SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 03 Januari 2015

Pemaparan Sejarah

A. Pendahuluan
Penelitian sejarah tidak akan pernah berarti jika hasil penelitian tidak dituangkan ke dalam suatu tulisan sejarah, semua tahapan yang dilakukan mulai dari penentuan masalah hingga kritik sumber akan menjadi hal yang sia-sia. Namun dalam menuangkan hasil penelitian ke dalam suatu tulisan sejarah, tentunya memerlukan proses atau tahapan-tahapan tersendiri.
Dalam kajian ilmu sejarah, hasil penelitian sejarah yang dipaparkan ke dalam bentuk tulisan disebut dengan historiografi, hal ini menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil yang diungkap, diuji dan interpretasikan. Kalau penelitian sejarah bertugas merekontruksi sejarah masa lampau, maka rekontruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis.
Dalam memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan, tentunya harus menghadirkan aturan-aturan logika (analisis) dari penulis berdasarkan bukti-bukti empirik yang didapatkan (interpretasi), sehingga tulisan yang dihasilkan menjadi lebih menarik untuk dibaca, selain itu aspek lain yang harus diperhatikan adalah kejelasan struktur dan gaya bahasa, jika semua hal itu bisa dipenuhi dengan menampilkan kejelasan, kekuatan serta kerapian dalam penulisan, maka tulisan sejarah yang dihasilkan merupakan perpaduan antara keahlian kesejarawan dan kesasterawanan.[1]
Berdasarkan beberapa uraian di atas, terlihat bahwa historiografi merupakan tahap yang sangat menentukan dalam suatu penelitian sejarah, arti penting inilah yang menyebabkan penulis menuangkan pemikiran ke dalam makalah ini, yang akan membahas lebih lanjut mengenai apa itu historiografi?, hal apa saja yang harus diperhatikan dalam melakukan tahapan historiografi?, serta mengapa historiografi itu penting dalam Ilmu Sejarah ?


B. Pembahasan
1. Definisi
Manusia budaya sebagai homo sapiens memiliki memori yang berfungsi untuk menyimpan dan memproduksi pengalaman hidup baik individual maupun kolektif. Pengungkapan pengalaman masa lampau berarti suatu “pementasan” peristiwa, tidak hanya untuk memperingatinya dalam arti huruf, tetapi lebih untuk mengaktualisasikannya (menjadikannya nyata atau rill pada masa kini).[2] Pertanyaannya adalah bagimana menghadirkan peristiwa masa lampau ke masa kini?
Pengertian kembali menghadirkan masa lampau ke masa kini, bukan berarti mengembalikan manusia pada masa sekarang ke dalam peristiwa masa lampau, karena hal itu sangatlah mustahil, tapi yang dimaksudkan adalah menghadirkan masa lampau ke masa kini melalui suatu tulisan. Dalam masyarakat pra-peradaban pementasan pengalaman kolektif selalu terwujud sebagai tradisi lisan, hal ini baru berubah setelah masuk ke tahap masyarakat peradaban, pengalaman tersebut diwujudkan ke dalam bentuk cerita tertulis. Disinilah lahirlah historiografi. [3]    
Secara etimologis, istilah historiografi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari 2 kata yaitu “historia” dan “grafein” yang berarti  gambaran, tulisan atau uraian. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah historia cenderung digunakan untuk menyebut pengkajian kronologis tentang tindakan manusia pada masa lampau. Dalam bahasa inggris kemudian dikenal dengan istilah historiography, yang didefinisikan secara umum sebagai “a study of historical writing” (pengkajian tentang penulisan sejarah).[4]
Dari sedikit uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa historiografi mempunyai dua makna, pertama, historiografi sebagai penulisan sejarah (historical writing). Ke-dua, historiografi sebagai sejarah penulisan sejarah (historical of historical writing), [5] dengan demikian maka penulis menganggap perlu untuk membatasi masalah pada pembahasan mengenai historiografi sebagai penulisan sejarah,[6] sebagai penulisan sejarah historiografi dipelajari pada mata kuliah metodologi sejarah.
Menurut Garrgahan, istilah historiografi dalam metodologi sejarah, digunakan untuk menyebut langkah terakhir dari metode penelitian sejarah, yakni proses menyusun secara tertulis hasil temuan-temuan yang diperoleh dalam satu penelitian sejarah menjadi cerita yang siap untuk dibaca para pembacanya. Proses penyusunan hasil-hasil temuan penelitian sejarah itu juga sering disebut sebagai proses rekonstruksi sejarah, dengan asumsi bahwa masa lampau sebagai aktualitas, merupakan sebuah konstruksi sebagai hasil dari proses-proses sosial, dengan segala kompleksitasnya dalam satu komunitas manusia.[7]
Gostchalk juga sependapat dengan definisi yang disampaikan oleh Garrgahan, menurutnya historiografi merupakan tahapan terakhir dalam metode sejarah, melalui rekontruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses.[8] Adapun Proses yang dimaksudkan adalah heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber), interpretasi (penafsiran) dan historiografi. Sebenarnya antara interpretasi dan historiografi merupakan dua tahapan yang tidak bisa dipisahkan, karena tahapan penulisan sejarah mecakup ke dalam interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada pemaparan sejarah ke dalam bentuk tulisan.

2. Tahapan dalam Historiografi
Di atas telah dikemukakan bahwa historiografi adalah kegiatan atau tahapan memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan sejarah. Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual, selain itu hal ini juga merupakan cara yang utama untuk memahami sejarah.[9] Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan dan catatan-catatan, tetapi yang terutama adalah penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh  hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu penulisan utuh (historiografi). Adapun yang menjadi tahapan-tahapan dalam historiografi adalah kronologis, interpretasi, pendekatan, prediksi dan generalisasi, berikut penjelasannya.
a. Kronologis
            Kronologis merupakan tahapan pertama dalam historiografi yang harus diperhatikan oleh penulis. Historiografi atau penulisan sejarah yang paling masuk akal adalah penyusunan yang secara kronologis, yakni dalam periode-periode waktu yang berurutan, sehingga perode perisiiwa sejarah yang dipaparkan tidak terkesan melompat-lompat, dalam sejarah tahapan ini disebut juga dengan periodesasi.

b. Interpretasi
Interpretasi berarti menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (facts) atau bukti-bukti sejarah (evidences). Mengingat pada dasarnya bahwa bukti-bukti sejarah yang didapatkan hanyalah sebagai saksi-saksi bisu belaka. Fakta-fakta dalam bukti sejarah itu tidak bisa bicara sendiri mengenai apa yang disaksikannya dari realitas masa lalu, sehingga fakta ini harus dituangkan ke dalam bentuk tulisan (historiografi). Interpretasi sejarah sendiri bisa dilakukan ke dalam beberapa bentuk penafsiran, seperti:
1)      Determinasi sosial
2)      Penafsiran geografis
3)      Penafsiran ekonomi
4)      Penafsiran orang besar
5)      Penafsiran spiritual
6)      Penafsiran ilmu dan teknologi
7)      Penafsiran sosiologis
8)      Penafsiran sintesis. [10] Jika langkah interpretasi ini selesai dilakukan, tahapan yang kemudian dilakukan adalah tahapan pendekatan.

c. Pendekatan
Pendekatan adalah sudut pandang  yang digunakan dalam meninjau serta mengupas suatu permasalahan, dapat ditentukan cara dalam menganalisis permasalahan  dan menjadi titik awal dalam meninjau permasalahan.[11] Oleh sebab itu, penggambaran mengenai suatu peristiwa sangat tergantung pada pendekatan yaitu dari segi mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan dan unsur-unsur mana yang akan diungkapkan.
Pendekatan dalam historiografi atau penulisan sejarah bisa dilakukan dengan menggunakan ilmu bantu sejarah, yakni peninjauan sejarah dari ilmu lain seperti arkeologi, sosiologi, antropologi, agama, politik, ekonomi dll. Seperti yang diungkapkan oleh Veyne dalam Writing History, yang menyatakan bahwa suskes tidaknya seorang sejarawan dalam tulisannya bergantung pada kepiawaiannya dalam menganalisis dan menghubungkan data, keahlian menerjemahkan sikap pelaku sejarah, serta ketajaman intuisinya dalam menelusuri jalan pikiran, mentalitas, dan kecenderungan kelompok atau bangsa yang diteliti dan ditulis. Adapun penerapan pendekatan berbagai disiplin ilmu dalam penulisan sejarah  dilakukan dengan cara meminjam konsep atau teori-teori dari ilmu bantu tersebut yang berkaitan dengan peristiwa sejarah yang akan ditulis.

d. Prediksi (untuk peristiwa masa lampau)
Prediksi dalam sejarah (history of future), bisa diartikan sebagai pembuatan proyeksi ke depan atau ke masa depan. Hal ini dianggap sangat perlu, karena tanpa pandangan atau proyeksi ke depan tadi, sejarah serupa seseorang yang meloncat dalam gelap, yaitu melangkah tanpa arah pasti. Hanya saja, seperti disebutkan Kuntowijoyo, prediksi dalam sejarah bukanlah tugas pokok sejarawan, tetapi yang menjadi tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi masa lampau. Menurut sejarawan dan budayawan muslim ini, tentang prediksi itu, awal kali muncul, yang ada hanya ramalan (prediksi cuaca), ramalan bisnis dan ramalan statistic. Akan tetapi kalaupun sejarawan mau membuat prediksi dalam sejarah, yaitu berbicara tentang masa depan, ia harus ekstra hati-hati. Sebab, sejarah tidak memiliki fakta untuk itu. Prediksi sejarah menurut Kuntowijoyo, hanya ekstrapolasi, atau pemikiran berdasarkan historical trend.
Tidak jauh berbeda dengan Kuntowijoyo, untuk melakukan prediksi histories ini, Louis Gottschalk, menawarkan langkah operasional lebih kongkrit dan dianggap dapat membantu ahli sejarah. Pertama, operasional pemikiran dengan penuh hati-hati sejarawan melakukan prediksi-prediksi sendiri. Kedua, operasional dengan membuat analogi sejarah atau mengqiyaskan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, serta dengan mengusut trend-trend sejarah. [12]
Perlu dibedakan antara ramalan atau prediksi dalam sejarah dengan prediksi dalam politik atau sosiologi. Dalam politik dan sosiologi, prediksi cenderung didasarkan pada fenomena social, dan ramalan dalam bidang ini diperlukan sebagai antisipasi-antisipasi ke depan agar terindar dari kebijakan-kebijakan keliru dan bahaya. Akan tetapi prediksi dalam sejarah harus dilandaskan pada data masa lalu itu sendiri. Dengan peristiwa masa lalu itulah, prediksi kecenderungan masa depan diprioritaskan secara optimal.

e. Generalisasi
            Secara teoritik generalisasi sejarah merupakan suatu pernyataan atau terminology yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus, peristiwa atau kejadian. Dengan demikian ia merupakan konsekuensi logis dari perikembangan alami (natural) metode inkuiri sejarah.
Tujuan dari generalisasi sejarah adalah pertama, untuk memperkaya perbendaharaan pengetahuan kita mengenai masa lampau. Tak seorangpun dapat berharap untuk menginvestigasi dan meneliti semua peristiwa sejarah di masa lampau, jadi, ia harus bergantung kepada penemuan-penemuan dan kesimpulan-kesimpulan para ahli sejarah. Kedua, generalisasi sejarah memberikan kemudahan-kemudahan dalam komunikasi. Peristiwa-peristiwa yang terlalu particular dan spesifik cenderung tertutup dan sempit, serta kurang membuka wawasan yang terbuka luas. Ketiga, berfungsi untuk memberikan arah kepada kita dalam hendak mengambil keputusan-keputusan yang telah secara tentative didasarkan kepada prediksi berdasarkan hasil-hasil yang pernah ada, yaitu sejarah. Sekalipun generalisasi memiliki berbagai keterbatasan, namun tetap terasa sangat penting bagi kehidupan pragmatik kita sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan. [13]

3. Tekhnik dalam Historiografi
Setelah keseluruh tahapan di atas selesai dilakukan, maka historiografi bisa dilakukan. Akan tetapi historiografi ini bukanlah perkara yang gampang, karena menulis sejarah tidaklah cukup sekedar meringkas hasil-hasil penelitiannya, menuliskan kesimpulan-kesimpulannya tanpa memperhatikan gaya, serta strategi bagaimana dapat menampilkan kemampuan penulisannya secara efektif, sehingga pembaca dapat diyakinkan dan mau menerima hasil pemahamannya melalui interpretasi mengenai peristiwa, periode, individu dan proses sejarah. Dengan kata lain dalam menuliskan sejarah harus memiliki kiat atau strategi tersendiri, seperti yang akan dijelaskan dibawah ini.
Sebelum menulis sebuah tulisan sejarah, terlebih dahulu harus memiliki strategi dan memperhatikan beberapa hal penting seperti, audiens, apa yang harus ditulis, bentuk dan kategori penulisan, gaya penulisan serta struktur penulisan dan perangkat ilmiah. [14]Berikut penjelasannya:
a. Audiens
Penulis sejarah harus menentukan bagaimana caranya menghadapi tiga jenis pembaca, yakni dirinya sendiri, pembaca-pembaca langsung seperti dosen pembimbing, penguji dan sebagainya, serta pembaca universal baik dimasa kini maupun di masa mendatang.[15]

b. Apa yang harus ditulis ?
Perlu dipahami bahwa pertanyaan mengenai apa yang harus ditulis?, Bukan berarti masih mencari masalah atau judul yang ingin ditulis, karena penentuan masalah dan judul sudah dilakukan sebelum tahapan heuristik. Maksud dari pertanyaan ini adalah penulis sejarah mampu memutuskan apa yang penting mengenai karyanya dan memilih butir-butir yang diterima pembaca mengenai risetnya tersebut. Butir-butir penting inilah yang nantinya ditulis dan dikomunikasikan kepada pembaca lewat tulisannya.

c. Bentuk atau kategori penulisan
Kategori penulisan sejarah dapat dikembangkan menjadi tiga kategori yakni naratif, deskriktif dan analitik. Dalam penulisan sejarah, ke-tiga kategori tersebut dapat digunakan secara bersamaan. Namun agar dapat dengan mudah dipahami, dalam tulisan ini akan dijelaskan satu persatu definisi dari naratif, deskriptif dan analitik.
Naratif dipergunakan untuk mengisahkan suatu cerita dan alur peristiwa menurut sekuensi waktu (kronologis), sedangkan penulisan deskriptif digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk atau struktur lembaga atau kehidupan masyarakat dalam periode waktu tertentu. Seperti tulisan mengenai bagaimana kehidupan keluarga kerajaan, struktur birokrasi serta berbagai jabatan di dalamnya serta peranan bangsawan sebagai pendukung raja pada masa abad pertengahan.
Sedangkan untuk bentuk penulisan analitik adalah penulisan sejarah dengan mengembangkan analisis untuk memberikan solusi suatu problem. Struktur penulisan analitik lebih mengedepankan problem-problem dan bagian-bagian komponennya, menghadirkan bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dan menunjukkan melalui argument-argumen yang rasional, bagaimana upaya pengujian bukti-bukti ini dapat menolong untuk memecahkan problem-problem yang sedang dihadapi dan dipikirkan.
Meskipun ke-tiga kategori diatas berbeda dalam definisi dan kegunaannya, namun ke-tiganya dapat digunakan secara bersamaan. Ketika sejarawan menulis, sebenarnya merupakan keinginan untuk menjelaskan (eksplanasi) sejarah dengan cara mencipta ulang (re-create) dan menafsirkan (interpret), mencipta ulang sama halnya dengan menceritakan kembali sehingga cara ini menggunakan bentuk deskriptif dan naratif, sedangkan menafsirkan menuntut penulis untuk menggunakan bentuk analitik.[16]
Sehubungan dengan teknik deskriptif, naratif dan analitik, sebenarnya sebagian besar isi dari tulisan sejarah merupakan “cerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan oleh para sejarawan itu merupakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi dan narasi ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history). [17]
Adapun perbedaan antara bentuk penulisan sejarah model lama dan model baru dapat dilihat pada table di bawah ini:
Perbedaan Old History dan New History
No.
Sejarah Lama (Old History)
Sejarah Baru (New History)
1
Dinamakan sejarah konvensional,
atau sejarah tradisional, maupun
sejarah total (total history)

Dinamakan sejarah baru maupun scientific history atau social-scientific history.

2
Lebih berorientasi pada peristiwa

Lebih berorientasi pada problema

3
Ruang-lingkupnya
sempit/terbatas, pada pengalaman
& kehidupan
Ruang-lingkupnya luas mencakup
segala aspek kehidupan manusia

4
Temanya terbatas pada sejarah
politik & ekonomi lama saja


Temanya luas dan bervariasi; sejarah
kebudayaan, politik baru, perekonomian
baru, agraria, pendidikan, intelektual,
psycho history, sejarah lokal, sejarah
etnis, dsb
5
Para pelaku sejarah terbatas pada
raja-raja, orang besar, pahlawan,
petinggi militer.
Para pelaku sejarah luas dan bervariasi; semua lapisan masyarakat (bawah maupun elite).
6
Pemaparannya deskriptif-naratif

Pemaparannya analitis-kritis

7
Tanpa pendekatan ilmu-ilmu
sosial yang memadai
(monodisiplin maupun
unidimensional) ilmu sosial.

Menggunakan pendekatan inter/ multidisipliner (ekonomi, budaya, soiologi, politik, psikologi, geografis, dsb)


d. Gaya penulisan
            Menulis karya sejarah baik yang berupa makalah ataupun buku, sebenarnya merupakan suatu paduan antara seni (art) dan ilmu (sience). Dengan demikian para sejarawan dituntut kemampuan dan ketrampilannya dalam menulis, suatu tuntutan yang tidak bisa ditawa-tawar lagi atau dengan kata lain menjadi hal yang wajib dimiliki oleh sejarawan. 
Dalam menulis suatu tulisan sejarah, hendaknya ditulis dalam gaya bahasa yang resmi dan formal (sesuai dengan kaidah EYD), mengingat karya tulis sejarah baik dalam bentuk paper, artikel ataupun buku sejarah, bukanlah surat yang ditujkan kepada teman. James Joyce dan Get rude Stan, merumuskan bagaimana cara penulisan sejarah yang baik ke dalam lima hendaknya (five do) dan empat jangan (four don’ts).
Lima hendaknya untuk pedoman dalam penulisan sejarah yakni konsisten, sederhana, spesifik, struktur yang seimbang dan alami. Sedangkan “empat jangan” atau empat hal yang tidak boleh dilakukan dalam penulisan sejarah adalah, pertama jangan menggunakan bahasa yang tak resmi, ke-dua) Jangan menggunakan kutipan terlalu banyak, ke-tiga) Jangan menggunakan kalimat pasif, ke-empat) Jangan menyalahgunakan bentuk-bentuk retorik. [18]

e. Struktur Penulisan dan Perangkat ilmiah.
             Sebenarnya banyak model yang bisa digunakan dalam membuat struktur penulisan sejarah, tidak ada patokan utama yang menjadi pedoman. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya perbedaan struktur penulisan antara satu universitas dengan universitas lainnya. Namun dalam makalah ini akan mencoba untuk memberikan gambaran mengenai struktur penulisan sejarah, berdasarkan bentuk model dari Allan J. Lihctman, meskipun sekali lagi model ini tidak mewakili format penulisan seluruh karya tulis penelitian sejarah. Berikut gambarannya:
JUDUL:
PENULISAN (HISTORIOGRAFI)
I.                   Introduksi
A.    Pendahuluan
B.     Permasalahan
C.     Kajian Teori
D.    Pra Penemuan
E.     Diskusi Metodologis
II.                Tubuh: Evidensi dan Argumentasi
III.             Kesimpulan
A.    Kesimpulan Sintetik
B.     Implikasi dan Penelitian Lanjutan
IV.             Perangkat Ilmiah
A.    Catatan Tubuh/Catatan Kaki
B.     Bibliografi
C.     Lampiran
Meskipun tidak ada patokan yang mengharuskan tulisan sejarah ditulis dengan strukur yang sama, akan tetapi disetiap tulisan sejarah harus menyajikan apparatus ilmiah dalam karangannya, berupa footnote (catatan kaki), catatan tubuh atau lampiran-lampiran atau detail bibliografi yang telah dikutip dan dimasukkan ke dalam tulisannya.[19]

4. Fungsi Historiografi
            Uraian di atas telah membahas mengenai definisi serta hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses historiografi, untuk kali ini akan dijelaskan mengenai “mengapa historiografi itu penting dalam ilmu sejarah?”, pertanyaan seperti ini akan terjawab setelah kita mengetahui kegunaan atau fungsi dari historiografi itu sendiri. Pemaparan sejarah ke dalam bentuk tulisan, tidak hanya berfungsi untuk memaparkan fakta dan data tentang kejadian-kejadian di masa lampau, tetapi penulisan tersebut memuat berbagai makna. Diantaranya fungsi genetis, fungsi didaktis dan fungsi pragmatis.
            Fungsi genetis historiografi adalah pengungkapan genetis suatu peristiwa sehingga dapat direkontruksikan seluruh kejadian sekitar peristiwa tersebut. Misalkan dalam menghadapi persoalan-persoalan politik besar, pencarian penyelesaiannya tidak dapat dilakukan tanpa pengetahuan latar belakang genetis persoalan-persoalan tersebut. Fungsi didaktis, berguna untuk mewariskan suatu tradisi, kebijakan, pengetahuan dll, dari generasi ke generasi lainnya, karena tulisan sejarah sebagai cerita pengalaman kolektif rupanya memuat banyak pelajaran, hikmah, suri teladan bagi pembaca pada umumnya dan generasi berikut pada khususnya. Sedangkan untuk fungsi pragmatis, historiografi berguna untuk melegitimasikan suatu kekuasaan khususnya dan situasi politik pada umunya,[20] sehingga bisa dipahami bahwa fungsi pragmatis ini mungkin lebih banyak terdapat dalam tulisan sejarah konvensional.

 C. Kesimpulan
            Historiografi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yakni Historia dan grafien yang berarti gambaran, tulisan atau uraian. Pada perkembangannya terdapat dua perbedaan mengenai definisi dari historiografi, pendapat pertama menjelaskan bahwa historiografi berarti penulisan sejarah (historical writing) dan sejarah penulisan sejarah (historical of historical writing).
            Sebagai penulisan sejarah, historiografi merupakan tahapan terakhir dalam metodologi sejarah, karena semua tahapan penelitian sejarah mulai dari penentuan masalah hingga tahapan kritik sumber (verifikasi), kesemuanya harus diungkapkan ke dalam bentuk tulisan. Namun sebelum memasuki tahapan historiografi ada tahapan lain yang sangat menunjang keberhasilan dari historiografi, yakni tahapan interpretasi (penafsiran) atau menganalisi semua fakta yang telah berhasil dikumpul.
            Setelah tahapan ini selesai dilakukan, barulah historiografi bisa dilakukan. Tentunya dengan memperhatikan beberapa unsur supaya historiografi tersebut menjadi bagus, unsur-unsur tersebut diantaranya audiens, butir tulisan, bentuk atau kategori penulisan, gaya penulisan serta struktur penulisan. Kesemua unsur tersebut sangat menentukan apakah hasil historiografi tersebut diterima oleh para pembaca. Selain sebagai tahapan untuk memaparkan sejarah ke dalam bentuk tulisan, guna mengungkapkan fakta-fakta suatu peristiwa pada masa lampau, ternyata historiografi juga memiliki kegunaan atau fungsi lain seperti funsi genetis, fungsi didagtis dan fungsi pragmatis.   







Daftar Pustaka
Daliman. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Gottchalk, Louis. 1985. Mengerti Sejarah, Penerjemah Nugraho Notosusanto, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
diakses hari kamis pukul 20.00 Wib
Irwanto, Dedi. dkk.2014.  Metodologi dan Historiografi Sejarah. Jakarta: Eja_Publisher
Kartodirjo, Sartono. 2014. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodlogi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Slamet, Subekti.______. Tinjauan Kritis Terhadap Kecendrungan Historiografi Indonesia Masa Kini (Jurnal).______
Yass, Marzuki AB. 2004. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Palembang: Universitas Sriwijaya.




[1] Daliman, 2012, Metode Penelitian Sejarah. (Yogyakarta: Penerbit Ombak), hlm. 99
[2] Sartono Kartodirjo, 2014, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak), hlm. 272
[3] Ibid
[5] Dedi Irwanto dan Alian Sair, 2014, Metodologi dan Historiografi Sejarah, (Yogyakarta: Eja_Publisher), hlm. 151
[6] Perlunya pembatasan masalah, mengingat pembahasan mengenai historiografi sangatlah luas, karena historiografi memiliki dua makna yakni sebagai penulisan sejarah dan sejarah penulisan sejarah, pada definisi pertama ini menjelaskan cara memaparkan hasil penelitian sejarah ke dalam bentuk tulisan, sehingga penulis berasumsi untuk lebih menekankan pembahasan mengenai penulisan sejarah daripada sejarah penulisan sejarah, agar nantinya makalah mengenai penulisan sejarah ini bisa menjadi masukan dan bahan pertimbangan para pembaca dalam menulis suatu tulisan sejarah.
[7] Slamet subekti,______,Tinjauan Kritis Terhadap Kecendrungan Historiografi Indonesia Masa Kini (Jurnal), hlm. 2
[8] Louis Gosttchalk. 1986. Mengerti Sejarah, Terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press), hlm. 32
[9] Hellius Sjamsuddin, 2007, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit ombak), hlm. 156
[10] Ibid, hlm. 164-170
[11] Marzuki Yass, 2004, Metodologi Sejarah dan Historiografi, Palembang: Universitas Sriwijaya, hlm. 47
[12] Menurut Louis Gottschalk setidak-tidaknya ada tiga cara dimasa kini untuk menentukan bagaimana sejarawan akan menafsirkan masa lampau. Cara yang pertama berdasarkan analogi-analogi psikologis diantara proses-proses mental sejarawan dan proses mental tokoh yang dipelajarinya. Kedua, berdasarkan iklim intelektual, ketiga bersumber pada eksploitasi peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi sebagai ganti sesuatu laboratorium; dari episode-episode dan perkembangan-perkembangan zamannya sendiri ia menyimpulkan analogi-analogi sejarah kepada episode-episode dan perkembangan-perkembangan masa lampau.( Louis Gottschalk, 1985, Mengerti Sejarah, hlm. 235)
[13] Daliman, 2012, Metode Penelitian Sejarah, hlm. 95
[14] Daliman, 2012, Metode Penelitian Sejarah, hlm.100-118
[15] Op, Cit. Dedi Irwanto dan Alian Sair, hlm. 160
[16] Hellius Sjamsuddin, 2007, Metolodi Sejarah, hlm. 158
[17] Sartono Kartodirjo, 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah¸(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), hlm. 44-49, dalam buku ini memang tidak dijelaskan secara langsung hal yang membedakan antara penulisan sejarah lama dan sejarah baru, bahkan dalam buku ini istilah yang digunakan adalah sejarah konvensional dan sejarah politik (gaya baru). Meskipun berbeda namun intiny atetap sama adalah perbedaan antara sejarah konvensional dan modern, dalam makalah ini sengaja dituliskan ke dalam bentuk tabel agar  mudah dipahami.  
[18] Daliman,2012, Metode Penulisan Sejarah. hlm. 111-117
[19] Dedi Irwanto dan Alian Syair, 2014, Cara Cepat Menulis Sejarah, hlm. 160
[20] Sartono Kartodirjo, 2014, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, hlm. 274-275

Tidak ada komentar: