TEORI SOSIAL MASYARAKAT AUGUSTE COMTE
Oleh: Agus Sapriansya
I. Pendahuluan
Permasalahan sosial yang terjadi dalam
masyarakat mendapatkan perhatian lebih dari para filusuf, diantaranya adalah
Auguste Comte.[1]
Comte-lah yang menggagas istilah positivisme[2] di bidang ilmu sosial.[3] Tujuannya adalah untuk
memecahkan persoalan sosial dalam masyarakat, khususnya kondisi sosial masyarakat
Prancis pasca terjadinya Revolusi Prancis, revolusi ini menyebabkan terjadinya
kerusuhan, kemiskinan, pembunuhan dan penculikan dalam kehidupan masyarakat.
Kondisi diatas membawa Auguste Comte
ke dalam satu kesimpulan, bahwa kejadian yang satu senantiasa menyebabkan munculnya
kejadian yang lain, hal ini sama halnya dengan hukum alam, dengan kata lain
Comte berpendapat bahwa di dalam fenomena sosial berlaku hukum alam yang
membahas tentang sebab akibat. Sehingga masyarakat yang tertib dan teratur harus
diciptakan untuk mengganti kondisi sosial yang kacau dalam masyarakat, melalui
perubahan pola pikir manusia, yang semula didominasi oleh pemikiran teologis
mejadi pemikiran positivisme, yakni mampu menjelaskan hubungan sebab akibat
dalam kehidupan manusia maupun alam semesta terlepas dari agama, agar
terciptanya keseimbangan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat.
Ada
dua hal menarik dalam perjalanan perkembangan pemikiran Comte, yang pertama adalah keberaniannya dalam menerapkan metode ilmiah yang biasa digunakan
untuk ilmu alam ke dalam ilmu sosial, ke-dua
Comte yang awalnya anti agama justru berubah keyakinannya dan mencetuskan suatu
agama baru yakni “agama humanistik”.[4] Sehingga dari uraian di
atas, makalah ini akan membahas lebih lanjut lagi mengenai pemikiran Auguste
Comte beserta keunikannya tersebut.
2. Pemikiran Positivisme Auguste Comte
Auguste Comte
dilahirkan di Montpellier pada 19 Januari 1798 dengan nama lengkap Isidore
Auguste Marie Francois Vavier Comte.[5]
Keluarganya berasal dari keturunan bangsawan berdarah katolik. Namun,
diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya
juga kepada katoliknya, bahkan pada umur 14 tahun Comte menyatakan diri bahwa
tidak lagi percaya pada Tuhan, hal ini merupakan pengaruh dari suasana
pergolakan sosial, intelektual dan politik pada masanya.
Dalam hal akademik, Comte
menyelesaikan studinya di Politeknik Kota Paris dan menjadi sekretaris Henry
Saint-Simon pada tahun 1817, sekaligus pembimbing karya awal Comte, namun pada
tahun 1824 Comte memutuskan hubungan kerjanya dengan Henry Saint Simon dan
mulai menemukan jalannya sendiri untuk menjadi seorang filusuf, beberapa buku
hasil karangannya mencerminkan bahwa pemikiran filsafat Auguste Comte beraliran
positivisme, adapun judul hasil karyanya antara lain adalah “Cours de Philosophic Positive”, yang
bercerita tentang pemikiran filosofi positivismenya yang biasa diterapkan pada
ilmu-ilmu eksak. Kemudian filosofi positivisme tersebut diterapkan untuk ilmu
sosial.[6]
Karya ke-duanya adalah “Le Systeme de
Politique Positive”. Bercerita tentang bagaimana sebuah masyarakat
diorganisir menurut prinsip-prinsip positivisme.[7]
Berbicara mengenai pemikiran Auguste
Comte, maka tidaklah terlepas dari ke-dua karyanya diatas, dalam karyanya yang
pertama Cours de Philosophic Positive, Comte
mencoba untuk mengatasi permasalahan sosial dengan membentuk ilmu pengetahuan
yang berlandaskan pada prosedur penelitian empiris-eksperimental, dengan
rumusan sebagai berikut:
a)
Observasi : meneliti dan mencari
hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari hukum statika dan dinamika.
Dari observasi dapat dirumuskan hipotesis yang akan dibuktikan melalui
penelitian.
b)
Eksperimen : Fenomena sosial diintervensi
oleh hal tertentu, sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab akibat dalam
fenomena masyarakat, sehingga mendapatkan pemahaman tentang bagaimana
masyarakat yang normal.
c)
Perbandingan : Dalam sosiologi studi
komparatif bisa dilakukan dengan dua cara, yakni perbandingan antar masyarakat
atau kebudayaan (studi antropologi) atau perbandingan masyarakat atau
kebudayaan tertentu dalam dua periode yang berbeda (sosiologi historis). [8]
Prosedur penelitian yang dilakukan oleh Auguste
Comte ini menghasilkan suatu pemikiran yang dinamakan pemikiran “hukum tiga
tahap” atau “hukum tiga stadia”, hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk
menjelaskan kemajuan evlousioner umat manusia dari masa primitive sampai pada
peradaban Perancis abad ke-19 yang sangat maju. Singkatnya, hukum tiga tahap
ini mengatakan bahwa masyarakat atau umat manusia berkembang melalui tiga
tahap. Yakni tahapan teologis, metafisika
dan positivisme.[9]
Teologis menurut Comte merupakan
tahapan dimana manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil campur tangan
langsung kekuatan ilahi. Tahap ini masih dapat dirinci menjadi tiga, yaitu animisme, politeisme dan monoteisme.
Pada tahap animisme, benda-benda
dianggap berjiwa dan diperlakukan sebagai benda suci atau kramat. Pada tahap politeisme, manusia mulai mempercayai
dewa-dewa dibalik berbagai gejala yang ada dan pada tahap monoteisme, manusia mulai meyakini adanya kekuatan tunggal-absolut
di balik semua gejala tersebut. [10]
Tahap selanjutnya adalah tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi karena tahapan ini menurut Comte hanya
modifikasi dari tahapan sebelumnya. Dalam tahapan ini kuasa-kuasa adikodrati
diganti dengan konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti “kodrat” dan
“takdir”.[11]
Penekanannya terletak pada kepercayaan monoteisme yang dapat menerangkan
gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa
empirik. Misalkan ungkapan bahwa “kemiskinan si A memang sudah merupakan takdir”
atau “ “hewan katak hidup di dua alam karena sudah menjadi kodratnya”.
Tahapan terakhir adalah tahapan positivisme,
dalam tahapan ini gejala alam diterangkan
oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan
dibuktikan atas cara empiris. Sehingga manusia berhenti mencari penyebab
absolut, baik yang ilahi maupun kodrati dan mulai berkonsentrasi pada
pendekatan ilmiah dalam memahami hukum yang mengatur jagad raya.[12] Hukum tiga tahap Comte
ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan pemikiran dan pengetahuan umat
manusia secara keseluruhan, melainkan juga berlaku bagi manusia perindividu. Dimana
Comte menggambarkan bahwa sebagai anak setiap manusia berada dalam tahapan
teologis, sebagai remaja termasuk ke dalam tahapan metafisika dan sebagai seorang
dewasa masuk ke dalam tahapan positivisme. Perkembangan ini juga berlaku untuk
perkembangan tiap-tiap ilmu, mula-mula suatu ilmu bersifat teologis, lalu
berubah menjadi metafisis dan lama-kelamaan mencapai puncak kematangan postif.[13]
Berdasarkan
pemikirannya tersebut, Auguste Comte kemudian membagi ilmu pengetahuan menjadi
beberapa jenis, yakni Ilmu pasti (Matematika), Ilmu perbintangan (astronomi),
Ilmu alam (Fisika), Ilmu Kimia (Chemistry), Ilmu hayat (Fisiologi atau
Biologi), dan Ilmu tertinggi adalah Fisika-Sosial (Sosiologi).[14]
Dalam ilmu Sosiologi, Comte menjadikan
ilmu pengetahuan yang dikajinya itu menjadi dua bagian yakni sosiologi statik
dan sosiololgi dinamik.
Sosiologi
statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar dari
adanya masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial yang mempelajari
aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial. Cita-cita dasar
yang menjadi latar belakang sosiologi statis adalah bahwa semua gejala sosial
saling berkaitan, yang berarti bahwa percuma untuk mempelajari salah satu
gejala sosial secara tersendiri. Unit sosial yang penting bukanlah individu
tetapi keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Agar suatu
masyarakat berkembang maka simpati harus diganti dengan kooperasi, yang hanya
mungkin ada apabila terdapat pembagian kerja. [15]
Sosiologi
dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Ilmu
pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam perkembangan manusia,
dimulai dari tingkat intelegensia yang rendah ketingkat yang lebih tinggi.
Dengan demikian, maka dinamika sosial menyangkut masyarakat diperuntukkan
menunjukkan perkembangan dalam masyarakat. Comte yakin bahwa masyarakat akan
berkembang menuju suatu kesempurnaan. Dengan bahasa yang sederhana sosiologi
dinamik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan
masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya. [16]
Bagi Comte dalam menjelaskan mengenai gejala sosial,
sosiologi harus menggunakan metode ilmu-ilmu alam dan memiliki fungsi yang sama
dengan ilmu alam, yakni bagaimana sosiologi dapat menghasilkan hukum-hukum
kemajuan dan keteraturan, sehingga dengan hukum itu sosiologi dapat mengontrol
dan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi umat manusia. Namun ide Comte yang terangkum dalam ilmu
sosiologi, pada kenyataannya berbenturan dengan realitas sosial pada
zamannya, yakni masyarakat Perancis yang menginginkan perubahan sosial secara
cepat yang kita dikenal dengan Revolusi Perancis.[17]
Revolusi Perancis menimbulkan
konflik yang menyebabkan tumbuhnya ketidakteraturan sosial yang nantinya
mempersulit perkembangan masyarakat. Sehingga ketertiban harus diutamakan
apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme
sosial dan anarkisme intelektual. Dalam hal ini Comte memainkan peran ganda,
disatu sisi Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari
“kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan
wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak
keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
Pertentangan inilah membawa Comte
menarik suatu kesimpulan bahwa, dalam usahanya untuk mengubah tatanan sosial
masyarakat yang baru, tidak mesti melalui tindakan konflik, lebih lanjut Comte
menjelaskan bahwa konflik tidak akan pernah terjadi dalam masyarakat jika
masyarakat memiliki kepedulian sosial yang tinggi yakni masyarakat gotong
royong. Comte memandang bahwa berbagai kekacauan sosial serta pergolakan yang terus
menerus terjadi di Perancis dan Eropa pada umumnya, merupakan akibat dari
karakteristik masyarakat yang liberalisme dan pluralisme,[18]
dengan liberalisme dan pluralisme manusia cenderung bersikap individualitas.
Bersaing satu sama lain untuk memperebutkan sosial ekonomi dan politik sehingga
pergolakan selalu berulang, karena itu Comte menginginkan tatanan sosial yang
baru.
Untuk mewujudkan mimpinya tersebut,
Auguste Comte mencoba mencari solusi agar perubahan yang diinginkan oleh
masyarakat tidak dilakukan melalui cara yang anarkis, karena hal tersebut dapat
menyebabkan ketidakteraturan sosial. Keinginan Comte tersebut mulai mendapatkan
titik terang, setelah mendapatkan jawaban dari arti keluaraga dan agama dalam
perkembangan masyarakat.
Melalui faktor keluarga, Comte berpendapat bahwa perubahan
tidak akan datang dalam masyarakat secara tiba-tiba. Untuk menciptakan sistem
sosial yang baik harus dimulai dari kesatuan lingkungan social yang terkecil,
yaitu keluarga. Comte menganggap
keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural
pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan
selalu merujuk kepada tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling
menguntungkan sehingga menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. [19]
Melalui agama, dengan mengadopsi khasanah masyarakat
teologis yakni kehidupan masyarakat dibawah Gereja Katolik Roma, dengan merencanakan
sistem masyarakat yang didasarkan pada ketaatan dan hierarki.[20]
Comte melihat bahwa agama memiliki ikatan emosional yang tinggi dengan bersandarkan
pada sistem kepercayaan yang satu yakni “Tuhan”, hal itu mendorong kebersamaan
umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal
yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial.[21]
Berdasarkan
dua faktor diatas, melalui kepatuhan dalam agama dan kerjasama dalam keluarga,
mengilhami Auguste Comte untuk menciptakan agama baru yang berbeda dengan agama
konvensional. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas yang merupakan sumber utama bagi
perasaan-perasaan manusia serta mengubah dari cinta diri dan egoisme menjadi
altruism dan cinta, menurut Comte mencintai kemanusian inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Sekaligus
merangkum pandangan Comte yang tidak membenarkan ajaran-ajaran agama yang
bersifat supranaturalistik, melainkan sesuai dengan standar-standar intelektual
positivisme. [22]
Dalam pandangan Comte
manusialah yang kudus dan
sakral, bukanlah Tuhan karena banyak penjelasan dalam agama konvensional (supranaturalistik) yang bersifat
abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda
kepentingan politik dari
kekuatan politik tertentu. Karena hal yang kudus dan
ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur, pendeta, pemuka agama)menjajakan
doktrin, dogma dan melakukan pembodohan akibatnya yang kaya tetap kaya lalu
yang miskin akan tetap miskin. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan
Auguste Comte yang menginginkan terciptanya masyarakat yang tertib serta
dipenuhi rasa kepedulian sosial yang tinggi dan semangat gotong royong.
3. Kesimpulan
Auguste
Comte dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi”, karena Comtelah yang mencetuskan
lahirnya ilmu Sosiologi, pada awalnya ilmu sosiologi disebut dengan ilmu
fisika-sosial, karena sosiologi terlahir dari aplikasi metode ilmiah yang biasa
digunakan untuk ilmu eksak lalu diterapkan ke dalam ilmu sosial. Comte berharap
ilmu ini mampu meyembuhkan penyakit sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat Perancis pasca revolusi Perancis, melalui perubahan pola pikir
manusia.
Pola pikir yang dimaksudkan Comte di atas dalam
sosiologi dikenal dengan hukum tiga tahap, yang menjelaskan tiga tahapan
perkembangan kehidupan manusia. Dimulai dari tahapan theologies, metafisika dan positivisme.
Comte menggambarkan bahwa pemikiran theologies
setara dengan pemikiran anak-anak, metafisika
setara dengan remaja dan positivisme merupakan
puncak kematangan pemikiran orang dewasa.
Dari gambaran tersebut terlihat
bahwa Comte mengesampingkan pemikiran theologis
mengenai Tuhan dan Agama, dan lebih mengangungkan pemikiran positivisme. Namun pada perkembangannya
Comte justru menganggap konsep theologis (agama)
merupakan sumber dari ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, sehingga pada
perkembangannya Comte yang awalnya anti agama justru mencetuskan agama baru
yang dinamakan agama humanitas.
Inti ajaran dari agama tersebut
adalah mengangungkan manusia dengan mengabdikan cinta kepada rasa kemanusian, karena menurut Comte melalui rasa inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Sehingga
terciptalah masyarakat yang dipenuhi oleh rasa kepedulian sosial tinggi, yang
menjadi cita-cita dari ilmu sosiologi.
Daftar Pustaka
Agus,
Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Gema Insanni
Press
Anwar, Yensil.
2008. Pengantar Sosiologi Hukum.
Bandung: PT Grasindo
Bertens, K. 1975.
Ringkasan Sejarah Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius
Budi Hardiman,
F. 2003. Melampaui Positivisme dan
Modernitas. Yogyakarta:
Kanisius
Puspitawati,
Herien.2009. Teori Struktural Fungsional
dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Keluarga. Bogor: IPB
Upe, Ambo. 2010.
Teori Aliran dalam Sosiologi dari
Filosofi Positivistik ke Post
Positivistik. Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama
Soekanto,
Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Bersama
Suyanto, Bagong.
2013. Filsafat Sosial. Yogyakarta:
Aditya Media
Yusuf, Akhyar
Lubis. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: PT
Raja
Grafindo Bersama
[1] Isidore Marie Auguste
Francois Xavier Comte nama lengkap Agusute Comte, adalah seorang ilmuwan dari
Perancis, minat Comte terhadap masalah-masalah sosial sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh Henry Saint Simont. Latar belakang keilmuan Comte sebenarnya
lebih kepada ilmu-ilmu eksak. Hal ini bisa dibuktikan dengan karier
professionalnya justru dimulai dengan memberi les dalam bidang matematika.(Ambo
Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi
Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: Rajawali Pers),
hlm. 70-71
[2] Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama), hlm. 251, Positivisme merupakan aliran
dalam filsafat yang muncul pada abad ke-19. Perintis aliran ini adalah Auguste
Comte. Comte berpendapat bahwa pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu yang
faktual atau yang membatasi dan dibatasi pada observasi indrawi. Bagi
positivisme hal itu kemudian menjadi satu-satunya kriteria pengetahuan..
[3]
Perkembangan positivisme lihat Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, (Yogyakarta: Aditya
Media Publishing), hlm.138, dijelaskan bahwa positivisme sebagai filsafat Ilmu
Modern, dibidani oleh Henry Saint Simon, kemudian dilanjutkan oleh Auguste
Comte, dia dikenal sebagai orang
pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial, dengan menerapkan filosofi positivismenya
melalui kaidah-kaidah sains dalam kehidupan masyarakat pada akhirnya
melahirkan ilmu baru yang disebut sosiologi. Oleh karena itu, ia dikenal
sebagai "Bapak Ilmu Sosiologi”. (Herien Puspitawati, 2009, Teori
Struktural Fungsional, (Bogor:IPB), hlm. 7. Jadi ide awal aliran Postivisme
pertama kali diperkenalkan oleh Henry Saint Simon dan pada perkembangannya
Auguste Comtelah yang menemukan istilah positivsme untuk menjelaskan berbagai permasalahan
sosial dalam masyarakat Perancis.
[4] Agama Humanistik atau Humanitas
adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan,. Akhyar Yusuf Lubis, 2014,
hlm. 141
[5] Ambo Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm.70.
Dari beberapa buku referensi yang digunakan, ada perbedaan pendapat mengenai
penjelasan tanggal kelahiran dari Auguste Comte, senada dengan Ambo Upe,
“Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu
Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 140”, menjelaskan bahwa tanggal kelahiran
Auguste Comte adalah tanggal 19 Januari 1798, namun ada sedikit perbedaan
penjelasan dalam buku Bagong Suyanto, 2013, Filsafat
Sosial, hlm. 139, yang menjelaskan bahwa tanggal kelahiran Auguste Comte
adalah 19 Februari 1798. Dari beberapa penjelasan tersebut, pemakalah lebih
condong kepada pendapat Ambo Upe yang diperkuat oleh pernyataan dari Akhyar
Yusuf Lubis, bahkan buku lainnya serta jurnal memiliki kesamaan pendapat dengan
Ambo Upe.
[6] Apa yang disajikan filsafat
positivisme Comte sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena sebelumnya sudah
berkembang filsafat empirisme yang bersesuaian dengan positivisme, namun yang
menjadi hal baru dari postivisme Comte adalah fokus kajiannya terhadap
metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat
menitikberatkan pada metodologi dalam filsafatnya. Sehingga dalam menjelaskan
filsafatnya Comte mulai menerapkan metodologi ilmiah ke dalam ilmu-ilmu sosial.
(F. Budi Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme
dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 54
[7] Akhyar Yusuf Lubis,2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 141
[8] Ibid, Akhyar Yusuf Lubis, 2014, hlm. 142
[9] Yesmil Anwar,et al. 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, (Bandung: PT Grasindo), hlm. 17
[10] Ibid, Yesmil Anwar, et.al,
2008, hlm.17
[11] K. Bertens, 1975, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius), hlm.73
[12] Tahap ini mempunyai prinsip
menolak adanya yang absolute, menurut Comte, “Tout est relative, voila la seule chose absolute”, semua relative,
inilah satu-satunya yang absolute. Salah satu arti positif menurut Comte adalah
yang relative, tidak yang absolute. Masyarakat yang berfikir positif adalah
masyarakat yang memiliki paham bahwa pengetahuan yang benar adalah yang
didapatkan dari metode ilmiah, yaitu pengetahuan yang didasarkan kepada fakta,
serta dapat ditinjau dan diuji lagi. Bustanudin Agus, 1999, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding
Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press),
hlm.49
[13] K. Bertens, 1975, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm.73
[14] Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Bersama), hlm. 33. Penjelasan lebih lanjut mengenai Fisika Sosial
bisa dilihat dalam buku karangan “Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, hlm. 18”, dijelaskan
bahwa Fisika sosial ini digunakan untuk menyebutkan ilmu sosiologi,
fisika-sosial ini merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu
pengetahuan. Fisika-Sosial sebagai ilmu, berhadapan dengan gejala-gejala yang
paling kompleks, konkret dan khusus dalam kehidupan manusia. Comte-lah yang pertama kali
menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah Fisika-Sosial tersebut
(phisique sociale dari Quetelet). Hal inilah yang akhirnya menyebabkan Auguste
Comte disebut sebagai “bapak sosiologi”.
[15] Soerjono Soekanto,1982, Sosiologi Suatu Pengantar, hlm. 33
[16] Ibid, Soerjono Soekanto, 1982, dalam buku Ambe Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm. 75.
Dijelaskan bahwa Comte memposisikan sosiologi dinamis lebih penting daripada
sosiologi statis.
[17] Penjelasan mengenai pertentangan
ide Comte dan kondisi masyarakat pada zaman itu,, terdapat dalam buku Ambo Upe,
2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm.
74
[18] Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, hlm. 144
[19]Inspirasi Comte melalui agama dan
keluarga, tidak terlepas dari persitiwa perkenalan Comte dengan Clotilde De
Vaux, seorang wanita yang ditemuinya pada 1844. Meski memliki cinta yang besar,
tetapi Clotilde sampai akhir hayatnya tidak pernah menerima Comte karena sudah
memiliki suami, namun kesehariannya dijalani seorang diri karena hidup terpisah
dengan suaminya. Clotilde meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya
sehingga mulai saat itu Comte mulai memikirkan perihal keluarga,
dari pengalamannya ini Comte mengatakan bahwa kekuatan yang sebenarnya yang
mendorong manusia dalam menjalani kehidupan bukan hanya sekedar bersumber dari
pertumbuhan intelegensi yang mantap, melainkan juga berasal dari dorongan
perasaan dan hal ini pula yang melandasi Comte untuk melahirkan agama
humanitas, (Ambo Upe,2010, Tradisi Aliran
dalam Sosiologi, hlm. 79
[20]
Bagong Suyanto, 2013, Filsafat
Sosial, hlm. 148
[21] Inilah menjadi titik balik dari
pemikiran Auguste Comte, awalnya Comte merupakan individu yang tidak percaya dengan
agama dan Tuhan. Namun pada perkembangannya Comte justru mengaggas suatu agama
yang baru sebagai pengganti agama tradisional, yakni agama humanitas atau agama
kemanusiaan. Bagong Sutyanto, 2013, Filsafat
Sosial, hlm. 148
[22] Ambo Upe, 2010, Tradisi dalam Aliran Sosiologi, hlm.79
Tidak ada komentar:
Posting Komentar