SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 03 Januari 2015

Dinasti Abbasiyah

A. PENDAHULUAN
Tampilnya Muawiyah sebagai pemimpin baru umat Islam menggantikan Hasan bin Ali, menandakan mulainya era baru dalam perjalanan sejarah Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa pergantian pimpinan ini berdampak terhadap perubahan yang terjadi di dalam sistem pemerintahan dari yang sifatnya demokratis menjadi Monarki (kerajaan), sistem Monarki ini menganut politik dinasti atau kekuasaan diserahkan secara turun-temurun, sehingga zaman ini lebih dikenal dengan sebutan Islam pada masa dinasti bani Ummayah.
            Pada perkembangannya dinasti Ummayah telah banyak memberikan sumbangsih terhadap kemajuan dunia Islam di berbagai bidang, baik di bidang ilmu pengetahuan, sastra, seni arsitektur dll, dan tak kalah penting Islam pada masa ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia hingga ke benua Eropa. Namun, sayangnya semua prestasi gemilang yang telah dicapai oleh dinasti Ummayah, pada akhirnya mengalami kemunduran yang drastis sehingga dipastikan keruntuhan dinasti Ummayah tinggal menunggu waktu yang tepat.
            Terlebih pada masa kemundurannya dinasti Ummayah mendapatkan rong-rongan dahsyat dari golongan umat Islam yang tidak puas dengan kepemimpinan para khalifah dinasti Ummayah, golongan ini mengklaim dirinya berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW, tepatnya keturunan dari paman baginda Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Abbas, faktor inilah yang menjadi alasan mereka untuk menamakan diri sebagai golongan Abbasiyah. Golongan ini beranggapan bahwa mereka lebih layak mendapatkan posisi khalifah karena memiliki ikatan darah dengan Nabi Muhammad SAW, bukan dinasti Ummayah.
            Ketidakpuasan golongan Abbasiyah ini ditunjukkan melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Imam Muhammad bin Ali Al Abbasi dengan tujuan untuk menghancurkan dinasti Ummayah, pada akhirnya propaganda-propaganda ini menuai hasil posistif yang nantinya membawa dinasti Ummayah menuju jurang kehancuran dan menempatkan dinasti Abbasiyah ke pucuk pimpinan umat Islam. Pergantian kepemimpinan dari dinasti Ummayah ke dinasti Abbasiyah lagi-lagi berpengaruh terhadap perubahan konsep kepemimpin dalam pemerintahan Islam. Memang ke-duanya sama-sama menggunakan embel-embel dinasti di dalam sistem pemerintahan, tetapi ada perbedaan yang sangat mendasar diantara ke-duanya, perbedaan tersebut terletak pada konsep Zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah dimuka bumi) yang dicetuskan oleh Abu Ja’far al Manshur. Maknanya adalah bahwa kekuasaan khalifah berasal dari mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Memang pernyataan ini merupakan cara dari dinasti Abbasiyah untuk melegimitasi kekuasaannya, dengan menganggap bahwa kekuasaannya dipandang suci dan mutlak harus dipatuhi oleh umat Islam. [1]Meski terlihat otoriter, akan tetapi sumbangan dinasti Abbasiyah dalam dunia Islam sangatlah besar. Sehingga Islam sempat mengalami masa keemasan diberbagai bidang pada zamannya.

B. Sejarah Dinasti Abbasiyah
Daulah Abbasiyah berdiri selama lima abad, dimulai dari tahun 132 H (750 M) - 656 H (1258 M), dengan periode selama itu sangatlah cukup bagi dinasti Abbasiyah untuk membangun kekuatan besar dan menjelma menjadi penguasa Islam yang disegani.  Kebesaran dan keagungan dinasti Abasiyah digambarkan sebagai salah satu daulah besar yang telah berjasa memimpin dunia dengan corak politik yang berwarnakan keagamaan dan kekuasaan. Semua orang-orang pilihan dan orang-orang terbaik tunduk dibawah naungannya berdasarkan semangat keagamaan, sementara rakyatpun patuh dengan senang hati atau karena takut. Selain itu dari segi peradaban dinasti Abbasiyah adalah Negara yang sarat akan kebaikan, pusat pengetahuan, sentral kesusastraan, menara keagamaan, negeri bertabur kemajuan, keamanan terpelihara serta tapal yang batas terjaga. [1]
            Berbagai kegemilangan prestasi yang telah diraih oleh dinasti Abbasiyah mengukir tinta emas tersendiri bagi kemajuan Islam pada zaman itu. Tetapi perlu diketahui bahwa semua kegemilangan tersebut tidak serta merta muncul melainkan melalui proses yang panjang. Kita ingat bahwa kemunculan Dinasti Abbasiyah ke panggung perpolitikan Islam disebabkan oleh ketidakpuasan yang dirasakan oleh Bani Hasyim (Alawiyun) yang didukung oleh bangsa Persia terhadap penguasa sebelumnya yaitu dinasti Ummayah (Ammawi), ketidakpuasan ini ditunjukkan melalui propaganda-propaganda yang pertamakali dilakukan oleh  Al-Imam Muhammad bin Ali yang merupakan peletak pondasi dasar  bagi berdirinya dinasti Abbasiyah.
            Dalam misi propagandanya Al-Imam Muhammad bin Ali lebih memilih untuk memfokuskan ke tiga wilayah yang diprediksi akan mendukung perjuangannya, wilayah-wilayah tersebut adalah Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Lalu pertanyaannya adalah apakah wilayah-wilayah lainnya di jazirah Arab sama sekali tidak cocok untuk dijadikan markas untuk kepentingan dinasti Abbasiyah?, jawabannya akan terlihat dalam gambaran masyarakat penduduk diwilayah Islam menurut Al Imam Muhammad, menurutnya Kota Humaimah  merupakan tempat bermukimnya keluarga Bani Hasyim (termasuk Al-Imam Muhammad bin Ali), baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Selanjutnya Kufah dan sekitarnya adalah kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, yang selalu bergolak dan mendapatkan tekanan dari penguasa saat itu (dinasti Ummayah), sedangkan Basrah adalah pendukung Usman, sementara Jazirah adalah kelompok Hauriyyah yakni kaum Khawarij dan orang-orang dungu bagai keledai liar, mereka adalah kaum muslimin yang berakhlak Nasrani. Kemudian penduduk Syam sebagai orang yang tidak tahu apa-apa selain Muawiyah dan hanya taat kepada Bani Ummayah, selanjutnya penduduk Mekah dan Madinah adalah orang-orang yang fanatik terhadap Abu Bakar dan Umar. Sedangkan penduduk Khurasan merupakan masyarakat yang respon terhadap pemikiran Syi’ah (Syi’ah dan Persia), dengan karakteristik penduduk yang pemberani, kuat fisik, teguh pendirian, tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung terhadap kepercayaan yang menyimpang, mereka inilah bisa dijadikan sebagai pasukan yang bisa diandalkan.[2] Selain itu Bangsa Persia sangat berharap bisa terbebas dari perlakuan para khalifah dinasti Ummayah. Meskipun telah memeluk Islam, bangsa Persia dianggap sebagai masyarakat kelas dua (bangsa asing), dalam artian dalam pandangan dinasti Ummayah bangsa Persia tidak memiliki kedudukan yang sama dengan bangsa Arab. Posisi pejabat dalam pemerintahan diserahkan kepada kalangan muslim Arab, sedangkan kalangan muslim non-Arab hanya menjadi pembantu beberapa kabilah Arab. mereka oleh bangsa Arab hanya dipandang sebelah mata, karena hanya sebagai kaum buruh.
            Dari uraian diatas bisa kita lihat apa yang menjadi landasan pemikiran Al Imam Muhammad bin Ali dalam memilih wilayah Humaimah, Khufah dan Kurasan untuk dijadikan sebagai pusat propagandanya. Tercermin bahwa sebelum melakukan aksinya Al-Imam bin Muhammad telah memperhitungkan strategi yang matang bukan hanya aksi propaganda yang membabi buta tanpa perhitungan. Namun pada tahun 135 H Imam Muhammad bin Ali meninggal dunia dan mewasiatkan agar misi propaganda diserahkan kepada anaknya yaitu Ibrahim, propaganda yang dilakukan oleh Ibrahim menarik perhatian seorang pemuda untuk ikut membantu perjuangan Abassiyah, pemuda tersebut tak lain adalah Abu Muslim, yang dianggap paling berjasa dalam menegakkan dinasti Abbasiyah.
Abu Muslim itu sendiri hanya merupakan nama julukan, nama aslinya adalah Ibrahim bin Usman, namun karena untuk kepentingan politik Ibrahim bin Usman atas saran Ibrahim bin Muhammad mengubah namanya menjadi Abdurrahman bin Muslim dengan panggilan Abu Muslim. Abu muslim dikirim dan ditugaskan untuk melakukan propaganda di Khurasan (provinsi yang membentang dari Iran hingga Afghanistan), disini Abu muslim tidak mendapatkan banyak kesulitan untuk memanfaatkan ketidakpuasan penduduk Khurasan terhadap dinasti Ummayah.[3] Kemudian pada tahun 128 H Abu Muslim berhasil menjadi penguasa di Khurasan, hal ini pertanda bahwa penguasa di Khurasaan telah beralih dari dinasti Ummayah  ke dinasti Abbasiyah, runtuhnya dinasti Ummayah di Khurasan disebabkan oleh fanatik suku yang menyala antara Arab Mudhar dengan Arab Yaman, selain itu lemahnya penguasa Ummayah di sana dan pemberontakan kaum Khawarij di Yaman dan Hadramaut.
            Abu Muslim memainkan peranannya dengan sangat baik, tetapi tidak demikian dengan Imam Ibrahim yang menjadi otak propaganda tersebut, aksi yang dilakukan oleh Ibrahim berhasil dipadamkan oleh khalifah Umayah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad, yang menyebabkan Ibrahim ditahan kemudian dieksekusi. Sepeninggalan Imam Ibrahim kedudukannya digantikan oleh adiknya yang bernama Abul Abbas dan pusat kegiatan dipindahkan ke Kufah, sedangkan untuk urusan propaganda diserahkan kepada Abu Salmah Al Khalal. Setelah mendapatkan mandat dari kakaknya Abul Abbas segera bertolak dari Humaimah ke Kufah bersama para pengikutnya yaitu Abu Ja’far, Isa bin Musa dan Abdullah bin Ali. [4] Penguasa Ummayah di Kufah pada saat itu, Yazid bin Umar bin Hurairah berhasil ditaklukkan dan diasingkan ke wasit, kekalahan yang dialami oleh Yazid dirasakan juga oleh Marwan bin Muhammad khalifah Ummayah terakhir, bahkan Marwan sendiri pada akhirnya terbunuh di daerah Busir. Dengan demikian tumbanglah kekuasaan dinasti Ummayah dan muncullah dinasti Abasiyah sebagai kekuatan politik baru.

1. Perkembangan Awal Dinasti Abbasiyah
Khalifah pertama dari dinasti Abbasiyah adalah Abul Abbas, keberhasilan Abul Abbas sendiri dalam menduduki posisi khalifah bukanlah melalui hasil pemilihan atau sebuah keputusan yang diambil oleh dewan. Melainkan, melalui sebuah organisasi propaganda yang terorganisir secara ketat. Propaganda ini berhasil mengembalikan posisi khalifah ketangan anggota keluarga Nabi.[5] Keberhasilan ini dalam kepemimpinan masyarakat Islam lebih dari sekadar pengganti dinasti. Ini merupakan revolusi dalam sejarah Islam, dimana dinasti Abbasiyah berhasil meletakkan kembali tampuk pimpinan umat Islam ketangan anggota keluarga Nabi yang sempat direbut oleh Muawiyah.
Pada perkembangannya Abul Abbas memberikan sendiri gelar pada namanya yaitu As Shaffah, sehingga dikenal dengan nama Abul Abbas As Shaffah. Pemberian gelar ini erat kaitannya dengan peristiwa  pembantaian yang dilakukan oleh Abul Abbas terhadap para pembesar dinasti Ummayah dalam acara jamuan makan, dalam peristiwa tersebut salah seorang pembesar dinasti Ummayah berhasil lolos dan pada akhirnya mampu kembali mengibarkan bendera kejayaan dinasti Ummayah di Andalusia Spanyol. Semenjak peristiwa itu Abul Abbas mendapatkan julukan baru yaitu as- Saffah yang berarti “pembantai”. Kekhalifahan as-Saffah hanya bertahan selama empat tahun sembilan bulan, akibat tutup usia pada tahun 136 H, di kota Al-Anbar yang menjadi ibu kota pemerintahannya.  
Pasca wafatnya Abul Abbas As-Shaffah posisi khalifah dipegang oleh saudaranya yaitu Abu Ja’far yang menggunakan nama julukan Al-Manshur, sehingga lebih dikenal sebagai Abu Ja’far Al Manshur. Langkah pertama yang diambil oleh Manshur adalah membangun sebuah kota yang bernama Baghdad untuk dijadikan ibukota pemerintahannya, dalam menjalankan roda pemerintahan Abu Ja’far Al Mashur menganggap dirinya sebagai Zhill Allah fi al-ardh (bayang-bayang Allah dimuka bumi), konsekuensi pernyataan itu adalah bahwa kekuasaan khalifah berasal dari mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Hal ini diterapkan untuk melegitimasi kekuasaan bani Abbasiyah, sehingga kekuasaannya dianggap suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat Islam. Ternyata konsep yang diterapkan oleh Abu Ja’far Al Manshur ini tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh konsep dan praktik politik asing. Seperti diketahui, pada masa itu kekuasaan Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab. Umat Islam mengalami interaksi sosial politik dan budaya dengan masyarakat muslim non Arab. Konsep politik diluar Islam ketika itu menjadikan raja, kaisar, atau kisra sebagai titisan dari Tuhan. Inilah yang diadopsi oleh penguasa-penguasa Islam ketika itu yang dimulai oleh Abu Ja’far Al-Manshur dan diberi nuansa religius.[6]
Konsep pemerintahan yang diterapkan oleh Abu Ja’far Al-Manshur sendiri mendapatkan dukungan dari umat muslim non-arab (persia), mereka memandang bahwa hak raja atau khalifah merupakan hak sakral yang berarti setiap orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga raja lalu menjabat sebagai raja dianggap telah merampas hak orang lain. Dengan demikian, Khalifah Abbasiyah dalam pandangan mereka merupakan penguasa yang memerintah berdasarkan mandat dari Allah bukan dari rakyat. Tentu hal ini sangatlah berbeda dengan konsep pemerintahan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang menekankan bahwa jabatan khalifah merupakan mandat dari rakyat.  
Konsep ini terus berlanjut secara turun temurun sampai khalifah dinasti Abbasiyah terakhir, adapun secara garis besar kekhalifahan dinasti Abbasiyah terbagi menjadi empat periode yakni, Pertama) Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya daulah Abbasiyah dimulai dari Abul Abbas As-Shaffah sampai Khalifah Al-Watsiq. (750 M – 847 M). Ke-dua) Masa Abbasiyah II, dimulai dari khalifah Al-Mutawakkil sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (847 M- 946 M). Ke-tiga)Masa Abbasiyah III, mulai dari berdinya daulah Buwaihiyah sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad (946 M- 1055 M). Ke-empat) dimulai dari masuknya orang Saljuk sampai jatuhnya Baghdad ketangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan (1055 M- 1258 M).

2. Masa Keemasan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
a. Ekonomi
            Pemindahan ibukota yang dilakukan oleh Al-Mashur dari kota Humaimah ke Baghdad membawa keuntungan tersendiri bagi kemajuan perekonomian dinasti Abasiyah pada saat itu, geografis kota Baghdad sendiri sangat strategis karena terdapat dua aliran sungai besar yaitu Eufrat dan Tigris. Kita tahu bahwa munculnya kota-kota dengan peradaban tinggi yang ada di dunia sangatlah identik dengan sungai, seperti peradaban India (Mohenjodaro dan Harahap) dengan Sungai Indusnya, peradaban Cina dengan Sungai Huangho serta peradaban di Mesir dengan Sungai Nilnya, mungkin ini juga yang menjadi alasan Al-Manshur untuk membangun kota di Baghdad. Sehingga tidaklah mengherankan jika pada perkembangannya Baghdad menjelma menjadi kota terbesar di dunia dengan jumlah penduduknya melampaui angka satu juta.
Selain itu menurut Al-Manshur kota Baghdad sangat cocok untuk dijadikan markas militer, disamping itu sungai Tigris dapat mengubungkan kota Baghdad dengan negeri-negeri lain sampai ke Tiongkok dan dapat menjadi jalur pengiriman hasil alam dari Mesopotamia, Armenia dan daerah sekitarnya berupa hasil laut dan bahan makanan. Selanjutnya Sungai Eufrat menghubungkan Kota Baghdad dengan Siria, Al-Rakkah dan negeri-negeri sekitarnya.[7] Singkat kata Kota Baghdad sangat memungkinkan untuk menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan kota Baghdad dengan dunia luar. Kemudian Aliran air dari kedua sungai tersebut dimanfaatkan dan dialihkan melalui jaringan kanal yang memungkinkan perahu-perahu dijadikan sebagai alat transportasi di dalam kota.

b. Bidang Keilmuan
Peradaban dan kemajuan Islam pada masa dinasti Abbasiyah tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Hal ini disebabkan karena Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Pusat dari peradaban dan kemajuan budaya Islam pada saat itu berada di Baghdad (Ibukota pemerintahan), sebagai pusat intelektual terdapat beberapa pusat untuk aktivitas pengembangan ilmu, antara lain Baitul Hikmah, yaitu lembaga ilmu pengetahuan sebagai pusat pengkajian berbagai ilmu. Baghdad juga dijadikan sebagai pusat penerjemah buku-buku dari berbagai cabang ilmu, [8] buku-buku tersebut berasal dari budaya bangsa Persia, Yunani dan lain-lain yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, tentu pada perkembangannya pemikiran-pemikiran budaya asing di atas nantinya sangat berpengaruh terhadap keilmuan kalangan muslim dinasti Abbasiyah.
            Dari catatan sejarah dituliskan bahwa Dinasti Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Al-Makmun, pada masanya berkembang ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu Al-Qur’an, qira’at, fiqih, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Berikut penjelasan mengenai kemajuan dibidang agama pada masa dinasti Abbasiyah:
1)      Fiqih
Tumbuh dan berkembangnya empat mazhab dalam Islam diantaranya Mazhab Hanafi yang didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas, kemudian Mazhab Syafi’i didirikan oleh Muhammad bin Idris Ash-Syafi’i, dan terakhir Mazhab Hanbali didirikan oleh Ahmad bin Hanbal.
2)      Ilmu Tafsir
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam ilmu tafsir adalah Ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu Athiyah Al-Andusi, dan Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
3)      Ilmu Hadis
Para Ahli Hadis yang terkenal pada masa ini adalah Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud, Imam An-Nasai dan Imam Baihaqi
4)      Ilmu Kalam
Kajian para ahli Ilmu Kalam (teologi) adalah mengenai dosa, pahala, surge dan neraka, serta perdebatan mengenai ketuhanan atau tauhid. Diantara tokoh-tokohnya yang terkenal adalah Imam Abul Hasan Al-Asya’ri dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi tokoh Asy’ariyah. Kemudian Washil bin Atha, Abul Huzail Al-Allaf tokoh dari Mu’tazilah, dan Al-Juba’i
Disamping perkembangan dalam ilmu keagamaan, kemajuan peradaban yang dialami oleh dinasti Abbasiyah juga mencakup kedalam ilmu-ilmu umum seperti ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, ilmu alam, geografi, sejarah, aritmatika, mekanika, astronomi, musik, kedokteran dan kimia. Ilmu-ilmu umum ini masuk melalui terjemahan buku karangan Yunani, Persia dll, ke dalam bahasa Arab oleh para penerjemah ahli, tokoh penerjemah yang terkenal pada saat itu adalah Hunein Ibnu Ishak.[9] Sehingga tidak dapat dipungkiri pemikiran budaya asing sangat mempengaruhi pemikiran para ahli dinasti Abbasiyah pada saat itu.

3. Pengaruh Kebudayaan Asing terhadap Dinasti Abbasiyah
a. Pengaruh dalam bidang keilmuan         
Kemajuan peradaban yang dialami oleh Dinasti Abbasiyah tidaklah terlepas dari berbagai pengaruh kebudayaan asing yang menunjang hal tersebut. Secara garis besar pengaruh  kebudayaan asing dalam dinasti Abbasiyah mencakup bidang ilmu umum yang terbagi menjadi tiga, yaitu 1) Ilmu-Ilmu kealaman dan filsafat yang ditransfer dari Yunani, 2) Ilmu-Ilmu kedokteran dan Pengorbatan dari Persia, 3) Ilmu-ilmu terapan dari India dan Cina.[10]
Masuknya pengaruh kebudayaan asing dalam dunia Islam khususnya dalam bidang ilmu alam dan filsafat, tak lepas dari gerakan penerjemah yang dilakukan oleh para khalifah dinasti Abbasiyah. Gerakan penerjemah ini berlangsung dalam tiga fase, fase pertama pada masa Khalifah Al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid, pada fase ini karya-karya yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi, Fase ke-dua berlangsung dari masa Khalifah Al-Makmun hingga tahun 300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah buku bidang filsafat dan kedokteran, Fase ke-tiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Untuk melengkapi kebutuhan pengkajian dan pengembangan keilmuan, Khalifah Harun Ar-Rasyid mendirikan perpustakaan yang diberi nama Bait Al-Hikmah. Lembaga ini selain berfungsi sebagai perpustakaan dan pusat penerjemah, juga berfungsi sebagai akademi. Adapun cabang-cabang ilmu yang diutamakan adalah filsafat, Ilmu kedokteran, matematika, geografi, astronomi, sejarah dll.[11]
1) Ilmu Filsafat
Kajian filsafat dikalangan umat Islam mencapai puncaknya setelah adanya gerakan penerjemah filsafat dari berbagai budaya seperti Yunani, Persia ke dalam bahasa Arab, adapun para filsuf Islam pada saat itu antara lain Abu Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-Farabi, yang mendapat gelar Al-Mulimuts Tsani (The Second Teacher) yaitu guru kedua, sedangkan guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristoteles, Ibnu Sina (Avicenna), Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd (Averros).

2) Ilmu Kedokteran
            Perkembangan Ilmu kedokteran sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Persia, Yunani dan India. Diantara para ahli kedokteran ternama pada saat itu adalah Abu Zakaria Yahya bin Mesuwaih, seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundhisapur Iran, perlu diketahui bahwa Jundhisapur Iran merupakan akademi terkenal di Persia, materi yang diajarkan di akademi ini merupakan pengembangan tradisi keilmuan Yunani,[12] tokoh lainnya adalah Abu Bakar ar-Razi yang dikenal sebagai Galien Arab, Ibnu Shina (Avicenna) dan Ar-Razi.

3) Matematika
            Dalam ilmu Matematika para ahli dinasti Abbasiyah menganggap bahwa Fitagoras sebagai guru bangsa Arab, diantara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi yang mengarang kitab Al-Jabar wa Muqabalah (ilmu hitung) dan penemu angka nol, tokoh lainnya adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas.

4) Geografi
            Salah satu ahli geografi Islam pada masa dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Khardazabah  yang berasal dari Persia, pemikiran geografi Ibnu Khardazabah dituangkan ke dalam karangan yang berjudul Al Masalik Wa Al Mamalik, buku ini dianggap sebagai buku geografis paling tua yang ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan pedoman bagi para penjelajah untuk menemukan jalan laut yang bermula dari muara sungai Tigris menuju ke India dan Cina. [13]

5) Ilmu Astronomi
            Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari berbagai bangsa seperti Yunani, India dan Persia. Adapun ahli astronomi muslim yang terkenal pada saat itu adalah Abu Mansur Al-Falaki, Jabir Al-Batani sebagai pencipta teropong bintang pertama dan Raihan Al-Biruni.[14]

6) Sejarah
            Pada masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah yang terkenal diantaranya Ahmad bin Al-Ya’kubi, Ibnu Ishaq, Abdullah bin Muslim Al-Qurtubah, Ibnu Hisyam, Ath-Thabari, Al-Maqrizi, Ibnu Muqaffa dan Al-Baladzuri. Salah satu pengaruh budaya asing dalam ilmu sejarah adalah terjemahan kitab Khuday Nameh atau Kitab Al-Muluk dari bahasa Pahlevi (Persia) kedalam bahasa Arab dan dinamai dengan Siyar Muluk Al Ajm oleh Ibnu Muqaffa. [15]

7) Bahasa dan Sastra
Perkembangan ilmu bahasa pada masa dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan Arudh. Untuk bahasa Arab sendiri dijadikan sebagai bahasa Ilmu pengetahuan disamping sebagai alat komunikasi atau bahasa persatuan antarbangsa dibawah kekuasaan dinasti Abbasiyah, diantara para ahli Ilmu bahasa adalah Imam Sibawaih, Al-Kiasi, dan Abu Zakaria Al-Farra.

b. Pengaruh Dalam Sistem Pemerintahan
            Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa Persia sangat berpengaruh terhadap dinasti Abbasiyah baik dari segi keilmuan maupun sistem pemerintahan, seperti yang telah diuraikan diatas bahwa bangsa Persia memiliki andil yang sangat besar terhadap kemunculan dinasti Abbasiyah dalam perpolitikan dunia Islam. Sehingga pada perkembangannya para Khalifah Abbasiyah cenderung berpihak kepada orang-orang Persia, mungkin semacam politik balas budi. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan sistem pemerintahan Abbasiyah menyerupai sistem pemerintahan yang berjalan di Persia pada masa Keluarga Sasanid. Untuk mengetahui pengaruh tersebut ada baiknya kita terlebih dahulu memahami sistem pemerintahan dinasti Abbasiyah, dari mulai yang tertinggi dipegang oleh al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat dan al-hijabat. [16]
            Pengaruh Persia dalam struktur pemerintahan tersebut sangat terasa pada posisi al-khilafat yang dipimpin seorang Khalifah, dimana para khalifah dinasti Abbasiyah menyatakan bahwa jabatan khalifah merupakan mandat Illahi bukanlah mandat dari rakyat, sehingga posisi khalifah sangatlah agung dan sakral yang menyebabkan khalifah tertutup dari rakyat. Sebagai penyambung antara khalifah dan rakyat maka tugas ini dibebankan kepada al-wizarat yang dipimpin oleh seorang wazir yang berasal dari bangsa Persia. Anggapan khalifah sebagai pemegang mandat Illahi ini sama persis dengan pola kepemimpinan kisrah yang diagungkan. Dimana posisi Khalifah Abbasiyah dan kisrah sama-sama dihormati dengan cara membungkukkan badan dan mencium tanah saat berada didepannya. Bila mendekat kepadanya maka kainnya dicium. Suatu kehormatana yang hanya diraih oleh petinggi Negara terekemuka. Selain itu model pakaian pembesar istanapun mengikuti model pakaian Persia, begitupun dengan perayaan hari-hari besar Persia Kuno tetap dilaksanakan seperti upacara Niruz, Mahrajan, Ram dan lain-lain. Singkat kata pada masa bani Ummayah sangat dipengaruhi oleh unsur Arab sedangkan pada masa dinasti Abbasiyah pengaruh Persialah yang berkuasa. [17]
           
c. Pengaruh Dalam Industri (Perekonomian)
            Pengaruh kebudayaan asing dalam Industri dinasti Abbasiyah menyebabkan dinasti Abbasiyah mulai mengenal industri kertas dari bangsa Cina, bangsa Cina sendiri kalah melawan dinasti Abbasiyah dalam pertempuran di Asia tengah (Kazakstan) pada tahun 751 M.[18] Sehingga bangsa Cina banyak yang menjadi tawanan, para tawanan inilah yang dimanfaatkan oleh para khalifah dinasti Abbasiyah untuk mengembangkan industri Kertas.

2.5 Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Dari beberapa buku literatur yang digunakan, setidaknya ada tiga buku yang menjelaskan mengenai  masa kemunduran dinasti Abbasiyah. Dari ke-tiga buku tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:  
a.      Faktor Politik
1)      Luasnya wilayah kekuasaan sehingga khalifah kesulitan untuk mengontrolnya, hal ini diperparah dengan kurangnya komunikasi antara pusat dengan daerah. Akibatnya sulit bagi khalifah dalam mengontrol kekuasaan didaerah. Para khalifah di Baghdad mempercayakan penguasaan daerah-daerah provinsi kepada gubernur yang diangkat oleh khalifah. Namun, karena jauhnya jarak antara pusat dan provinsi, tidak sedikit dari para gubernur itu yang mnyusun kekuatan untuk mencoba memisahkan diri dari kekuasaan abbasiyah, hal ini ditandai dengan munculnya dinasti-dinasti kecil yang memproklamirkan diri sebagai dinasti merdeka terlepas dari pengaruh abbasiyah. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah. [19]
2)      Kelemahan kepemimpinan para khalifah pengganti. Dinasti Abbasiyah megalami kemajuan pada masa lima khalifah pertama, yaitu Abul As-Shaffah, Al-Mansur, Al-Mahdi, Ar-Rasyid dan Al-Makmun. Sepeninggalan mereka, dinasti Abbasiyah mulai banyak menemukan hambatan.

b.      Faktor Ekonomi
1)      Kekacauan politik membawa dampak buruk bagi perkembangan ekonomi, begitu halnya dengan dinasti Abbasiyah. Pada periode pertama, pemerintah bani Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun dan dengan demikian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
2)      Dalam menjaga stabilitas dalam roda pemerintahannya, khalifah dinasti Abbasiyah sangat bergantung kepada angkatan bersenjata professional. Akan tetapi pada perkembangannya timbul permasalahan mengenai pembayaran gaji untuk para tentara. Keuangan pemerintah pada saat itu sedang mengalami kemerosotan, sehingga negara mengalami kesulitan dalam membayar gaji tentara karena anggaran biaya untuk gaji tentara tersebut sangatlah besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksakan daerah yang berada dalam kekuasaannya untuk membayar pajak ke Baghdad.
3)      Kondisi demikian diperparah dengan Moral dan gaya hidup para khalifah yang lebih mementingkan urusan duniawi daripada urusan kenegaraan. Dengan kehidupan yang penuh dengan hura-hura serta berfoya-foya yang jauh dari nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam.

c.       Faktor Konflik Agama
1)      Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kestabilan politik dan keamanan dalam negara. Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentral sehingga mengakibatkan terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus Sunnah dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan khalifah Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.

d.      Faktor Militer
1)      Kemunduran yang dialami oleh dinasti Abbasiyah diberbagai sektor, terutama politik dan ekonomi menjadi faktor dari dalam yang membawa dinasti Abbasiyah meunuju jurang kehancuran. Ketika faktor dari dalam ini belum mampu diatasi oleh khilafah dinasti Abbasiyah, muncul faktor dari luar yang mengakhiri eksistensi dari dinasti Abbasiyah, yakni perang salib yang berasal dari Eropa dan serangan dari bangsa Mongol yang berasal dari bangsa Timur, Perang Salib [20] yang berlangsung beberapa gelombang, banyak menelan korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintahan dinasti Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapai tentara salib sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan. Eksistensi dinasti Abbasiyah benar-benar tenggelam setelah adanya serbuan dari bangsa Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan[21] yang berhasil meluluhlantakkan kota Baghdad.[22]

3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka bisa bisa disimpulkan bahwa berdirinya dinasti Abbasiyah diawali dengan ketidakpuasan golongan Hasimiyah dan bangsa  Persia terhadap kepemimpinan para khalifah dinasti Ummayah, masa Keemasan islam pada masa dinasti Abbasiyah meliputi berbagai sektor kehidupan masyarakat, baik dari sektor perekonomian dimana pusat ibu kota dinasti Abbasiyah yaitu Baghdad dijadikan sebagai jalur perdagangan dan juga kemajuan mulai merambah kesektor ilmu pengetahuan.
Kemajuan yang dialami oleh dinasti Abbasiyah ini ternyata tidak terlepas dari pengaruh budaya asing yang sangat membantu dinasti Abbasiyah mencapai peradaban, kebudayaan asing tersebut berasal dari budaya Yunani, Persia, India, Cina dll. baik dari segi keilmuan, sistem pemerintahan serta perekonomian (bidang industri kertas). Namun kemajuan ini pada akhirnya mengalami kemunduran.
Secara garis besar kemunduran yang dialami oleh dinasti Abbasiyah terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal, faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam dinasti Abbasiyah seperti faktor politik dan ekonomi, kemudian faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diantaranya serangan bangsa Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan.



[1] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, (Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 29
[2] Ibid, hlm. 17
[3] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman), hlm. 153.
[4] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 139
[5] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman). Hlm. 153.
[6] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2013, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup), hlm.3.
[7] Philip K.Hitti,_____, Dunia Arab Sejarah Ringkas. Terj. Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Jakarta:_____), hlm.108.
[8] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 147.

[9] Philip K.Hitti,_____, Dunia Arab Sejarah Ringkas. Terj. Usuludin Hutagalung dan O.D.P Sihombing, (Jakarta:_____), hlm.119.
[10]  Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik  Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm.103
[11] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 146.
[12] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik  Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm. 101
[13] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, (Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 423
[14] Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 151
[15] Ibid, hlm. 421
[16] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik  Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm. 97
[17] Hasan Ibrahim Hasan, 2013, Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 3, (Jakarta:Kalam Mulia), hlm. 307
[18] Tamim Ansyari, 2012, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman). Hlm. 160.

[20] Perang Salib adalah perang yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M antara kaum Msulimin dengan orang-orang Kristen Eropa. Disebut perang salib karena orang Kristen Eropa menggunakan tanda salib di dadanya sebagai symbol pemersatu dan untuk menunjukkan bahwa peperangan yang dijalankan adalah perang suci (perang agama). Tujuan Perang Salib adalah untuk membebaskan kota suci Jerussalem atau Baitul Makdis dari tangan kaum Muslimin. (Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik Islam, hlm. 199)
[21] Penjelasan mengenai serangan bangsa Mongol ke wilayah Baghdad, dapat dilihat dalam buku Samsul Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 156. Dijelaskan bahwa Hulagu Khan adalah seorang saudara Kubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara, dan saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dibumihanguskan dan diratakan dengan tanah, Khalifah bani Abbasiyah yang terakhir dengan keluarganya, Al-Mu’tashim Billah dibunuh, buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.
[22] Didin Saefuddin Buchori, 2009, Sejarah Politik  Islam, (Jakarta:Pustaka Intermasa), hlm. 109. Tentang kemunduran dinasti Abbasiyah baca Munir Amin, 2014, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:Amzah), hlm. 155. Dijelaskan bahwa kemunduran dinasti Abbasiyah disebabkan oleh Persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, perang salib, dan terakhir serangan bangsa Mongol.




[1] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, 2013, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Kencana Prenada Media Grup), hlm.3. Disebutkan bahwa  memang sejak pemerintahan bani Umayah, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan sebagai pendiri dinasti telah mengubah sistem pemerintahan yang bercorak demokratis egaliter pada masa khalifah yang menjadi kerajaan. Akan tetapi, bani Umayah tidak menjadikan agama sebagai justifikasi kekuasaan mereka. Para khalifah bani Umayah menganggap bahwa jabatan khalifah adalah suatu lembaga politik semata-mata, tanpa pretensi bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan sebagai wakil Allah di bumi. 

Tidak ada komentar: