A. PENDAHULUAN
Tampilnya
Muawiyah sebagai pemimpin baru umat Islam menggantikan Hasan bin Ali,
menandakan mulainya era baru dalam perjalanan sejarah Islam, tidak dapat
dipungkiri bahwa pergantian pimpinan ini berdampak terhadap perubahan yang
terjadi di dalam sistem pemerintahan dari yang sifatnya demokratis menjadi
Monarki (kerajaan), sistem Monarki ini menganut politik dinasti atau kekuasaan
diserahkan secara turun-temurun, sehingga zaman ini lebih dikenal dengan
sebutan Islam pada masa dinasti bani Ummayah.
Pada perkembangannya dinasti Ummayah
telah banyak memberikan sumbangsih terhadap kemajuan dunia Islam di berbagai
bidang, baik di bidang ilmu pengetahuan, sastra, seni arsitektur dll, dan tak
kalah penting Islam pada masa ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia
hingga ke benua Eropa. Namun, sayangnya semua prestasi gemilang yang telah
dicapai oleh dinasti Ummayah, pada akhirnya mengalami kemunduran yang drastis
sehingga dipastikan keruntuhan dinasti Ummayah tinggal menunggu waktu yang
tepat.
Terlebih pada masa kemundurannya
dinasti Ummayah mendapatkan rong-rongan dahsyat dari golongan umat Islam yang
tidak puas dengan kepemimpinan para khalifah dinasti Ummayah, golongan ini
mengklaim dirinya berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, tepatnya keturunan
dari paman baginda Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Abbas, faktor inilah yang menjadi
alasan mereka untuk menamakan diri sebagai golongan Abbasiyah. Golongan ini
beranggapan bahwa mereka lebih layak mendapatkan posisi khalifah karena memiliki ikatan darah dengan Nabi Muhammad SAW,
bukan dinasti Ummayah.
Ketidakpuasan golongan Abbasiyah ini
ditunjukkan melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin
Ali Al Abbasi dengan tujuan untuk menghancurkan dinasti Ummayah, pada akhirnya
propaganda-propaganda ini menuai hasil posistif yang nantinya membawa dinasti
Ummayah menuju jurang kehancuran dan menempatkan dinasti Abbasiyah ke pucuk
pimpinan umat Islam. Pergantian kepemimpinan dari dinasti Ummayah ke dinasti
Abbasiyah lagi-lagi berpengaruh terhadap perubahan konsep kepemimpin dalam
pemerintahan Islam. Memang ke-duanya sama-sama menggunakan embel-embel dinasti
di dalam sistem pemerintahan, tetapi ada perbedaan yang sangat mendasar
diantara ke-duanya, perbedaan tersebut terletak pada konsep Zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang
Allah dimuka bumi) yang dicetuskan oleh Abu Ja’far al Manshur. Maknanya adalah
bahwa kekuasaan khalifah berasal dari mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat.
Memang pernyataan ini merupakan cara dari dinasti Abbasiyah untuk melegimitasi
kekuasaannya, dengan menganggap bahwa kekuasaannya dipandang suci dan mutlak
harus dipatuhi oleh umat Islam. [1]Meski
terlihat otoriter, akan tetapi sumbangan dinasti Abbasiyah dalam dunia Islam
sangatlah besar. Sehingga Islam sempat mengalami masa keemasan diberbagai
bidang pada zamannya.
B. Sejarah Dinasti Abbasiyah
Daulah
Abbasiyah berdiri selama lima abad, dimulai dari tahun 132 H (750 M) - 656 H
(1258 M), dengan periode selama itu sangatlah cukup bagi dinasti Abbasiyah
untuk membangun kekuatan besar dan menjelma menjadi penguasa Islam yang
disegani. Kebesaran dan keagungan
dinasti Abasiyah digambarkan sebagai salah satu daulah besar yang telah berjasa
memimpin dunia dengan corak politik yang berwarnakan keagamaan dan kekuasaan.
Semua orang-orang pilihan dan orang-orang terbaik tunduk dibawah naungannya
berdasarkan semangat keagamaan, sementara rakyatpun patuh dengan senang hati
atau karena takut. Selain itu dari segi peradaban dinasti Abbasiyah adalah
Negara yang sarat akan kebaikan, pusat pengetahuan, sentral kesusastraan,
menara keagamaan, negeri bertabur kemajuan, keamanan terpelihara serta tapal
yang batas terjaga. [1]
Berbagai kegemilangan prestasi yang
telah diraih oleh dinasti Abbasiyah mengukir tinta emas tersendiri bagi
kemajuan Islam pada zaman itu. Tetapi perlu diketahui bahwa semua kegemilangan
tersebut tidak serta merta muncul melainkan melalui proses yang panjang. Kita
ingat bahwa kemunculan Dinasti Abbasiyah ke panggung perpolitikan Islam
disebabkan oleh ketidakpuasan yang dirasakan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) yang
didukung oleh bangsa Persia terhadap penguasa sebelumnya yaitu dinasti Ummayah
(Ammawi), ketidakpuasan ini ditunjukkan melalui propaganda-propaganda yang pertamakali
dilakukan oleh Al-Imam Muhammad bin Ali
yang merupakan peletak pondasi dasar bagi berdirinya dinasti Abbasiyah.
Dalam misi propagandanya Al-Imam
Muhammad bin Ali lebih memilih untuk memfokuskan ke tiga wilayah yang
diprediksi akan mendukung perjuangannya, wilayah-wilayah tersebut adalah
Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Lalu pertanyaannya adalah apakah wilayah-wilayah
lainnya di jazirah Arab sama sekali tidak cocok untuk dijadikan markas untuk
kepentingan dinasti Abbasiyah?, jawabannya akan terlihat dalam gambaran
masyarakat penduduk diwilayah Islam menurut Al Imam Muhammad, menurutnya Kota
Humaimah merupakan tempat bermukimnya keluarga
Bani Hasyim (termasuk Al-Imam Muhammad bin Ali), baik dari kalangan pendukung
Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Selanjutnya Kufah dan sekitarnya adalah
kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu bergolak dan mendapatkan
tekanan dari penguasa saat itu (dinasti Ummayah), sedangkan Basrah adalah
pendukung Usman, sementara Jazirah adalah kelompok Hauriyyah yakni kaum
Khawarij dan orang-orang dungu bagai keledai liar, mereka adalah kaum muslimin
yang berakhlak Nasrani. Kemudian penduduk Syam sebagai orang yang tidak tahu
apa-apa selain Muawiyah dan hanya taat kepada Bani Ummayah, selanjutnya
penduduk Mekah dan Madinah adalah orang-orang yang fanatik terhadap Abu Bakar
dan Umar. Sedangkan penduduk Khurasan merupakan masyarakat yang respon terhadap
pemikiran Syi’ah (Syi’ah dan Persia), dengan karakteristik penduduk yang
pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak
mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, mereka inilah bisa
dijadikan sebagai pasukan yang bisa diandalkan.[2]
Selain itu Bangsa Persia sangat berharap bisa terbebas dari perlakuan para
khalifah dinasti Ummayah. Meskipun telah memeluk Islam, bangsa Persia dianggap
sebagai masyarakat kelas dua (bangsa asing), dalam artian dalam pandangan
dinasti Ummayah bangsa Persia tidak memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa
Arab. Posisi pejabat dalam pemerintahan diserahkan kepada kalangan muslim Arab,
sedangkan kalangan muslim non-Arab hanya menjadi pembantu beberapa kabilah
Arab. mereka oleh bangsa Arab hanya dipandang sebelah mata, karena hanya
sebagai kaum buruh.
Dari uraian diatas bisa kita lihat
apa yang menjadi landasan pemikiran Al Imam Muhammad bin Ali dalam memilih
wilayah Humaimah, Khufah dan Kurasan untuk dijadikan sebagai pusat propagandanya.
Tercermin bahwa sebelum melakukan aksinya Al-Imam bin Muhammad telah
memperhitungkan strategi yang matang bukan hanya aksi propaganda yang membabi
buta tanpa perhitungan. Namun pada tahun 135 H Imam Muhammad bin Ali meninggal
dunia dan mewasiatkan agar misi propaganda diserahkan kepada anaknya yaitu
Ibrahim, propaganda yang dilakukan oleh Ibrahim menarik perhatian seorang
pemuda untuk ikut membantu perjuangan Abassiyah, pemuda tersebut tak lain
adalah Abu Muslim, yang dianggap paling berjasa dalam menegakkan dinasti
Abbasiyah.
Abu
Muslim itu sendiri hanya merupakan nama julukan, nama aslinya adalah Ibrahim
bin Usman, namun karena untuk kepentingan politik Ibrahim bin Usman atas saran
Ibrahim bin Muhammad mengubah namanya menjadi Abdurrahman bin Muslim dengan
panggilan Abu Muslim. Abu muslim dikirim dan ditugaskan untuk melakukan
propaganda di Khurasan (provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan),
disini Abu muslim tidak mendapatkan banyak kesulitan untuk memanfaatkan
ketidakpuasan penduduk Khurasan terhadap dinasti Ummayah.[3]
Kemudian pada tahun 128 H Abu Muslim berhasil menjadi penguasa di Khurasan, hal
ini pertanda bahwa penguasa di Khurasaan telah beralih dari dinasti Ummayah ke dinasti Abbasiyah, runtuhnya dinasti
Ummayah di Khurasan disebabkan oleh fanatik suku yang menyala antara Arab
Mudhar dengan Arab Yaman, selain itu lemahnya penguasa Ummayah di sana dan
pemberontakan kaum Khawarij di Yaman dan Hadramaut.
Abu Muslim memainkan peranannya
dengan sangat baik, tetapi tidak demikian dengan Imam Ibrahim yang menjadi otak
propaganda tersebut, aksi yang dilakukan oleh Ibrahim berhasil dipadamkan oleh
khalifah Umayah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad, yang menyebabkan Ibrahim
ditahan kemudian dieksekusi. Sepeninggalan Imam Ibrahim kedudukannya digantikan
oleh adiknya yang bernama Abul Abbas dan pusat kegiatan dipindahkan ke Kufah,
sedangkan untuk urusan propaganda diserahkan kepada Abu Salmah Al Khalal.
Setelah mendapatkan mandat dari kakaknya Abul Abbas segera bertolak dari
Humaimah ke Kufah bersama para pengikutnya yaitu Abu Ja’far, Isa bin Musa dan
Abdullah bin Ali. [4] Penguasa Ummayah di Kufah
pada saat itu, Yazid bin Umar bin Hurairah berhasil ditaklukkan dan diasingkan
ke wasit, kekalahan yang dialami oleh Yazid dirasakan juga oleh Marwan bin Muhammad
khalifah
Ummayah terakhir, bahkan Marwan sendiri
pada akhirnya terbunuh di daerah Busir. Dengan demikian tumbanglah kekuasaan
dinasti Ummayah dan muncullah dinasti Abasiyah sebagai kekuatan politik baru.
1. Perkembangan Awal Dinasti Abbasiyah
Khalifah
pertama dari dinasti Abbasiyah adalah Abul Abbas, keberhasilan Abul Abbas
sendiri dalam menduduki posisi khalifah bukanlah melalui hasil pemilihan atau
sebuah keputusan yang diambil oleh dewan. Melainkan, melalui sebuah organisasi
propaganda yang terorganisir secara ketat. Propaganda ini berhasil
mengembalikan posisi khalifah ketangan anggota keluarga Nabi.[5]
Keberhasilan ini dalam kepemimpinan masyarakat Islam lebih dari sekadar
pengganti dinasti. Ini merupakan revolusi dalam sejarah Islam, dimana dinasti
Abbasiyah berhasil meletakkan kembali tampuk pimpinan umat Islam ketangan
anggota keluarga Nabi yang sempat direbut oleh Muawiyah.
Pada
perkembangannya Abul Abbas memberikan sendiri gelar pada namanya yaitu As
Shaffah, sehingga dikenal dengan nama Abul Abbas As Shaffah. Pemberian gelar
ini erat kaitannya dengan peristiwa pembantaian
yang dilakukan oleh Abul Abbas terhadap para pembesar dinasti Ummayah dalam
acara jamuan makan, dalam peristiwa tersebut salah seorang pembesar dinasti Ummayah berhasil
lolos dan pada akhirnya mampu kembali mengibarkan bendera kejayaan dinasti
Ummayah di Andalusia Spanyol. Semenjak peristiwa itu Abul Abbas
mendapatkan julukan baru yaitu as- Saffah yang
berarti “pembantai”. Kekhalifahan as-Saffah hanya bertahan selama empat tahun
sembilan bulan, akibat tutup usia pada tahun 136 H, di kota Al-Anbar yang
menjadi ibu kota pemerintahannya.
Pasca
wafatnya Abul Abbas As-Shaffah posisi khalifah dipegang oleh saudaranya yaitu
Abu Ja’far yang menggunakan nama julukan Al-Manshur, sehingga lebih dikenal
sebagai Abu Ja’far Al Manshur. Langkah pertama yang diambil oleh Manshur adalah
membangun sebuah kota yang bernama Baghdad untuk dijadikan ibukota pemerintahannya,
dalam menjalankan roda pemerintahan Abu Ja’far Al
Mashur menganggap dirinya sebagai Zhill
Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah dimuka bumi), konsekuensi pernyataan
itu adalah bahwa kekuasaan khalifah berasal dari mandat Tuhan, bukan pilihan
rakyat. Hal ini diterapkan untuk melegitimasi kekuasaan bani Abbasiyah,
sehingga kekuasaannya dianggap suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat
Islam. Ternyata konsep yang diterapkan oleh Abu Ja’far Al Manshur ini tidak
terlepas dari pengaruh-pengaruh konsep dan praktik politik asing. Seperti
diketahui, pada masa itu kekuasaan Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab.
Umat Islam mengalami interaksi sosial politik dan budaya dengan masyarakat
muslim non Arab. Konsep politik diluar Islam ketika itu menjadikan raja,
kaisar, atau kisra sebagai titisan
dari Tuhan. Inilah yang diadopsi oleh penguasa-penguasa
Islam ketika itu yang dimulai oleh Abu Ja’far
Al-Manshur dan diberi nuansa religius.[6]
Konsep pemerintahan yang diterapkan oleh Abu Ja’far
Al-Manshur sendiri mendapatkan dukungan dari umat muslim non-arab (persia),
mereka memandang bahwa hak raja atau khalifah merupakan hak sakral yang berarti
setiap orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga raja lalu
menjabat sebagai raja dianggap telah merampas hak orang lain. Dengan demikian,
Khalifah Abbasiyah dalam pandangan mereka merupakan penguasa yang memerintah
berdasarkan mandat dari Allah bukan dari rakyat. Tentu hal ini sangatlah berbeda dengan konsep
pemerintahan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang menekankan bahwa jabatan
khalifah merupakan mandat dari rakyat.
Konsep ini terus berlanjut secara turun temurun sampai
khalifah dinasti Abbasiyah terakhir, adapun secara garis besar kekhalifahan
dinasti Abbasiyah terbagi menjadi empat periode yakni, Pertama) Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasiyah
dimulai dari Abul Abbas As-Shaffah sampai Khalifah Al-Watsiq. (750 M – 847 M). Ke-dua) Masa Abbasiyah II, dimulai dari
khalifah Al-Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (847 M-
946 M). Ke-tiga)Masa Abbasiyah III,
mulai dari berdinya daulah Buwaihiyah sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad
(946 M- 1055 M). Ke-empat) dimulai
dari masuknya orang Saljuk sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol
dibawah pimpinan Hulagu Khan (1055 M- 1258 M).
2. Masa Keemasan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
a. Ekonomi
Pemindahan ibukota yang dilakukan
oleh Al-Mashur dari kota Humaimah ke Baghdad membawa keuntungan tersendiri bagi
kemajuan perekonomian dinasti Abasiyah pada saat itu, geografis kota Baghdad sendiri
sangat strategis karena terdapat dua aliran sungai besar yaitu Eufrat dan
Tigris. Kita
tahu bahwa munculnya kota-kota dengan peradaban tinggi yang ada di dunia
sangatlah identik dengan sungai, seperti peradaban India (Mohenjodaro dan
Harahap) dengan Sungai Indusnya, peradaban Cina dengan Sungai Huangho serta
peradaban di Mesir dengan Sungai Nilnya, mungkin ini juga yang menjadi alasan
Al-Manshur untuk membangun kota di Baghdad. Sehingga tidaklah mengherankan jika
pada perkembangannya Baghdad menjelma menjadi kota terbesar di dunia dengan
jumlah penduduknya melampaui angka satu juta.
Selain itu menurut Al-Manshur kota Baghdad sangat cocok untuk
dijadikan markas militer, disamping itu sungai Tigris dapat mengubungkan kota
Baghdad dengan negeri-negeri lain sampai ke Tiongkok dan dapat menjadi jalur
pengiriman hasil alam dari Mesopotamia, Armenia dan daerah sekitarnya berupa
hasil laut dan bahan makanan. Selanjutnya Sungai Eufrat menghubungkan Kota
Baghdad dengan Siria, Al-Rakkah dan negeri-negeri sekitarnya.[7]
Singkat kata Kota Baghdad sangat memungkinkan untuk menjadi jalur perdagangan
yang menghubungkan kota Baghdad dengan dunia luar. Kemudian Aliran air dari kedua sungai tersebut dimanfaatkan dan dialihkan melalui jaringan kanal yang memungkinkan perahu-perahu dijadikan sebagai alat
transportasi di dalam kota.
b. Bidang Keilmuan
Peradaban dan kemajuan Islam pada masa dinasti Abbasiyah
tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Hal ini disebabkan karena Dinasti
Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada
perluasan wilayah. Pusat dari peradaban dan kemajuan budaya Islam pada saat itu
berada di Baghdad (Ibukota pemerintahan), sebagai pusat intelektual terdapat
beberapa pusat untuk aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah,
yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu. Baghdad
juga dijadikan sebagai pusat penerjemah buku-buku dari berbagai cabang ilmu, [8]
buku-buku tersebut berasal dari budaya bangsa Persia, Yunani dan lain-lain yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, tentu
pada perkembangannya pemikiran-pemikiran budaya
asing di atas nantinya sangat berpengaruh terhadap keilmuan kalangan muslim dinasti
Abbasiyah.
Dari catatan sejarah
dituliskan bahwa Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa
pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid
yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Al-Makmun, pada masanya berkembang ilmu
pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Qur’an, qira’at, fiqih, ilmu kalam, bahasa
dan sastra. Berikut penjelasan mengenai kemajuan dibidang agama
pada masa dinasti Abbasiyah:
1) Fiqih
Tumbuh dan berkembangnya empat mazhab dalam Islam diantaranya Mazhab Hanafi yang didirikan
oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas,
kemudian Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad bin Idris Ash-Syafi’i, dan
terakhir Mazhab Hanbali didirikan oleh Ahmad bin Hanbal.
2) Ilmu Tafsir
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam ilmu tafsir adalah
Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Athiyah Al-Andusi, dan Abu Muslim Muhammad bin
Bahar Isfahani
3) Ilmu Hadis
Para Ahli Hadis yang terkenal pada masa ini adalah
Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Imam An-Nasai dan Imam
Baihaqi
4) Ilmu Kalam
Kajian
para ahli Ilmu Kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surge dan neraka,
serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid. Diantara tokoh-tokohnya yang
terkenal adalah Imam Abul Hasan Al-Asya’ri dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi
tokoh Asy’ariyah. Kemudian Washil bin Atha, Abul Huzail Al-Allaf tokoh dari
Mu’tazilah, dan Al-Juba’i
Disamping perkembangan
dalam ilmu keagamaan, kemajuan peradaban yang dialami oleh dinasti Abbasiyah
juga mencakup kedalam ilmu-ilmu umum seperti ilmu filsafat, logika,
metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, sejarah, aritmatika, mekanika,
astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu
umum ini masuk melalui terjemahan buku karangan Yunani, Persia dll, ke dalam
bahasa Arab oleh para penerjemah ahli, tokoh penerjemah yang terkenal pada saat
itu adalah Hunein Ibnu Ishak.[9] Sehingga
tidak dapat dipungkiri pemikiran budaya asing sangat mempengaruhi pemikiran
para ahli dinasti Abbasiyah pada saat itu.
3. Pengaruh Kebudayaan Asing terhadap Dinasti
Abbasiyah
a. Pengaruh dalam bidang keilmuan
Kemajuan
peradaban yang dialami oleh Dinasti Abbasiyah tidaklah terlepas dari berbagai
pengaruh kebudayaan asing yang menunjang hal tersebut. Secara garis besar
pengaruh kebudayaan asing dalam dinasti
Abbasiyah mencakup bidang ilmu umum yang terbagi menjadi tiga, yaitu 1)
Ilmu-Ilmu kealaman dan filsafat yang ditransfer dari Yunani, 2) Ilmu-Ilmu
kedokteran dan Pengorbatan dari Persia, 3) Ilmu-ilmu terapan dari India dan
Cina.[10]
Masuknya
pengaruh kebudayaan asing dalam dunia Islam khususnya dalam bidang ilmu alam
dan filsafat, tak lepas dari gerakan penerjemah yang dilakukan oleh para
khalifah dinasti Abbasiyah. Gerakan penerjemah ini berlangsung dalam tiga fase,
fase pertama pada masa Khalifah
Al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid, pada fase ini karya-karya yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi, Fase ke-dua berlangsung dari masa Khalifah
Al-Makmun hingga tahun 300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku
bidang filsafat dan kedokteran, Fase ke-tiga
berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Untuk
melengkapi kebutuhan pengkajian dan pengembangan keilmuan, Khalifah Harun
Ar-Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama Bait Al-Hikmah. Lembaga ini selain berfungsi sebagai perpustakaan
dan pusat penerjemah, juga berfungsi sebagai akademi. Adapun cabang-cabang ilmu
yang diutamakan adalah filsafat, Ilmu kedokteran, matematika, geografi,
astronomi, sejarah dll.[11]
1) Ilmu Filsafat
Kajian
filsafat dikalangan umat Islam mencapai puncaknya setelah adanya gerakan
penerjemah filsafat dari berbagai budaya seperti Yunani, Persia ke dalam bahasa
Arab, adapun para filsuf Islam pada saat itu antara lain Abu Ishaq Al-Kindi,
Abu Nasr Al-Farabi, yang mendapat gelar Al-Mulimuts Tsani (The Second Teacher) yaitu guru kedua, sedangkan guru pertama dalam
bidang filsafat adalah Aristoteles, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Bajah, Ibnu
Tufail, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd (Averros).
2) Ilmu Kedokteran
Perkembangan Ilmu kedokteran sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Persia, Yunani dan India. Diantara para ahli kedokteran ternama pada
saat itu adalah Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih, seorang ahli farmasi di rumah
sakit Jundhisapur Iran, perlu diketahui bahwa Jundhisapur Iran merupakan
akademi terkenal di Persia, materi yang diajarkan di akademi ini merupakan pengembangan
tradisi keilmuan Yunani,[12] tokoh
lainnya adalah Abu Bakar ar-Razi yang dikenal sebagai Galien Arab, Ibnu Shina
(Avicenna) dan Ar-Razi.
3) Matematika
Dalam ilmu Matematika para ahli dinasti Abbasiyah
menganggap bahwa Fitagoras sebagai guru bangsa Arab, diantara ahli matematika
Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi yang mengarang kitab Al-Jabar wa Muqabalah (ilmu hitung) dan
penemu angka nol, tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin
Ismail bin Al-Abbas.
4) Geografi
Salah satu ahli geografi Islam pada masa dinasti
Abbasiyah adalah Ibnu Khardazabah yang
berasal dari Persia, pemikiran geografi Ibnu Khardazabah dituangkan ke dalam
karangan yang berjudul Al Masalik Wa Al Mamalik, buku ini dianggap sebagai buku
geografis paling tua yang ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan pedoman bagi
para penjelajah untuk menemukan jalan laut yang bermula dari muara sungai
Tigris menuju ke India dan Cina. [13]
5) Ilmu Astronomi
Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai
aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India dan Persia.
Adapun ahli astronomi muslim yang terkenal pada saat itu adalah Abu Mansur
Al-Falaki, Jabir Al-Batani sebagai pencipta teropong bintang pertama dan Raihan
Al-Biruni.[14]
6) Sejarah
Pada masa dinasti Abbasiyah banyak muncul
tokoh-tokoh sejarah yang terkenal diantaranya Ahmad bin Al-Ya’kubi, Ibnu Ishaq,
Abdullah bin Muslim Al-Qurtubah, Ibnu Hisyam, Ath-Thabari, Al-Maqrizi, Ibnu
Muqaffa dan Al-Baladzuri. Salah satu pengaruh budaya asing dalam ilmu sejarah
adalah terjemahan kitab Khuday Nameh atau Kitab Al-Muluk dari bahasa Pahlevi
(Persia) kedalam bahasa Arab dan dinamai dengan Siyar Muluk Al Ajm oleh Ibnu
Muqaffa. [15]
7) Bahasa dan Sastra
Perkembangan
ilmu bahasa pada masa dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu
bayan, ilmu badi’, dan Arudh. Untuk bahasa Arab sendiri dijadikan sebagai
bahasa Ilmu pengetahuan disamping sebagai alat komunikasi atau bahasa persatuan
antarbangsa dibawah kekuasaan dinasti Abbasiyah, diantara para ahli Ilmu bahasa
adalah Imam Sibawaih, Al-Kiasi, dan Abu Zakaria Al-Farra.
b. Pengaruh Dalam Sistem Pemerintahan
Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Persia sangat
berpengaruh terhadap dinasti Abbasiyah baik dari segi keilmuan maupun sistem
pemerintahan, seperti yang telah diuraikan diatas bahwa bangsa Persia memiliki
andil yang sangat besar terhadap kemunculan dinasti Abbasiyah dalam
perpolitikan dunia Islam. Sehingga pada perkembangannya para Khalifah Abbasiyah
cenderung berpihak kepada orang-orang Persia, mungkin semacam politik balas
budi. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan sistem pemerintahan Abbasiyah
menyerupai sistem pemerintahan yang berjalan di Persia pada masa Keluarga
Sasanid. Untuk mengetahui pengaruh tersebut ada baiknya kita terlebih dahulu
memahami sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah, dari mulai yang tertinggi
dipegang oleh al-khilafat, al-wizarat,
al-kitabat dan al-hijabat. [16]
Pengaruh Persia dalam struktur
pemerintahan tersebut sangat terasa pada posisi al-khilafat yang dipimpin seorang Khalifah, dimana para khalifah
dinasti Abbasiyah menyatakan bahwa jabatan khalifah merupakan mandat Illahi
bukanlah mandat dari rakyat, sehingga posisi khalifah sangatlah agung dan
sakral yang menyebabkan khalifah tertutup dari rakyat. Sebagai penyambung
antara khalifah dan rakyat maka tugas ini dibebankan kepada al-wizarat yang dipimpin oleh seorang
wazir yang berasal dari bangsa Persia. Anggapan khalifah sebagai pemegang
mandat Illahi ini sama persis dengan pola kepemimpinan kisrah yang diagungkan. Dimana posisi Khalifah Abbasiyah dan kisrah sama-sama dihormati dengan cara
membungkukkan badan dan mencium tanah saat berada didepannya. Bila mendekat
kepadanya maka kainnya dicium. Suatu kehormatana yang hanya diraih oleh
petinggi Negara terekemuka. Selain itu model pakaian pembesar istanapun
mengikuti model pakaian Persia, begitupun dengan perayaan hari-hari besar
Persia Kuno tetap dilaksanakan seperti upacara Niruz, Mahrajan, Ram dan
lain-lain. Singkat kata pada masa bani Ummayah sangat dipengaruhi oleh unsur
Arab sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah pengaruh Persialah yang berkuasa. [17]
c. Pengaruh Dalam Industri (Perekonomian)
Pengaruh kebudayaan asing dalam Industri dinasti
Abbasiyah menyebabkan dinasti Abbasiyah mulai mengenal industri kertas dari
bangsa Cina, bangsa Cina sendiri kalah melawan dinasti Abbasiyah dalam
pertempuran di Asia tengah (Kazakstan) pada tahun 751 M.[18]
Sehingga bangsa Cina banyak yang menjadi tawanan, para tawanan inilah yang
dimanfaatkan oleh para khalifah dinasti Abbasiyah untuk mengembangkan industri
Kertas.
2.5 Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Dari
beberapa buku literatur yang digunakan, setidaknya ada tiga buku yang
menjelaskan mengenai masa kemunduran
dinasti Abbasiyah. Dari ke-tiga buku tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa
kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
a.
Faktor Politik
1) Luasnya wilayah kekuasaan sehingga khalifah
kesulitan untuk mengontrolnya, hal ini diperparah dengan kurangnya komunikasi
antara pusat dengan daerah. Akibatnya sulit bagi khalifah dalam mengontrol
kekuasaan didaerah. Para khalifah di Baghdad mempercayakan penguasaan
daerah-daerah provinsi kepada gubernur yang diangkat oleh khalifah. Namun,
karena jauhnya jarak antara pusat dan provinsi, tidak sedikit dari para
gubernur itu yang mnyusun kekuatan untuk mencoba memisahkan diri dari kekuasaan
abbasiyah, hal ini ditandai dengan munculnya dinasti-dinasti kecil yang
memproklamirkan diri sebagai dinasti merdeka terlepas dari pengaruh abbasiyah. Bersamaan
dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintah sangat rendah. [19]
2) Kelemahan kepemimpinan para khalifah pengganti.
Dinasti Abbasiyah megalami kemajuan pada masa lima khalifah pertama, yaitu Abul
As-Shaffah, Al-Mansur, Al-Mahdi, Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Sepeninggalan mereka,
dinasti Abbasiyah mulai banyak menemukan hambatan.
b.
Faktor Ekonomi
1) Kekacauan politik membawa dampak buruk bagi
perkembangan ekonomi, begitu halnya dengan dinasti Abbasiyah. Pada periode
pertama, pemerintah bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta.
Setelah khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun dan
dengan demikian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
2) Dalam menjaga stabilitas dalam roda pemerintahannya,
khalifah dinasti Abbasiyah sangat bergantung kepada angkatan bersenjata
professional. Akan tetapi pada perkembangannya timbul permasalahan mengenai
pembayaran gaji untuk para tentara. Keuangan pemerintah pada saat itu sedang
mengalami kemerosotan, sehingga negara mengalami kesulitan dalam membayar gaji
tentara karena anggaran biaya untuk gaji tentara tersebut sangatlah besar. Pada
saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksakan daerah yang
berada dalam kekuasaannya untuk membayar pajak ke Baghdad.
3) Kondisi demikian diperparah dengan Moral dan gaya
hidup para khalifah yang lebih mementingkan urusan duniawi daripada urusan
kenegaraan. Dengan kehidupan yang penuh dengan hura-hura serta berfoya-foya
yang jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam.
c.
Faktor Konflik Agama
1) Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan
kestabilan politik dan keamanan dalam negara. Pada periode Abbasiyah, konflik
keagamaan yang muncul menjadi isu sentral sehingga mengakibatkan terjadi
perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah
dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan khalifah Abbasiyah mengalami kesulitan
untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.
d.
Faktor Militer
1) Kemunduran yang dialami oleh dinasti Abbasiyah
diberbagai sektor, terutama politik dan ekonomi menjadi faktor dari dalam yang
membawa dinasti Abbasiyah meunuju jurang kehancuran. Ketika faktor dari dalam
ini belum mampu diatasi oleh khilafah dinasti Abbasiyah, muncul faktor dari
luar yang mengakhiri eksistensi dari dinasti Abbasiyah, yakni perang salib yang
berasal dari Eropa dan serangan dari bangsa Mongol yang berasal dari bangsa
Timur, Perang Salib [20]
yang berlangsung beberapa gelombang, banyak menelan korban. Konsentrasi dan
perhatian pemerintahan dinasti Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapai
tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan. Eksistensi dinasti
Abbasiyah benar-benar tenggelam setelah adanya serbuan dari bangsa Mongol yang
dipimpin oleh Hulagu Khan[21] yang
berhasil meluluhlantakkan kota Baghdad.[22]
3. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian di atas maka bisa bisa disimpulkan bahwa berdirinya dinasti Abbasiyah
diawali dengan ketidakpuasan golongan Hasimiyah dan bangsa Persia terhadap kepemimpinan para khalifah
dinasti Ummayah, masa Keemasan islam pada masa dinasti Abbasiyah meliputi
berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor perekonomian dimana
pusat ibu kota dinasti Abbasiyah yaitu Baghdad dijadikan sebagai jalur
perdagangan dan juga kemajuan mulai merambah kesektor ilmu pengetahuan.
Kemajuan
yang dialami oleh dinasti Abbasiyah ini ternyata tidak terlepas dari pengaruh
budaya asing yang sangat membantu dinasti Abbasiyah mencapai peradaban, kebudayaan
asing tersebut berasal dari budaya Yunani, Persia, India, Cina dll. baik dari
segi keilmuan, sistem pemerintahan serta perekonomian (bidang industri kertas).
Namun kemajuan ini pada akhirnya mengalami kemunduran.
Secara
garis besar kemunduran yang dialami oleh dinasti Abbasiyah terbagi menjadi dua
yaitu faktor internal dan eksternal, faktor internal merupakan faktor yang
berasal dari dalam dinasti Abbasiyah seperti faktor politik dan ekonomi, kemudian
faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diantaranya serangan
bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.
[1] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3,
(Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 29
[2] Ibid, hlm. 17
[3] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi
Islam, (Jakarta: Zaman), hlm. 153.
[4] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah),
hlm. 139
[5] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi
Islam, (Jakarta: Zaman). Hlm. 153.
[6] Muhammad Iqbal dan Amin Husein
Nasution, 2013, Pemikiran Politik Islam
Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Grup), hlm.3.
[7] Philip K.Hitti,_____, Dunia Arab Sejarah Ringkas. Terj.
Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Jakarta:_____), hlm.108.
[8] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta:Amzah), hlm. 147.
[9] Philip K.Hitti,_____, Dunia Arab Sejarah Ringkas. Terj.
Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Jakarta:_____), hlm.119.
[10]
Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah
Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa),
hlm.103
[11] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta:Amzah), hlm. 146.
[12] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm. 101
[13] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3,
(Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 423
[14] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah),
hlm. 151
[15] Ibid, hlm. 421
[16] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm.
97
[17] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3,
(Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 307
[18] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi
Islam, (Jakarta: Zaman). Hlm. 160.
[20] Perang Salib adalah perang yang
berlangsung dari tahun 1095-1291 M antara kaum Msulimin dengan orang-orang
Kristen Eropa. Disebut perang salib karena orang Kristen Eropa menggunakan
tanda salib di dadanya sebagai symbol pemersatu dan untuk menunjukkan bahwa
peperangan yang dijalankan adalah perang suci (perang agama). Tujuan Perang
Salib adalah untuk membebaskan kota suci Jerussalem atau Baitul Makdis dari
tangan kaum Muslimin. (Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, hlm. 199)
[21] Penjelasan mengenai serangan
bangsa Mongol ke wilayah Baghdad, dapat dilihat dalam buku Samsul Munir Amin,
2014, Sejarah Peradaban Islam, hlm.
156. Dijelaskan bahwa Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang
berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang
menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina
kepangkuannya. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah, Khalifah
bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh,
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris
sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam
kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
[22] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm. 109.
Tentang kemunduran dinasti Abbasiyah baca Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah),
hlm. 155. Dijelaskan bahwa kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan oleh
Persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, perang salib,
dan terakhir serangan bangsa Mongol.
[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein
Nasution, 2013, Pemikiran Politik Islam
Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Grup), hlm.3. Disebutkan bahwa
memang sejak pemerintahan bani Umayah, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai
pendiri dinasti telah mengubah sistem pemerintahan yang bercorak demokratis
egaliter pada masa khalifah yang menjadi kerajaan. Akan tetapi, bani Umayah
tidak menjadikan agama sebagai justifikasi kekuasaan mereka. Para khalifah bani
Umayah menganggap bahwa jabatan khalifah adalah suatu lembaga politik
semata-mata, tanpa pretensi bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan sebagai
wakil Allah di bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar