A. Pendahuluan
Penelitian
sejarah tidak akan pernah berarti jika hasil penelitian tidak dituangkan ke dalam
suatu tulisan sejarah, semua tahapan yang dilakukan mulai dari penentuan
masalah hingga kritik sumber akan menjadi hal yang sia-sia. Namun dalam menuangkan
hasil penelitian ke dalam suatu tulisan sejarah, tentunya memerlukan proses
atau tahapan-tahapan tersendiri.
Dalam
kajian ilmu sejarah, hasil penelitian sejarah yang dipaparkan ke dalam bentuk
tulisan disebut dengan historiografi, hal ini menjadi sarana mengkomunikasikan
hasil-hasil yang diungkap, diuji dan interpretasikan. Kalau penelitian sejarah
bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekontruksi itu hanya akan
menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis.
Dalam
memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan, tentunya harus menghadirkan
aturan-aturan logika (analisis) dari penulis berdasarkan bukti-bukti empirik
yang didapatkan (interpretasi), sehingga
tulisan yang dihasilkan menjadi lebih menarik untuk dibaca, selain itu aspek
lain yang harus diperhatikan adalah kejelasan struktur dan gaya bahasa, jika
semua hal itu bisa dipenuhi dengan menampilkan kejelasan, kekuatan serta
kerapian dalam penulisan, maka tulisan sejarah yang dihasilkan merupakan
perpaduan antara keahlian kesejarawan dan kesasterawanan.[1]
Berdasarkan
beberapa uraian di atas, terlihat bahwa historiografi merupakan tahap yang
sangat menentukan dalam suatu penelitian sejarah, arti penting inilah yang
menyebabkan penulis menuangkan pemikiran ke dalam makalah ini, yang akan
membahas lebih lanjut mengenai apa itu historiografi?, hal apa saja yang harus
diperhatikan dalam melakukan tahapan historiografi?, serta mengapa
historiografi itu penting dalam Ilmu Sejarah ?
B. Pembahasan
1. Definisi
Manusia budaya sebagai homo sapiens memiliki memori yang
berfungsi untuk menyimpan dan memproduksi pengalaman hidup baik individual
maupun kolektif. Pengungkapan pengalaman masa lampau berarti suatu “pementasan”
peristiwa, tidak hanya untuk memperingatinya dalam arti huruf, tetapi lebih
untuk mengaktualisasikannya (menjadikannya nyata atau rill pada masa kini).[2]
Pertanyaannya adalah bagimana menghadirkan peristiwa masa lampau ke masa kini?
Pengertian kembali menghadirkan masa lampau ke masa kini,
bukan berarti mengembalikan manusia pada masa sekarang ke dalam peristiwa masa
lampau, karena hal itu sangatlah mustahil, tapi yang dimaksudkan adalah
menghadirkan masa lampau ke masa kini melalui suatu tulisan. Dalam masyarakat
pra-peradaban pementasan pengalaman kolektif selalu terwujud sebagai tradisi
lisan, hal ini baru berubah setelah masuk ke tahap masyarakat peradaban, pengalaman
tersebut diwujudkan ke dalam bentuk cerita tertulis. Disinilah lahirlah
historiografi. [3]
Secara etimologis, istilah historiografi
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari 2 kata yaitu “historia” dan
“grafein” yang berarti gambaran, tulisan atau uraian. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah historia cenderung digunakan untuk menyebut
pengkajian kronologis tentang tindakan manusia pada masa lampau. Dalam bahasa
inggris kemudian dikenal dengan istilah “historiography”, yang didefinisikan secara umum sebagai “a study of historical writing” (pengkajian tentang penulisan sejarah).[4]
Dari
sedikit uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa historiografi mempunyai dua
makna, pertama, historiografi sebagai
penulisan sejarah (historical writing).
Ke-dua, historiografi sebagai sejarah
penulisan sejarah (historical of historical writing), [5] dengan demikian maka
penulis menganggap perlu untuk membatasi masalah pada pembahasan mengenai
historiografi sebagai penulisan sejarah,[6]
sebagai penulisan sejarah historiografi dipelajari pada mata kuliah metodologi
sejarah.
Menurut Garrgahan, istilah
historiografi dalam metodologi sejarah, digunakan untuk menyebut langkah
terakhir dari metode penelitian sejarah, yakni proses menyusun secara tertulis
hasil temuan-temuan yang diperoleh dalam satu penelitian sejarah menjadi cerita
yang siap untuk dibaca para pembacanya. Proses penyusunan hasil-hasil temuan
penelitian sejarah itu juga sering disebut sebagai proses rekonstruksi sejarah,
dengan asumsi bahwa masa lampau sebagai aktualitas, merupakan sebuah konstruksi
sebagai hasil dari proses-proses sosial, dengan segala kompleksitasnya dalam
satu komunitas manusia.[7]
Gostchalk juga sependapat
dengan definisi yang disampaikan oleh Garrgahan, menurutnya historiografi
merupakan tahapan terakhir dalam metode sejarah, melalui rekontruksi yang
imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
proses.[8]
Adapun Proses yang dimaksudkan
adalah heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi
(penafsiran) dan historiografi. Sebenarnya antara interpretasi dan
historiografi merupakan dua tahapan yang tidak bisa dipisahkan, karena tahapan
penulisan sejarah mecakup ke dalam interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah
sampai kepada pemaparan sejarah ke dalam bentuk tulisan.
2. Tahapan dalam Historiografi
Di
atas telah dikemukakan bahwa historiografi adalah kegiatan atau tahapan
memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan sejarah. Menulis sejarah merupakan
suatu kegiatan intelektual, selain itu hal ini juga merupakan cara yang utama
untuk memahami sejarah.[9] Ketika sejarawan memasuki
tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja
keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang
terutama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia
pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu
dalam suatu penulisan utuh (historiografi). Adapun yang menjadi tahapan-tahapan
dalam historiografi adalah kronologis, interpretasi, pendekatan, prediksi dan
generalisasi, berikut penjelasannya.
a. Kronologis
Kronologis merupakan tahapan pertama
dalam historiografi yang harus diperhatikan oleh penulis. Historiografi atau
penulisan sejarah yang paling masuk akal adalah penyusunan yang secara
kronologis, yakni dalam periode-periode waktu yang berurutan, sehingga perode
perisiiwa sejarah yang dipaparkan tidak terkesan melompat-lompat, dalam sejarah
tahapan ini disebut juga dengan periodesasi.
b. Interpretasi
Interpretasi
berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (facts) atau bukti-bukti sejarah (evidences). Mengingat pada dasarnya bahwa bukti-bukti sejarah yang
didapatkan hanyalah sebagai saksi-saksi bisu belaka. Fakta-fakta dalam bukti
sejarah itu tidak bisa bicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya dari realitas
masa lalu, sehingga fakta ini harus dituangkan ke dalam bentuk tulisan
(historiografi). Interpretasi sejarah sendiri bisa dilakukan ke dalam
beberapa bentuk penafsiran, seperti:
1) Determinasi
sosial
2) Penafsiran
geografis
3) Penafsiran
ekonomi
4) Penafsiran
orang besar
5) Penafsiran
spiritual
6) Penafsiran
ilmu dan teknologi
7) Penafsiran
sosiologis
8)
Penafsiran sintesis. [10] Jika langkah interpretasi
ini selesai dilakukan, tahapan yang kemudian dilakukan adalah tahapan
pendekatan.
c. Pendekatan
Pendekatan adalah sudut pandang yang digunakan dalam meninjau serta mengupas
suatu permasalahan, dapat ditentukan cara dalam menganalisis permasalahan dan menjadi titik awal dalam meninjau
permasalahan.[11]
Oleh sebab itu, penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada
pendekatan yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang
diperhatikan dan unsur-unsur mana yang akan diungkapkan.
Pendekatan
dalam historiografi atau penulisan sejarah bisa dilakukan dengan menggunakan
ilmu bantu sejarah, yakni peninjauan sejarah dari ilmu lain seperti arkeologi,
sosiologi, antropologi, agama, politik, ekonomi dll. Seperti yang diungkapkan
oleh Veyne dalam Writing History,
yang menyatakan bahwa suskes tidaknya seorang sejarawan dalam tulisannya
bergantung pada kepiawaiannya dalam menganalisis dan menghubungkan data,
keahlian menerjemahkan sikap pelaku sejarah, serta ketajaman intuisinya dalam
menelusuri jalan pikiran, mentalitas, dan kecenderungan kelompok atau bangsa
yang diteliti dan ditulis. Adapun penerapan pendekatan berbagai disiplin ilmu
dalam penulisan sejarah dilakukan dengan
cara meminjam konsep atau teori-teori dari ilmu bantu tersebut yang berkaitan
dengan peristiwa sejarah yang akan ditulis.
d. Prediksi (untuk peristiwa masa lampau)
Prediksi dalam sejarah (history of future), bisa diartikan sebagai
pembuatan proyeksi ke depan atau ke masa depan. Hal ini dianggap sangat perlu,
karena tanpa pandangan atau proyeksi ke depan tadi, sejarah serupa seseorang
yang meloncat dalam gelap, yaitu melangkah tanpa arah pasti. Hanya saja, seperti disebutkan
Kuntowijoyo, prediksi dalam sejarah bukanlah tugas pokok sejarawan, tetapi yang
menjadi tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi masa lampau. Menurut
sejarawan dan budayawan muslim ini, tentang prediksi itu, awal kali muncul,
yang ada hanya ramalan (prediksi cuaca), ramalan bisnis dan ramalan statistic.
Akan tetapi kalaupun sejarawan mau membuat prediksi dalam sejarah, yaitu
berbicara tentang masa depan, ia harus ekstra hati-hati. Sebab, sejarah tidak
memiliki fakta untuk itu. Prediksi sejarah menurut Kuntowijoyo, hanya
ekstrapolasi, atau pemikiran berdasarkan historical trend.
Tidak jauh berbeda dengan
Kuntowijoyo, untuk melakukan prediksi histories ini, Louis Gottschalk,
menawarkan langkah operasional lebih kongkrit dan dianggap dapat membantu ahli
sejarah. Pertama, operasional pemikiran dengan penuh hati-hati sejarawan
melakukan prediksi-prediksi sendiri. Kedua, operasional dengan membuat analogi
sejarah atau mengqiyaskan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, serta
dengan mengusut trend-trend sejarah. [12]
Perlu dibedakan antara ramalan
atau prediksi dalam sejarah dengan prediksi dalam politik atau sosiologi. Dalam
politik dan sosiologi, prediksi cenderung didasarkan pada fenomena social, dan
ramalan dalam bidang ini diperlukan sebagai antisipasi-antisipasi ke depan agar
terindar dari kebijakan-kebijakan keliru dan bahaya. Akan tetapi prediksi dalam
sejarah harus dilandaskan pada data masa lalu itu sendiri. Dengan peristiwa
masa lalu itulah, prediksi kecenderungan masa depan diprioritaskan secara
optimal.
e. Generalisasi
Secara teoritik generalisasi sejarah merupakan suatu
pernyataan atau terminology yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus,
peristiwa atau kejadian. Dengan demikian ia merupakan konsekuensi logis dari
perikembangan alami (natural) metode
inkuiri sejarah.
Tujuan
dari generalisasi sejarah adalah pertama,
untuk memperkaya perbendaharaan pengetahuan kita mengenai masa lampau. Tak
seorangpun dapat berharap untuk menginvestigasi dan meneliti semua peristiwa
sejarah di masa lampau, jadi, ia harus bergantung kepada penemuan-penemuan dan
kesimpulan-kesimpulan para ahli sejarah. Kedua,
generalisasi sejarah memberikan kemudahan-kemudahan dalam komunikasi.
Peristiwa-peristiwa yang terlalu particular dan spesifik cenderung tertutup dan
sempit, serta kurang membuka wawasan yang terbuka luas. Ketiga, berfungsi untuk memberikan arah kepada kita dalam hendak
mengambil keputusan-keputusan yang telah secara tentative didasarkan kepada
prediksi berdasarkan hasil-hasil yang pernah ada, yaitu sejarah. Sekalipun
generalisasi memiliki berbagai keterbatasan, namun tetap terasa sangat penting
bagi kehidupan pragmatik kita sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan. [13]
3. Tekhnik dalam Historiografi
Setelah
keseluruh tahapan di atas selesai dilakukan, maka historiografi bisa dilakukan.
Akan tetapi historiografi ini bukanlah perkara yang gampang, karena menulis
sejarah tidaklah cukup sekedar meringkas hasil-hasil penelitiannya, menuliskan
kesimpulan-kesimpulannya tanpa memperhatikan gaya, serta strategi bagaimana
dapat menampilkan kemampuan penulisannya secara efektif, sehingga pembaca dapat
diyakinkan dan mau menerima hasil pemahamannya melalui interpretasi mengenai
peristiwa, periode, individu dan proses sejarah. Dengan kata lain dalam
menuliskan sejarah harus memiliki kiat atau strategi tersendiri, seperti yang akan
dijelaskan dibawah ini.
Sebelum
menulis sebuah tulisan sejarah, terlebih dahulu harus memiliki strategi dan
memperhatikan beberapa hal penting seperti, audiens, apa yang harus ditulis,
bentuk dan kategori penulisan, gaya penulisan serta struktur penulisan dan
perangkat ilmiah. [14]Berikut penjelasannya:
a. Audiens
Penulis
sejarah harus menentukan bagaimana caranya menghadapi tiga jenis pembaca, yakni
dirinya sendiri, pembaca-pembaca langsung seperti dosen pembimbing, penguji dan
sebagainya, serta pembaca universal baik dimasa kini maupun di masa mendatang.[15]
b. Apa yang harus ditulis ?
Perlu
dipahami bahwa pertanyaan mengenai apa yang harus ditulis?, Bukan berarti masih
mencari masalah atau judul yang ingin ditulis, karena penentuan masalah dan
judul sudah dilakukan sebelum tahapan heuristik. Maksud dari pertanyaan ini
adalah penulis sejarah mampu memutuskan apa yang penting mengenai karyanya dan
memilih butir-butir yang diterima pembaca mengenai risetnya tersebut.
Butir-butir penting inilah yang nantinya ditulis dan dikomunikasikan kepada
pembaca lewat tulisannya.
c. Bentuk atau kategori penulisan
Kategori
penulisan sejarah dapat dikembangkan menjadi tiga kategori yakni naratif,
deskriktif dan analitik. Dalam penulisan sejarah, ke-tiga kategori tersebut dapat
digunakan secara bersamaan. Namun agar dapat dengan mudah dipahami, dalam
tulisan ini akan dijelaskan satu persatu definisi dari naratif, deskriptif dan
analitik.
Naratif
dipergunakan untuk mengisahkan suatu cerita dan alur peristiwa menurut sekuensi
waktu (kronologis), sedangkan penulisan deskriptif digunakan untuk
menggambarkan bentuk-bentuk atau struktur lembaga atau kehidupan masyarakat
dalam periode waktu tertentu. Seperti tulisan mengenai bagaimana kehidupan
keluarga kerajaan, struktur birokrasi serta berbagai jabatan di dalamnya serta
peranan bangsawan sebagai pendukung raja pada masa abad pertengahan.
Sedangkan
untuk bentuk penulisan analitik adalah penulisan sejarah dengan mengembangkan
analisis untuk memberikan solusi suatu problem. Struktur penulisan analitik
lebih mengedepankan problem-problem dan bagian-bagian komponennya, menghadirkan
bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dan menunjukkan melalui
argument-argumen yang rasional, bagaimana upaya pengujian bukti-bukti ini dapat
menolong untuk memecahkan problem-problem yang sedang dihadapi dan dipikirkan.
Meskipun
ke-tiga kategori diatas berbeda dalam definisi dan kegunaannya, namun
ke-tiganya dapat digunakan secara bersamaan. Ketika sejarawan menulis,
sebenarnya merupakan keinginan untuk menjelaskan (eksplanasi) sejarah dengan
cara mencipta ulang (re-create) dan
menafsirkan (interpret), mencipta
ulang sama halnya dengan menceritakan kembali sehingga cara ini menggunakan
bentuk deskriptif dan naratif, sedangkan menafsirkan menuntut penulis untuk
menggunakan bentuk analitik.[16]
Sehubungan
dengan teknik deskriptif, naratif dan analitik, sebenarnya sebagian besar isi
dari tulisan sejarah merupakan “cerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan
oleh para sejarawan itu merupakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik
atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi dan narasi
ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis
dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history). [17]
Adapun
perbedaan antara bentuk penulisan sejarah model lama dan model baru dapat
dilihat pada table di bawah ini:
Perbedaan
Old History dan New History
No.
|
Sejarah Lama (Old History)
|
Sejarah Baru (New History)
|
1
|
Dinamakan
sejarah konvensional,
atau sejarah
tradisional, maupun
sejarah total
(total history)
|
Dinamakan
sejarah baru maupun scientific history atau social-scientific history.
|
2
|
Lebih
berorientasi pada peristiwa
|
Lebih
berorientasi pada problema
|
3
|
Ruang-lingkupnya
sempit/terbatas,
pada pengalaman
&
kehidupan
|
Ruang-lingkupnya
luas mencakup
segala aspek
kehidupan manusia
|
4
|
Temanya
terbatas pada sejarah
politik &
ekonomi lama saja
|
Temanya luas
dan bervariasi; sejarah
kebudayaan,
politik baru, perekonomian
baru, agraria,
pendidikan, intelektual,
psycho
history, sejarah lokal, sejarah
etnis, dsb
|
5
|
Para pelaku
sejarah terbatas pada
raja-raja,
orang besar, pahlawan,
petinggi
militer.
|
Para pelaku
sejarah luas dan bervariasi; semua lapisan masyarakat (bawah maupun elite).
|
6
|
Pemaparannya
deskriptif-naratif
|
Pemaparannya
analitis-kritis
|
7
|
Tanpa
pendekatan ilmu-ilmu
sosial yang
memadai
(monodisiplin
maupun
unidimensional)
ilmu sosial.
|
Menggunakan
pendekatan inter/ multidisipliner (ekonomi, budaya, soiologi, politik, psikologi,
geografis, dsb)
|
d. Gaya penulisan
Menulis karya sejarah baik yang
berupa makalah ataupun buku, sebenarnya merupakan suatu paduan antara seni (art) dan ilmu (sience). Dengan demikian para sejarawan dituntut kemampuan dan
ketrampilannya dalam menulis, suatu tuntutan yang tidak bisa ditawa-tawar lagi
atau dengan kata lain menjadi hal yang wajib dimiliki oleh sejarawan.
Dalam
menulis suatu tulisan sejarah, hendaknya ditulis dalam gaya bahasa yang resmi
dan formal (sesuai dengan kaidah EYD), mengingat karya tulis sejarah baik dalam
bentuk paper, artikel ataupun buku sejarah, bukanlah surat yang ditujkan kepada
teman. James Joyce dan Get rude Stan, merumuskan bagaimana cara penulisan
sejarah yang baik ke dalam lima hendaknya (five
do) dan empat jangan (four don’ts).
Lima
hendaknya untuk pedoman dalam penulisan sejarah yakni konsisten, sederhana,
spesifik, struktur yang seimbang dan alami. Sedangkan “empat jangan” atau empat
hal yang tidak boleh dilakukan dalam penulisan sejarah adalah, pertama jangan menggunakan bahasa yang
tak resmi, ke-dua) Jangan menggunakan
kutipan terlalu banyak, ke-tiga) Jangan
menggunakan kalimat pasif, ke-empat) Jangan
menyalahgunakan bentuk-bentuk retorik. [18]
e. Struktur Penulisan dan Perangkat ilmiah.
Sebenarnya banyak model yang bisa digunakan
dalam membuat struktur penulisan sejarah, tidak ada patokan utama yang menjadi
pedoman. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan struktur penulisan
antara satu universitas dengan universitas lainnya. Namun dalam makalah ini akan
mencoba untuk memberikan gambaran mengenai struktur penulisan sejarah,
berdasarkan bentuk model dari Allan J. Lihctman, meskipun sekali lagi model ini
tidak mewakili format penulisan seluruh karya tulis penelitian sejarah. Berikut
gambarannya:
JUDUL:
PENULISAN (HISTORIOGRAFI)
I.
Introduksi
A. Pendahuluan
B. Permasalahan
C. Kajian Teori
D. Pra Penemuan
E. Diskusi Metodologis
II.
Tubuh: Evidensi dan Argumentasi
III.
Kesimpulan
A. Kesimpulan Sintetik
B. Implikasi dan Penelitian Lanjutan
IV.
Perangkat Ilmiah
A. Catatan Tubuh/Catatan Kaki
B. Bibliografi
C. Lampiran
Meskipun
tidak ada patokan yang mengharuskan tulisan sejarah ditulis dengan strukur yang
sama, akan tetapi disetiap tulisan sejarah harus menyajikan apparatus ilmiah
dalam karangannya, berupa footnote
(catatan kaki), catatan tubuh atau lampiran-lampiran atau detail bibliografi
yang telah dikutip dan dimasukkan ke dalam tulisannya.[19]
4.
Fungsi Historiografi
Uraian di atas telah membahas mengenai definisi
serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses historiografi, untuk kali
ini akan dijelaskan mengenai “mengapa historiografi itu penting dalam ilmu
sejarah?”, pertanyaan seperti ini akan terjawab setelah kita mengetahui
kegunaan atau fungsi dari historiografi itu sendiri. Pemaparan sejarah ke dalam
bentuk tulisan, tidak hanya berfungsi untuk memaparkan fakta dan data tentang
kejadian-kejadian di masa lampau, tetapi penulisan tersebut memuat berbagai
makna. Diantaranya fungsi genetis, fungsi didaktis dan fungsi pragmatis.
Fungsi genetis historiografi adalah
pengungkapan genetis suatu peristiwa sehingga dapat direkontruksikan seluruh
kejadian sekitar peristiwa tersebut. Misalkan dalam menghadapi
persoalan-persoalan politik besar, pencarian penyelesaiannya tidak dapat
dilakukan tanpa pengetahuan latar belakang genetis persoalan-persoalan tersebut.
Fungsi didaktis, berguna untuk mewariskan suatu tradisi, kebijakan, pengetahuan
dll, dari generasi ke generasi lainnya, karena tulisan sejarah sebagai cerita
pengalaman kolektif rupanya memuat banyak pelajaran, hikmah, suri teladan bagi
pembaca pada umumnya dan generasi berikut pada khususnya. Sedangkan untuk
fungsi pragmatis, historiografi berguna untuk melegitimasikan suatu kekuasaan
khususnya dan situasi politik pada umunya,[20] sehingga bisa dipahami
bahwa fungsi pragmatis ini mungkin lebih banyak terdapat dalam tulisan sejarah
konvensional.
C. Kesimpulan
Historiografi berasal dari bahasa
Yunani, yang terdiri dari dua kata yakni Historia dan grafien yang berarti
gambaran, tulisan atau uraian. Pada perkembangannya terdapat dua perbedaan
mengenai definisi dari historiografi, pendapat pertama menjelaskan bahwa
historiografi berarti penulisan sejarah (historical
writing) dan sejarah penulisan sejarah (historical
of historical writing).
Sebagai penulisan sejarah,
historiografi merupakan tahapan terakhir dalam metodologi sejarah, karena semua
tahapan penelitian sejarah mulai dari penentuan masalah hingga tahapan kritik
sumber (verifikasi), kesemuanya harus diungkapkan ke dalam bentuk tulisan.
Namun sebelum memasuki tahapan historiografi ada tahapan lain yang sangat
menunjang keberhasilan dari historiografi, yakni tahapan interpretasi
(penafsiran) atau menganalisi semua fakta yang telah berhasil dikumpul.
Setelah tahapan ini selesai
dilakukan, barulah historiografi bisa dilakukan. Tentunya dengan memperhatikan
beberapa unsur supaya historiografi tersebut menjadi bagus, unsur-unsur
tersebut diantaranya audiens, butir tulisan, bentuk atau kategori penulisan,
gaya penulisan serta struktur penulisan. Kesemua unsur tersebut sangat
menentukan apakah hasil historiografi tersebut diterima oleh para pembaca. Selain
sebagai tahapan untuk memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan, guna
mengungkapkan fakta-fakta suatu peristiwa pada masa lampau, ternyata
historiografi juga memiliki kegunaan atau fungsi lain seperti funsi genetis,
fungsi didagtis dan fungsi pragmatis.
Daftar Pustaka
Daliman. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Gottchalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah,
Penerjemah Nugraho Notosusanto, Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya
diakses
hari kamis pukul 20.00 Wib
Irwanto, Dedi. dkk.2014. Metodologi dan Historiografi
Sejarah. Jakarta: Eja_Publisher
Kartodirjo, Sartono.
2014. Pendekatan Ilmu Sosial dalam
Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Sjamsuddin,
Helius. 2007. Metodlogi Sejarah.
Yogyakarta: Penerbit Ombak
Slamet, Subekti.______. Tinjauan Kritis Terhadap Kecendrungan Historiografi Indonesia Masa Kini
(Jurnal).______
Yass,
Marzuki AB. 2004. Metodologi Sejarah dan
Historiografi. Palembang: Universitas Sriwijaya.
[1] Daliman, 2012, Metode Penelitian Sejarah. (Yogyakarta:
Penerbit Ombak), hlm. 99
[2] Sartono Kartodirjo, 2014, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak), hlm. 272
[3] Ibid
[5] Dedi Irwanto dan Alian Sair,
2014, Metodologi dan Historiografi
Sejarah, (Yogyakarta: Eja_Publisher), hlm. 151
[6] Perlunya pembatasan masalah, mengingat pembahasan mengenai
historiografi sangatlah luas, karena historiografi memiliki dua makna yakni
sebagai penulisan sejarah dan sejarah penulisan sejarah, pada definisi pertama
ini menjelaskan cara memaparkan hasil penelitian sejarah ke dalam bentuk
tulisan, sehingga penulis berasumsi untuk lebih menekankan pembahasan mengenai
penulisan sejarah daripada sejarah penulisan sejarah, agar nantinya makalah
mengenai penulisan sejarah ini bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan para
pembaca dalam menulis suatu tulisan sejarah.
[7] Slamet subekti,______,Tinjauan Kritis Terhadap Kecendrungan
Historiografi Indonesia Masa Kini (Jurnal), hlm. 2
[8] Louis Gosttchalk. 1986. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho
Notosusanto, (Jakarta: UI Press), hlm. 32
[9] Hellius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta:
Penerbit ombak), hlm. 156
[10] Ibid, hlm. 164-170
[11] Marzuki Yass, 2004, Metodologi Sejarah dan Historiografi,
Palembang: Universitas Sriwijaya, hlm. 47
[12] Menurut Louis Gottschalk setidak-tidaknya
ada tiga cara dimasa kini untuk menentukan bagaimana sejarawan akan menafsirkan
masa lampau. Cara yang pertama berdasarkan analogi-analogi psikologis diantara
proses-proses mental sejarawan dan proses mental tokoh yang dipelajarinya.
Kedua, berdasarkan iklim intelektual, ketiga bersumber pada eksploitasi
peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi sebagai ganti sesuatu laboratorium;
dari episode-episode dan perkembangan-perkembangan zamannya sendiri ia
menyimpulkan analogi-analogi sejarah kepada episode-episode dan
perkembangan-perkembangan masa lampau.( Louis Gottschalk, 1985, Mengerti Sejarah, hlm. 235)
[13] Daliman, 2012, Metode Penelitian
Sejarah, hlm. 95
[14] Daliman, 2012, Metode Penelitian
Sejarah, hlm.100-118
[15] Op, Cit. Dedi Irwanto dan Alian Sair, hlm. 160
[16] Hellius Sjamsuddin, 2007, Metolodi Sejarah, hlm. 158
[17] Sartono Kartodirjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah¸(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hlm. 44-49, dalam buku ini
memang tidak dijelaskan secara langsung hal yang membedakan antara penulisan
sejarah lama dan sejarah baru, bahkan dalam buku ini istilah yang digunakan
adalah sejarah konvensional dan sejarah politik (gaya baru). Meskipun berbeda
namun intiny atetap sama adalah perbedaan antara sejarah konvensional dan modern,
dalam makalah ini sengaja dituliskan ke dalam bentuk tabel agar mudah dipahami.
[18] Daliman,2012, Metode Penulisan Sejarah. hlm. 111-117
[19] Dedi Irwanto dan Alian Syair, 2014,
Cara Cepat Menulis Sejarah, hlm. 160
[20] Sartono Kartodirjo, 2014, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi
Sejarah, hlm. 274-275
Tidak ada komentar:
Posting Komentar