi bahwa ilmu yang diperoleh secara indrawi merupakan ilmu yang penuh dengan tipu daya. Hal ini dikarenakan pengalaman membuktikan bahwa ilmu indrawi tunduk di bawah ilusi dan kesesatan. [7]
            Penjelasan mengenai tipu daya yang dimaksudkan  oleh Al-Ghazali ini terdapat dalam karyanya yang berjudul Mi’yar Al-Ilm, terutama dalam pembahasan mengenai ilmu, sebagai contoh Al-Ghazali mengemukakan tentang indera penglihatan atau mata, indra mata menyaksikan bahwa matahari ukurannya kecil dan bintang-bintang tampak seakan-seakan mutiara-mutiara yang tersebar di atas hamparan kebiruan. Akan tetapi, akal membuktikan bahwa matahari lebih besar daripada bumi dan bintang-bintang juga lebih besar daripada yang tampak oleh mata kita.[8]
            Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan. Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam penglihatannya, yang jauh tampak dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang bergerak tampak diam. Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min Adh-Dhalal, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan hal yang real.[9]
            Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum sampai pada ilmu yang hakiki.

4. Akal
            Di samping pancaindera yang menjadi sumber ilmu pengetahuan, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu. Jika pengetahuan melalui pancaindera belum memadai untuk dijadikan acuan mengetahui sesuatu, maka diperlukan bantuan alat atau sumber lain untuk pengetahuan kita tentang sesuatu, alat tersebut adalah akal. Dalam pandangan ilmu barat ilmu yang berdasarkan akal disebut dengan rasionalisme.
            Akal menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan yang sempuran dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia, sekalipun fisiknya lebih kuat daripada manusia. Kedudukan akal seperti seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan membedakan), daya akal dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik memperoleh kekuatan. Jiwa (roh) bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang menyinari seluruh tubuh.  Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa akal lebih patut disebut sebagai cahaya daripada indera.[10]
            Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses dan mengembangkan ilmu, sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya gerak dan perasaan. Akal adalah alat untuk berfikir guna menghasilkan ilmu sehingga dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. Indera adalah abdi dan pengikut setia akal. Indera ini dipengaruhi oleh keanekaragaman fenomena alam, tempat dan waktu, dengan kemajemukan kebaikan dan keburukan, kesalehan dan kemaksiatan. Jelaslah bahwa indera dipengaruhi oleh kehidupan duniawi, yang juga berpengaruh pada tujuan penggunaan akal.
            Dalam kaitannya dengan ilmu, akal dan indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal dalam mengolah rangsangan inderawi merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal pada perkembangannya juga belum mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang sifatnya nyata sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal.

5. Qalb (Hati)
            Terminologi qalb (hati) merupakan istilah yang sering digunakan oleh Al-Gahzali. Dalam pandangan Al-Ghazali qalb memiliki dua pengertian, yakni pertama qalb didefinisikan sebagai daging yang bersuhu panas berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam isinya ada rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat melahirkan jiwa yang bersifat hewani. Makna ke-dua adalah sangat lembut, pembimbing rohaniyah yang memiliki dengan kalbu yang berupa jasmani itu ketergantungan kepada anggota-anggota badan dan sifat-sifat yang disifati, kelemah lembutan itulah hakikat manusia yang mengerti, yang alim, penceramah, pencari ilmu, pahala, dan ganjaran. [11]
Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan esensi manusia serta sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan alat qalbu lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq), yang pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql al-mustafad”.[12]
Al-Ghazali memandang bahwa kedudukan dzawq lebih tinggi daripada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi ilmu Al-Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang telah berhasil membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak menemukan dasar yang membuatnya percaya pada akal. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu memahami pengalaman-pengalaman non-inderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra sensory perception) termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.[13]
Sehingga pengalaman penyelesaian akhir tentang keraguan terhadap pancaindera dan akal pada diri Al-Ghazali, ditemukan lewat nur dari Allah, yang mebuatnya yakin bahwa dengan dzawq inilah ilmu yang betul-betul diyakini ini diperoleh. Pengalaman inilah yang meyebabkan Al-Ghazali menempatkan adz-dzawq di atas akal. Akal dibatasi pada kegiatan argumentasi dan abstraksi, sedangkan adz-dzawq menerima ilham dari Tuhan.

b. Sumber pengetahuan ilmu Barat
Dalam sejarah filsafat, Plato dan Aristotels adalah dua filsuf yang memiliki pandangan yang berbeda terkait sumber pengetahuan. Filsafat Plato disebut sebagai seorang yang memiliki pandangan rasionalisme. Tokoh rasionalisme ini berpandangan bahwa sumber pengetahuan itu adalah rasio, dengan kata lain rasionalisme menempatkan posisi rasio (akal), sebagai sumber terpercaya dan utama bagi pengetahuan. Kaum rasionalitas percaya bahwa proses pemikiran abstrak (rasional) dapat mencapai pengetahuan dan kebenaran fundamental yang tidak dapat disangkal tentang apa yang ada “tentang realitas”dan strukturnya serta tentang alam semesta pada umumnya. [14] Masih menurut kaum rasionalis, realitas dan beberapa kebenaran tentang realitas dapat dicapai tanpa tergantung pada pengamatan (pengalaman) atau tanpa penggunaan metode empiris. Karena itu pengetahuan seperti ini sering disebut sebagai pengetahuan a priori (a=dari dan prior=yang mendahului), berarti ilmu tidak tergantung pengalaman. Jadi pengetahuan a priori, artinya pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui pengalaman.
Sementara itu, Aristoteles memiliki pandangan yang berbeda terhadap pandangan Plato, meskipun Plato merupakan gurunya, Aristoteles memiliki pandangan filsafat empirisme. Tokoh empirisme ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan atas metode empirisme eksperimental, sehingga kebenarannya dapat dibuktikan. Empirisme dalam ilmu pengetahuan ini dalam perkembangannya berkembang menjadi aliran positivisme, yang merumuskan perbedaan antara ilmu pengetahuan (sience) dengan non ilmu. [15] Berdasarkan uraian mengenai sumber ilmu pengetahuan menurut Plato dan Aristoteles, terlihat bahwa Plato dan Aristoteles hanya menonjolkan satu sumber saja, Plato dengan akalnya (rasio) dan Aristoteles dengan pengalamannya (empiris). Karakteristik ini bahkan terus terjaga hingga munculnya sains modern.
Secara lebih jelas berikut akan disajikan karakteristik dari epistimologi ilmu barat. Pertama, objek kajian dalam epistimologi sains modern (ilmu barat) hanya terbatas pada realitas-realitas empirk indriawi di dunia fisik-material, bahkan realitas indriawi empirik itu dipandang sebagai realitas independen yang keberadaannya sama sekali terpisah dari tingkat realitas yang lebih tinggi, yakni realitas immaterial-nonfisik yang berada di dunia metafisik dan Tuhan. Ke-dua, pancaindra (utamanya) dan akal atau intelek (rasio) merupakan alat atau sumber pengetahuan, mungkin karena peran akal dalam epistimologi ilmu barat bukan sebagai alat untuk menangkap realitas (metafisk), maka tidaklah keliru kalau kemudian dikatakan bahwa pada dasarnya epistimologi barat  hanya lebih mengapresiasi pancaindera sebagai alat atau sumber ilmu pengetahuan yang utama dan akal menjadi sumber nomor dua. Ke-tiga, ilmu barat dibangun atas metode tunggal yang sekarang popular dengan sebutan metode ilmiah-positivisme sebagai landasan filosofisnya, yang hanya mengakui kebenaran ilmiah yang dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.[16] Jika ilmu tersebut bersifat nonempiris-metafisik atau tidak bisa dibuktikan secara empiris maka status keilmiahannya ditolak.
Coba kita bandingkan epistimologi barat tersebut dengan epistimologi Islam, dalam hal ini epistimologi Imam Al-Ghazali, terlihat bahwa sumber ilmu pengetahuan menurut Islam lebih luas cakupannya tidak hanya berdasarkan akal ataupun pengalaman indera saja yang sama-sama memiliki keterbatasan, akan tetapi pengalaman indera ini disempurnakan  oleh akal (rasio) dan pada akhirnya akal juga tidak mampu menjelaskan  hal-hal yang bersifat metafisika, sehingga disinilah hati memiliki peranan penting, untuk menjelaskan hal tersebut berdasarkan ilham dan wahyu (Al-Qur’an). Jadi tidaklah mengherankan jika filsafat rasionalismenya Plato dan empirismenya Aristoteles tidak mampu menjangkau pemahaman mengenai ilmu yang sifatnya metafisika, karena ilmu metafisika hanya mampu dipahami melalui ilmu yang bersumber dari hati melalui ilham.

b. Epistimologi Barat dalam pandangan Islam
            Dari penjelasan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa epistimologi ilmu Islam dan ilmu Barat memiliki perbedaan yang mencolok, epsitimologi ilmu Barat secara garis besar bersumber pada akal (rasionalisme) dan pengalaman (empirisme) yang nantinya berkembang menjadi aliran positivisme, sedangkan epistimologi ilmu islam tanpa menapikkan akal dan pengalaman sebagai sumber ilmu pengetahuan, namun yang terpenting dan yang paling utama adalah menjadikan wahyu sebagai sumber primernya. Wahyu untuk nabi dan Ilham untuk manusia pada umunya bersumber dari hati. Hal inilah yang tidak mendapatkan perhatian bagi kelompok positivisme dan rasionalisme.
            Karena terlalu mendewakan akal dan indera sebagai sumber ilmu, tanpa memperdulikan wahyu  mengakibatkan pikiran, waktu dan tenaga yang luar biasa besarnya dicurahkan untuk mencari asal-usul semesta alam, yang sifatnya rasional spekulatif dan tidak membawa dampak positif besar bagi kehidupan manusia, bahkan ilmu yang disebutkan sebagai sience ini bisa meruntuhkan keyakinan agama.
            Misalkan dalam masalah ilmu biologi dan ilmu sejarah, pada umunya tokoh agama hanya berpegang pada tekstual yang ada dalam kitab sebagai senjata untuk memerangi sains modern, melalui teori Darwin, ilmu sekuler ini menyatakan bahwa manusia berasal dari sesosok primata yang berevolusi menjadi manusia seutuhnya.[17] Tentu teori ini sangat bertentangan dengan ajaran dan konsep dasar Islam tentang penciptaan manusia.
Ilmu sekuler ini hanya mempelajari manusia berdasarkan bentuk fisik saja, karena fisik bisa terlihat dan dirasakan oleh indera sedangkan konsep ruh tidak bisa dijelaskan, aliran positivisme dan rasionalisme ini tidak mampu mencapai dan menjelaskan konsep ruh karena epsitimologi ilmu mereka memiliki keterbatasan yang sangat jelas hanya berpegang pada indera dan akal saja, sedangkan urusan ruh bukan termasuk ke dalam ilmu pengetahuan karena bersifat metafisika, sedangkan untuk urusan ilmu metafisika hanya bisa ditelusuri dari epistimologi yang bersumber pada hati. Dengan demikian yang mereka teliti hanyalah unsur fisik manusia, yaitu unsur daging dan tulang. Karena yang tersisa hanya tulang belulang, maka yang diteliti sebenarnya adalah “sejarah tulang manusia” bukan “sejarah manusia”. [18]
Charles Darwin, kemudian menyimpulkan bahwa Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal mula spesies bukan berasl dari Tuhan, tetapi dari “adaptasi kepada lingkungan”. Menurutnya Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua spesies yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Spesies menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam. Pandangan dari Darwin ini mendapatkan sambutan luar biasa dari Karl Marx, Marx yang pernah mengatakan bahwa agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh bahkan agama merupakan candu untuk rakyat.[19] Dari pernyataan ini bisa dilihat betapa kuatnya penolakan yang dilakukan oleh golongan ilmuwan barat-sekuler tentang keberadaan Tuhan.            
Masih berkaitan dengan teori Charles Darwin, Islam tidak berpandangan demikian, dalam pandangan Islam Allah lah yang menciptakan manusia, fase sejarah terpenting umat manusia adalah saat berada di alam arwah dan membuat ikatan perjanjian dengan Allah SWT. Jadi bukan hanya sekedar pemahaman mengenai bentuk fisik saja, tanpa memperdulikan tujuan diciptakannya manusia, yakni mengenal Allah SWT dan beribadah kepadanya. Jadi cara pandang sekuler dan epistemologi yang menolak wahyu sebagai sumber ilmu menghasilkan ilmu pengetahuan tentang sejarah manusia yang merusak manusia itu sendiri.[20]
            Epistimilogi ilmu barat yang di dapatkan melalui kebebasan berfikir sebebas-bebasnya tanpa memperdulikan lagi wahyu, sangat bertolak belakang dengan pandangan Islam yang mengutamakan wahyu, karena akal dan indera memiliki keterbatasan. Sebenarnya untuk urusan agama, Allah telah mempersiapkan petunjuknya dalam Al-Qur’an sehingga tidak akan membiarkan manusia mempergunakan akal tanpa batas dan melanggar apa yang telah digariskan oleh wahyu. Kemudian mengenai syari’at, Allah telah menjelaskan pokok-pokok (ushlul) sehingga tinggal mempergunakan akal sehat untuk beritjihad demi meperoleh pengetahuan tentunya itjihad ini tak lepas dari tuntunan Al-Qur’an. [21]


 C. Kesimpulan
            Epistemologi merupakan cabang dari filsafat, istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854, adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana cara manusia memperoleh ilmu tersebut. Dalam prakteknya terdapat perbedaan pemahaman mengenai epistimologi ini, yaitu perbedaan epistimologi antara ilmu Islam dan ilmu Barat.
            Epsitimologi ilmu Islam, khususnya epistimologi ilmu Al-Ghazali, bersumber dari Al-Qur’an sebagai sumber primer, kemudian hadits, indra, akal dan qalb (hati), sedangkan epistimologi ilmu barat hanya condong kepada pendewaan terhadap indra (empirisme) yang nantinya akan berkembang menjadi aliran postivisme dan akal (rasio) atau paham rasionalisme. Inilah yang membedakan antara epistimologi Islam dan epistimologi ilmu Barat.
           

Daftar Pustaka
At-Thawil Taufiq, 2013, Agama dan Filsafat, penerjemah Imam Ahmad Ibnu Nizar,
Madiun: Al-Furqon
Husaini, Adian,dkk, 2013, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam, Jakarta: Gema
Insani
Kartanegara, Mulyadi, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, Bandung: Penerbit Mizan
Lubis, Akhyar Yusuf, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shafa, Yogyakarta: Pustaka pelajar
Mustofa, A, 1997, Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia
Solihin, 2001, Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, Bandung:
CV Pustaka Setia
Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern,
Bandung: Penerbit Pustaka Setia




[1] Solihin, 2007, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 13-14
[2] Adrian Husaini, et.al, Filsafat Ilmu Persfektif Barat dan Islam, (Jakarta: Gema Insani), hlm. 1
[3] Mulyadhi Kartanegara, 2003, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan), hlm. 132
[4] Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada), hlm.31
[5] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 93
[6] Op.Cit, Adrian Husaini, hlm.99
[7] Op. Cit, Solihin, 2001, Epistimologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka Setia Bandung), hlm. 41   
[8] Keraguan Al-Ghazali terhadap indra bisa dilihat pada buku, A.H Mustofa, 1997, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia), hlm.224, Al-Ghazali menyatakan bahwa “sikap skeptic yang menimpa diriku dan yang berlangsung lama, telah berakhir dengan suatu keadaan, dimana diriku tidak mempercayai kepada pengetahuan indrawi, bagaimana pengetahuan itu bisa diterima. Seperti misalnya penglihatan sebagai indera yang kuat. Ketika engkau melihat bayangan di sangkarnya diam, tidak bergerak. Tetapi dengan eksperimen dan analisa, sesudah beberapa saat, engkau melihat bayangan itu bergerak, meskipun tidak sekaligus, melainkan perlajan-lahan sedikit demi sedikit, sehingga diketahui sebenarnya bayangan itu tidak mengenal diam. Demikian oula ketika engkau melihat bintang, maka dikira ia kecil sebesar uang dinar. Tetapi bukti yang sebenarnya menunjukkan bahwa bintang itu lebih besar daripada bumi.”  
[9] Ibid,  Solihin,  hlm. 43
[10] Op. Cit, Mulyadhi Kertanegara, hlm. 21
[11] Op. Cit, Adrian Husaini, hlm. 107
[12] Op, Cit. Solihin, 2001, hlm. 46
[13] Op, Cit, Mulyadi Kertanegara, hlm. 28
[14] Op. Cit. Akhyar Yusuf Lubis, hlm. 33
[15] Op. Cit,Akhyar Yusuf Lubis, hlm. 33
[16] Muniron, 2011, Epistimologi Ikhwan As-Shaffa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),  hlm. 3
[17] Taufiq At-Thawil, 2013, Agama dan Filsafat (Terjemahan Imam Ahmad Ibnu Nizar), (Madiun: Al-Furqon), hlm. 268
[18] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[19] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 9
[20] Op. Cit, Adrian Husaini, et.al, hlm. 45
[21] Op. Cit, Taufiq At-Thawil, hlm. 141

Tidak ada komentar: