SELAMAT DATANG DI BLOG LENTERA SENJA, Semoga Bermanfaat

Sabtu, 03 Januari 2015

Auguste Comte

TEORI SOSIAL MASYARAKAT AUGUSTE COMTE
Oleh: Agus Sapriansya

I. Pendahuluan
            Permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat mendapatkan perhatian lebih dari para filusuf, diantaranya adalah Auguste Comte.[1] Comte-lah yang menggagas istilah positivisme[2] di bidang ilmu sosial.[3] Tujuannya adalah untuk memecahkan persoalan sosial dalam masyarakat, khususnya kondisi sosial masyarakat Prancis pasca terjadinya Revolusi Prancis, revolusi ini menyebabkan terjadinya kerusuhan, kemiskinan, pembunuhan dan penculikan dalam kehidupan  masyarakat.
            Kondisi diatas membawa Auguste Comte ke dalam satu kesimpulan, bahwa kejadian yang satu senantiasa menyebabkan munculnya kejadian yang lain, hal ini sama halnya dengan hukum alam, dengan kata lain Comte berpendapat bahwa di dalam fenomena sosial berlaku hukum alam yang membahas tentang sebab akibat. Sehingga masyarakat yang tertib dan teratur harus diciptakan untuk mengganti kondisi sosial yang kacau dalam masyarakat, melalui perubahan pola pikir manusia, yang semula didominasi oleh pemikiran teologis mejadi pemikiran positivisme, yakni mampu menjelaskan hubungan sebab akibat dalam kehidupan manusia maupun alam semesta terlepas dari agama, agar terciptanya keseimbangan dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat.
Ada dua hal menarik dalam perjalanan perkembangan pemikiran Comte, yang pertama adalah keberaniannya dalam  menerapkan metode ilmiah yang biasa digunakan untuk ilmu alam ke dalam ilmu sosial, ke-dua Comte yang awalnya anti agama justru berubah keyakinannya dan mencetuskan suatu agama baru yakni “agama humanistik”.[4] Sehingga dari uraian di atas, makalah ini akan membahas lebih lanjut lagi mengenai pemikiran Auguste Comte beserta keunikannya tersebut.

2. Pemikiran Positivisme Auguste Comte
            Auguste Comte dilahirkan di Montpellier pada 19 Januari 1798 dengan nama lengkap Isidore Auguste Marie Francois Vavier Comte.[5] Keluarganya berasal dari keturunan bangsawan berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya, bahkan pada umur 14 tahun Comte menyatakan diri bahwa tidak lagi percaya pada Tuhan, hal ini merupakan pengaruh dari suasana pergolakan sosial, intelektual dan politik pada masanya.
            Dalam hal akademik, Comte menyelesaikan studinya di Politeknik Kota Paris dan menjadi sekretaris Henry Saint-Simon pada tahun 1817, sekaligus pembimbing karya awal Comte, namun pada tahun 1824 Comte memutuskan hubungan kerjanya dengan Henry Saint Simon dan mulai menemukan jalannya sendiri untuk menjadi seorang filusuf, beberapa buku hasil karangannya mencerminkan bahwa pemikiran filsafat Auguste Comte beraliran positivisme, adapun judul hasil karyanya antara lain adalah “Cours de Philosophic Positive”, yang bercerita tentang pemikiran filosofi positivismenya yang biasa diterapkan pada ilmu-ilmu eksak. Kemudian filosofi positivisme tersebut diterapkan untuk ilmu sosial.[6] Karya ke-duanya adalah “Le Systeme de Politique Positive”. Bercerita tentang bagaimana sebuah masyarakat diorganisir menurut prinsip-prinsip positivisme.[7]
            Berbicara mengenai pemikiran Auguste Comte, maka tidaklah terlepas dari ke-dua karyanya diatas, dalam karyanya yang pertama Cours de Philosophic Positive, Comte mencoba untuk mengatasi permasalahan sosial dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada prosedur penelitian empiris-eksperimental, dengan rumusan sebagai berikut:
a)      Observasi : meneliti dan mencari hubungan antara fakta-fakta, lalu meninjaunya dari hukum statika dan dinamika. Dari observasi dapat dirumuskan hipotesis yang akan dibuktikan melalui penelitian.
b)      Eksperimen : Fenomena sosial diintervensi oleh hal tertentu, sehingga dengan demikian dapat dijelaskan sebab akibat dalam fenomena masyarakat, sehingga mendapatkan pemahaman tentang bagaimana masyarakat yang normal.
c)      Perbandingan : Dalam sosiologi studi komparatif bisa dilakukan dengan dua cara, yakni perbandingan antar masyarakat atau kebudayaan (studi antropologi) atau perbandingan masyarakat atau kebudayaan tertentu dalam dua periode yang berbeda (sosiologi historis). [8]
Prosedur penelitian yang dilakukan oleh Auguste Comte ini menghasilkan suatu pemikiran yang dinamakan pemikiran “hukum tiga tahap” atau “hukum tiga stadia”, hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan evlousioner umat manusia dari masa primitive sampai pada peradaban Perancis abad ke-19 yang sangat maju. Singkatnya, hukum tiga tahap ini mengatakan bahwa masyarakat atau umat manusia berkembang melalui tiga tahap. Yakni tahapan teologis, metafisika dan positivisme.[9]
            Teologis menurut Comte merupakan tahapan dimana manusia memahami gejala-gejala alam sebagai hasil campur tangan langsung kekuatan ilahi. Tahap ini masih dapat dirinci menjadi tiga, yaitu animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahap animisme, benda-benda dianggap berjiwa dan diperlakukan sebagai benda suci atau kramat. Pada tahap politeisme, manusia mulai mempercayai dewa-dewa dibalik berbagai gejala yang ada dan pada tahap monoteisme, manusia mulai meyakini adanya kekuatan tunggal-absolut di balik semua gejala tersebut. [10]  
Tahap selanjutnya adalah tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Dalam tahapan ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti “kodrat” dan “takdir”.[11] Penekanannya terletak pada kepercayaan monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. Misalkan ungkapan bahwa “kemiskinan si A memang sudah merupakan takdir” atau “ “hewan katak hidup di dua alam karena sudah menjadi kodratnya”.
            Tahapan terakhir adalah tahapan positivisme, dalam tahapan ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Sehingga manusia berhenti mencari penyebab absolut, baik yang ilahi maupun kodrati dan mulai berkonsentrasi pada pendekatan ilmiah dalam memahami hukum yang mengatur jagad raya.[12] Hukum tiga tahap Comte ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan pemikiran dan pengetahuan umat manusia secara keseluruhan, melainkan juga berlaku bagi manusia perindividu. Dimana Comte menggambarkan bahwa sebagai anak setiap manusia berada dalam tahapan teologis, sebagai remaja termasuk ke dalam tahapan metafisika dan sebagai seorang dewasa masuk ke dalam tahapan positivisme. Perkembangan ini juga berlaku untuk perkembangan tiap-tiap ilmu, mula-mula suatu ilmu bersifat teologis, lalu berubah menjadi metafisis dan lama-kelamaan mencapai puncak kematangan postif.[13]
            Berdasarkan pemikirannya tersebut, Auguste Comte kemudian membagi ilmu pengetahuan menjadi beberapa jenis, yakni Ilmu pasti (Matematika), Ilmu perbintangan (astronomi), Ilmu alam (Fisika), Ilmu Kimia (Chemistry), Ilmu hayat (Fisiologi atau Biologi), dan Ilmu tertinggi adalah Fisika-Sosial (Sosiologi).[14] Dalam  ilmu Sosiologi, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya itu menjadi dua bagian yakni sosiologi statik dan sosiololgi dinamik.
Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar dari adanya masyarakat. Studi ini merupakan semacam anatomi sosial yang mempelajari aksi-aksi dan reaksi timbal balik dari sistem-sistem sosial. Cita-cita dasar yang menjadi latar belakang sosiologi statis adalah bahwa semua gejala sosial saling berkaitan, yang berarti bahwa percuma untuk mempelajari salah satu gejala sosial secara tersendiri. Unit sosial yang penting bukanlah individu tetapi keluarga yang bagian-bagiannya terikat oleh simpati. Agar suatu masyarakat berkembang maka simpati harus diganti dengan kooperasi, yang hanya mungkin ada apabila terdapat pembagian kerja. [15]
Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam arti pembangunan. Ilmu pengetahuan ini menggambarkan cara-cara pokok dalam perkembangan manusia, dimulai dari tingkat intelegensia yang rendah ketingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, maka dinamika sosial menyangkut masyarakat diperuntukkan menunjukkan perkembangan dalam masyarakat. Comte yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju suatu kesempurnaan. Dengan bahasa yang sederhana sosiologi dinamik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya. [16]
Bagi Comte dalam menjelaskan mengenai gejala sosial, sosiologi harus menggunakan metode ilmu-ilmu alam dan memiliki fungsi yang sama dengan ilmu alam, yakni bagaimana sosiologi dapat menghasilkan hukum-hukum kemajuan dan keteraturan, sehingga dengan hukum itu sosiologi dapat mengontrol dan menciptakan kondisi yang lebih baik bagi umat manusia. Namun ide Comte yang terangkum dalam ilmu sosiologi, pada kenyataannya berbenturan dengan realitas sosial pada zamannya, yakni masyarakat Perancis yang menginginkan perubahan sosial secara cepat yang kita dikenal dengan Revolusi Perancis.[17]
            Revolusi Perancis menimbulkan konflik yang menyebabkan tumbuhnya ketidakteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Sehingga ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial dan anarkisme intelektual. Dalam hal ini Comte memainkan peran ganda, disatu sisi Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.
            Pertentangan inilah membawa Comte menarik suatu kesimpulan bahwa, dalam usahanya untuk mengubah tatanan sosial masyarakat yang baru, tidak mesti melalui tindakan konflik, lebih lanjut Comte menjelaskan bahwa konflik tidak akan pernah terjadi dalam masyarakat jika masyarakat memiliki kepedulian sosial yang tinggi yakni masyarakat gotong royong. Comte memandang bahwa berbagai kekacauan sosial serta pergolakan yang terus menerus terjadi di Perancis dan Eropa pada umumnya, merupakan akibat dari karakteristik masyarakat yang liberalisme dan pluralisme,[18] dengan liberalisme dan pluralisme manusia cenderung bersikap individualitas. Bersaing satu sama lain untuk memperebutkan sosial ekonomi dan politik sehingga pergolakan selalu berulang, karena itu Comte menginginkan tatanan sosial yang baru.
            Untuk mewujudkan mimpinya tersebut, Auguste Comte mencoba mencari solusi agar perubahan yang diinginkan oleh masyarakat tidak dilakukan melalui cara yang anarkis, karena hal tersebut dapat menyebabkan ketidakteraturan sosial. Keinginan Comte tersebut mulai mendapatkan titik terang, setelah mendapatkan jawaban dari arti keluaraga dan agama dalam perkembangan masyarakat.
Melalui faktor keluarga, Comte berpendapat bahwa perubahan tidak akan datang dalam masyarakat secara tiba-tiba. Untuk menciptakan sistem sosial yang baik harus dimulai dari kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu merujuk kepada tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan sehingga menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan. [19]
Melalui agama, dengan mengadopsi khasanah masyarakat teologis yakni kehidupan masyarakat dibawah Gereja Katolik Roma, dengan merencanakan sistem masyarakat yang didasarkan pada ketaatan dan hierarki.[20] Comte melihat bahwa agama memiliki ikatan emosional yang tinggi dengan bersandarkan pada sistem kepercayaan yang satu yakni “Tuhan”, hal itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial.[21]
            Berdasarkan dua faktor diatas, melalui kepatuhan dalam agama dan kerjasama dalam keluarga, mengilhami Auguste Comte untuk menciptakan agama baru yang berbeda dengan agama konvensional. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas yang merupakan sumber utama bagi perasaan-perasaan manusia serta mengubah dari cinta diri dan egoisme menjadi altruism dan cinta, menurut Comte mencintai kemanusian inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Sekaligus merangkum pandangan Comte yang tidak membenarkan ajaran-ajaran agama yang bersifat supranaturalistik, melainkan sesuai dengan standar-standar intelektual positivisme. [22]
Dalam pandangan Comte manusialah yang kudus dan sakral, bukanlah Tuhan karena banyak penjelasan dalam agama konvensional (supranaturalistik) yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu. Karena hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur, pendeta, pemuka agama)menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan akibatnya yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin. Hal ini sangat bertentangan dengan keinginan Auguste Comte yang menginginkan terciptanya masyarakat yang tertib serta dipenuhi rasa kepedulian sosial yang tinggi dan semangat gotong royong.

3. Kesimpulan
            Auguste Comte dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi”, karena Comtelah yang mencetuskan lahirnya ilmu Sosiologi, pada awalnya ilmu sosiologi disebut dengan ilmu fisika-sosial, karena sosiologi terlahir dari aplikasi metode ilmiah yang biasa digunakan untuk ilmu eksak lalu diterapkan ke dalam ilmu sosial. Comte berharap ilmu ini mampu meyembuhkan penyakit sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Perancis pasca revolusi Perancis, melalui perubahan pola pikir manusia.
Pola pikir yang dimaksudkan Comte di atas dalam sosiologi dikenal dengan hukum tiga tahap, yang menjelaskan tiga tahapan perkembangan kehidupan manusia. Dimulai dari tahapan theologies, metafisika dan positivisme. Comte menggambarkan bahwa pemikiran theologies setara dengan pemikiran anak-anak, metafisika setara dengan remaja dan positivisme merupakan puncak kematangan pemikiran orang dewasa.
            Dari gambaran tersebut terlihat bahwa Comte mengesampingkan pemikiran theologis mengenai Tuhan dan Agama, dan lebih mengangungkan pemikiran positivisme. Namun pada perkembangannya Comte justru menganggap konsep theologis (agama) merupakan sumber dari ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, sehingga pada perkembangannya Comte yang awalnya anti agama justru mencetuskan agama baru yang dinamakan agama humanitas.
            Inti ajaran dari agama tersebut adalah mengangungkan manusia dengan mengabdikan cinta kepada rasa kemanusian, karena menurut Comte melalui rasa inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Sehingga terciptalah masyarakat yang dipenuhi oleh rasa kepedulian sosial tinggi, yang menjadi cita-cita dari ilmu sosiologi.

Daftar Pustaka
Agus, Bustanuddin. 1999. Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Gema Insanni
Press
Anwar, Yensil. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Bandung: PT Grasindo
Bertens, K. 1975. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Budi Hardiman, F. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta:    
Kanisius
Puspitawati, Herien.2009. Teori Struktural Fungsional dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Keluarga. Bogor: IPB
Upe, Ambo. 2010. Teori Aliran dalam Sosiologi dari Filosofi Positivistik ke Post
Positivistik. Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Bersama
Suyanto, Bagong. 2013. Filsafat Sosial. Yogyakarta: Aditya Media
Yusuf, Akhyar Lubis. 2014. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: PT
Raja Grafindo Bersama



[1] Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte nama lengkap Agusute Comte, adalah seorang ilmuwan dari Perancis, minat Comte terhadap masalah-masalah sosial sedikit banyaknya dipengaruhi oleh Henry Saint Simont. Latar belakang keilmuan Comte sebenarnya lebih kepada ilmu-ilmu eksak. Hal ini bisa dibuktikan dengan karier professionalnya justru dimulai dengan memberi les dalam bidang matematika.(Ambo Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik ke Post Positivistik, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 70-71 
[2] Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama), hlm. 251, Positivisme merupakan aliran dalam filsafat yang muncul pada abad ke-19. Perintis aliran ini adalah Auguste Comte. Comte berpendapat bahwa pengetahuan yang didasarkan pada sesuatu yang faktual atau yang membatasi dan dibatasi pada observasi indrawi. Bagi positivisme hal itu kemudian menjadi satu-satunya kriteria pengetahuan..
[3] Perkembangan positivisme lihat Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing), hlm.138, dijelaskan bahwa positivisme sebagai filsafat Ilmu Modern, dibidani oleh Henry Saint Simon, kemudian dilanjutkan oleh Auguste Comte, dia dikenal sebagai orang pertama yang mengaplikasikan metode ilmiah dalam ilmu sosial,  dengan menerapkan filosofi positivismenya melalui kaidah-kaidah sains dalam kehidupan masyarakat pada akhirnya melahirkan ilmu baru yang disebut sosiologi. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai "Bapak Ilmu Sosiologi”. (Herien Puspitawati, 2009, Teori Struktural Fungsional, (Bogor:IPB), hlm. 7. Jadi ide awal aliran Postivisme pertama kali diperkenalkan oleh Henry Saint Simon dan pada perkembangannya Auguste Comtelah yang menemukan istilah positivsme  untuk menjelaskan berbagai permasalahan sosial dalam masyarakat Perancis.
[4] Agama Humanistik atau Humanitas adalah agama yang memuja nilai-nilai kemanusiaan,. Akhyar Yusuf Lubis, 2014, hlm. 141
[5] Ambo Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm.70. Dari beberapa buku referensi yang digunakan, ada perbedaan pendapat mengenai penjelasan tanggal kelahiran dari Auguste Comte, senada dengan Ambo Upe, “Akhyar Yusuf Lubis, 2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 140”, menjelaskan bahwa tanggal kelahiran Auguste Comte adalah tanggal 19 Januari 1798, namun ada sedikit perbedaan penjelasan dalam buku Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, hlm. 139, yang menjelaskan bahwa tanggal kelahiran Auguste Comte adalah 19 Februari 1798. Dari beberapa penjelasan tersebut, pemakalah lebih condong kepada pendapat Ambo Upe yang diperkuat oleh pernyataan dari Akhyar Yusuf Lubis, bahkan buku lainnya serta jurnal memiliki kesamaan pendapat dengan Ambo Upe.
[6] Apa yang disajikan filsafat positivisme Comte sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena sebelumnya sudah berkembang filsafat empirisme yang bersesuaian dengan positivisme, namun yang menjadi hal baru dari postivisme Comte adalah fokus kajiannya terhadap metodologi ilmu pengetahuan, bahkan dapat dikatakan bahwa pandangan ini sangat menitikberatkan pada metodologi dalam filsafatnya. Sehingga dalam menjelaskan filsafatnya Comte mulai menerapkan metodologi ilmiah ke dalam ilmu-ilmu sosial. (F. Budi Hardiman, 2003, Melampaui Positivisme dan Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 54
[7] Akhyar Yusuf Lubis,2014, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, hlm. 141
[8] Ibid, Akhyar Yusuf Lubis, 2014, hlm. 142
[9] Yesmil Anwar,et al. 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, (Bandung: PT Grasindo), hlm. 17
[10] Ibid, Yesmil Anwar, et.al, 2008, hlm.17
[11] K. Bertens, 1975, Ringkasan Sejarah  Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius), hlm.73
[12] Tahap ini mempunyai prinsip menolak adanya yang absolute, menurut Comte, “Tout est relative, voila la seule chose absolute”, semua relative, inilah satu-satunya yang absolute. Salah satu arti positif menurut Comte adalah yang relative, tidak yang absolute. Masyarakat yang berfikir positif adalah masyarakat yang memiliki paham bahwa pengetahuan yang benar adalah yang didapatkan dari metode ilmiah, yaitu pengetahuan yang didasarkan kepada fakta, serta dapat ditinjau dan diuji lagi. Bustanudin Agus, 1999, Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Studi Banding Antara Pandangan Ilmiah dan Ajaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), hlm.49
[13]  K. Bertens, 1975, Ringkasan Sejarah  Filsafat, hlm.73
[14] Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Bersama), hlm. 33. Penjelasan lebih lanjut mengenai Fisika Sosial bisa dilihat dalam buku karangan “Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pengantar Sosiologi Hukum, hlm. 18”, dijelaskan bahwa Fisika sosial ini digunakan untuk menyebutkan ilmu sosiologi, fisika-sosial ini merupakan urutan tertinggi dalam penggolongan ilmu pengetahuan. Fisika-Sosial sebagai ilmu, berhadapan dengan gejala-gejala yang paling kompleks, konkret dan khusus dalam kehidupan manusia. Comte-lah yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi untuk menggantikan istilah Fisika-Sosial tersebut (phisique sociale dari Quetelet). Hal inilah yang akhirnya menyebabkan Auguste Comte disebut sebagai “bapak sosiologi”.
[15] Soerjono Soekanto,1982, Sosiologi Suatu Pengantar,  hlm. 33
[16] Ibid, Soerjono Soekanto, 1982, dalam buku Ambe Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm. 75. Dijelaskan bahwa Comte memposisikan sosiologi dinamis lebih penting daripada sosiologi statis.
[17] Penjelasan mengenai pertentangan ide Comte dan kondisi masyarakat pada zaman itu,, terdapat dalam buku Ambo Upe, 2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm. 74
[18] Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, hlm. 144
[19]Inspirasi Comte melalui agama dan keluarga, tidak terlepas dari persitiwa perkenalan Comte dengan Clotilde De Vaux, seorang wanita yang ditemuinya pada 1844. Meski memliki cinta yang besar, tetapi Clotilde sampai akhir hayatnya tidak pernah menerima Comte karena sudah memiliki suami, namun kesehariannya dijalani seorang diri karena hidup terpisah dengan suaminya. Clotilde meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya sehingga mulai saat itu Comte mulai memikirkan perihal keluarga, dari pengalamannya ini Comte mengatakan bahwa kekuatan yang sebenarnya yang mendorong manusia dalam menjalani kehidupan bukan hanya sekedar bersumber dari pertumbuhan intelegensi yang mantap, melainkan juga berasal dari dorongan perasaan dan hal ini pula yang melandasi Comte untuk melahirkan agama humanitas, (Ambo Upe,2010, Tradisi Aliran dalam Sosiologi, hlm. 79
[20]  Bagong Suyanto, 2013, Filsafat Sosial, hlm. 148
[21] Inilah menjadi titik balik dari pemikiran Auguste Comte, awalnya Comte merupakan individu yang tidak percaya dengan agama dan Tuhan. Namun pada perkembangannya Comte justru mengaggas suatu agama yang baru sebagai pengganti agama tradisional, yakni agama humanitas atau agama kemanusiaan. Bagong Sutyanto, 2013, Filsafat Sosial, hlm. 148
[22] Ambo Upe, 2010, Tradisi dalam Aliran Sosiologi, hlm.79

Tidak ada komentar: